Bab 3 "My Destiny?"
Layunya tanaman raksasa meringankan pekerjaanku. Aku tidak perlu repot-repot untuk membersihkannya. Mereka susah lapuk dan berubah jadi tanah. Namun yang masih belum jelas, siapa perempuan itu sebenarnya? Bagaimana bisa ia membuat semua tanaman menjadi layu dalam waktu singkat?
Ah, setidaknya pekerjaanku sudah diselesaikan oleh Nona Amy itu. Ayah tidak memarahiku karena tugas yang ia berikan selesai dalam waktu singkat. Lebih baik jangan memikirkan itu lagi. Sekarang aku harus lebih berhati-hati agar tanganku tidak menyentuh tanaman dan tanah secara langsung.
Pagi hari ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku mengurusi kebun belakang rumah. Tak lupa mengenakan sarung tangan agar kejadian kemarin tidak terulang lagi. Sudah dua pasang sarung tangan yang menjadi korban, dan sudah dua kali juga kebunku berantakan. Ayah sudah tahu mengenai kekuatanku, jadinya ia selalu menyediakan banyak sarung tangan tebal agar kekuatanku terkendali. Tetap saja, meskipun memakai sarung, kejadian seperti kemarin tidak bisa dicegah.
"Semoga saja Nona Amy tidak membocorkan rahasiaku." Aku bergumam sambil menyirami tanaman di kebun menggunakan sebuah watering can. Akan berbahaya jika sang botanis menyebarluaskan kabar bahwa telah tumbuh tomat raksasa dan pohon bunga mawar yang setinggi satu meter lebih. Kuyakin dia akan meneliti tomat yang ia minta dariku, sebuah penemuan yang luar biasa jika ia mengungkapkannya ke publik.
Semoga saja dia menepati janjinya.
***
Hari minggu telah tiba dan setumpuk tugas masih belum terselesaikan. Benar-benar sial. Damian bersedia membantuku, tapi sampai tugas lainnya telah selesai. Sehari bukan waktu yang cukup untuk menunggu seseorang menyelesaikan tugas lain sedangkan aku sendiri masih direpotkan. Tanpa basa-basi lagi, aku meminjam buku yang kuperlukan pada Damian. Terpaksa hari ini aku tidak bisa berlibur. Sudah cukup berurusan dengan tanaman yang berubah menjadi raksasa.
Kota Elis di Prefektur Ilia, zaman dulu terkenal sebagai tempat penyelenggaraan olimpiade, dari tempat inilah sekumpulan jenis olahraga itu terkenal ke seluruh dunia. Beragam peninggalan dari Yunani kuno tersebar. Kini, banyak penginapan dibangun untuk menampung wisatawan. Dari tempat penyelenggaraan olimpiade berubah menjadi tempat wisata yang dipenuhi pantai yang indah. Tak heran, banyak wajah asing lalu lalang di jalanan kota, menikmati suasana asri dan sejuk wilayah yang ada di Peloponnesos ini.
Suasana pagi hari lebih ramai dari kemarin. Aku berjalan di trotoar sambil membawa setumpuk buku dengan kedua tangan, mencoba menjaga keseimbangan agar tidak jatuh di depan keramaian. Jangan sampai menjadi bahan tertawaan orang asing, Drie.
"Hai, Dryas! Mengerjakan pekerjaan rumah?" Seseorang menyapa dengan nada ramah. Tangan putihnya sedang memegang watering can dan mengalirkan air yang ada di dalamnya ke tamanan bunga yang tumbuh subur di kebun. Rambut cokelatnya menjuntai hingga bahu, menyentuh kaus putih polos yang ia kenakan.
"Hai juga, Alma." Aku membalas sapaan wanita ramah berumur dua puluhan itu. "Aku tidak bisa pergi liburan karena itu."
"Bersantailah sejenak. Jangan terlalu memikirkannya."
"Jika aku tidak memikirkannya, maka aku akan dihukum." Aku tertawa ringan menanggapi sarannya. Sebuah saran yang menggoda untuk dilakukan. Jangan terpengaruh, Drie, jangan. Saatnya untuk mengalihkan topik. "Ehm, Alma, apa kau membutuhkan bantuan?"
"Dengan senang hati aku akan menerima bantuan darimu, Drie." Alma menjawab. "Namun kau sepertinya lebih membutuhkan bantuan daripada aku."
"Tidak apa. Masih ada waktu sehari sampai besok." Kuletakkan setumpuk buku yang kubawa di pagar yang terbuat dari batu alam. Aku mengambil alat yang tadi Alma pakai untuk menyiram bunga, sedangkan wanita itu pergi ke belakang untuk memasangkan sebuah selang ke keran.
"Jika seperti ini terus, kau akan mudah lelah, Drie." Alma menggerakkan selang berwarna hijau untuk menghujani tanaman bunga dengan air.
"Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat bunga yang tumbuh cantik, kau tahu?" Aroma bunga-bungaan bercampur di kebun yang terawat dengan baik. Bau busuk dari pupuk masih kuat, tanda bahwa semua bunga ini baru diberikan nutrisi oleh sang pemilik. Aku mendekat ke salah satu bunga mawar yang mekar, menghirup aroma kelopak bunga indah berwarna merah itu.
Ahh, bahkan bunganya lebih segar dari milikku di rumah.
Setelah beberapa menit, bunga-bunga di kebun yang sama luasnya dengan rumah sang pemilik, Alma, sudah terkena air dengan merata. Kutaruh alat penyiraman bunga di tanah. Sedangkan wanita itu menggulung selang yang tadi dia gunakan.
"Terima kasih, Drie. Aku sangat terbantu." Alma tersenyum, dua lekukan terbentuk di pipi mulusnya.
"Tidak usah dipikirkan." Aku menyahut. "Aku tidak bisa menolak panggilan para bunga."
"Ah, dasar anak pecinta kisah fantasi." Aku tidak bisa menyangkalnya. Memang benar, cerita yang penuh khayalan itu menjadi kesukaanku sejak kecil. Seperti kisah Dryad misalnya.
"Kalau begitu, aku akan pulang dan mengerjakan ini." Aku mengambil setumpuk buku yang tadi kutaruh di pagar, melenggang keluar pintu masuk kayu setinggi paha.
"See you later, Drie!"
"Bye, Alma!"
***
Matahari mulai naik ke puncak langit. Panas bola cahaya raksasa itu semakin kuat, memaksaku untuk berhenti sejenak di sebuah bangku taman yang dipayungi pohon. Ah, untungnya ada pohon ini. Payung teduh yang kokoh dan alami.
Kendaraan yang lalu lalang di jalan sedikit berkurang saat siang hari. Entah mereka semua lebih memilih berkegiatan di pagi hari, atau menghindar dari kemacetan arus saat semua orang mulai bepergian.
Banyak dari mereka yang berkendara bersama keluarganya, ayah dan anak yang nampak serasi dan akur. Kepedihan muncul di hati, sadar bahwa hal itu sulit untuk terwujud di hidupku. Ayah super cuek dan sulit ditebak ekspresinya tidak akan cocok dengan seorang anak yang ingin mendengarkan cerita dari ayahnya. Seorang ayah yang sibuk dengan pekerjaannya sulit memenuhi keinginan sang anak yang ingin diperhatikan.
Aku mengusap buliran air yang keluar dari mata. Dia sudah berubah, berbeda dengan sosok sembilan tahun lalu yang dengan senang hati menceritakan kisah tentang seorang Dryad yang menikah dengan seorang manusia dan pernikahan itu ditentang oleh seluruh Kaum Dryad. Berbagai cerita mengenai makhluk penjaga hutan itu selalu disampaikan olehnya. Berbeda dengan sekarang. Bahkan untuk menyapa saja tidak mau, apalagi untuk bercerita panjang lebar hingga malam berakhir.
Lamunanku buyar saat seseorang berbicara di dekatku. "Bolehkah aku duduk disini, Nak?"
Aku menoleh, ternyata seorang nenek yang membawa banyak kantong berisi sayur dan buah itu berada di dekatku. "Silakan, Nek." Aku menjawab pertanyaan sang nenek.
Nenek itu mengibaskan tangannya ke wajah yang sudah penuh keriput. Buliran air keringat menetes dari kening wanita tua yang duduk di sampingku. "Hari yang ramai, ya?" Sang nenek mencoba memulai percakapan.
Demi menjaga perasaannya, aku menanggapi. "Tentu saja, Nek. Hari ini adalah akhir pekan."
"Siapa namamu, Nak?"
"Saya Dryas, Nek. Dryas Altair."
"Pohon ek dan cahaya bintang, penopang kehidupan dan pemandu bagi yang tersesat." Apa maksudnya? Perkataan nenek itu membuatku bingung.
"Maksud Anda?" Aku berinisiatif untuk bertanya. Dia berbicara seperti seorang peramal, sulit dimengerti dan serasa mustahil.
"Ada banyak hal yang tidak kau ketahui tentang dirimu, Nak." Sang nenek mengalihkan pandangannya ke arahku, menatap dengan mata birunya yang cerah.
"Apa yang Anda ketahui tentang saya?" Aku bertanya. Siapa yang tidak mengetahui siapa? Bukankah aku lebih mengenal diriku sendiri daripada orang lain?
"Kau sangat mirip dengan Sang Ratu Oak dan Manusia dari Dunia Asing." Siapa mereka berdua? Aku tidak mengenal mereka berdua. Apa itu yang dimaksud nenek dengan 'hal yang tidak kau ketahui' itu?
"Sepertinya Anda salah orang." Aku menyanggah perkataan sang nenek dengan halus.
Perempuan yang membawa banyak kantong belanja itu mengalihkan pandangan ke depan, tempat dimana kendaraan berlalu lalang. Ia tersenyum getir. "Mungkin aku salah orang."
Percakapan kami diakhiri dengan keheningan canggung. Namun tak lama kemudian, nenek itu bangkit dan kembali mengangkat semua kantung belanjanya.
"Aku akan menyebrangi jalan. Bisakah Nak Dryas membantuku?"
"Tentu saja, Nek." Jangan khawatir, Nek. Aku akan menolongmu untuk menyeberangi jalan. "Biar saya yang mengangkat belanjaan Anda."
"Baiklah."
Aku menenteng dua kantong belanja yang penuh dengan buah-buahan dan sayuran. Kutinggalkan dulu bukuku di bangku. Setelah jalanan agak lengang, kami menyebrang.
"Terima kasih, Nak. Terima kasih." Nenek yang tidak kuketahui namanya itu mengeluarkan air mata. Ia mengusap air yang menetes dengan sapu tangan putih di sakunya.
"Tidak apa-apa, Nek." Aku membalas ucapan nenek itu. "Senang rasanya bisa membantu Anda."
Tubuh sang nenek bergetar, bahkan sarung tangan miliknya terjatuh ke permukaan trotoar yang sedikit diselimuti tanah. Aku berinisiatif untuk mengambilkan benda milik sang nenek. Namun, sebuah rumput setinggi mata kaki mendadak tumbuh saat menyentuh sapu tangan yang terkena tanah itu.
"Kau memang anak dari Sang Ratu Oak dan Manusia dari Dunia Asing." Nenek itu menatap wajahku dengan senyumannya yang mengembang. "Kau harus menerima takdir ini, Nak."
________________________________
Bagi yang penasaran kelanjutan DTHD, kalian bisa capcus ke akun Bestory dan Karyakarsa dengan nickname yang sama ya. Silahkan cari cerita dengan judul yang sama yaa. Di sana udah up ampe bab 21, gratis dari bab 1 sampe 5. Untuk bab seterusnya berbayar ya. Di KK, per-babnya 2k aja. Kalo di Bestory, 1,5k. Selamat membaca, semuanya!😁🤗
Bogor, Rabu 19 Juli 2023
Ikaann
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro