Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 23 "The Next Step"

Sudah tujuh hari sejak pertemuan para tetua Oread di gua Kepala Desa. Para Oread sibuk mempersiapkan semuanya untuk menghadapi perang yang menyeret wilayah mereka. Nona Althea, seorang tetua yang menangani panen dan ramuan tidak berhenti untuk membuat ramuan obat. Dibantu oleh Oread lain, dia bekerja hingga larut malam. Kebanyakan Oread berpatroli di perbatasan, berjaga untuk mempertahankan Pegunungan Oread tempat tinggal mereka.

Yang kulakukan? Berlatih dengan Tuan Milo yang baru kuketahui sebagai tetua ahli strategi dan kekuatan Oread. Mungkin jika di sebuah kerajaan, posisinya sebagai penasihat raja.

Puluhan sulur saling mengikat, menghancurkan satu sama lain. Pepohonan tumbuh dengan tak terkendali akibat energi hijau yang terpercik ke segala arah di hutan.

Aku menembakkan bola energi hijau ke arah tetua yang menjabat lawanku. Namun sebelum energi itu menyentuh tubuhnya, dinding sulur menghalangi jalur tembakan. Alhasil, semua sulur itu membesar terkena kekuatan penumbuh tanaman.

Sial! Padahal itu energi terakhirku!

"Kau sudah cukup mahir, Nak." Jajaran sulur penghalang menghilang, menampilkan tubuh yang masih bugar tanpa keringat. Napas sang tetua teratur, tidak terengah-engah seperti orang yang telah berlari sejauh lima kilometer lebih. Berbeda denganku yang kini sudah dipenuhi keringat dan bajuku kotor terkena tanah. Aku sudah seperti ikan yang terdampar di darat, menggelepar dengan mulut terbuka lebar menghirup udara.

"Tidak semahir Anda … Tuan…." Dalam keadaan berbaring di tanah penuh sulur, aku berucap dengan terengah. Jika Tuan Milo mau, dia bisa mengakhiri ini dengan cepat dan aku akan mati. Untungnya dia bukan musuh.

"Tidak ada alasan bagiku untuk menyerangmu, Nak."

Kata-kata itu muncul di kepalaku, tapi mulut orang yang melatihku tidak bergerak sama sekali. Sedikit energi hijau keluar dari kepalanya yang berambut panjang sebahu. 

Apa yang tadi itu kekuatan Dryad?

"Ya, Nak. Ini kekuatan Dryad." Suara Tuan Milo terdengar, kali ini ia membuka mulutnya. "Berkomunikasi dengan energi, atau kau mungkin lebih suka menyebutnya telepati."

"Telepati? Anda hebat sekali, Tuan!" Bukan kali pertama dia melakukan itu. Saat pertemuan para tetua, dia menghubungi semua tetua dengan telepati. Namun, tidak ada energi hijau yang keluar dari tubuhnya. Bagaimana bisa seperti itu?

"Untuk Dryad yang sudah cukup tua, saat melakukan telepati tidak akan ada energi hijau yang muncul." Tuan Milo menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Lagi-lagi dia membaca pikiranku.

"Jika itu benar, kenapa saat di penjara dulu, saat Nenek Dryopea menghubungi Ratu Adrysia, ada energi hijau yang muncul?" Kekuatan nenek itu tidak bisa kubayangkan. Memanggil pohon di sekitar dan menggunakannya sebagai perisai. Para Oread juga berkata bahwa Nenek Dryopea itu Dryad yang sangat kuat. Bukankah seharusnya energi hijau itu tidak muncul?

"Karena saat itu, beliau sedang melemah karena dikurung di penjara khusus." Tuan Milo menjawab. "Seperti saat ini, energi hijauku muncul saat bertelepati denganmu."

Jadi kemunculan energi itu dipengaruhi keadaan keadaan orang yang saling bertelepati ya?

"Kau sudah belajar banyak, ya?" Tuan Milo berjalan ke arahku kemudian ia duduk. Aku bangun dan duduk mengikuti gerakannya. Tangan penuh otot tetua Oread itu mengelus kepala yang sudah berlumuran keringat. "Ibumu pasti bangga padamu, Nak."

Perkataan Tuan Milo menggema di kepala. Ibumu pasti bangga padamu, katanya. Bagaimana bisa aku tahu ibuku bangga sedangkan aku saja belum pernah bertemu dengannya? Ah, tapi sepertinya tidak ada orang tua yang tidak bangga saat anaknya berhasil menjadi lebih baik. Ayahku saja yang super cuek dan jarang berekspresi sampai tersenyum saat aku mendapat nilai sempurna di pelajaran biologi, pelajaran favoritku meski gurunya tempramental.

"Tuan, apakah Anda pernah bertemu dengan ibuku?" Rasanya para Oread seperti sudah dekat dengan Ratu Adrysia sejak dulu. Mereka membahas Nenek Dryopea yang merupakan bawahan dari Sang Ratu. Mungkin saja mereka tahu sesuatu tentang ibuku.

Pria Oread setengah Dryad yang duduk di sampingku menoleh. Ia menatapku dengan mata coklat yang sedikit berair. Setetes air mata jatuh ke pipinya yang segera ia hapus.

"Aku sangat tahu siapa ibumu, Nak. Aku sangat tahu." Sang Oread setengah Dryad membalas dengan suara yang serak. Tuan Milo mengalihkan pandangan ke air terjun berkolam yang kini dipenuhi pepohonan di sekelilingnya.

"Apa Anda punya hubungan khusus dengannya?" Dia mengetahui siapa ibuku, setidaknya mereka pernah bertemu. Tetesan air mata tadi menandakan ada sesuatu di antara mereka.

"Hanya hubungan persahabatan yang tidak akan putus sampai kapanpun." Sang tetua Oread setengah Dryad menjawab dengan suara yang masih serak. "Dryad dan Oread selalu hidup damai dalam kepemimpinan Ratu Adrysia dan ratu sebelumnya. Kami bisa bersahabat tanpa gangguan apapun."

"Tuan sungguh beruntung pernah bertemu dengan ibuku." Sahabat yang tidak akan melupakan. Sama seperti Damian, satu-satunya orang yang tidak peduli terhadap rumor buruk yang tersebar. Juga Thias, orang yang selalu menemaniku selama berada di Pegunungan Oread ini. Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Damian dan sebentar lagi aku berpisah dengan Thias.

"Semua Oread beruntung karena telah bertemu sosok Dryad yang sangat baik. Dia tidak membiarkan kami menderita saat Dryad dan manusia sedang berperang."

"Apa semua Dryad membenci manusia?" Peperangan berawal karena keserakahan manusia dan sifat dendam Dryad. Hampir semua Dryad yang kutemui sangat membenci manusia, terkecuali Nenek Dryopea dan Nona Amy.

"Seperti yang kau pikirkan, ada beberapa Dryad yang menyayangi manusia, ibumu salah satunya."

Hanya ada beberapa orang, berarti hampir semuanya membenci manusia. Aku tidak punya kekuatan yang cukup untuk melawan. Berlatih dengan Tuan Milo saja sudah membuatku begini, apalagi nanti di pertempuran sesungguhnya?

"Aku sudah melatihmu hingga kau sudah lebih kuat, Nak." Dia berkata sambil mengelus kepalaku lembut. "Setidaknya, kau bisa menolong diri sendiri jika tertangkap para Dryad."

***

Para tetua kembali berkumpul di gua pemimpin mereka. Keputusan merkea sudah bulat, menyerahkanku kepada para Dryad untuk diurus, lebih tepatnya untuk mati di tangan mereka. Besok adalah waktunya untukku pergi dari tempat tinggal para Oread ini. Berpindah tangan ke kaum yang berkekuatan penumbuh tanaman.

"Jadi besok kau akan pergi, Drie?" Anak berambut pirang yang mengenakan baju besi bertanya sambil berjalan kesana kemari tanpa tujuan jelas. "Kita akan berpisah?"

Aku menghembuskan napas, lelah dengan pertanyaan yang sama berulang kali dari anak itu.

"Ya, aku akan pergi besok." Aku menjawab dengan jawaban yang sama berulang kali. 

"Apa kau yakin?" Thias, Pangeran dari Kerajaan Elenio itu kembali bertanya. "Apa kau tak khawatir?"

"Mau bagaimana lagi." Tidak ada lagi pilihan. Meski Dryad dan Oread bertempur, dengan keadaan mereka saat ini, kuyakin mereka tidak akan bertahan. Akhirnya aku tertangkap juga, setelah kejadian penuh darah. Menyerahkan satu buruan Dryad setidaknya mengurangi ketegangan antara kedua kaum, begitulah perkataan para tetua di pertemuan. Lagipula, aku akan bertemu dengan ibuku jika kembali ke Hutan Dryad.

"Kita akan berpisah, Drie." Thias menghentikan gerakan tak jelasnya, berdiri di depanku yang sedang duduk di kursi batu. Matanya menyorot tajam dengan alis yang sudah bersatu. Suaranya yang riang berubah menjadi seperti suara orang yang bergumam menahan amarah. Tidak jelas, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga. "Kenapa kau terlihat seakan kau masih hidup besok?"

"Tenang saja." Aku tersenyum sambil menatap balik anak itu. "Aku sudah menguasai kekuatan Dryad."

Alis yang saling bertaut mulai melunak. Pandangan mata yang tajam berubah melembut. Thias menghembuskan napas, lalu duduk di sampingku. Dengan gerakan seperti itu, aku menyangka dia tidak marah lagi. Namun ia kemudian berbisik di telingaku dan mengatakan sesuatu. "Aku tidak akan memaafkanmu jika kau tidak kembali dengan selamat."

"Siapa juga yang mau kembali dengan kehilangan nyawa?" Aku membalas sambil tertawa. Kupukul bahunya pelan dengan maksud bercanda. Ia malah membalas dengan pukulan yang lebih kuat. Akhirnya adegan saling pukul terjadi dengan hasil lebam di beberapa bagian. Yang tadinya kami duduk berdekatan di kursi batu panjang menjadi sedikit berjarak.

"Ugh, kau tidak bercanda saat memukul ya!" Aku memasang posisi tangan di depan dada seperti seorang petinju yang bertahan dari serangan lawan. Begitu juga Thias. Tangan kekarnya melindungi bagian dada.

"Kekuatanmu tidak main-main, Drie." Anak itu berucap. "Aku jadi yakin kau bisa bertahan dari para Dryad."

Aku mengendurkan pertahanan, menaruh kedua tangan di paha. Dia sudah percaya padaku.

Pangeran dari Kerajaan Elenio itu mengeluarkan sebuah belati bergagang logam penuh ukiran dari sarungnya di pinggang. Ia menyerahkan senjata itu padaku. "Bawalah ini, Drie. Anggaplah dia sebagai aku yang menemanimu."

"Terima kasih, Thias." Aku meraih senjata itu dari tangan sang pangeran, lalu menyelipkannya di ikat pinggang. "Akan kujaga belati ini baik-baik."

Tunggu saja, Thias. Aku akan kembali hidup-hidup dari sarang Dryad. Aku berjanji.

_____________________________________

Bogor, Senin 11 September 2023

Ikaann

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro