Bab 18 "The Different Path"
Anak itu merosot ke lantai lembab yang berair. Tangan kekar sang anak mengacak-acak rambut pirangnya yang panjang sebahu. Air mata turun membasahi pipi yang terdapat goresan luka. Tubuhnya bergetar seperti pepohonan yang tertiup angin.
"Mengapa? Mengapa ini harus terjadi?!" Anak itu meraung. Suaranya menggema di gua yang dipenuhi stalaktit dan stalagmit. Dia memukul-mukul sebuah stalagmit yang menjulang ke atas gua. Darah mengucur dari jari-jari pangeran dari Kerajaan Elenio itu.
"Hentikan itu, Thias!" Aku menahan tangannya, menghentikan pukulan ke bebatuan runcing yang jadi sasaran sang anak. "Kau akan terluka!"
Thias menepis tanganku. Sebuah pukulan kuat mendarat di dagu, menghantamku hingga terpental ke batu yang tadi dipukulnya. Dia berteriak. "Kau tidak tahu perasaanku!"
Kutatap mata coklat madu sang anak yang kini setajam duri mawar. Alisnya yang juga berwarna coklat mengerut.
"Aku paham perasaanmu, Thias." Masih dalam keadaan duduk karena pukulan tadi, aku berkata. "Aku sudah mengalaminya."
Sejak lahir, aku tidak pernah bertemu dengan ibuku. Tidak pernah kuketahui bagaimana bentuk wajahnya yang mungkin secantik Nona Amy yang pernah menemuiku waktu itu. Rambutnya terurai hingga bahu, dengan tatapan lembut yang menyejukkan. Satu lagi, ayahku sudah tiada. Dibunuh oleh para Dryad yang kejam itu. Mereka bahkan tidak membiarkanku untuk mengucapkan selamat tinggal.
Aku paham bagaimana rasanya, Thias, batinku.
Anak berambut pirang itu tidak menjawab. Ia malah bangkit, mengeluarkan sebuah pedang dari pinggang. Dia mengacungkannya padaku.
"Jangan halangi aku, Drie!" Thias menghentakkan kaki. Dia berlari ke mulut gua yang merupakan satu-satunya pintu keluar. Namun sebelum itu terjadi, Tuan Milo menghalangi jalannya.
"Nak, para Dryad sudah memperketat penjagaan Hutan Dryad. Kau tidak bisa keluar dengan mudah." Tuan Milo merentangkan tangan.
Aku bangkit, menyaksikan apa yang sedang terjadi. Bebatuan gua di sekitarku melayang di udara karena dalam pengaruh kekuatan Tuan Milo.
"Anda tidak memiliki hak untuk mencegahku!" Pangeran dari Kerajaan Elenio itu mengacungkan pedang ke arah pria Oread setengah Dryad. "Dia memintaku untuk datang!"
"Aku punya hak untuk mencegahmu, Nak." Tangan kanan Tuan Milo terangkat, meluncurkan bebatuan gua yang tadinya melayang ke arahnya. Thias refleks berbalik, menebas batu yang lewat. Namun bebatuan itu tidak menyentuh sedikitpun senjata sang pangeran. Semua batu yang dilayangkan Tuan Milo berkumpul di mulut gua, menghalangi satu-satunya jalan keluar. "Theo telah tertangkap. Dia ingin bertemu denganmu, Nak."
Anak laki-laki berbaju besi itu menurunkan senjata. Ia menyarungkan pedangnya ke pinggang. Sejenak, mata coklatnya bertemu denganku. Kami saling bertatapan selama beberapa detik, sebelum ia berbalik menghadap ke Tuan Milo.
"Theo?" tanya Thias.
"Dia menggila sejak kami tangkap. Hanya kau saja yang bisa menenangkannya."
Theo? Dia kembali lagi ke sini?
"Apakah dia yang mengirim surat itu, Tuan?" Aku bertanya. Satu-satunya yang mungkin terjadi hanya itu. Theo tertangkap saat hendak mengantarkan surat dari Raja kepada Thias. Namun, bagaimana caranya ia melewati penjagaan Dryad yang super ketat?
"Ya," jawab Tuan Milo, "dia tertangkap saat mencoba masuk melalui air terjun wilayah hutan."
"Kalau begitu, tolong antarkan saya ke tempat Theo, Tuan." Nada bicara Thias melembut. Tidak ada amarah dalam ucapannya. Ia berjalan mendekati Tuan Milo yang berdiri menghalangi jalan keluar.
"Aku ikut." Aku berjalan cepat di belakang, menyusul Thias.
"Baiklah, kalian kuizinkan." Tuan Milo menyetujui. Tangan kanannya terangkat, membuka kembali mulut gua yang tertutupi bebatuan. Bebatuan yang terpisah itu kemudian disatukan kembali menjadi sebuah lempengan batu besar. Tuan Milo menaiki lempengan, aku dan Thias mengikutinya. Kami bertiga keluar, terbang melayang menggunakan batu yang digerakkan oleh Tuan Milo.
Setelah beberapa menit terbang, kami bertiga sampai di daerah pegunungan berbatu tempat kebanyakan Oread tinggal. Jarak yang lumayan jauh dari gua tempatku tinggal yang berada di kawasan hutan. Tuan Milo membawa kami ke sebuah gunung yang berada tepat di tengah-tengah wilayah pegunungan batu. Gunung besar yang dipenuhi lubang-lubang.
Batu yang kami naiki mendarat pelan di depan sebuah gua. Tuan Milo turun dari lempengan batu, berjalan ke dalam gua yang dipenuhi pahatan batu yang membentuk banyak kurungan. Aku dan Thias mengikutinya dari belakang.
"Ini adalah penjara para Oread." Tuan Milo menunjukkan jajaran kurungan yang terbuat dari pahatan batu gua, tapi tidak ada satupun Oread yang dikurung.
"Kenapa penjara ini kosong, Tuan?" Aku bertanya. Berbeda dengan Hutan Dryad yang ditanami pohon hitam khusus yang dapat menyerap energi kehidupan, jeruji batu di penjara Oread nampak tidak memiliki efek ajaib sama sekali. Hawanya sama saja seperti gua tempatku tinggal. Anehnya lagi, penjara ini kebanyakan kosong. Hanya ada satu sel yang terisi, sel di ujung lorong gua yang dibentuk lurus ini.
"Kami para Oread selalu hidup rukun di bawah arahan Kepala Desa." Tuan Milo menjawab. "Tidak ada Oread yang haus kekuasaan dan berbuat jahat karena kami mematuhi penuh ajaran Sang Dewi."
Saat kami berjalan, tiba-tiba Agathias berlari ke sel yang diisi seseorang berjubah hitam. "Theo!" Dia memanggil orang yang ada di dalam kurungan.
Orang yang dipanggil mendongakkan kepala. Ia bangkit, berdiri tegak menghadap ke mulut gua.
"Yang Mulia Pangeran!" Theo yang berada di penjara meneriakkan panggilan kehormatan untuk Thias. Dia berlutut, mengucapkan salam penghormatan. "Kejayaan bagi Anda, Yang Mulia Pangeran Agathias!"
Aku dan Tuan Milo yang berjalan, sudah sampai ke depan sel kurungan yang berisi seorang prajurit. Aku berdiri di kanan Thias, sedangkan Tuan Milo berdiri di sebelah kiri.
"Apa kau baik-baik saja?" Thias bertanya pada prajurit dari Kerajaan Elenio itu. Pertanyaan Thias dibalas dengan gerakan pukulan ke dada oleh sang prajurit. Ia mengepalkan tangan, memukulnya ke dada sendiri.
"Saya baik-baik saja, Yang Mulia." Theo menjawab. "Para Oread tidak seperti Dryad yang ganas."
Tuan Milo yang berada di samping kiri Thias maju selangkah. "Seperti yang sudah kami katakan, kami tidak akan melukai manusia yang mematuhi aturan juga tidak mengganggu kehidupan para Oread."
"Lalu jika begitu, kenapa kau malah mengurungku di tempat ini?!" Theo berteriak keras, membalas ucapan Tuan Milo. "Tidak melukai apanya!"
"Tuan Theo, harap dengarkan saya dahulu." Tuan Milo berkata lembut. "Kami tidak bisa membiarkan Anda berkeliaran di Pegunungan Oread ini jika Anda menolak untuk melepaskan senjata Anda. Para Oread lain akan menyangka Anda adalah musuh jika terus bertindak barbar."
"Aku menolak!" Theo membalas dengan berteriak. Ia mengacungkan pedangnya ke arah Tuan Milo. "Peraturan tak tertulis seorang prajurit; jangan tinggalkan senjatamu apalagi di tempat musuh."
Agathias maju ke jeruji batu. Ia berdiri sejajar dengan Tuan Milo. Tangannya masuk ke celah diantara jeruji batu yang mengurung bawahannya.
"Theo, serahkan senjatamu padaku." Dia berkata dengan nada datar.
"Ya-yang Mulia?" Theo bertanya dengan ekspresi yang aneh. Mungkin mempertanyakan perintah sang pangeran.
"Aku sudah berada di gunung ini selama beberapa minggu dan aku masih hidup sampai sekarang." Thias berkata dengan nada datar lagi. Dia tidak membentak sang bawahan seperti saat di gunung berair terjun waktu itu. "Serahkanlah pedangmu."
"Jika Anda yang memerintahkan, saya akan menurutinya." Theo menghembuskan napas. Sang prajurit melepaskan ikat pinggangnya, menyerahkan sebuah pedang dan beberapa pasang belati kepada Thias.
Tuan Milo menyentuh pahatan batu yang membentuk sebuah kurungan. Perlahan, bebatuan yang menahan sang prajurit dari Kerajaan Elenio itu terbuka lebar. Orang yang dikurung keluar, dia berlutut kepada Thias.
"Yang Mulia, Baginda Raja sudah—" Theo berkata, tapi langsung dipotong oleh Agathias.
"Aku tahu itu. Tuan Milo sudah memberitahukan itu." Agathias berkata.
"Baginda Raja terkena penyakit apa?" Aku bertanya. Apa ini ada pengaruhnya dengan perang manusia melawan Dryad?
"Kutukan dari Ratu Dryad," jawab Thias. Ia menundukkan kepala. "Sudah tiga puluh tahun semenjak kejadian itu."
Apa pelakunya Ratu Dryad saat ini?
"Ya, Nak." Lagi-lagi Tuan Milo membaca pikiranku, menjawab pertanyaan yang terlintas di kepala. "Saat Ratu Dryad sebelumnya mengundang perwakilan setiap kaum di wilayah ini."
"Apakah itu bisa diobati?" Aku bertanya pada Thias. "Kutukan seperti apa?"
"Dia diteror sesosok Dryad yang mengerikan."
"Kita harus mencari obat kutukan Baginda Raja." Aku memegang bahu Thias, dia melakukan hal yang sama denganku.
"Tentu, Drie, tentu."
Sepertinya jawaban dari kutukan itu ada di buku pemberian Iona. Nanti akan kubaca.
Kami berempat keluar dari gua penjara. Namun baru saja keluar, kami sudah dikepung oleh puluhan Oread bersenjata bebatuan yang melayang.
"Serahkan diri kalian! Jika tidak, kami akan bertindak keras!"
Astaga! Apa yang terjadi di sini? Mereka sudah mengetahui rahasiaku?
__________________________________
Bagi yang penasaran kelanjutan DTHD, kalian bisa capcus ke akun Bestory dan Karyakarsa dengan nickname yang sama ya. Silahkan cari cerita dengan judul yang sama yaa. Di sana udah up ampe bab 28, gratis dari bab 1 sampe 5. Untuk bab seterusnya berbayar ya. Di KK, per-babnya 2k aja. Kalo di Bestory, 1,5k.
Btw, sekarang DTHD update dua kali seminggu, ya. Hari Senin ama Kamis jam 5 sore atau jam 7 malem.
Selamat membaca, semuanya!😁🤗
Bogor, Senin 07 Agustus 2023
Ikaann
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro