2.5
Pagi itu, Elin terbangun lebih awal dari biasanya. Bahkan matahari masih belum menampakkan dirinya. Yah, ini semua dikarenakan dirinya begadang semalaman setelah mendapat penjelasan singkat dari Arbi.
Mengapa dirinya begadang? Entahlah, tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Karena sudah terbangun dengan mata terbuka lebar, ia memilih untuk membasuh muka. Tubuhnya bangkit untuk berjalan ke luar, menuju kolam yang berada di samping rumah. Ia menatap pantulan dirinya di permukaannya yang jernih. Terlihat begitu berantakan, dengan rambut acak-acakan dan kantung hitam di sekitar mata seperti panda.
Oh, demi rumah nanas di bawah laut, dirinya terlihat seperti kuntilanak yang baru saja bangkit dari kuburan(?).
"Astaga... Kacau sekali."
Ia mengambil air dan mencuci muka. Kemudian ia membasahi rambutnya yang panjang agar lebih mudah ditata kembali.
Yang membuat Elin bertanya-tanya adalah mahkota di kepalanya tidak dapat lepas begitu saja, kecuali dirinya yang melepaskannya.
Mahkota ajaib kah?
"Kupikir Arbi, ternyata Tsundere Child."
Mendengar suara khas anak kecil itu membuat Elin tersentak kecil. Kepalanya menoleh, menemukan Shiva duduk di batu yang sama seperti sebelumnya.
Elin mendengus kasar. "Hmph! Siapa yang kamu panggil 'Tsundere Child'?"
"Memangnya siapa lagi? Si Pangeran Gulali?"
Elin tertohok mendengarnya. "Pa-Pangeran Gula―"
"Oh, Furucchi. Kamu sudah bangun?" Ucapan Arbi yang muncul tiba-tiba memotong perkataannya. Untuk sesaat, Elin mengalihkan pandangannya. Ketika tatapannya kembali pada batu, sosok Shiva telah lenyap.
Arbi menatap adik online-nya dengan kebingungan. "Furucchi, ada apa?"
Elin menatapnya dengan wajah pucat.
"Kak, ada hantu!!"
"Hantu?"
Keheningan melanda keduanya, namun pecah karena suara tawa dari Arbi. Terlihat aneh karena dia tertawa dengan wajah datarnya.
"Mana ada hantu di dunia ini? Mungkin yang kamu lihat itu ras Spirit."
"Ras Spirit?"
Mastah Hode mengangguk. "Dia pasti Shiva, benar 'kan? Yah, dia Spirit yang menghuni gua ini. Maaf, aku lupa memberitahu tentang dia."
"Huehuehue?"
A/N : Hoo... Sayang sekali pemirsa, ternyata bukan Ouji~ //plak
.
.
Seperti kata Arbi, dia akan membawa Elin ke kota. Karena itu, mereka bersiap diri walau sebenarnya Elin tidak perlu mempersiapkan apapun.
Sepeda motor itu dia dorong ke luar gua, namun terhenti di ambang pintu karena teringat sesuatu.
"Hei, Shiva! Aku pergi lagi, kali ini lebih lama! Jangan merindukanku!" seru Arbi ke dalam gua. Tak lama, terdengar sahutan dari dalam, "Siapa juga yang merindukanmu?! Cepat pergi sana!"
Arbi terkekeh kecil. "Aku mungkin nggak akan balik lagi, lho!"
"Hah?! Si-siapa juga yang peduli kamu balik atau enggak?! Kamu mati pun aku nggak peduli!"
"Beneran?"
"Ka-kalau segitunya kamu ingin dirindukan oleh aku ... jangan pergi terlalu lama! Jangan lupa beli oleh-oleh untukku! Aku menunggumu di sini, ingat itu! Hmph!"
"Hahaha, tentu saja."
Elin menahan tawa seraya membatin, 'Ternyata dia tsundere'.
"Hei, Tsundere Child! Kamu juga, jangan lupakan aku! Awas saja kalau kamu lupa!"
"Huehuehue, iya-iya."
Sepeda motor itu dinyalakan, membuat suara deru yang menggema di antara pepohonan. Arbi menarik gas, menambah suaranya yang semakin keras.
"Ayo berangkat!"
"Ya!"
Dan kisah Elin pun dimulai dari sini.
×××
Matanya memandang setiap pohon yang terlewati dengan cepat. Terkadang ia menemukan hewan hutan yang berlari menjauh karena suara deru sepeda motor. Tak hanya hewan, sesuatu yang pernah ia lihat di kisah fantasi pun ada, baik film ataupun novel.
Ya, sudah pasti sesuatu itu adalah sihir.
Mengingat penjelasan Arbi semalam, dunia ini―atau sebut saja Isekai―adalah dunia yang sering ditemui dalam kisah bergenre isekai pada umumnya. Dunia Pedang dan Sihir, di mana semuanya berlandaskan kekuatan dan magis.
Seandainya tidak ada yang namanya Batu Magia, batu yang memiliki mana di dalamnya―dan salah satu fungsinya adalah sebagai pencahayaan bila terkena air―, Elin tidak akan pernah percaya bahwa dirinya berada dalam dunia yang sering dilukiskan dalam bentuk film dan novel.
Mungkinkah dirinya sedang berada di jalan cerita novel picisan seperti yang pernah ia baca sebelumnya?
"Kita ke kota mana, Kak?"
"Hmm... Kota Hope."
Menurut penjelasan Arbi (yang sudah berada di dunia ini selama setahun), Isekai memiliki empat benua. Dirinya dan Arbi sedang berada di benua terkecil bernama Clover. Benua Clover memiliki tiga kota kerajaan kecil di bawah naungan sebuah kerajaan besar yang menjadi pusatnya: Faith, Hope, Love, dan Luck.
Entah mengapa, nama-namanya meningkatkan Elin tentang empat daun semanggi.
"Kenapa ke Kota Hope?"
"Karena kita akan menemui Yumacchi dan Ouji-sama di sana."
Oh, seharusnya Elin sudah menduganya.
"Sayangnya, perjalanannya memakan waktu lama. Jadi, sesekali kita harus menyewa penginapan di desa terdekat untuk beristirahat."
"Berapa lama?"
"Aku tidak bisa memperkirakannya."
"Tapi, Kakak selalu bepergian sebelum menetap di gua 'kan?"
Elin ingat tentang kisah Arbi selama di Isekai. Berpergian dari satu tempat ke tempat lain dengan sepeda motornya yang menggunakan bahan bakar Batu Magia. Bukankah itu artinya (sudah pasti) Arbi pernah berpergian ke kota Hope sebelumnya, 'kan?
"Memang benar. Tapi, itu saat aku sendirian. Sekarang 'kan ada Furucchi."
Dengan kata lain, karena dirinya yang (mungkin) tidak terbiasa berpergian jauh, akan lebih mudah lelah sehingga harus sering beristirahat, mengakibatkan perjalanannya memakan waktu lama. Elin tidak tahu harus bersyukur karena kakak online-nya pengertian terhadap dirinya, atau harus menggerutu kesal karena dianggap sebagai penghambat.
Tapi, bukankah uangnya akan cepat habis jika digunakan untuk menyewa penginapan berulang kali? Itupun jika dihitung dengan pembelian Batu Magia yang harganya membuat mata terbelalak.
"Kakak nggak perlu repot menyewa penginapan. Simpan saja uangnya untuk membeli bahan bakar."
Arbi menaikkan sebelah alisnya. "Terus kamu mau tidur di tengah hutan kayak gini?"
Perkataan itu sukses membungkam mulut Elin. Setelah pertimbangan disertai berbagai konsekuensinya yang menyita waktu, Elin menghela napas panjang.
"Nggak pa-pa kok, Kak."
"Beneran?"
"Ih! Jangan buat aku berubah pikiran!"
Arbi tertawa kecil. "Oke, jadi jangan salahkan aku kalau kamu digigit serangga."
"I-iya, aku tahu itu."
Rasanya, waktu berlalu begitu cepat. Matahari mulai menunjukkan warna senjanya. Arbi menghentikan laju motor dan mengambil sesuatu di balik jas bajunya. Itu sebuah kertas yang dilipat, dan ketika dibuka terpampang gambaran mengenai denah lokasi.
Itu adalah peta.
"Kita seharusnya di sini. Dan ... desa terdekat masih cukup jauh. Astaga, sepertinya kemujuran berpihak padamu, Furucchi. Seperti yang kamu katakan, kita akan tidur di hutan."
'Kemujuran apanya?' batinnya menjerit.
Elin hanya bisa menelan air ludahnya dengan paksa. Ia menyiapkan diri untuk menghadapi hewan-hewan yang akan muncul di hutan ketika malam hari. Jangankan serangga, mungkin beruang atau makhluk buas lainnya?
Lagipula, ada Arbi di sisinya yang bisa melakukan perlawanan diri. Sepertinya tidak akan terjadi apa-apa ... semoga saja.
.
.
BANG!!
Elin terperanjat kaget mendengar letusan senjata api yang terdengar sangat dekat itu. Ia menatap sekeliling dengan panik, menemukan Arbi berdiri tak jauh darinya dengan menodongkan revolver pada bagian hutan yang tak terkena cahaya dari api unggun.
Mengapa tidak menggunakan Batu Magia? Yah, untuk menghemat persediaan yang terbatas.
Dengan terburu-buru, Elin bangkit dari posisi tidurnya dan menghampiri Arbi. "Kak, apa yang terjadi?"
Arbi memicingkan matanya. "Shadow...."
Elin menutup mulutnya. Makhluk berwarna hitam yang menyerupai manusia―atau sebenarnya bisa berwujud apapun―yang pernah ia lihat sebelumnya, Shadow. Arbi pernah menjelaskan tentang mereka sebelumnya, namun sayangnya Mastah Hode itu tidak memiliki informasi banyak mengenai mereka.
Atau lebih tepatnya, hampir tidak ada informasi tentang mereka di dunia ini.
Dan sekarang, Shadow berkumpul di sekeliling mereka, mengepungnya agar tidak bisa lolos. Walau dengan pencahayaan yang minim, Elin bisa melihat wujud Shadow kali ini menyerupai hewan berkaki empat. Serigala kah?
Sementara itu, Arbi membaca situasi dan kondisi yang terjadi, serta merencanakan sesuatu agar bisa lolos dari kepungan. Matanya menangkap sepeda motor dan kantung yang berisi Batu Magia di dalamnya.
"Furucchi!" Arbi menarik tangan Elin untuk mengikutinya. Dia menuju kantung yang berisi Batu Magia, kemudian mengambil satu dan melemparkannya ke arah para Shadow. Revolver dia arahkan pada Batu Magia, kemudian melepas peluru dalam sekali tembakan.
Segera setelah itu, dia menarik Elin untuk menaiki sepeda motor dan melaju dengan cepat menjauh dari sana.
"Kak Arbi!"
Masalahnya, sepeda motornya menuju ke Shadow yang berkumpul di arah sebaliknya. Arbi tetap menarik gas dan menerjang kumpulan makhluk hitam itu. Sepeda motornya terbawa ke udara, dan tepat di detik itu juga ledakan dari belakang terjadi.
Mereka sempat terbawa gelombang ledakan, membuatnya jatuh ke tanah karena tidak mendapat posisi seimbang untuk mendarat dengan roda sepeda motor.
Elin membuka sedikit matanya untuk melihat sosok Arbi yang terbaring tak jauh darinya dengan luka bakar menghiasi lengannya.
Kenyataan bahwa Arbi melindunginya dari ledakan membuat rasa penyesalan memenuhi hati Elin.
"Kak ... Arbi...."
Pandangannya menggelap, seakan tinta hitam dituangkan ke matanya.
.
.
Suara ledakan terdengar tak jauh dari lokasinya, membuatnya terkejut setengah mati. Segera ia tinggalkan semua barang-barangnya dan berlari menuju sumber ledakan, hanya untuk menemukan hamparan rumput hitam dipenuhi aroma gosong. Walau samar, debu-debu yang menyatu dengan udara adalah bukti bahwa adanya keberadaan makhluk hitam itu di sana sebelumnya.
"Shadow...."
Ia menyipitkan matanya, bertanya-tanya siapa yang bertanggungjawab atas semua kondisi ini.
Kakinya membawanya untuk menelusuri lebih dalam, mendapati sesuatu yang terbaring tak jauh dari area ledakan.
Sebuah sepeda motor ... dan dua orang terbaring tak sadarkan diri.
"Oh, astaga...."
×××
Perlahan kelopak mata itu terbuka, melihat atap rumah dari kayu yang berjarak tak jauh dari pandangannya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya ia mengingat kejadian sebelumnya.
"Kak Arbi!!"
Elin segera bangkit dari tidurnya, namun meringis kesakitan karena merasakan tubuhnya akan remuk seketika. Ia menatap dirinya sendiri yang kini terbalut perban.
Ada yang mengobati dirinya?
Kepalanya menoleh untuk mencari seseorang yang bersama dirinya sejak kemarin, sayangnya sosok gadis menyerupai laki-laki itu tidak terlihat di manapun.
Elin tertegun melihat ruangan di mana ia berada. Dirinya menyadari berada di atas kasur. Terdapat jendela tak jauh dari posisinya. Walau tertatih-tatih, ia mencoba untuk menjangkau jendela itu.
Matanya terbelalak melihat pemandangan di luar jendela. Sejauh mata memandang, terhampar rumah-rumah kuno yang terbuat dari kayu ataupun batu.
"Di mana ini?"
"Ah, kamu sudah sadar?"
Mendengar suara seseorang membuatnya menoleh ke belakang, mendapati seorang gadis tersenyum ramah kepadanya dengan tangan membawa nampan berisi makanan. Mungkin itu sarapan pagi.
"Jangan terlalu banyak bergerak. Tubuhmu belum pulih sepenuhnya."
Elin mematung di tempatnya. "Anda ... yang mengobati saya?"
"Begitulah. Aku menemukanmu di hutan semalam. Dengan bantuan warga desa, kami membawamu ke sini untuk perawatan."
Merasa lega mendengarnya, Elin berjalan menuju kasur dan duduk di sana. Kemudian, terlintas di benaknya tentang kakaknya.
"Anu, maaf! Bagaimana dengan Ka―maksudku, orang yang bersama saya?"
"Ah, laki-laki itu?"
Elin ingin tertawa, namun ia tahu bukan saatnya seperti itu.
"Tangannya mengalami luka bakar. Untungnya, tidak terlalu parah sehingga dia baik-baik saja."
Elin menghela napas lega, namun rasa penyesalan masih belum terhapus dari hatinya. Ia menatap sendu gadis di hadapannya.
"Saya berterima kasih atas bantuan Anda, serta maaf telah merepotkan Anda dan warga desa."
Gadis itu mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Orang yang dalam masalah, atau dalam kasusmu ini dalam bahaya, tentu harus ditolong 'kan?"
Elin tersenyum haru, merasa bersyukur karena telah diselamatkan oleh orang-orang berhati baik.
"Ah, nama saya Elin."
"Begitukah? Kalau aku ... panggil saja Fuyu."
"Oh? Bolehkah saya memanggil Anda Kak Fuyu?"
"Tentu saja!"
"Eh? Tunggu dulu...."
"Huh?"
"...."
"...."
•••
Author's Note :
Huehuehue :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro