Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[7] Maudy dan segala fasilitas mewahnya

Sebenarnya Maudy ini tak memiliki cukup banyak kebeRinaan apalagi berkelana sendirian. Tapi, sekali lagi ... ia tak peduli. Kenekatannya ini memang untuk pertama kalinya. Diacuhkan larangan sang ibu sekali ini saja. Segala macam bentuk ucapan ibunya mengenai keadaan Bali dan kejahatan di luar sana, bagi Maudy macam nyanyian tak berguna. Lantaran keinginannya begitu kuat untuk sejenak menyingkir dari penatnya aktifitas yang menggelung tubuh berapa tahun belakangan.

Iya ... Maudy Senandika berada di titik jenuh.

Di mana ia harus singkirkan dengan segera agar dirinya kembali bersemangat.

Apa Herman langsung setuju pengunduran dirinya? Oh ... mereka sampai berdebat alot dulu baru Herman menandatangani surat itu. Maudy ingat betul bagaimana tampang sang bos yang mencibirnya, menguliahinya, menasihatinya, bahkan menawarkan kenaikan gaji meskipun masih dalam tahap negosiasi. Kalau Maudy katakan, "Ya udah, Bapak ajuin aja dulu. Kalau Bos Barra setuju, aku pertimbangkan." Mungkin saja Maudy sudah kembali berkutat dengan brosur price list serta banyak data customer yang ia tangani.

Sayangnya Herman masih ragu untuk menyuarakan hal itu di depan Maudy. Takutnya ia mengambil tindakan tanpa persetujuan dari Barra Herdiyanto.

"Memang rencana kamu apa?" tanya Herman sekali lagi.

"Ngabisin uang bonus," Maudy benar. Memang itu tujuannya refreshing. Tiga bulan lalu targetnya achive 100%. Pundi uangnya masuk dalam nominal yang membuatnya terperangah tapi kemudian, bayang dirinya mengenakan bikini di bibir pantai yang memanggang kulitnya sampai eksotis itu terus menari. "Lagian, ya, Pak. Maudy resign itu justru bagus, kan? Biar yang lainnya sampai target gitu. Enggak bosan apa namanya Maudy terus yang muncul."

Herman sekali lagi berdecak. "Kalau bonusmu habis apa yang mau kamu lakukan?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Maudy tergelak. Heboh sekali. Yang mana tanpa sadar ia mengatakan hal yang sangat di luar dirinya sekali. "Nikah dengan orang kaya, Pak. Biar enggak habis-habis uang saya."

"Lho? Kamu sudah punya pacar? Yang mana pacarmu, Dy? Saya enggak tau? Jangan bilang seperti Regi yang tau-tau nikah sama anaknya pemilik showroom."

Maudy makin ngakak.

"Terserah kamu lah mau berbuat gimana tapi ingat," peringat Herman segera. Tak peduli kalau Maudy masih terbahak di depannya. Hanya Maudy yang sering ia izinkan bertingkah aneh begini. "Kalau kamu butuh pekerjaan lagi, Fatmawati tetap menerima kamu."

Maudy, yang kali ini menghentikan tawanya sejenak, menatap sang bos lekat. Lalu mengangguk patuh layaknya seorang anak yang menuruti perintah sang ayah.

Dan di sini lah ia sekarang. Keluar dari pintu kedatangan dan menyusuri area bandara Ngurah Rai dengan hati berlipat senangnya. Senyumnya saja lebar sekali mirip orang menang lottere besar. Langkahnya juga lebar dan ringan macam tak memilik beban apa pun selain koper besarnya yang ia seret gembira. Tapi ...

"Mbak Maudy?!"

Kepalanya otomatis menoleh dong karena dipanggil. Begitu matanya menatap orang yang meneriaki namanya, ia melotot sampai rasanya mau jatuh dari cangkangnya. Astaga! Ini pasti ulah Barra! Atau T-rex?!

Di mana ada seseorang yang menjemputnya. Pria mengenakan penutup kepala khas Bali. Juga dua orang lainnya yang sama-sama heboh mengangkat satu papan nama bertuliskan nama Maudy Senandika dengan tulisan besar. Itu belum seberapa dibandingkan saat mereka bertiga terteriak agak keras memanggil namanya. Hampir kebanyakan yang berjalan di samping Maudy menoleh dan memberi tatapan aneh pada gadis yang mengenakan jeans ketat serta kaus longgar itu.

"Iya, Pak." Ketimbang ia tambah malu, Maudy melangkah segera pada sosok itu.

"Saya diminta Bu Regi untuk jemput dan memastikan Mbak Maudy tiba di villa. Makan siang juga sudah siap, Mbak. Oiya, selama di Bali ada satu mobil yang sengaja dipersiapkan untuk Mbak. Bu Regi bilang, Mbak Maudy enggak boleh nyetir sendirian. Harus ada guide."

Selebihnya Maudy tak mau mendengarkan karena keburu kesal. Jalannya saja ia hentak saking tak bisa menahan diri. Memang, sih, dirinya diperlakukan enak sekali selama di Bali. Tapi? Astaga! Tidak seperti ini juga caranya!

***

Villa selama sebulan Maudy tinggal di Bali bukan kelas biasa. Ia disambut ramah dengan beberapa pelayan dengan logat serta design arsitektur khas Bali begitu ia turun dari mobil yang menjemputnya di bandara tadi. Sejak ia masuk ke dalam mobil sampai tiba di tujuannya, berulang kali ia meringis mendengarkan sang pria bicara. Segala macam sudut Bali digambarkan dengan jelas oleh pria paruh baya itu. Rute serta kapan Maudy ingin berkunjung ke sana pun ia tinggal menyesuaikan jadwal.

Sosok itu sebenarnya ramah hanya saja Maudy sudah keburu kesal dengan Regi dan Barra. Antusiasnya menjelajah Bali sedikit berkurang karena hal ini.

Sungguh ia tak butuh penyambutan seperti ini. Rasanya ia masih diawasi dari jauh. Padahal selama di pesawat ia sudah merencanakan tinggal di kost yang tak terlalu besar. Berjalan kaki ke area-area yang ingin ia kunjungi. Atau menyewa motor selama sebulan dan berkeliling Bali hingga puas. Ia sudah mencatat bagian-bagian penting dalam agendanya selama sebulan di sini. Tapi sekarang?

"Mari saya tunjukkan kamar Mbak Maudy."

Tak ada yang bisa Maudy lakukan kecuali menuruti. Bahkan koper besarnya saja sudah ada yang membawakan. Menyenangkan, kan? Seharusnya Maudy tersenyum, kan? Bukan malah berniat memarahi dua orang yang memiliki andil besar untuknya hari ini.

"Mbak ingin istirahat dulu? Nanti kisaran jam empat sore saya antar ke Pantai Canggu. Di sana ada event setiap malamnya."

Maudy hanya bisa menampilkan senyum tipisnya. "Iya. Istirahat dulu. Capek."

Pria paruh baya itu, panggilannya Jo dari nama Joko Munarwan kemudian mengangguk dengan senyum riangnya. Selama satu bulan ini ia diminta secara khusus menjadi peneman dari gadis yang akan tinggal selama seminggu di villa yang ia jaga.

Dibiarkan Maudy masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Barang-barang milik gadis itu juga sudah diletakkan di dalam dan ia pun bersiap untuk menyajikan makan siang. Siapa tau gadis itu mau bersantap sebelum memulai petualangannya di Bali.

Sementara Maudy segera mengacak tas yang ia tenteng. Berisikan gadget serta dompet dan beberapa keperluan wanita yang ia butuhkan. Begitu mendapatkan ponselnya di tangan, tak butuh waktu lama baginya mendapati nomor kontak Regi. Tertera di sana; T-rex Ajaib.

"Lo apa-apaan, sih?" pekik Maudy begitu tersambung dengan sahabatnya itu. Tak peduli salam, ia abaikan juga kalau di sana Regi tau-tau menderita telinga pekak, atau justeru seperti ini. Ponsel Regi tengah dipegang Barra.

"Kamu itu keterlaluan, ya, Maudy."

"Lah! Bapak ngapain ngangkat teleponnya T-rex?"

Di sana terdengar helaan napas Barra. Mungkin juga pria yang sebentar lagi menjadi Hot Papa ini memijat pangkal hidungnya saking frustrasi menghadapi Maudy. "Memang saya enggak boleh angkat telepon milik istri saya?"

"Ya, enggak masalah, sih." Maudy jadi salah tingkah. "Tapi saya mau bicara sama T-rex."

"Ada apa?"

"Ih, mana T-rexnya, Pak?" Maudy tak mau bicara dengan Barra di saat seperti ini. Tapi ... kalau dirinya saja mendapat sambutan di Bali seolah dirinya adalah tamu penting, artinya juga Barra terlibat, kan? Lagi juga kenapa Maudy bodoh sekali tak ingat mengenai campur tangan bosnya ini. "Oke lah saya enggak jadi bicara sama T-rexnya. Saya bicara sama Bapak aja."

"Sejak tadi kamu bicara dengan siapa memangnya?"

"Hantunya Barra Herdiyanto."

"Sembarangan kamu, Maudy!" Suara Barra naik beberapa oktaf. "Dekat atau jauh kamu itu sama, ya. Menyebalkan."

"Ih, Bapak lupa kelakuan dulu macam apa? Jangan lupa, Bapak jauh lebih nyebelin ketimbang saya."

"Sudah-sudah, apa yang mau kamu bicarakan?" Barra terdengar menggeram kesal. Bicara dengan Maudy tak pernah bisa menemukan ujung yang benar. Selalu saja ada yang dibahas dan berujung pertikaian kata.

"Ini kenapa segala pakai sambutan macam orang penting aja? Saya tau, saya orang penting. Senior sales yang achive target terus. Tapi saya enggak mau kena charge karena kemewahan yang saya terima hari ini, Pak. Saya masih ingat kelakuan Bapak sama T-rex yang memeras dia enggak pakai otak."

Ketahui lah, di ujung sana Barra melongo dengan mata mengerjap heboh. Jangan tanya betapa kesalnya ia mendengar penuturan Maudy yang tanpa jeda itu.

"Saya di sini mau healing, ya, Pak. Bukan mau dijerat hutang bertumpuk lalu disuruh bayar dengan pengabdian jadi senior sales lagi. Enggak mau!"

"Yang nyuruh kamu kerja di tempat saya lagi siapa?"

"Bapak dan Pak Herman. Saya tau itu dengan jelas."

"Sudah lah bicara sama kamu bikin saya makin pusing."

"Yang nyuruh ngangkat telepon T-rex siapa?" Maudy tak mau kalah. Kali ini matanya juga melotot garang. Andai ada Barra di depannya, mungkin tatapan itu sudah membelah Barra hingga beberapa bagian.

"Siapa, Mas?" Suara Regi terdengar.

"Ini si sampo Didi kamu bikin ulah!"

What the ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro