Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[6] Healing

Berulang kali Barra memijat pangkal hidungnya. Matanya juga mulai lelah karena banyak sekali laporan yang harus ia baca dan teliti. Ketidak hadiran Bobby di sampingnya memang membuat kepalanya pening mendadak. Staff yang biasa membantu Bobby sendiri tak banyak membantu lantaran kepusingan sendiri dengan banyaknya tugas yang hadir di meja.

"Ini sudah sampai di tahap apa?" tanya Barra tiba-tiba.

Upi, nama asisten Barra terdiam. Matanya bolak balik menatap laporan yang disodorkan Barra. Lalu tanpa sadar, ia menggaruk kepalanya tanda kepusingan sendiri.

"Astaga," desah Barra pelan. "Ya sudah lah, kamu balik ke meja aja. Sudah saya pusing, nanya sama kamu jadi tambah pusing."

Upi meringis. "Maaf, Bos. Kadang Bos Bobby enggak mau berbagi kerjaan karena jarang juga di kantor."

Apa yang Upi bilang memang benar. Bobby terlalu mobile untuk dikatakan sebagai seorang asisten tapi ... ia paling kompeten yang bisa Barra miliki. Dan sekarang Bobby tak ada. Izin pulang ke Surakarta di saat Barra repot luar biasa. Apa yang bisa Barra lakukan tanpa Bobby? Tak ada juga. Segala hal banyak yang urus si Bobby, kok. Barra taunya tanda tangan, garis besarnya aja, lalu terima uang.

Selebihnya?

Bobby yang kerja.

Enak? Tidak sama sekali! Sekarang Barra baru merasakan arti Bobby Rennes dalam hidupnya. Sial sekali. Sial! Rutuk Barra dalam hatinya. Mengenai masalah showroom yang kini ia kelola lah yang paling banyak menyita pemikirannya. Sang ayah dan ibunda tercinta? Pergi ke luar negeri di saat Barra banyak sekali urusan di restoran yang ia kelola. Ia sudah diperingati sejak keberangkatan jangan mengganggu acara mereka berdua.

Tuhan! Adakah yang bisa menguatkan hati Barra sekarang?

Tak sabar, ia pun menyambar ponsel yang sejak tadi tergeletak begitu saja. Tak bisa ia biarkan kepalanya serasa dijatuhi banyak granat dan siap meledak kapan pun. Namun tangan itu tertahan di udara karena suara Bobby terngiang jelas di telinganya. Bahkan Barra bisa membayangkan bagaimana wajah itu terlihat memelas dan khawatir.

Tadinya Barra ingin mendampingi tapi Bobby mengingatkan betapa menjadi Barra Herdiyanto sekarang tidak lah mudah. Ada banyak tanggung jawab yang dipikulnya sekarang. Memang semuanya bisa teratasi tapi waktu yang ia punya mendadak sempit lantaran dirinya harus membagi perhatian dengan sang istri. Regi manjanya tak ketulungan sejak hamil dan tingkat cengengnya naik ribuan persen.

Hal ini jelas mengganggu Barra tapi ia tak bisa berbuat banyak. Bukan tak ikhlas atau tak suka. Regi sudah seperti Love yang bergelung manja tiap kali ia pulang. Dan Barra menyukai hal itu.

"Barra, gue izin seminggu ini enggak ngantor."

Barra yang baru bangun langsung melotot begitu mendapati suara Bobby di ujung sana. Kekesalannya siap muntah karena gangguan yang ia terima pagi ini. Belum juga nyawanya kumpul seratus persen tapi sudah mendengar kalao asisten terpercayanya justeru izin cuti mendadak.

"Ada apa?"

"Papa minta gue pulang."

Jika sudah bicara mengenai seorang Wicaksana, Barra tak bisa banyak tingkah. Juga kepalanya terisi mengenai rasa prihatinnya dengan Bobby. Kemarahannya karena gangguan pagi ini perlahan sirna. Berganti dengan bahu yang terkulai lemah. "Apa aja yang mesti gue lakukan?"

"Lah, lo bosnya Barra? Kok lo tanya gitu ke gue? Lo bangun dulu yang benar!"

Barra berdecak. "Gue sudah bangun karena lo yang ganggu!"

"Nah, ini Barra yang gue kenal. Yang tadi bukan."

Pria itu menggusak rambutnya yang memang sudah berantakan. "Kasih tau staff lo biar gue enggak terlalu ribet ngurus yang lainnya."

"Bukannya Om Rustam berkantor, ya? Dia mau ada meeting sama pihak Mitsui, kan?"

Bahu Barra makin terkulai. "Iya," sahutnya lemah.

"Jangan bilang meetingnya langsung di Jepang dan lo ditinggal gitu aja?"

"Lo bikin hari gue makin rusak, Bobby!"

Kalau ingat percakapan tadi pagi membuat Barra kesal juga tapi kalau bersinggungan dengan ayah kandung dari Bobby memang merepotkan. Apa yang ia minta harus segera dituruti. Kalau tidak? Barra sendiri bersembunyi di belakang Rustam saja. Ocehan Om Wicak di telinga Barra membuatnya sakit kepala mendadak. Banyak sekali aturan yang harus dijalankan mereka berdua tapi beruntung, Rustam Herdiyanto tak terlalu kaku dalam hal aturan.

"Kamu itu terlalu kolot, Wicak. Lihat anak-anak kita, lah. Mereka justeru berkembang dan hasilnya menurut kacamata ini baik."

Suatu kali mereka berdebat di mana Bobby sama sekali tak berkutik mendengar segala petuah ayahnya itu. Di mana ada Rustam dan Barra di depannya.

"Kamu benar-benar mau ke Jakarta? Tinggalkan Papa sendirian?"

"Papa ada Bik Inah, kan?" Bobby bersuara meski pelan. "Lagian hidup Bobby juga diawasi Om Rustam, kok. Enggak akan macam-macam kecuali kuliah sama seperti Barra. Kalau selalu berada di bawah jari Papa, kapan aku dewasa?"

Saat itu, untuk pertama kalinya Barra bisa melihat adanya kelonggaran dari Wicaksana yang tegas dan kolot. Dibiarkan Bobby bersama mereka selama ini sampai ia bekerja dan mencari banyak pengalaman. Sempat Barra lupakan mengenai keinginan Wicak mengenai sosok Bobby sebagai penerusnya nanti. Karena sudah lama sekali tak pernah ada permintaan 'pulang' dari Wicak.

Akan tetapi mendadak ketakutan itu mulai merayap di hati Barra. Bukan ia tak rela Bobby kembali pada tempat asalnya. Hanya saja ...

"Pak," Suara Upi membuat Barra mengerjap. "Ada tamu."

Belum juga Barra persilakan masuk, Upi sudah lebih dulu memasuki ruangan bersama seseorang yang cukup mengejutkan kehadirannya.

Irish Kasandra.

***

"Lo yakin?" tanya Regi sekali lagi. Geraknya memang agak lambat tapi tetap saja ia berusaha untuk membantu meski tak banyak. Besok Maudy benar-benar melaksanakan niatnya refreshing ke Bali. Tak tanggung-tanggung, satu bulan penuh ia habiskan waktu di sana.

Tante Sisil?

Wah bertengkar mulut dulu dengan Maudy karena keinginan anak gadisnya ini cukup kuat. Tak bisa dibujuk sembarangan tapi pada akhirnya mereka semua mengalah. Karena memang mungkin Maudy yang menepi adalah pilihan terbaik. Ketimbang gadis itu marah-marah terus juga tak jelas arah hidupnya mau seperti apa setelah resign sebagai best sales di Honda Fatmawati?

"Yakin lah," Maudy memilah satu baju kesayangannya. "Bagus kuning atau pink?"

"Pink," sahut Maudy cepat. "Tapi lo tinggal sendirian, lho, di sana. Enggak ada gue atau Tante Sisil." Regi sekali lagi membujuknya. "Lo yakin bisa?"

Maudy berdecak kesal. "Lo sekongkol sama Mami, ya? Enggak mudah bujuk gue, Rex. Gue sudah bulat tekadnya. Gue benar-benar butuh refreshing. Mampet otak gue. Diperas terus berapa lama di Honda. Lo tau sendiri, kan?"

"Tapi enggak sebulan juga, Dy, maksudnya."

"Yaelah. Berlebihan banget, deh. Sebelum lo lahiran juga gue pulang."

Regi manyun. "Eh, celana ini pas untuk di pantai, Dy." Ia pun menyodorkan satu celana pendek berbahan jeans di mana ia yakin saat Maudy kenakan, tampilannya akan semakin seksi. Agak lama sebelum Maudy memasukkan benda itu ke dalam kopernya. "Pokoknya lo harus terus kabarin kita, ya. Jangan enggak."

"Beres," sahut Maudy dengan cengiran lebar. "Lo enggak perlu khawatir. Tempat tinggal gue sudah terjamin keamanannya. Lagian laki lo juga benar-benar, deh. Masa iya segala catering aja disiapin sama restorannya. Macam gue enggak punya uang aja," sungut Maudy. "Gue itu mau wisata kuliner juga di sana."

"Lo, ya, bukannya makasih malah ngeluh aja. Itu tuh bentuk perhatian Barra buat staff-nya yang oke macam lo. Belum tentu yang lainnya dapat benefit begitu."

Maudy ngakak yang mana membuat Regi mencibir galak. "Iya-iya. Sampaikan makasih gue ke Boss Barra, ya," kerlingnya jahil.

"Ucapkan sendiri, ah. Males gue. Bukan penyambung lidah."

Sekali lagi Maudy tertawa.

"Tapi, Dy," Kali ini Regi memperlihatkan keseriusannya bicara. Ia menoleh dan menggenggam tangan Maudy dengan erat. Hal ini membuat Maudy mengernyit heran. Tak biasanya Regi begini. "Lo ... enggak ada masalah yang ditutupi dari gue, kan?"

Maudy menatap lekat sosok sahabatnya ini lalu tersenyum lebar. Menggeleng cepat juga penuh ketegasan di sana. "Enggak, kok. Gue serius. Enggak ada yang gue pikirkan. Gue memang mau resign. Mau menjajal dunia kerja baru tapi nanti setelah gue benar-benar refresh gitu. Yah ... selama ini, kan, gue jarang banget ngambil cuti. Lo tau sendiri, kan, kita mesti berhemat?"

Regi terkekeh mendengar ucapan Maudy. "Hemat dalam dunia kita itu bagaimana, ya?"

"Sialnya bukan hemat tapi borosnya melebihi kaum sosialita kasta atas."

Mereka tertawa bersama.

"Tapi gue minta maaf banget, ya, enggak bisa antar lo ke bandara."

Di sela tawanya, Maudy menggeleng pelan juga mengontrol bicaranya. "Santai aja, lah. Gue diantar Mami, kok."

"Tadinya gue pengin minta tolong Bobby antar gue ke bandara,"

Belum selesai Regi berkata, Maudy sudah keburu menyela. "Ngapain? Buang-buang waktu aja."

Regi tak segan menjitak kepala temannya itu yang mana langsung direspon dengan pekikan sakit serta lirikan tajam. Andai sahabatnya ini bukan dalam keadaan hamil, sudah pasti Maudy balas perlakuannya. Biasanya kalau mereka adu balas seperti ini, yakin lah, korban tak berdoa bernama bantal yang bercecer isinya menjadi sasaran paling empuk dari keganasan tingkah mereka.

"Niat baik gue selalu aja lo mentahin. Heran gue!" salak Regi dengan sorot kesal.

"Kalau lo antar gue sama Bobby, gue malas, lah. Ngapain coba?" Maudy melipat tangannya di dada. "Lagian, Rex, mending lo di rumah. Kondisi lo juga kadang drop kadang sehat. Hargai lah pas lo sehat dan enakan gini. Gue enggak tega lihat lo kadang pingsan dan lemah," kata Maudy dengan prihatin. "Gini-gini yang di dalam perut buncit lo ini, ada ponakan gue tauk!"

Yang Maudy katakan itu benar. Sebagai seorang sahabat bagai kepompong ini, menjaga salah satunya tetap sehat dan waras itu perlu. Apalagi Regi tengah hamil juga mertuanya cerewet luar biasa meskipun baik hati dan kaya raya.

"Iya, Bawel! Kayak Mama lo, ah!"

Maudy tergelak. Dalam hatinya ia selalu bersyukur akan penerimaan keluarga Herdiyanto pada Regi. Barra yang tulus menyayangi dan mencintai sahabatnya. Ah ... itu sudah lebih dari cukup dari doa-doa Maudy yang dikabulkan Tuhan. Dion? Alah! Ke laut aja!

"Beruntungnya lo. Gue enggak diantar sama Bobby, kok. Dia lagi pulang kampung."

Maudy berdecih. Tak peduli dan bukan urusannya mengenai Bobby. Memangnya dia siapa? Orang yang tak penting yang mendadak hadir di hidupnya ini. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro