Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[4] Kerja dulu, baru makan

Mobil sudah berada tepat di pelataran parkir rumah Barra. Yang mana sering dikunjungi Bobby saat tahap renovasi. Tak pernah terbayang dalam benak Bobby kalau pria seperti Barra yang ribetnya minta ampun itu akhirnya menikah. Terbayang jelas pesta pernikahan saudara plus sahabat lekatnya itu berlangsung. Ada saja yang bikin Bobby kepalanya mau putus saking tak menduga kenapa bisa Barra bertingkah menyebalkan begini?!

Memang bukan perkara yang besar tapi tetap saja ia yang dibuat repot dan harus menyesuaikan dengan pihak WO yang menangani. Belum lagi permintaan Rere Herdiyanto di menit terakhir sebelum berlangsungnya acara. Bobby benar-benar tak habis pikir dengan mereka berdua. Ia sangat beruntung pihak WO sangat professional menangani klien banyak mau seperti mereka.

Ibu dan anak sama saja kelakuannya. Merepotkan!

Sebenernya ini komplek dekat dengan rumah Tante Rere. Bobby juga suka berkunjung ke sana malah punya kamar sendiri di rumah utama Barra. Baik Rere atau Rustam, sudah menganggap Bobby anak kedua mereka. Sejak awal kuliah dulu, Bobby memang tinggal di sana. Bukan lantaran hubungan saudara saja tapi memang hanya Bobby yang mampu mengimbangi keanehan yang Barra miliki. Makanya kenapa Rere dan Rustam senang sekali kalau Bobby akhirnya mau ke Jakarta meskipun ada drama.

Buat Bobby, Barra itu teman, musuh, saudara, sahabat, juga rekan kerja yang menyebalkan juga mengasyikkan. Termasuk mulutnya yang terkadang membuat Bobby ingin sekali memberi bon cabe level sepuluh. Apalagi hobinya yang membuat kernyitan di dahi Bobby makin banyak dan dalam.

Mulai dari maskeran, luluran, belum lagi krim siang dan malam. Oh, satu lagi jangan pernah lupakan kalau Barra punya pelembab bibir yang katanya bisa membuat bibir miliknya selalu lembab. Ya Tuhan! Bobby terkadang bergidik ngeri dengan hobi dan kesukaan sepupunya ini. Namun di atas semua itu, Barra adalah makhluk Tuhan berjenis kelamin pria yang normal dan waras.

Buktinya bisa membuat Regi hamil. Artinya ... milik Barra teruji klinis kemampuannya, kan?

Sebelum ia benar-benar membuka pintu mobilnya, sekali lagi, benar, sekali lagi Bobby menarik napas panjang. Mengisi paru-paru dengan banyak udara karena yang akan ia hadapi bukan hanya Rere, Regi, dan Barra. Syukur untung kalau ada Rustam yang menjadi kubu menyenangkan di antara mereka bertiga. Tapi juga satu sosok yang tak bisa ia pungkiri keberadaannya; Maudy Senandika.

Gadis itu sudah terkonfirmasi ada di dalam rumah Barra. Belum bisa Bobby lupa bagaimana serangan kedua dari Maudy perkara ciuman khilafnya. Padahal dia sendiri tau kalau Maudy membalas tiap sentuhan yang menari di atas bibir mereka itu. Sial betul kenapa dirinya yang kena hajar dan disalahkan?

Kalau mengingat hal itu, membuat Bobby semakin bergidik ngeri. Tapi ia tak bisa mundur, kan?

Langkahnya memasuki gerbang rumah bercat hitam, bahkan dari depan saja sudah terdengar senda gurau di dalamnya. Sebenarnya Bobby menyadari kalau Maudy ini gadis yang mengasyikkan hanya saja ... ia butuh mengusap dada. Gadis itu kelewat ketus kalau berhadapan dengannya entah diawali karena apa. Sampai sekarang ia tak tau salahnya apa selalu mendapat lirikan tajam, kata-kata sinis, belum lagi tatapan enggan seperti Bobby ini virus paling mematikan di dunia.

"Eh, sudah datang!" sambut Barra begitu melihat sosok Bobby tepat di ambang pintu rumahnya. "Mukanya biasa aja, lah. Enggak perlu merasa terpaksa gitu."

"Siapa yang terpaksa?" Kali ini suara Rere yang menginterupsi. Di tangannya terdapat nampan berisi camilan serta beberapa potong bolu berlapis keju. Bobby langsung saja melotot karena kesukaannya ada di sana.

"Wah, Tante enggak perlu repot siapin aku gitu," kata Bobby dengan cengiran lebar. "Tau aja aku laper. Tadi habis meeting gantiin Barra enggak dapat makan."

Rere terperangah. "Benar begitu, Barra?"

Barra melotot tajam. Kalau saja tak ada Regi di dekatnya sudah pasti Barra akan mencekik sepupunya itu sampai meminta ampun. Enak saja! Bicara asal sekali si Bobby ini! Belum pernah mendapatkan potongan gaji karena memberikan informasi palsu mengenai bosnya, ya? "Mama percaya sama Bobby?"

"Yah siapa tau aja kamu benar-benar lupa beri uang bensin sama Bobby karena buru-buru pulang," sindir Rere dengan telaknya. Yang mana membuat Regi melongo.

"Memangnya salah, ya, Ma kalau buru-buru pulang?"

Regi dan kepolosannya. Yang mana membuat Barra gemas sekali. Andai tak ada Bobby dan ibunya di ruang tamu, mungkin bibir berpemulas pink itu sudah dilumat habis tanpa sisa.

"Sudah-sudah. Enggak usah terlalu banyak bicara. Bobby laper, Tante. Ada makanan apa?"

"Itu di meja makan sudah ada ikan bakar. Sambelnya mantep banget, Bobby. Kamu musti coba."

Mata Bobby berbinar. Makan termasuk kegiatan yang ia sukai selama ini. Yang paling cocok di lidahnya adalah masakan Rere. Mungkin karena sejak lama ia terbiasa ada di dekat wanita yang berpenampilan nyentrik itu. Meski bibirnya sering kali bicara asal, tapi Bobby memahami kalau Rere dan kasih sayangnya itu besar. Sosok ibu yang telah lama tiada dari sisi Bobby digantikan dengan sempurna oleh Rere Herdiyanto.

Makanya Bobby tak pernah mengeluh bagaimana pun tantenya bersikap. Kecerewetan dan ribetnya Rere sudah menjadi makanan keseharian hidup Bobby.

"Yang lain sudah makan memangnya?"

"Sudah." Kompak mereka menjawab yang mana mendapatkan cibiran dari Bobby.

"Gitu, kok, bilangnya makan bareng. Ini sama aja aku yang makan belakangan," dumelnya tapi tetap melangkah ke dapur dengan riang. Di ruang tamu tadi, tak ada Maudy duduk di sana. Bisa jadi gadis itu sudah pulang. Syukur lah. Setidaknya ia tak perlu bertegur sapa penuh sindiran saat di depan Maudy.

Entah kenapa, tiap kali di depan Maudy, radar bicara Bobby mendadak naik beberapa oktaf. Juga geram dan kesalnya makin jadi apalagi kalau gadis itu tak bisa sama sekali mendengarkan apa yang ia katakan. Selalu saja dibantah. Dimentahkan seolah Bobby ini bodoh sekali.

Meskipun ia akui kalau terkadang, beberapa ucapan Maudy itu benar dan relevan, ya. Diakui mesti tanpa kata kalau gadis urakan itu memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Begitu ia membuka tudung saji, aroma bumbu ikan bakar menyeruak masuk menggoda indera penciuman Bobby. Rasanya air liur sudah menetes deras. Selera makannya pun naik ribuan persen. Segera saja ia ambil nasi yang tersedia di sudut meja makan. Namun ...

"Ngapain lo di sini?"

Mata mereka bersirobok. Tampang Maudy terlihat masih menyimpan kesal. Tangannya terlipat di dada serta matanya menatap Bobby dengan tajamnya. Juga sorot itu terbaca jelas rasa tak sukanya pada Bobby. Sementara Bobby tampak terperangah. Ia pikir gadis itu sudah pulang tapi ternyata ... ia sedikit melupakan kalau hubungan Maudy dan istri bosnya itu lebih lekat dari sekadar lem.

"Makan," sahut Bobby singkat. Geraknya mengambil nasi ia lanjutkan. Tanpa dosa. Tanpa merasa bersalah juga. Tak peduli kalau Maudy masih memberikan tatapan laser ke arahnya. Toh, ia tak salah. Makan di rumah Barra yang notabenenya adalah saudaranya. Lagi juga ia ditawarin makan, kan? Tak asal ambil piring mesti ia tak peduli tak ditawari makan.

Bagi Bobby, makan di rumah Barra atau Rere tak pernah jadi soal dan kesungkanan tersendiri.

"Enak banget, ya. Datang langsung makan."

Bobby terdiam. Matanya menoleh sinis pada gadis yang masih melipat tangannya di dada.

"Gue, lho, di sini bantuin Tante Rere masak dulu. Biar enggak disangka makan gratis aja bisanya."

Mulut Bobby menganga lebar. Sendok nasi yang tadi ia genggam, terhenti di udara. Piringnya juga. Pokoknya karena ucapan Maudy barusan, semua gerak Bobby seketika terhenti seperti kehabisan baterai penggerak.

"Oiya, gue sengaja nyisain kerjaan untuk lo, sih." Maudy menyeringai. "Tuh, di tempat cucian piring kotor. Semuanya lo yang harus bersihkan."

"Kenapa gue?" tanya Bobby tak mengerti akhirnya bersuara juga. Itu pun ia berusaha menormalkan diri terlebih dahulu.

"Lho, iya. Jangan mau enaknya aja, lah. Lo datang tinggal makan. Gue sejak tadi kepanasan dan capek nyiapin makan. Masa tinggal cuci piring aja masih ngeluh."

"Ini Tante Rere yang masak. Lagian ada Mbak Ica. Dia ada di sini untuk bantu pekerjaan rumah, kan? Kenapa mesti gue?" tanya Bobby dengan nada tak terima. "Sudah lah gue mau makan dulu. Dengar lo bicara bikin selera makan gue ilang."

Maudy berdecak dan merotasi bola matanya. Lalu menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Matanya belum jua mau pergi menatap tiap gerak Bobby di depannya. Hal ini jelas membuat Bobby agak risih jadinya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kenapa apa?"

"Kenapa lo lihat gue dengan cara seperti itu?"

Seringai tercetak tipis sekali di sudut bibir Maudy. "Mau ngeliat bagaimana cowok enggak tau malu makan di depan gue."

***

Bobby sudah tak tau bagaimana caranya menyingkirkan kesal yang ia punya. Bukan karena lelah mencuci piring makan serta perlengkapan masak yang tadi ditunjuk Maudy. Tapi ucapan gadis itu benar-benar menyulut emosinya. Bahkan sampai ia tiba di apartement yang ditinggali, geramnya itu belum jua hilang. Oh, jangan lupakan keberadaan gadis itu di mobilnya untuk pertama kali.

Rere menawarkan untuk menginap di rumahnya. Katanya juga sudah lama tak bicara santai dengan Rustam. Tawaran itu memang menarik tapi suasana hati Bobby tak bagus hanya karena Maudy. Ketimbang dirinya nanti bicara asal dan obrolan mereka jadinya tak asyik lagi, Bobby memilih undur diri. Dan alasan paling jitu yang bisa Bobby katakan, "Besok masih harus damping Barra meeting di sana sini, Tante."

"Kamu pasti repot banget, ya, Bobbby." Rere tampak prihatin menatap Bobby yang baru saja izin pamit pulang. "Barra juga memang perlu dibantu sama kamu, sih, ya."

"Ya begitu lah, Tante." Bobby nyengir. Izin pamitnya tak lagi mendapat larangan. Ekor matanya juga menangkap kemesraan yang kini mulai terbiasa hadir di matanya. Ia tak menyangka juga kalau Barra bisa bersikap semanis itu pada Regi. Padahal awal pertemuan mereka? Demi Mars yang Bobby belum pernah pijaki, mereka bagai dua magnet yang bertolak belakang.

Agak kasihan juga Bobby melihat Regi saat itu. Dimanfaatkan dengan baik dan benar oleh sepupunya sendiri. Terikat perjanjian gila yang sampai saat ini kalau Bobby baca ulang, rasanya ingin terbahak kencang. Kalau saja Tante Rere tau, ia tak bisa membayangkan semurka apa wanita paruh baya itu.

Setidaknya ia makan kenyang malam ini juga ada tentengan yang bisa dibawa dan ia santap ketika pagi nanti. Semuanya sudah ia masukkan ke lemari pendingin yang ada di dapurnya. Namun langkah itu terhenti saat Barra seenaknya memanggil dan meminta sesuatu.

"Lo antar Maudy pulang, ya. Kasihan dia pulang sendirian."

"Hah?" Bobby melongo sementara Maudy berdecak kesal.

"Gue masih sanggup, ya, Pak Barra yang caem buat bayar taksi. Enggak perlu dapat tebengan dari Rennes ini."

Bobby makin tadi terperangahnya. Sejak kapan nama belakangnya disebut dalam panggilan seperti ini? Sudah begitu nadanya terkesan meremehkan sekali. Ditambah gadis yang baru menyebut nama belakangnya itu tampak kesal dan tak terima.

Hei! Seharusnya itu yang Bobby rasakan. Bukan kebalikannya!

"Ini sudah malam, Maudy. Enggak baik pulang sendirian gitu. Sudah, Bobby aja yang antar." Kali ini yang bicara bukan lagi Regi atau Barra. Tapi Yang Mulia Permaisuri Rere Herdiyanto. Di mana ia pun sedikit menarik Maudy pada bagian lengan gadis itu. Tak peduli kalau ada keluhan tak terima karena tingkah Rere barusan. Penolakan jelas meluncur dari bibir gadis itu.

Lagian bukan hanya Maudy yang menolak, kok. Bobby juga! Dia diam untuk mencerna bukan menyetujui dengan percuma! Enak saja!

"Antar Maudy, Bobby. Jangan diturunkan di jalanan. Mobilnya masuk bengkel, kan? Iya, kan, Maudy?"

Maudy meringis risau.

"Pokoknya kalau Tante tau kamu macem-macem sama Maudy atau galak sama dia, Tante sunat sampai habis!"

"Tante!!!" pekik Bobby tak terima. Tapi tak bisa juga menolak kalau begini caranya.

Sial sekali dirinya yang hanya makan malam ikan bakar tapi mendapat musibah berturut-turut. Hal ini membuat Bobby berpikir ulang untuk mengunjungi rumah Barra lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro