Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[35] Ngemall bareng Maudy. 2

Barra tampak terkejut ketika Bobby masuk ke dalam ruangannya. Bukan karena tanpa permisi, itu sudah biasa Bobby lakukan selama bekerja dengannya. Di mana-mana seorang asisten minimal mengetuk pintu terlebih dahulu, setelah diizinkan masuk, baru lah ia melangkah memasuki area ruangan. Tapi ini Bobby. Yang mana aturan itu tak berlaku untuknya.

"Ini semua sudah beres, Bos. Pihak Somerset akhirnya deal. Gue mainkan harga dasarnya aja. Kalau enggak gitu mereka enggak mau deal. Enggak mau diambil tapi proyek besar, diiambil bikin kepala gue mau copot," keluh Bobby sembari menaruh bokongnya di kursi yang ada tepat di depan meja Barra.

"Hamdalah masih utuh," seloroh Barra dengan cepatnya. Ia juga langsung menarik laporan yang Bobby berikan. Matanya segera sibuk mengamati satu demi satu lembaran yang Bobby berikan. Sedikit banyak memberi waktu untuk Bobby bersandar di kursi tadi. Dari ekor matanya, Barra bisa melihat kalau asisten slash sepupu juga sahabatnya ini terpejam. "Lo begadang?"

Tanpa perlu membuka mata, Bobby mengangguk.

"Pikirkan diri sendiri juga, lah. Jangan terlalu diporsir."

"Setelah Somerset gue cuti enggak bantuin lo."

Barra berdecak kesal. "Enggak gitu juga, Bob. Jangan gila, deh. Regi sudah mendekati hari H-nya."

Mendengar hal itu membuat Bobby membuka matanya, lalu tergelak dengan serunya. "Gue jadi Om paling ganteng sejagad pokoknya."

"Terserah!"

"Nanti gue buatkan buket masker untuk anak lo, ya."

Pulpen yang ada di depan Barra tepat mengarah pada kening Bobby. Dan voila! Tak butuh waktu lama bagi Barra mendengar pekikan sakit dari Bobby. "Bos Sinting!!!"

"Tapi gue serius, Bob, jaga kesehatan. Jangan tumbang dulu. Pekerjaan lo masih banyak."

Sembari mengusap keningnya yang ia yakin memerah, Bobby mencibir. "Iya, gue paham. Asal jangan over load ke gue."

"Sudah mulai gue alihkan, kok." Barra nyengir. "Lo tenang saja. Kita bisa fokus ke investigasi lanjutan."

"Harus." Bobby menegakkan punggung, mulai bicara dengan arah yang jauh lebih serius. "Mereka pakai jalur kotor. Gue enggak tahan sebenarnya tapi bagaimana, ya? Susah ditembus di bagian Bringharja terutama keluarga Kalawirang."

Barra menghela pelan. "Semua bala bantuan sudah dipakai?"

"Lo pikir kita main kuis who wants to be a millionaire?"

Demi Bumi yang menjadi tempat mereka berpijak, Barra ngakak! Di saat seperti ini Bobby masih bisa menanggapi dengan guyonan? Luar biasa!

"Kita billionaire di era millennial, Bob, kalau lo lupa."

Bobby mengangguk sembari mengajungkan jempolnya. "Setuju!"

"Balik lagi ke topik utama. Ada satu hal yang bisa lo lakukan sebenarnya."

Kening Bobby berkerut, matanya menatap intens pada Barra yang menampilkan seringai liciknya. "Enggak-enggak! Jangan gila, ya. Gue enggak mau melakukan hal itu!"

"Cara kotor dibalas dengan cara kotor, Bob. Ini peluang. Semua sudah kita kerahkan tapi sedikit lagi untuk bisa membuktikan apa yang kita duga, kan? Gue tau, kita sudah bisa membuat asumsi dan itu real terjadi. Tapi apa bisa kita buktikan? Enggak, Bob. Kita kekurangan bahan. Yang kita lawan ini bukan hanya Papa lo yang kolot. Tapi orang-orang di sekitarnya yang mau mengusai Om Wicak. Lo harus sadari itu."

"Tapi ... gimana Maudy? Gue enggak bisa, Barra," protes Bobby dengan raut tak suka.

"Ini hanya saran, Bob, bukan harus lo lakuin segera."

Bobby terdiam.

"Ada kalanya, kita harus melumuri diri dengan racun di antara sekumpulan ular. Setelah mendapatkan apa yang kita mau, baru kita bongkar semuanya."

Bobby menghela kasar.

"Lo sudah bertanya ke Tante Sisil? Kira-kira dia punya senjata apa lagi?"

Mata Bobby dialihkan dengan segera, pikirannya melanglang buana dengan cepatnya.

"Kalau kita terbentur enggak bisa bergerak lagi, hanya itu cara satu-satunya, Bob."

"Maudy?" Sekali lagi Bobby menegaskan mengenai sosok gadis yang kini terbayang di pelupuk matanya.

"Gue yang urus. Dia pasti dengarkan ucapan Regi. Lo tenang aja."

"Gue enggak yakin, Barra," lirih Bobby.

"Lo cinta sama Maudy?"

"Iya, lah," jawab Bobby dengan tegasnya. "Lo kalau tanya pakai aba-aba, dong. Pertanyaan murahan gitu, kok, lo tanyakan ke gue."

"Menegaskan, Bob," Barra sama sekali tak kesal mendengar ucapan Bobby barusan. "Kalau lo cinta, ada pengorbanan yang harus lo beri."

"Tapi bukan seperti ini caranya, Barra," sanggah Bobby dengan cepatnya. "Gue yakin bakalan ketemu cara dan bukti yang bisa menjerat orang-orang yang terlibat di masa lalu ini, kok."

"Semoga aja. Gue bicara ini karena ada kemungkinan terburuk yang bakalan terjadi."

Agak lama mereka saling terdiam, sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Gue enggak mau melihat luka di mata Maudy, Barra. Bahkan gue enggak sanggup kalau sampai melihat dia menangis. Gue mau ... kalau pun dia menangis itu air mata kebahagiaan."

"Wujudkan," tukas Barra dengan cepatnya.

"Lo ngasih saran gue enggak pakai mikir atau apa, sih?" cibir Bobby dengan kesalnya. "Tanpa perlu lo suruh, pasti gue wujudkan."

"Gue cuma takut keadaan berbalik menyerang kalian semua, Bob." Barra menatap lekat sahabatnya ini. "Tapi ... kalau pun itu terjadi, Papa Rustam turun tangan. Papa pasti enggak terima lo diperlakukan seenaknya di sana."

"Thanks, Barra. Lo terbaik."

Senyum Barra tertarik sekilas. "Gue sudah bahagia dengan Regi. Sekarang giliran lo merasakan apa itu bahagia. Apa itu menikah dengan orang yang kita cintai."

"Bobby's wedding sponsored by Barra Herdiyanto."

"SIALAN!!!"

***

Ada banyak hal yang bisa membuat Maudy lelah terutama mengenai masalah pekerjaan. Meski ia cinta tapi tetap saja, ada beban tersendiri yang menguasainya. Ditambah, ia masih ingat bosnya yang mirip celengan semar itu, Herman, selalu bertanya mengenai target yang ia capai. Apa sudah memenuhi atau belum apa yang Herman minta padanya.

Tapi itu rutinias ia beberapa bulan lalu. Sekarang? Walau ada rindu berkutat dengan banyak target marketing tapi tak sebesar perasaan lelahnya sekarang. Di mana ia bebas tertawa dan bercanda bersama anak-anak panti di bawah asuhan seorang Ningrum Linda Sari. Peluhnya juga sudah banjir di sekitar kening dan rambut yang tergerai sudah tak keruan lagi bentuknya. Namun lelah ini sangat menggembirakan.

Ia berlari ke sana ke mari sekadar untuk mengimbangi permainan mereka. Bagi Maudy, bermain bersama anak panti adalah suntikan energi yang positif. Ia butuhkan hal itu untuk menghadapi apa yang nantinya terjadi dalam hidup yang mendadak tak biasa miliknya ini. Tidak. Sama sekali ia tak menyesali sudah menjatuhkan pilihan akan cintanya pada sosok Bobby Rennes. Justru ia merasa, apa yang diperjuangkan memang layak.

Bukan juga mengenai masalah yang melingkari hubungan mereka berdua, yang ternyata penuh dengan intrik dan drama. Padahal sepanjang hidup Maudy, ia malas sekali berurusan dengan drama. Apa pun itu. Bahkan gosip di sekitaran Honda Fatmawati saja enggan ia telusuri. Sebatas tau dan menjadi bahan obrolan lain dengan Regi, itu lain soal. Tapi larut di dalam gosip itu?

Bukan Maudy sekali.

Karena satu hal yang pasti; dirinya bahan gosip tersebut!

Bersama Regi tentu saja. Siapa yang tak mengenal duet maut memperebutkan banyak customer dan selalu tembus berapa pun target yang diberikan? Banyak kabar miring mengenai mereka berdua, mulai dari yang positif sampai yang negative. Kadang kalau Maudy tak terlalu banyak pekerjaan dan janji temu dengan calon customernya, ia dengan rela hati dan kerendahan diri meladeni orang-orang yang bergosip dengannya.

Tak jarang juga, karena tingkah Maudy ini, ia sering mendapat peringatan dari Herman. Tapi tetap saja, Herman hanya sebatas memperingati. Selama Maudy tak memainkan tangannya, tindakan kasarnya, Herman masih memaklumi. Karena ucapan serta asumsi orang lain mengenai Maudy dan Regi memang agak keterlaluan.

"Udah-udah," kata Maudy dengan napas tersengal. Tangannya terangkat sempurna. menyerah. "Aunty Dy kalah. Kalian menang."

Sorak sorai lantas terdengar riuh sekali. Banyak dari anak-anak tadi memeluk Maudy yang tampak terhuyung karena tingkah mereka barusan. Di sudut lain, tampak wanita paruh baya yang duduk dengan senyum teduhnya. Matanya tak pernah dilepaskan dari sosok yang menjadi sentra anak-anak asuhannya. Ia cukup beruntung bisa melihat gadis itu tubuh dewasa dari tahun ke tahun. Banyak kisah yang mereka bagi di sela kunjungan sang gadis.

"Aduh, Bu," keluh Maudy dengan cepat. Entah bagaimana caranya ia melepaskan diri tapi yang jelas, ia berjalan agak tertatih sembari memegangi pinggangnya. "Ini, sih, aku terpaksa olah raga namanya."

"Kamu sudah tua berarti, Dy," kata sang wanita paruh baya itu.

"Yaelah, Bu. Baru juga dua-lapan. Masa iya segitu tua, sih, Bu?" Maudy tanpa sungkan duduk di samping sang wanita. Ningrum Linda Sari terkekeh karena tingkah Maudy barusan. Kunjungan Maudy bisa dibilang mendadak sekali.

"Bagaimana liburan kamu, Dy?" tanya Ningrum yang mendadak teringat mengenai keberadaan gadis bertubuh mungil ini, ia tengah berada di Bali. Menikmati liburannya yang panjang setelah bertahun-tahun berkutat dengan kesibukan yang mungkin sudah membuatnya jenuh.

"Yah, namanya juga liburan. Senang-senang, main di pantai juga. Eh ... Ibu lihat, kan, kulit aku agak berubah?"

Ningrum hanya mengangguk saja, masih dengan senyuman karena keriangan Maudy ini memang menularinya dengan cepat.

"Oiya, aku bertemu Malik, Bu," Binar mata Maudy semakin menyala. Banyak kisah ia bagi mengenai Malik di sana. Meski tak banyak, tapi setidaknya, Maudy pernah menghabiskan waktu bersama pria itu, kan?

"Syukur lah akhirnya kalian bisa bertemu, ya. Malik sering tanyakan kamu, Dy." Rambut Maudy ia usap lembut. "Maaf, Ibu enggak bisa bicara mengenai Malik ke kamu."

"Kalau Tuhan enggak ikut campur mengenai pertemuan enggak sengaja itu, mau sampai kapan Ibu sembunyikan keberadaan Malik dari aku?" tanya Maudy dengan sendu. Keceriaannya menghilang sejenak. "Pasti Ibu tau alasannya, kan?"

Ningrum memilih tak menjawab. Ia hanya tersenyum sembari kembali mengusap puncak rambut Maudy. "Ada hal yang enggak butuh diungkapkan, Dy. Biar menjadi rahasia dan ditutup rapat. Lagi pula, kamu sudah memiliki hidup sendiri, kan?"

"Tapi tetap saja, rasanya enggak adil. Aku menunggu bisa ketemu Malik dan bertanya kenapa pergi begitu saja. Kenapa ninggalin kita semua. Ninggalin Ibu juga saat itu."

"Kamu masih marah?" tanya Ningrum dengan sorot menyelidik. Pada gadis yang kini tampangnya tertekuk masam. Sorot mata gadis itu tampak kecewa. Meski Ningrum nantinya akan mengatakan kejujuran tapi rasanya sudah sangat terlambat. Yang bisa wanita itu lakukan hanya menghela panjang. "Maafkan Ibu, Dy."

"Sudah lah. Seenggaknya aku tau kalau Malik baik-baik saja."

"Maafkan Ibu yang enggak mengerti perasaan kamu, Dy."

Maudy terkekeh. "Tau apa Ibu tentang perasaan aku?"

"Kamu suka dengan Malik, kan, sejak dulu?" Ningrum bertanya selayaknya seorang ibu yang menginginkan kegembiraan datang lagi di wajah sang putri. Meski itu cukup sulit karena dia lah orang yang ikut andil menutup kenyataan yang ada.

"Mungkin iya, mungkin juga enggak." Maudy bangun dari duduknya. Ia berdiri memunggungi wanita paruh baya yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya. "Namanya juga gadis kesepian. Memiliki seorang teman pria yang perhatian. Saat gadis itu mulai tau arti 'suka', ternyata ditinggalkan begitu saja. Bertahun-tahun hanya ingin tau kabar terakhirnya tapi sang pria yang menutup akses, kan, Bu?" Maudy menoleh sembari tersenyum. "Ibu enggak perlu merasa bersalah dan meminta maaf. Malik sudah katakan dengan jelas alasan kepergiannya dan apa yang ia lakukan atas kepergiaannya itu."

Senyum Maudy sudah kembali di mana juga menulari Ningrum. Yang bisa wanita itu lakukan adalah merentangkan tangannya. Di mana Maudy pun merangsek masuk ke dalam dekap hangat orang yang sama pentingnya dalam hidup Maudy.

Apa yang Ningrum khawatirkan mengenai tanggapan Maudy suatu saat nanti jika berkaitan dengan Malik, hanya lah ketakutan semata. Maudy sudah jauh lebih dewasa menyikapi beberapa perubahan dalam hidupnya. Buktinya, gadis ini ringan sekali menceritakan mengenai Malik juga anaknya. Kadang ada nada prihatin karena nasib pernikahan Malik yang kurang beruntung. Tak terdengar seperti seorang gadis yang patah hati. Tapi lebih pada seorang adik yang bahagia atas hidup kakaknya di perantauan sana.

Bisa berjalan sukses dan mampu mewujudkan mimpi-mimpinya. Itu yang Ningrum rasakan lewat sorot mata Maudy sekarang.

"Bu Ningrum, ada tamu," teriak salah satu anak yang tadi bermain dengan Maudy yang mana membuat pelukan mereka terurai.

"Tamu?"

Maudy sendiri hanya mengedikkan bahu. Berjalan mendampingi Ningrum menyambut siapa tamu yang dimaksud. Alangkah terkejutnya Maudy begitu mendapati siapa yang berkunjung ke sini. Kenapa semesta punya cara yang aneh menunjukkan sebuah kebetulan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro