[31] The Power of Maudy. part 2
Maudy jelas pulang dengan senyum gembira. Hatinya juga riang dan langkahnya serasa berjalan di atas awan. Ringan gitu. Padahal badannya lelah persis seperti tersisa tulangnya saja. Bagaimana tidak, selain merekam kelompok Rasha, ia justru ikut bermain bersama mereka. Tertawa bersama dan bergembira menghabiskan waktu sampai sore tiba.
Ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Menghilangkan sisa lelah yang masih melekat di tubuhnya. Perutnya tak perlu ia khawatirkan. Bersama Joko tadi, ia makan di salah satu tempat referensi yang tak kalah enak di sekitaran Denpasar. Camilan untuk menemaninya sebelum tidur juga sudah tersediakan. Meski hanya sebatas keripik berbumbu penyedap rasa yang banyak serta soda, tapi Maudy menyukai dua penganan itu.
"Ah!" Maudy merasa jauh lebih bebas sekarang. Tak peduli ranjangnya akan lembab karena tingkah konyolnya yang merebahkan diri begitu saja hanya berbalut kimono mandi. Rambut panjangnya pun masih basah. Andai ibunya serta Regi tau kebisaannya ini pasti ocehan akan diterima sampai pagi. Untungnya mereka berjarak jadi Maudy bebas ingin melakukan apa saja sekarang.
Ponsel yang tadi ia letakkan di nakas, langsung ia sambar dan sekali lagi, foto-foto yang ia abadikan di sana ia perhatikan kembali. Terutama pada satu sosok yang ia yakini ini lah orangnya. Tersenyum sinis juga merasa konyol karena kebetulan yang sangat tak terduga terjadi dalam hidupnya. Namun ia tak banyak bertanya, berkata, atau pun sekadar mengakrabkan diri. Untuk apa? Gunanya pun tak ada. Lebih baik bermain bersama Rasha dan teman-temannya. Lebih menyenangkan.
"Ngeledekin Mas Tama, ah," katanya sembari duduk dan bersemangat sekali. Idenya memang sudah menari sejak tadi tapi ia menunggu saat yang tepat. Rasanya tak lucu dan janggal kalau mereka adu bicara di telepon serta nantinya akan dipenuhi dengan banyak tawa kalau ada Pak Jo. Sudah cukup ia tertangkap basah merindukan Bobby dan bodohnya, mulut yang ia miliki ini seolah tak bisa bekerja sama sekali.
Akan tetapi, belum juga ia sempat menggeser icon untuk menelepon Bobby, nama Regi sudah muncul lebih dulu di sana. Mencibir tapi kemudian tersenyum riang pada akhirnya itu lah yang Maudy kerjakan.
"Hai, Bebs," kata Maudy dengan nada dibuat seimut mungkin.
"Untung gue sudah siap kalau lo bertingkah aneh." Regi di sana berdecak. "Astaga! Kebiasaan lo buruk banget, ya, Dy. Kalau begitu lo bisa pusing bangun pagi nanti! Keringkan dulu rambutnya."
"Berisik!"
"Gue ngasih tau!"
"Ibu hamil dilarang cerewet dan galak. Nanti anaknya mirip Love," ledek Maudy.
"Keong Racun!"
"Apa Dinosaurus?"
Regi kembali berdecak tapi kemudian tertawa. "Kangen tau!"
"Sama. Tapi tenang, Minggu pagi gue terbang ke Jakarta. Sore kita sudah bisa ketemu. Kita ghibah bareng. Dan oiya, gue punya kabar baik!" pekik Maudy tak sabar. "Gue sudah dapat pekerjaan."
"Hah?"
"Iya. Di Djena Grup. Gue ketemu ownernya langsung dan ditawari posisi asisten manager marketing."
"Memangnya lo bawa CV? Segala macam tentang kualifikasi lo gitu? Diwawancara di tempat? Serius?"
"Please, lah. Zaman canggih. Ponsel gue pintar. Otak gue apalagi. Gue tinggal interview babak akhir. Lagi juga psikotest itu kan hanya formalitas. Gue kerjakan sambil latihan nari tadi."
"Dy, serius sedikit kenapa."
"Iya. Gue serius. Lagian lo dengar kata-kata gue enggak, sih? Itu baru penawaran. Gue masih banyak seleksinya. Gila aja gue kalau langsung bertemu owner, dia cocok, gue langsung kerja. Gue anaknya sultan memangnya?"
Regi terbahak di sana. "Astaga, gue sudah serius banget tanggapinya."
"Makanya jangan lemot."
"Ih, gue enggak lemot, ya."
"Cuma lambat berpikir."
"Sialan!"
"Lo bisa ngomong gitu. Enggak ada Bos Barra memangnya?"
"Belum balik."
Maudy langsung mencibir, dibenahi caranya memegang ponsel. Agar dirinya lebih rileks serta bisa mengeringkan rambutnya yang masih cukup basah ini. "Pantas aja bibir lancar banget misuh-misuh."
"Biar aja." Regi terlihat menjulurkan lidahnya. "Eh, lo enggak mau kerja di Honda lagi? Lo sudah aman dan sejahtera damai dengan Bobby, kan? Kenapa enggak balik lagi?"
"Dan tetap di jabatan lama? Enggak, Rex." Maudy tampak sedikit lebih serius menanggapi hal ini. "Gue mau berkembang, lah. Masa gitu aja. Gue ke Bali itu benar-benar melepas penat biarpun makin pening karena Bobby."
"Ya ampun, pacar lo kasihan banget disalahin mulu. Kalau kangen aja, rusuh banget."
"Bibir bisa enggak, sih, direm kejujurannya? Polos banget kalau ngomong."
"Ketimbang lo terlalu manis kalau bicara padahal aslinya pahit macam mengkudu."
"Sialan!!!"
Mereka tertawa bersama setelahnya.
"Tapi boleh lah alasan lo. Masuk akal. Gue kalau boleh kerja lagi juga maunya yang berbeda bidangnya gitu. Nyobain hal baru."
"Kan, udah, Rex. Lo lupa? Jadi ibu rumah tangga yang baik dan benar. Bidangnya beda, kan? Hal baru juga pasti banyak yang lo lakuin. Di dapur mungkin. Kolam renang lo yang besar itu. Atau di balkon? Sudah belum?"
"Gue yang sudah nikah enggak semesum lo, ya, bicaranya. Lo ini benar-benar harus ketemu pawangnya biar waras."
Maudy makin jadi tergelak. "Gue hanya mengutarakan kebenaran, Rex."
"Kenapa kita ngomong banyak melantur? Gue itu mau tanya apa maksud foto yang tadi lo kasih ke gue? Gue disuruh nilai cantik mana? Cantikan cewek yang tinggi itu, lah. Lo apaan? Jauh banget kali."
"Jujurnya dikurangi seratus persen bisa kali, Rex," kata Maudy yang langsung cemberut. "Lo enggak kenal dia siapa?"
Regi menjawab dengan gelengan. Di layar ponsel itu juga terlihat sorot mata Regi yang tampak bingung. "Memang dia siapa?"
"Gue enggak tau, Tuhan lagi bermain dengan cara apa sama hidup gue. Tapi gue enggak mungkin lupa nama perempuan yang Bobby sebut sepanjang bersama gue di Bali. Juga perjodohan karena latar belakangnya."
"Untung lo enggak main jambak anak orang, ya, Dy."
"Sialan, lo," sela Maudy dengan cepatnya. "Gue enggak sampai segitunya, lah. Kecuali dia kegatelan. Boleh, deh, gue ada kepikiran seperti itu. Tapi melihat caranya dia bicara, bertindak, juga duduk aja macam dihitung, Rex. Anggun banget. Jalan aja astaga, kalem dan benar-benar diperhatikan banget gitu langkahnya. Beda banget sama gue."
"Kok gue dengar suara kalah, sih?"
"Gue? Kalah? Dari mana kalah? Jelas-jelas Bobby lebih milih gue yang serampangan ini ketimbang yang kalem bak putri keraton."
"Keturunan gadis yang dijodohkan sama Bobby memang ketururan keraton. Dari bagian mana gue enggak paham. Mas Barra jelasinnya kecepetan. Gue iya-iya aja pula."
"Bukan Bos Barra yang kecepatan tapi lo yang terlalu lama mencerna."
Regi cemberut. "Terus apa yang mau lo lakuin?"
Kening Maudy berkerut. "Lakuin? Ya enggak ada. Cukup sebatas kenal, tau kalau ternyata gadis seperti ini yang dijodohkan oleh orang tuanya Bobby yang, yah ... mungkin mereka jatuhnya sepadan, kan? Sama-sama melihat background dan pastinya banyak hal lain yang mungkin juga gue enggak masuk ke dalamnya."
Ada jeda sejenak di sana sebelum akhirnya Maudy kembali bicara. "Sepeninggalan Bobby kemarin, gue jadi banyak berpikir. Ada di dekat dia itu bikin otak gue mampet. Enggak bisa memikirkan apa yang mau gue lakukan. Kami memang sepakat untuk berjuang, tapi kayaknya gue lupa satu hal."
"Jangan bilang lo mau menyerah."
"Nope." Maudy menggeleng kuat. "Enggak gitu juga cara main gue. Lo tau, kan, kemampuan persuasif gue macam apa? Memang meluluhkan hati orang tua itu berbeda dengan make a deal sama customer untuk milih mobil yang harganya di atas budget yang mereka siapkan. Gue tau itu. Tapi gue belum mencoba. Benar?"
"Iya. Jangan dulu menyerah." Regi langsung bersemangat. "Gue dukung lo pokoknya. Enggak ada orang tua yang enggak merestui anaknya bahagia, Dy. Gue yakin itu. Kalau pun banyak hal yang butuh lo sesuaikan, semuanya juga pasti ada di fase itu. Gue bisa bicara seperti ini karena gue mengalaminya. Lo tau, kan, gimana penerimaan Mama Rere dulu? Sampai sekarang juga gue masih menyesuaikan diri. Banyak hal baru yang gue pelajari dan gue yakin, lo bisa."
Maudy mengangguk pelan.
"Tapi kenapa tampang lo seperti orang ragu? Apa yang lo pikirkan?"
"Seperti yang gue bilang tadi, Tuhan lagi bermain dengan cara apa sama hidup gue. Begitu gue dapat nama Nimas Ganeswari berikut garis keturunannya, gue enggak butuh waktu lama untuk tau nama belakangnya, kan?"
Regi di sana tampak kebingungan.
"Sampai saat ini, gue enggak tau apa memang ini rumor atau apa, Rex. Gue butuh mencari sendiri kebenaran yang selama ini ditutupi."
"Gue enggak paham arah bicara lo, Dy. Ada apa, sih?"
Maudy sempat meragu. Ia menggigit ujung bibirnya perlahan tapi kemudian akhirnya bicara juga. "Gue enggak pernah mau mengungkit masa lalu sebenarnya. Gue selalu beranggapan Bapak pergi selamanya. Meninggalkan gue sendirian di tepian pantai Ancol saat itu. Mami enggak marah. Enggak ada tangisan juga. Biasa aja. Mami hanya bilang, lupain Bapak. Bapak enggak akan pernah kembali."
"Jadi ... Bapak lo masih ada, Dy?"
"Mungkin. Gue enggak tau. Dan enggak nyari tau juga karena tiap kali gue bertanya mengenai Bapak, Mami selalu ngelak. Enggak pernah mau bicara jujur. Sampai sekarang. Gue hargai karena gue tau, bagaimana kerasnya Mami membesarkan gue. Mendidik gue. Sendirian. Tanpa ada siapa-siapa yang bantuin. Sama sekali." Mata Maudy mulai buram. "Gue sampai enggak tau siapa Tante dan Paman gue dari pihak Mami. Apalagi dari pihak Bapak. Seolah ... kami ini hanya dibuat untuk berdua aja."
Regi sampai menutup kedua mulutnya. "Lo enggak pernah cerita hal ini, Dy."
"Andai nama itu enggak muncul di laman pencarian, enggak akan gue ceritakan bagian kelam hidup gue yang kesepian ini, Rex."
Maudy diam, Regi pun sama. Meresapi waktu yang ada di antara mereka.
"Dy, lo bilang gue lemot, kan? Dalam hal ini gue setuju. Gue enggak paham sama sekali."
"Raden Ajeng Nimas Ayu Ganeswari Katon Bringharja. Itu nama lengkapnya, Rex."
"Hubungannya sama lo?"
"Gue enggak buta untuk membaca nama Bapak yang tertera di kartu keluarga, kan? Meskipun disingkat, tapi nama Katon Bringharja tertulis jelas di sana."
Regi terbeliak tak percaya.
"Jadi perang ini bukan lagi mengenai restu orang tuanya Bobby, Rex, tapi menguak satu hal yang sejak lama Mami tutupi. Yang gue yakin banget, Mami enggak akan mau membuka hal itu ke permukaan. Ada malam-malam di mana gue dengar Mami nangis. Menangisi orang bernama Katon yang gue anggap sudah mati, Rex. Menghilang dibawa ombak seperti yang Mami sering katakan ke gue. Meski gue tau itu bohong, tapi gue coba percaya."
"Ya Tuhan, Dy."
"Tapi ini mengenai restu Mami nantinya." Tanpa sadar, satu tetes air mata sudah membasahi pipi Maudy. "Gue enggak mau melanggar restu Mami. Andai nama Nimas enggak membawa nama Bringharja, gue pasti terabas. Gue yakin, kok, bisa meluluhkan hati orang tuanya Bobby."
"Pulang, ya, Dy. Gue minta Mas Barra untuk jemput lo."
Maudy tersenyum. "Enggak apa, Rex. Gue enggak apa."
"Gue enggak yakin lo akan baik-baik saja setelah ini. Lo siap-siap aja. Orangnya Mas Barra pasti nanti ke sana. Gue tunggu di Jakarta."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro