Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[26] Bimbang, kah?

"Lo sudah kirim email ke Somerset?

Bobby yang baru membuka matanya, sekali lagi mengerjap. Sebenarnya mata ini belum ingin bekerja sama. ia masih mau terpejam dan menikmati waktu liburnya. Sebentar. Libur?

"Enggak tau."

"Lo gila? Jam berapa ini? Lo bilang dikerjakan sore kemarin bisa langsung beres."

"Sorry!" Bobby menyibak selimutnya dengan cepat. Tak peduli rambutnya berantakan, hanya mengenakan celana pendek juga bertelanjang dada. Sedikit terhuyung karena masih merasa distorsi waktunya benar-benar sangat mengejutkan. "Kasih gue tiga puluh menit."

"Lo ngapain, sih, memangnya?" sembur Barra. Di ujung sana, ia sudah mengepalkan tangan kuat-kuat. "Lo yang bilang enggak butuh bantuan gue tapi begini."

"Iya, calon bapak berisik amat. Ini gue kerjain." Bobby langsung berkutat dengan laptopnya. Matanya sekali lagi ia kucek lantaran masih terasa lengket.

"Lo di mana memangnya?"

"Bali. Mana lagi. Enggak ada niat balik ke Surakarta."

"Jakarta?"

"Opsi lanjutan itu, sih."

"Lo di mana?" tegas Barra.

"Lo mau gue cepat kerjakan atau lo mau ganggu gue?"

"Jawab. Lo di mana?"

"La Joya." Bobby meletakkan ponselnya dan mengaktifkan loadspeaker.

"Sama Maudy?"

"Ya lah."

"Lo benar-benar nyari masalah. Gue sudah bilang jangan begini caranya, Bob!"

"Dan gue terima perjodohan sialan itu? Enggak, Barra. Gue tau apa yang harus gue kerjakan. Kalau nanti Papa mergokin gue sekamar sama Maudy lalu nyeret gue ke KUA, its fine. Gue terima dengan lapang dada dan rasa syukur berlipat ganda."

"Gila lo."

"Kan, gue bergaulnya sama lo. Panutan gue itu Bos Barra Herdiyanto yang selalu benar."

Barra ngakak! "Di Jakarta gue rasa lo habis digoreng Regi."

"Ya enggak lah. Sahabatnya aman dan damai, kok. Tidurnya nyenyak pula." Bobby terkikik geli. Bayang wajah cantik Maudy yang masih terpejam terus saja membayang di pelupuk matanya. "Ternyata gini, ya, rasanya tidur di samping orang yang kita suka."

"Mending lo kerja dulu baru cerita. Gue takut laporan itu isinya nama Maudy semua."

Kali ini Bobby yang tergelak. "Enggak segitunya. Gue masih bisa berpikir rasional."

"Bagus lah. Gue masih bisa mengandalkan lo berarti."

"Lo niat nyari pengganti gue? Silakan." Bobby menyugar rambutnya disertai seringai tipis. "Kalau lo bisa cari pengganti yang jauh lebih kompeten ketimbang gue, gue acungi jempol."

"Sombongnya enggak hilang-hilang."

"Barra, gue itu anak polos sebelum kenal sama lo. Bergaul sama lo yang banyak mau, banyak tingkah, keinginannya enggak boleh terbantah, juga munafik bin ngeselin, bi—"

"Lo ngedikte bos sendiri?" tanya Barra dengan nada tak percaya. "Bagus gue sayang sama lo, Bobby. Kalau enggak, lo sudah gue pecat dari lama."

"Hamdalah bikin bos Barra bangkrut."

"Sialan!!!" maki Barra tapi setelahnya ia tergelak kuat. "Sudah-sudah. Kembali ke inti pembicaraan kita."

"Gue sudah mulai kerja, ya, tapi lo ganggu terus. Mau lo apa?"

"Asisten kurang ajar!"

Pada akhirnya mereka tertawa bersama. Seperti lekatnya hubungan amplop serta perangkonya. Mereka tau apa yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindarkan tanpa banyak kata. Bertanggung jawab bagi job desk masing-masing yang mana mereka itu tengah mengumpulkan pundi uang dengan keringat sendiri. Bukan karena nama belakang mereka yang sejak lahir dibawa.

"Balik lagi mengenai Maudy," Barra berdeham sekilas yang mana membuat Bobby sedikit menegakkan punggung. "Satu harapan gue, Bob," kata Barra. Nada bicaranya terdengar berbeda yang mana Bobby mulai melenyapkan sisa tawanya. Bahkan jemari yang sejak tadi sudah menari di atas keyboard laptopnya, ia hentikan. "Lo enggak bisa berjuang sendirian. Om Wicak keras banget dan kolot. Lo paling paham akan hal ini. Lo harus berjuang bersama. Kasih lihat keseriusan kalian bukan sekadar cinta aja. Di mata Om Wicak cinta itu enggak cukup, Bob. Banyak yang beliau perhitungkan untuk menjadikan seorang perempuan menantu di keluarga Diningrat."

"Gue tau," tukas Bobby dengan cepat.

"Lo sudah kasih tau siapa lo, kan?"

"Sudah."

"Kenapa nada bicara lo seperti orang yang mundur ke belakang padahal mau berperang?"

Lama Bobby terdiam yang mana ia memilih tak menjawab pertanyaan Barra. Justeru tangannya mematikan sambungan telepon itu kemudian dengan cepat mengetikkan satu pesan;

{Gue segera kirim emailnya. Lo enggak perlu khawatir. I'm good.}

Ia menghela panjang. Matanya sudah penuh dengan banyak draft laporan yang kini harus ia kerjakan dengan cepatnya. Meskipun isi kepalanya tertuju pada satu nama; Maudy Senandika.

***

Sekian banyak kata yang Bobby lontarkan hanya ditanggapi dengan kata, "Wow." Dari Maudy. Hal itu membuat Bobby gemas sendiri jadinya.

"Kamu dengar aku, kan, Tigress?"

"Dengar, lah. Gue belum tuli, ya."

"Kenapa responnya cuma 'wow'?" Bobby cukup penasaran akan hal ini. Ia berkisah panjang kali lebar kali tinggi jadinya volume tapi tanggapan Maudy hanya ... wow?

"Salah? Bagus 'wow' doang. Kalau wow-wow-wow kan aneh."

Bicara dengan Maudy memang butuh sabar yang ekstra tapi membuat Bobby merasa jauh lebih ringan. Justeru pada akhirnya mereka terkekeh bersama.

"Enggak sangka aja, sih, untuk gue kalau lo, yah ... seorang keturunan ningrat?" Maudy melirik ke arah pria di sampingnya. Setelah berganti pakaian, yang mana sebenarnya Maudy agak khawatir juga. Tapi ternyata Bobby menyewa dua kamar. Bukan satu kamar di mana pikiran Maudy sudah terkontaminasi pada ingatan mengenai liburannya kala itu.

Jangan sampai 'tidur bersama' ala mereka benar-benar terealisasi!

"Kalau dihitung mungkin sudah keturunan ke sepuluh. Itu pun bisa bergeser lagi karena salah satu keluarga ada yang lagi hamil. Bukan yang murni inti dari keturunan keraton juga, Dy," papar Bobby. "Tapi keluargaku masih memegang teguh apa itu Diningrat dan adat istiadat di dalamnya."

Maudy mengangguk kecil.

"Tapi kamu enggak perlu khawatir. Aku masih aku yang kamu kenal, kok. Hanya latar belakang aku aja yang enggak bisa aku ubah, kan?"

Gadis itu mengulum senyumnya. "Enggak sangka aja. Gue pikir, yah ... lo berlatar sama seperti gue. Orang biasa aja, yang dapat pekerjaan repot bin sibuk menjadi asisten Bos Barra. Tapi mendengar beberapa orang membicarakan lo bukan seperti lo yang gue kenal sebenarnya bikin gue bingung juga. Banyak tanya yang gue punya tapi sekarang sudah enggak ada."

"Kalau masih ada tanyakan saja. Pasti aku jawab. Di depan kamu, aku enggak bisa berkutik. Bikin alasan aja enggak mampu."

"Kenapa begitu?" Maudy menoleh dan memberi tatapan bingung yang mana Bobby hanya mengedikkan bahu tanda tak memiliki jawaban apa-apa.

"Ehm ... ngomong-ngomong tadi manis banget manggil aku 'Mas Tama'. Kenapa sekarang berubah, ya?"

Maudy jadinya tersipu malu. Panggilan itu mendadak saja terlontar dari bibirnya. Mungkin karena luapan perasaan mereka yang ternyata sama atau kah hal yang menggembirakan karena pada kenyataannya, bicara dengan Bobby memang semenyenangkan itu. Biarpun menyebalkan tentu saja.

"Ditanya malah nunduk gitu. Kenapa?" Bobby sedikit menyenggol bahu Maudy sembari terkekeh. "Enggak pernah ada orang lain yang aku biarkan memanggil namaku dengan nama 'Tama', Dy. Cuma kamu. Spesial, kan?"

"Belum pernah juga mulut gue secara tulus lahir batin manggil seseorang dengan kata 'Mas'."

"Macam lebaran aja, mohon maaf lahir batin." Bobby tergelak yang mana membuar suasana menjadi cair. Ditandai dengan Maudy yang ikut larut dalam derai tawa itu. Bersama. Sembari menikmati malam yang semakin pekat tapi indah. Ditambah debur ombak menjadi latar tersendiri di sekitaran balkon resort yang mereka tempati kali ini.

"Aku enggak jadi soal mengenai panggilan, kok, Dy. Kalau masih belum nyaman, aku bebaskan kamu. Terserah juga mau ber-aku kamu, atau gue-lo seperti biasanya. Aku enggak peduli. Yang paling penting kamu nyaman. Itu aja. Dan satu lagi, jangan larang aku panggil nama kamu dengan Tigress. Itu panggilan sayang, lho."

"So sweet banget, sih," ledek Maudy sembari mencibir. "Mana ada manggil pacarnya dengan sebutan itu? Tigress itu macan."

"Tapi Tigress itu bukannya harimau, ya?" Bobby mengusap ujung dagunya sembari berpikir.

"Macan, ih."

"Terserah lah. Salah aja sama kamu mah."

"Enggak salah, ih!" Maudy sedikit merapatkan dirinya pada Bobby yang langsung tanggap, merentangkan tangan serta kakinya, membiarkan Maudy masuk dalam dekapannya. Memeluk gadis itu dalam kedaaan duduk sembari sesekali ia kecupi sisi kepalanya. "Gue belum terbiasa aja, sih, mengenai panggilan tapi makasih sudah membuat nyaman gue selama di dekat lo."

Bobby tak ingin mengatakan apa-apa. Cukup ada Maudy di sini, yang lain tak terlalu ia risaukan kecuali satu hal.

"Jangan main-main dengan perjodohan yang Papa ajukan ke kamu, Bobby. Kamu keturunan Diningrat. Nimas adalah putri yang tepat untuk mendampingi kamu."

Apa Bobby peduli dengan ucapan ayahnya di hari sebelum ia menyusul Maudy di tepi pantai Jimbaran? Tidak sama sekali. Hanya saja ...

"Kalau kamu bersikeras, jangan salahkan Papa yang sama kerasnya menentang kalian. Jangan anggap Papa tak tau apa yang kamu lakukan dan sembunyikan, Bobby."

Pria itu memejamkan mata kuat-kuat. Menahan gemuruh dalam dadanya yang mendadak berkuasa. Hal itu juga membuat dekapan untuk Maudy makin mengetat. Bobby bukan orang yang akan menyerah mengenai tujuannya. Apalagi sekarang ia tau apa yang Maudy rasakan juga untuknya.

"Mi, restui kami." Batinnya dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro