Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[24] Makan siang bersama Nimas

Makan siang yang Bobby hadiri kali ini dengan sangat terpaksa, berlangsung lancar. Tak banyak yang ia tanggapi dari pertanyaan seputar dirinya dan pekerjaan yang tengah ia geluti. Kebanyakan juga apa yang Nimas tanyakan sekadar berbasa basi. Kendati demikian, Bobby tak bisa menampilkan raut wajah tak suka di sini.

"Sepertinya Mas Bobby sibuk sekali, ya."

Gerak Bobby memperhatikan ponsel di mana ada email balasan dari salah satu proyek yang ia kerjakan, terhenti. Matanya sejenak menatap lawan bicaranya lalu mengedikkan bahu. "Yah ... begitu lah. Selalu sibuk."

"Padahal aku sengaja meluangkan waktu untuk Mas."

Bobby terkekeh. "Terlalu buang-buang waktu, Nimas." Cangkir kopi pesanan Bobby pun kembali ia nikmati. Jamuan makan siang tadi pun tak terlalu banyak ia isi perutnya. Entah kenapa ia sudah merasa kenyang. Mungkin karena siapa yang menemaninya makan, membuat selera makannya turun jauh. Padahal restoran yang ia kelola bersama Barra, teruji klinis bisa membangkitkan selera makan Bobby terutama masakan khas Surakarta: tengkleng.

"Kenapa Mas berkata seperti itu?" tanya Nimas dengan sorot bingung. Sejak pria yang ada di depannya ini duduk, sesekali membalas pertanyaannya, gadis cantik berkulit kuning langsat ini tau kalau ada keengganan tersendiri dalam diri Bobby menemuinya di sini.

"Saya sibuk, Nimas. Dan kamu juga bukannya punya pekerjaan lain?"

"Kebetulan pekerjaannya juga ada di sini. Cabang Yayasan Cinta Kasih pun baru dibuka di Bali sekitar tiga atau empat bulan lalu dan itu prakarsa dari aku, Mas."

Bobby hanya mengangguk. "Saya balas email dulu. Kamu teruskan saja makannya."

"Mau ke mana kamu, Nak?"

Pria itu mendongak sekilas. "Pekerjaan ini enggak bisa ditunda, Pa. Sebentar saja." Tak peduli kalau tampang sang ayah sudah kaku dan menatapnya tajam, Bobby tetap bergerak menjauh. Terdengar helaan napas kasar dari Wicak lantaran kelakuan anaknya siang ini.

Sampai punggung itu berdiam di salah satu sudut restoran di mana ada dua orang berseragam khas restoran yang menghampirinya, Nimas mengatupkan bibir. Menekan perasaan terabaikannya di sini karena sikap Bobby barusan. Tapi ia tak boleh menampilkan raut wajah tak suka. Terbiasa menutup apa yang ia rasakan dengan seulas senyum, sudah biasa ia lakukan. Menyesap secangkir teh melati yang disediakan khusus untuknya, ia berusaha mengalihkan pikirannya dari sosok Bobby.

Nimas pernah bertemu dengannya saat ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kala itu sosok Bobby Rennes sudah mencuri perhatiannya ketika makan malam keluarga besar Diningrat. Hampir keseluruhan keluarga bangsawan keturunan Diningrat menghadiri acara tersebut. Termasuk di dalamnya orang-orang yang berpengaruh bagi keluarga bangsawan terpandang di Surakarta ini.

Di mata Nimas muda saat itu, sosok Bobby begitu menawan. Dipatri dalam hatinya, siapa tau kelak ketika ia dewasa bisa berkenalan dan setidaknya bisa bicara layaknya teman. Tahun berlalu, sosok Bobby tak menyingkir jua dari hatinya. Berusaha memantaskan diri sebagai keturunan Bringharja siapa tau saja, keberuntungan berpihak padanya.

Dan saat ia disodorkan perkara jodoh, Nimas tak menolak sama sekali.

Malah dengan senang hati menerima perjodohan yang sangat ia hindari ini demi Bobby Rennes.

Akan tetapi, ternyata sulit mendapatkan perhatian dari pria yang ternyata bersikap dingin dan lebih sering mengabaikannya.

"Maafkan Bobby, Nimas."

Pegangan pada cangkir teh Nimas hampir saja tergelincir tapi ia berusaha menguasai keadaan. Sekali lagi ia ulas senyum tipisnya di bibir berpemulas soft pink ini. "Enggak apa, Om. Mas Bobby memang bilang lagi sibuk sama pekerjaaannya."

Wicak terlihat tak senang. "Tetap saja. Makan siang ini, kan, jarang terjadi. Kenapa masih meributkan pekerjaan. Anak itu."

"Justeru Mas Bobby berdedikasi dengan pekerjaannya, Om." Nimas memberi argmentasi seraya menatap punggung itu dengan takjubnya. "Tak masalah kalau harus meninggalkan makan siang sekarang. Masih banyak makan siang yang lainnya, kan?"

"Lagi juga kamu ada urusan di yayasan, kan?"

"Benar, Om."

Wicak menatap wanita muda di depannya dengan anggukan maklum. "Om termasuk orang yang tak pernah menyangka kalau kamu terjun ke dunia sosial seperti ini."

"Merasa menjadi pribadi yang lebih berguna saja, Om." Nimas mengulum senyum dengan sedikit tertunduk. Andai apa yang ia kerjakan mampu membuat Bobby tak mengalihkan pembicaraan ke arah lain, mungkin dadanya melambung tinggi.

"Saya salut dengan didikan orang tuamu, Nimas. Meski kebanyakan Bringharja bergerak di sektor ekonomi yang lain bukan sebatas bergerak di bidan sosial. Tapi kamu penggerak yang cukup mumpuni," puji Wicak dengan tulus.

"Mas Bobby juga sepertinya sibuk bekerja sama seperti Om dulu, kan? Bapak sering cerita mengenai Om yang jarang sekali ada di rumah karena mengurus banyak pekerjaan di luar kota atau sekadar mengecek perkebunan."

Wicak tergelak. "Katon pintar sekali kalau membual."

Obrolan antara mereka berlangsung hangat dan cukup mencairkan suasana hati Nimas yang sendu. Tak terlalu memikirkan kalau Bobby masih bergelung dengan banyak pekerjaan di sudut lain. Meski sesekali ia melirik dan memiliki harap, ponsel serta tablet kerja pria itu ditinggalkan begitu saja. Lalu kembali padanya dan bicara apa pun yang menurutnya bisa membuat hubungan mereka tambah akrab.

Namun sepertinya hal itu sia-sia.

Pria itu justeru berpamitan. "Aku mau meeting dengan pihak Somerset, Pa," katanya. Matanya juga sekelebatan melirik ke arah gadis yang sebenarnya tampak manis mengenakan kemeja batik dipadu dengan celana longgar. Terkesan sopan juga elegan di saat bersamaan. "Maaf, Nimas. Saya harus kembali bekerja."

"Bobby," peringat Wicak. Nada bicaranya pun tak lagi santai serta tatapan yang lurus mengarah pada putra semata wayangnya. "Tunda."

"Pa," erang Bobby pelan. Ia pun menarik salah satu kursi yang ada di dekatnya. "Aku memang sibuk. Papa tau, kan, aku kalau sudah bekerja? Ini Somerset. Kita bekerja sama dengan mereka. Enggak perlu Bobby beberkan apa saja, kan, Pa?"

"Tapi ada Nimas, Bobby." Wicak masih berusaha untuk menghentikan tindakan putranya itu. "Kamu seharusnya bisa meluangkan waktu untuknya."

"Makan siang ini cukup, Pa."

"Om, Mas Bobby. Aku enggak jadi soal, kok. Lagi pula sebentar lagi aku mau ke Yayasan."

"Biar Bobby yang antar, ya, Nak?"

Atas nama tak enak hati serta tak bisa membantah lebih banyak ucapan ayahnya, Bobby hanya bisa melakukan hal yang sangat enggan ia lakukan; mengangguk.

***

"Bos, lo yakin mereka oke?" tanya Bobby begitu dirinya masuk ke dalam mobil. Hanya melirik sekilas pada sosok wanita yang sudah duduk dengan anggunnya di sisi samping. Mengenakan seat belt dan bagi Bobby adalah pertanda dirinya bisa mengendarai mobilnya menuju tempat yang belum ia tau di mana.

"Yakin. Tapi kayaknya ditunda dua hari lagi. Big Boss-nya mau ketemu gue."

"Kok, lo sialan banget, ya. Mau ngabarin di detik ini?"

"Lho? Salah aja gue. Kayak Maudy lo, ah!"

"Enggak perlu bawa Maudy. Bikin gue tambah kangen aja."

"Akhirnya mengakui kalau punya rindu pada Maudy." Di sana, Barra tergelak kuat.

"Berisik! Urus dulu Somerset!" Bobby berdecak kesal. Ia memutar kemudi keluar area parkir dengan segera. "Kalau ini deal, gue enggak mau 50% lagi. 75%."

"Lo gila? Gue ikut nego, ya. Jangan kurang ajar jadi asisten!"

Bobby tergelak disusul suara Barra di ujung sana.

"Dua hari lagi?"

"Iya. Mr. Richard mau bertemu langsung dan gue harap semuanya oke. Begitu gue di Bali, kita siap persentasi."

"Beres, Bos!"

Tak butuh waktu lama sambungan telepon itu terputus. Membuat Bobby mulai memikirkan untuk memulai obrolan basa basi kembali. "Tujuan kamu ke mana?" tanya Bobby segera.

Pertanyaan Bobby barusan membuat Nimas yang sejak tadi mencoba mengabaikan pembicaraan itu karena merasa berkisaran dengan pekerjaan, tapi karena menyebutkan satu nama serta kata 'rindu', ia pun menegakkan punggungnya. Menyimak.

Siapa Maudy?

"Ehm ... ke Jalan Wira, Mas."

"Wira? Kuta?"

"Mas sepertinya banyak tau mengenai Bali?"

Bobby sedikit mengutak atik ponselnya, di mana ia kendarai mobil jauh lebih hati-hati dari sebelumnya. Begitu layar ponselnya menunjuk arah yang dimaksud, segera saja ia letakkan ponsel itu tepat di sisi kemudinya. "Pakai maps."

Nimas meringis. "Maaf merepotkan Mas."

"Sudah terlanjur. Tapi pastikan kamu dijemput supir atau orang yang kamu percaya. Saya enggak bisa jemput kamu."

"Diantar saja aku sudah senang sekali, Mas."

Bobby tak ingin menanggapi. Matanya kembali fokus pada jalanan yang kini ada di depannya. Di kepalanya lebih memilih untuk dipenuhi oleh pekerjaan atau sosok Maudy sekalian. Nanti setelah selesai urusannya, sepertinya adu mulut dengan Maudy bisa membuatnya lebih baik.

Bukan ide yang buruk, kan?

"Ada sesuatu yang lucu, Mas?"

Pria itu mengerjap. "Ya?"

"Mas sejak tadi aku perhatikan senyum-senyum terus."

Bobby mengedikkan bahu saja. Tak mungkin bicara mengenai Maudy, kan?

"Siapa Maudy?"

"Kenapa kamu setuju perjodohan ini?"

Mereka bertanya bersamaan, yang mana membuat Bobby terperangah juga Nimas. Sepersekian detik mereka bersitatap tapi Bobby memilih mengguntingnya dengan cepat. Diiring dengan sebongkah rasa penasaran, dari mana Nimas tau mengenai Maudy?

Ah ... percakapan tadi rupanya.

"Tadi kamu tanya apa?" tanya Bobby lebih dulu karena sepertinya Nimas memilih membungkam bibirnya.

"Enggak, Mas. Anggap aja aku enggak pernah bertanya."

Ada jeda sejenak di antara mereka, di mana iring lagu 'Perfect' milik Ed Shareen mengalun lembut dari audio mobil yang Bobby kendarai.

"Mas tadi bertanya kenapa aku menerima perjodohan ini, ya? Kalau aku enggak salah dengar?"

Ucapan Nimas barusan membuat Bobby menoleh.

"Meski rasanya aneh mengatakan hal ini, tapi sepertinya Mas Bobby memang harus tau sejak awal kalau aku tertarik dengan Mas. Makanya aku menyetujui pilihan Ibu dan Bapak mengenai calon suamiku kelak."

Bobby mencengkeram kemudinya.

"Kita bisa mengenal lebih dulu, Mas."

"Sayangnya saya sudah punya kekasih, Nimas. Maaf. Nama yang kamu tanyakan tadi adalah kekasih saya. Orang yang saya cintai. Dan saya harap, kamu memahami keputusan saya mengenai perjodohan ini."

***

Apa Maudy bosan dengan pantai? Jawabannya tentu saja tidak. Sekali lagi, ia meminta diarahkan pada salah satu pantai yang ada di kisaran Jimbaran. Namun yang jauh lebih sepi juga tak terlalu banyak pengunjung meski aslinya agak sulit untuk menemukan pantai yang diinginkan Maudy.

"Mbak enggak bosan ke pantai lagi?" tanya Jo yang membawakan dua butir kelapa. Ucapan itu membuat Maudy menoleh dan menggeser duduknya. Kali ini ia tak membiarkan Jo duduk sendirian di mobil. Beberapa hari di Jimbaran membuat Maudy cukup senang diantar ke sana ke mari oleh Jo. Banyak tempat yang ia kunjungi juga dan menjadi pengalaman baru meskipun, Maudy inginnya menyewa motor dan berkeliling Bali sendirian.

"Enggak, Pak. Saya suka aja."

"Ingat mantan?" seloroh Jo.

"Sembarangan!" Maudy tergelak. Matanya kembali diarahkan pada debur ombak di sana. "Saya punya kenangan tersendiri sama pantai, Pak." Tak ingin berbagi, hanya sekelumit yang ia ucap tapi sarat makna. Itu lah Maudy. Ucapan itu juga ditutup dengan senyum kecilnya, memilih menikmati air kelapa pesanannya. Yang mana membuat Jo tak lagi bicara.

Genap tiga hari ia tinggal di Intercontinenal Jimbaran. Kegiatannya seperti turis asing yang antusias mengunjungi satu demi satu tempat wisata yang ada di sana. Kadang ia butuh jarak tempuh yang cukup jauh tapi memuaskan dirinya sekadar menghabiskan waktu di sana. Duduk sembari menikmati embus angin, terpejam tanpa memikirkan apa-apa kecuali panggilan alamnya yang lapar dan butuh kamar mandi.

Merdeka sekali bukan?

Tapi ...

"Pak, Bobby enggak telepon Bapak?"

Untung saja Jo tak tersedak. Pertanyaan Maudy barusan disertai dengan kerjapan penasaran yang membuat Jo tak bisa berkutik. Padahal ia sudah menanamkan pemikiran kalau Maudy bertanya mengenai keberadaan Bobby, ia harus menyahuti dengan kata-kata yang tergolong simple; "Pak Bobby masih banyak urusan dengan kantornya, Mbak."

Tapi ia tak sanggup. Binar mata itu terlihat berharap mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "Kenapa Mbak enggak tanya langsung aja?" Joko harus bersyukur dengan kemampuan berkelitnya kali ini. Entah dari mana ide melontarkan balik pertanyaan itu tapi Jo sungguh bisa bernapas lega.

Maudy malah mencibir begitu mendengar ucapan Jo barusan. Tak ingin menanggapi jadinya kecuali ia nikmati saja kelapa muda menyegarkan bagiannya. Demi Venus yang cantik sekali dilihat dari bumi ini, sebenarnya Maudy ingin sekali mengirimkan pesan pada Bobby. Tapi ... pesan terakhirnya masih jelas ia ingat. Sibuk bekerja.

Membunuh waktu yang seharusnya menyenangkan ini, Maudy mengeluarkan ponselnya. Sesekali ia bidik sudut yang menurutnya bagus. Tak lupa juga dirinya berswafoto untuk memenuhi galerinya juga ajang pamer tiap malam ketika ia bicara dengan Regi.

Sudah tak terhitung sebenarnya kesal yang Maudy punya untuk Bobby. Janjinya setelah malam di mana ia ditinggalkan dengan kecupan yang menurut Maudy janggal, esok paginya Bobby sudah kembali. Tapi mana? Sampai detik ini pun ia berkeliling Bali hanya bersama Jo. Bukan tak senang menghabiskan waktu sendirian mirip seperti pelancong tanpa beban.

Akan tetapi ... ada rasa asing yang membuatnya makin tak nyaman. Teringat percakapan yang berlangsung semalam bersama Regi.

"Coba lo telepon, Dy. Astaga! Gue mana tau keberadaannya Bobby! Yang gue tau si Love. Habis dibuatkan kamar sendiri. Lama-lama laki gue gila, Dy! Masa iya kucing aja punya kamar sendiri!"

"Ketimbang tiap malam merusuh sama lo, kan? Lo sudah mengeluhkan hal itu beberapa kali."

"Ya tapi enggak kamar juga, Dy!"

"Balik lagi ke Bobby, Rex." Maudy sedikit merebahkan diri sembari memeluk salah satu guling. "Ini sudah dua hari dia enggak ada kabarnya sama gue, lho, Rex. Bilangnya mau datang, mau temani gue jalan-jalan juga. Tapi mana? Bohong banget."

"Ampun, deh, Keong Racun ini. Lo sudah telepon?"

Maudy menggeleng.

"Sudah chat?"

Lagi-lagi gadis itu menggeleng.

"Lo aja enggak ada usahanya mencari tau."

"Memang gue siapanya nyari tau?"

"Tapi lo penasaran, kan, Keong Racun? Astaga, Tuhan! Ke mana, sih, otak cerdik Maudy kalau menghadapi lawan jenis? Apa jadinya kalah total kalau ngadepin Bobby?"

"Bukan gitu, Rex," keluh Maudy dengan helaan napas panjang. "Benar, kan? Memangnya gue siapanya Bobby? Kayaknya jenis pertanyaan, Bob, lo di mana? Jadi mau mampir ke intercon? Atau ... Bob, kapan lo meluangkan waktunya? Lo hutang janji sama gue kalau lo lupa. Masa gitu, Rex? Lo gila aja gue tanya hal itu ke Bobby?"

Di ujung sana, Regi tergelak. "Payah baget dewi cinta kita satu ini."

"Lo sahabat bukan, sih?"

"Bukan. Gue emak tirinya Love!"

"Anjir memang!"

Regi makin jadi tawanya. "Dy, Dy. lo lucu banget sumpah. Harusnya Mas Barra lihat wajah munafik lo sekarang. Atau minimal dengan suara lo yang nelangsa ini."

"Gue enggak nelangsa, ya," kelit Maudy dengan cepat. "Maksud gue, kalau dia sibuk enggak perlu janji temani gue ini itu lah."

"Bikin lo berharap, ya, Dy."

"Iya, lah!"

"Ecie! Baper juga akhirnya."

"Bangsat, ya! Bukan itu!!!"

"Lah terus apa, Dy? Sudah lah. Lo enggak perlu banyak kelit. Gue serius enggak tau keberadaan Bobby karena Mas Barra sendiri lagi repot banget. Dia lagi di Bandung, enggak bisa gue rusuhi seperti biasanya. Lo aja yang maju. Lo tanya, minimal kirim pesan ke Bobby."

"Kalau enggak dibalas juga?" sela Maudy dengan cepatnya.

"Kemungkinan memang Bobby sibuk."

Maudy terdiam sejenak sembari berpikir.

"Atau ... sibuk sama yang lainnya. Secara lo, kan, nyebelin."

"REX!!!!"

Ingatan itu buyar begitu saja sesaat setelah ia merasakan kalau bahunya ditepuk perlahan. Pria yang menjadi lawan bicaranya sore kali ini, tampak menatap Maudy dengan kebingungan.

"Mbak melamun?" tanyanya perlahan.

"Oh? Ah ... enggak, Pak," ringis Maudy. Ia pun menggeleng cepat menyingkirkan sisa-sisa percakapan bersama Regi. Apa saran dari Regi dilakukan Maudy? Jelas tidak. Berulang kali ia berpikir, berulang kali juga gengsinya menang. Menurutnya memang Bobby sibuk meski hati kecilnya berkata, ada sesuatu yang tak beres.

Belum lupa dalam ingatan Maudy bagaimana pria itu merusuhinya di chat. Terutama sejak kejadian bertukar saliva di liburan bersama Barra dan Regi.

"Menurut Bapak ... saya lebih baik bertanya langsung sama Bobby?"

Joko langsung mengangguk cepat. "Iya, Mbak. Coba ditanyakan langsung aja sama Bapak. Saya enggak mungkin bertanya sama Bapak, Mbak. Saya hanya menjalankan apa yang Bapak perintahkan saja." Dalam hatinya, Joko bersyukur sekali kalau Maudy sendiri yang menghubungi Bobby. Bukan bertanya padanya yang mana potensi mengatakan siapa sebenarnya Bobby, kenapa Maudy ada di Jimbaran, serta kisah-kisah yang berseliweran di villa terutama setelah ada Tuan Besarnya di sana.

Juga satu sosok yang jangan sampai Joko kelepasan bicara; Nimas. Kemarin ia hampir kelepasan bicara. Beruntungnya berbagai jurus berkelit sudah ia keluarkan karena Maudy banyak mendesak dirinya ketika membahas mengenai siapa Bobby.

"Tapi saya takut ganggu Bobby, Pak." Bahu Maudy terkulai lagi. Bibirnya agak mengerucut karena rasa sungkannya barusan. "Biarkah saja, lah. Dia sibuk, gue juga bisa sibuk." Maudy menaruh kepalanya di meja. Matanya puas sekali menghadap lautan luas di sana.

Seharusnya ia senang tak diganggu tapi ... ah, entah lah. Semakin dipikirkan semakin membuat Maudy pusing. Kenapa, sih, dia merasakan hal yang membuatnya merasa aneh begini.

Yang mana tanpa ia sadari, Joko terbeliak begitu mendapati siapa yang menghampiri mereka. Lalu pria itu memilih dengan diam-diam, meminimalisir suara yang bisa ditimbulkan, ia pun bergerak menjauh. Sementara posisi Joko langsung digantikan oleh orang yang baru saja tiba.

"Pak Jo tau tempat yang bagus untuk nyari cowok? Bule juga enggak apa-apa, deh." Ngawur sekali ucapan Maudy. Di mana sekarang layar ponselnya memenuhi netranya. Ruang percakapan antara Bobby dan Maudy menjadi tampilan yang dinikmati gadis itu sekarang. "Kesannya gue nungguin dia banget, kan, Pak Jo? Enggak, lah. Ngapain juga. Dia sibuk, gue juga bisa sibuk," dumelnya.

Sosok itu tak bersuara sama sekali. Justeru menikmati Maudy yang bersungut-sungut sembari menahan geli di perutnya.

"Pak Jo dengar aku, kan? Pokoknya besok antar aku ke tempat yang banyak bulenya. Biar aja Bobby Ngenes sendirian di Bali!!!"

"Oiya?"

"Ih, gila banget halunya gue. Segitunya pengin tau kabarnya Bobby sampai suaranya Pak Jo berubah jadi suaranya Bobby. Bapak enggak usah ngeledekin saya, deh. Iya-iya. Saya ngakuin, deh. Jangan bilang-bilang tapi. Saya memang kangen sama Bobby. Tapi enggak gini juga, kan, dia perlakuin saya?!"

"Masa, sih? Serius kangen?"

Demi Merkurius yang dekat sekali dengan matahari, Maudy langsung menoleh. Mendapati pria yang sejak tiga hari belakangan ini menguasai kepalanya ada di dekatnya, membuat matanya melotot garang.

"Oh ... yang sibuk sudah enggak sibuk lagi?"

Bobby tak ingin membalas apa-apa. Ia justeru merentangkan tangannya. "Kalau kangen, sini ... peluk gue dulu."

"OGAH!!!"

"Yakin?"

"Iya, lah." Maudy bangkit dari duduknya. Malunya? Jangan tanya. Sudah sampai level ke tujuh di angkasa raya sana!!! Mukanya juga pasti sudah semerah tomat. Ah tapi dia bisa beralasan kalau terpanggang sinar matahari. Iya, kan?

"Eits! Mau ke mana? Gue baik, lho, nawarin pereda kangen."

Maudy mencibir seraya menepis tangannya yang dicekal oleh Bobby. Hal itu membuat Bobby pun berdiri untuk menyejajari Maudy yang mana langsung ia tarik begitu saja untuk masuk ke dalam pelukannya. "Kalau lo enggak mau gue peluk, gue aja yang meluk lo. Gue kangen banget, Dy. Kangen banget," lirihnya begitu sosok Maudy ada di dalam dekapannya.

"Kenapa baru sekarang datangnya? Lo janjinya tiga hari lalu, lho!" Maudy bergeliat minta dilepaskan tapi Bobby mana mau.

"Nanti gue ceritain, kok."

"Enggak mau!"

"Dy!"

"Apa, sih? Lepas, ih. Dilihatin orang!"

"Biarin. Namanya juga orang kangen."

"Bobby, ih!"

"Nikmati aja, Dy, pelukan gue. Kita sama, kok." Bobby sedikit mengurai dekapannya itu sekadar untuk menatap Maudy yang kini mendongak ke arahnya.

"Sama apaan?" cibir Maudy.

"Sama-sama kangen."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro