[19] Butuh bilang, Dy.
Dibilang lelah karena perjalanan, itu yang memang Bobby rasakan. Bayangkan setelah mendapatkan setengah persetujuan dan juga banyak janji yang tak tau apakah bisa Bobby turuti atau tidak, ia langsung melesat pergi dengan penerbangan yang paling cepat yang ada. Bahkan pakaian yang ia bawa pun ala kadarnya. Padahal besok meetingnya berjalan dengan beberapa orang penting tapi tak masalah. Bobby bisa tangani hal itu.
Semua yang ia lakukan hanya demi melihat Maudy; mungkin bermain pasir di pantai, menikmati senja yang mulai berganti malam, atau sekadar merasakan embus angin malam di outdoors restoran sepanjang Pantai Canggu dengan ... obrolan santai.
Sepertinya itu harapan yang paling tinggi yang bisa Bobby pikirkan.
Karena apa yang ia harapkan selalu tak sesuai dengan ekpektasinya. Bertemu Maudy maka bersiaplah dengan tegangan tinggi dan hawa kesal yang terus menerus merajai. Ada saja hal yang membuat pria itu menahan marah serta geram disebabkan oleh Maudy.
Termasuk malam ini.
"Sudah ketemu, Pak?" tanya Bobby begitu mengetahui ponselnya bergetar dan nama Jo muncul di layar.
"Belum, Den. Sepanjang arah ke Pantai hampir semua penginapan saya tanya mengenai tamu yang baru masuk. Tapi enggak ada Mbak Maudy."
Bobby makin pening jadinya. "Ya sudah, terus cari, Pak. Saya ke arah berlawanan." Tanpa perlu menunggu persetujuan dari Jo, Bobby langsung memutuskan sambungan telepon itu begitu saja. Matanya menengadah pada langit yang mulai pekat. "Ke mana, sih, Keong Racun ini. Heran banget. Kapan berhenti bertingkah?" Dinyalakan kembali mesin motor yang semula ia matikan. Harus ke mana lagi mencari sosok gadis yang tau-tau merealisasikan ucapannya itu.
"Padahal gue enggak bermaksud seperti itu kenapa Maudy mikir gue ngusir, sih?" dumelnya sepanjang jalan. Melihat ada salah satu plang penginapan, dengan cepat Bobby pun menepi. Langkahnya juga buru-buru masuk ke dalam dan menemui resepsionis.
"Sore, Mbok." Ponsel yang tadi ia kantungi pun segera ia ambil dan menunjukkan foto Maudy. Tak peduli balas sapaan dari sosok gadis yang berdiri di balik meja resepsionis ini. "Gadis ini ada pesan kamar di sini?" Langsung ia sodorkan ponselnya. Membuat kernyitan di wajah sang resepsionis hadir di dahinya. Mungkin tengah berpikir mengenai tamunya yang seliweran di penginapan tempatnya bekerja.
"Tidak ada, Bli." Senyum semanis madu dari gadis itu disertai gelengan sebaai respon dari pertanyaan Bobby. Yang mana membuat pria itu lagi-lagi menghela panjang. Wajahnya semakin gusar lantaran waktu terus berjalan dan ia sama sekali belum menemukan Maudy.
Berkutat sekali lagi menyusuri jalan yang tak terlalu ramai ini untuk mencari penginapan serta hotel mana yang sekiranya bisa dikunjung Maudy. Pantauan CCTV di area lobby villa miliknya itu menangkap jelas kalau Maudy dijemput oleh seseorang menggunakan motor. Agak kerepotan karena membawa koper yang cukup besar tapi Maudy tetap lah Maudy. Gadis itu terlihat memaksakan diri mesti tau, koper itu menyulitkan duduknya. Dan gadis itu melesat begitu saja tanpa berpikir kalau terjadi hal buruk padanya ... akan seperti apa jadinya?
Padahal berkali-kali juga Bobby memanggil gadis itu walau memang agak terlambat. Siapa, sih, yang siap kalau tiba-tiba gadis itu keluar kamar, membanting pintu, menyeret koper dengan tergesa sementara dirinya tengah bercengkerama akrab dengan kubangan air yang sangat menyegarkan di kolam renang. Tak ada! Bobby saja sampai tak peduli hanya melilitkan handuk untuk menutupi area pangkal pahanya.
Benar-benar menghabiskan sabar yang Bobby punya sosok Maudy ini!
"Dasar bodoh!" gerutu Bobby dengan kesalnya. "Di mana lo sekarang, Dy. Astaga!!! Cewek, kok, pemikirannya gila banget."
Sekali lagi ponselnya berdering nyaring dan hal itu langsung membuat Bobby menghentikan laju motornya. Dengan cepat ia menggeser icon hijau tanpa melihat lagi siapa peneleponnya. Karena keadaan sekarang menurutnya cukup genting, pasti Jo yang menghubunginya. Tak mungkin Barra atau Regi. Hal termustahil karena mereka berdua menghubungi Bobby kalau ada maunya saja. Sudah teruji klinis, kok.
"Sudah ketemu?"
"Apa yang ketemu?"
Bobby melotot, menyadari suara yang familier sekali ia dengar. Matanya hampir loncat begitu melihat nama peneleponnya siapa. Juga nada isakan dan getar yang tadi ia dengar dengan jelas. "Lo di mana?"
"Ehm ... gue enggak tau ini di mana. Tapi ini seram banget, sih. Kenapa ada modelan penginapan begini, sih, di Bali."
Bobby menggeram kesal. Kalau bukan karena nada suara itu begitu memelas, pasti Bobby sudah lebih dulu memakinya kalau perlu mengocehinya sampai puas. "Share loc."
"Sudah dari tadi. Lo lama banget baca pesan gue! Ngapain aja, sih, lo?! Sibuk berenang?"
Astaga, Tuhan! Berikan Bobby kesabaran ekstra menghadapi Maudy. "Yang keluar dari villa siapa?"
"Mau jemput gue atau enggak?"
"Pulang sendiri!" Yakin lah itu hanya perkataan Bobby. Ia sudah melihat pesan Maudy dan mulai memutar arah laju motornya. Con Nyaka memang penginapan yang agak terpencil di sekitaran Pantai Canggu. Mungkin Jo belum sampai ke arah sana dan lebih fokus pada hotel atau resort yang cukup berkelas ketimbang penginapan biasa seperti ini.
"Ih! Gue itu sampai gemeteran saking takutnya. Enggak bisa bergerak, tauk!"
Bobby mau tertawa tapi ingat kemarahannya masih tersisa banyak di dada. "Kenapa memangnya?" tanya Bobby dengan ketusnya.
"Itu ... ada patung di depan pintu kamar gue. Ngeliatin gue terus. Kalau matanya kedip gimana?"
"Ya bukan urusan gue, lah."
"Rennes!!!"
Pecah lah tawa Bobby saat itu juga. Mengendarai motor dengan tangan satu memang agak sulit tapi sepadan dengan hatinya yang lega sekali mendengar Maudy di ujung sana. Setidaknya pencariannya berakhir. Bobby tak akan berhenti sampai berhasil menarik Maudy kembali ke villa bahkan kalau itu sampai dilakukan di tengah malam sekali pun, Bobby tak masalah.
Membiarkan gadis itu sendirian di luar pengawasan orang-orang yang mengenalnya? Oh ... tak akan Bobby biarkan.
"Tunggu gue sebentar. Jangan ke mana-mana."
"Hem."
"Dengar gue enggak?"
"Iya."
"Yang benar dong bicaranya."
"Iya, Rennes. Gue dengar. Gue tunggu lo jemput."
***
Sesekali Bobby mendengkus memperhatikan bagaimana cara gadis di depannya itu melahap makanannya. Apa sejak tadi memang gadis itu melupakan kewajiban tubuhnya untuk makan? Sampai dua porsi spageti buatan salah satu pelayan di villa, dihantam sampai bersih oleh Maudy.
"Kenapa lo ngeliatin gue?" Maudy tau sejak tadi dirinya diperhatikan tapi tak peduli sebelum makannya habis. Ia kehabisan tenaga untuk marah juga membantah semua ucapan Bobby yang seperti dengung lebah. Berisik dan membuatnya pening mendadak. Sejak pintu kamar sewaan Maudy diketuk dan sosok yang ia tunggu ada di sana, setidaknya Maudy bisa menghela napas lega.
Ia tak tau kalau penginapan yang ia pilih dan bersikeras untuk tidur di sana beberapa hari ke depan, ternyata menyeramkan. Dalam arti ... entah mistis atau tidak, Maudy tak peduli. Yang ia takutkan, patung besar yang ada di depan kamarnya tiba-tiba hidup. Memangsanya. Atau menjadikannya tawanan selama di Bali. Atau juga, matanya yang melotot itu berkedip seperti para penari khas bali.
Gila aja! Maudy masih mau selamat selama liburan di sini.
Dan sekarang, tenaga Maudy sudah kembali terisi. Siap untuk kembali berdebat atau setidaknya beradu argumen dengan Bobby. Seperti kebiasan tak tertulis di antara keduanya ketika berhadapan.
"Jangan lupa tentang makan, Dy. Itu penting. Kalau lo sakit gue yang repot."
"Sembarangan aja lo. Memangnya gue ngerepotin lo, hah?"
Bobby mencibir sinis, tak lagi ingin duduk di depan Maudy di meja makan. Tapi bergerak dan mendekat pada gadis yang masih melayangkan tatapan protes ke arahnya. Diikuti gerak Bobby lewat matanya yang menyorot dengan tajamnya itu. Begitu Bobby berdiri tepat di depan Maudy, pria itu sedikit membungkuk yang membuat Maudy memundurkan posisinya.
Apa gadis itu berpikir Bobby akan menciumnya? Ehm ... sepertinya mengerjai Maudy boleh juga. Bobby ingin melihat sampai sejauh apa Maudy bisa tergoda.
"Lupa yang meluk gue erat banget pas dijemput tadi siapa? Gitu, kok, bilangnya enggak merepotkan gue." Setelah berbisik seperti itu tepat di telinga kanan Maudy, ia pun melesat pergi. Bersiul penuh kemenangan karena berhasil melihat rona merah di pipi gadis yang sebentar lagi, ehm ... mungkin dalam waktu tiga detik ke depan.
Satu ...
Dua ...
Ti—
"RENNES SIALAN!!!"
***
Mereka berdua neh sejoli yang berisik banget. Hobinya saling memaki tapi ternyata peduli. Hhahaha. Enggak sabar nungguin Mas Rennes bucin? Sabarrr...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro