[15] Ceritanya Maudy mau nge-date
Maudy tak pernah menyangka kalau Malik benar-benar membuktikan ucapannya. Agak risih sebenarnya tapi ia sudah terlanjur mengiakan ajakan tersebut juga ... astaga! Ini benar-benar akan ia lakukan?
"Sudah siap?" tanya Malik dengan senyumnya yang memang menawan. Maudy saja masih ingat, pemuda kurus itu kala tersenyum ditambah penampilannya yang sekarang? Sudah jauh lebih berisi, kentara sekali gurat dewasa di wajahnya, belum lagi sikapnya yang membuat Maudy seraya ditarik dalam memorinya yang manis bersama Malik dulu.
Pria itu mengulurkan sebuah helm berwarna merah senada dengan miliknya. Juga motor matic yang Maudy bisa sebut itu speedboat lantaran bentuknya yang agak mirip perahu cepat itu. Tak salah, kan? Memang design motor N-max seperti itu. Kalau saja di sampingnya ada Regi, pasti sahabatnya itu akan mendebat tanpa ampun mengenai julukan yang Maudy berikan pada motor keluaran Yamaha itu.
"Ehm ... memangnya kamu enggak kerja?" tanya Maudy dengan tatapan gamang. Sebenarnya pertanyaan ini sudah ditanyakan semalam tapi karena obrolan mereka kelewat seru apalagi membahas masalah panti, Maudy singkirkan sejenak. Membicarakan kenangan di mana mereka berdua sama-sama dalam satu frame memang semenyenangkan itu.
Lantas sekarang, Maudy bolak balik memastikan kalau dirinya tak salah melihat sosok Malik pagi ini. Dia juga sudah memastikan kalau hari ini hari senin. Harusnya Malik bekerja, kan? Maudy juga masih ingat keluhan yang keluar dari bibir Aish mengenai ayahnya. Yang selalu sibuk dengan banyak meeting dan pertemuan penting di mana Aish selalu ditinggal begitu saja. Dan sekarang? Bagaimana bisa Malik seenaknya mengajak Maudy keluar dan hanya berdua.
BERDUA!!!
Yang benar saja!
Dan kegilaan ini belum berakhir karena Maudy segampang itu mengatakan, "Oke. Jemput, ya."
Tololnya terlalu hakiki kalau Regi ada di dekat Maudy. Tapi bagaimana Maudy bisa menolak pria se-charming Malik? Belum lagi penampilannya yang bisa dibilang macho juga cool ini. Ya Tuhan! Jaga jantung Maudy biar debarannya masih bisa terkontrol!
Ditambah sekarang Malik malah makin jadi tersenyumnya. "Kamu sudah bertanya itu beberapa kali, Dy. Lupa?"
Maudy memilih meringis saja, lah! Benar kah seperti itu? Kenapa Maudy tak ingat, ya?
"Ayo, nanti keburu siang. Biarpun pakai motor tetap saja harus memprediksi waktu." Malik mengenakan kembali helmnya. Bersiap agar Maudy juga segera menaiki bagian belakang motor yang sudah ia nyalakan mesinnya. "Siap?"
Kalau sudah seperti ini mana bisa Maudy menolaknya, kan?
Sepanjang motor itu mengaspal pada jalan seputaran Canggu, semilir angin yang menerpa wajah Maudy begitu membuat ia jauh lebih rileks. Matanya sesekali ia pejamkan. Menarik napas sedalam mungkin dan mengisi paru-parunya dengan banyak udara. Mesti udaranya hampir sama seperti ia di Jakarta tapi setidaknya tak ia temui macet di Bali. Belum lebih tepatnya.
"Kita mau ke mana?" tanya Maudy begitu menyadari kalau ia belum tau arah tujuan kali ini.
"Yang jelas pasti kamu suka, kok."
Rasanya Maudy ingin memukul punggung Malik tapi tidak. Ia tak akan melakukan hal itu. Ada sebuah misi tertentu kenapa dirinya mau menyetujui ajakan Malik kali ini. Tak apa dikatakan gila, setidaknya, setelah hari ini berlalu minimal masa lalunya memiliki jawaban.
Jadi Maudy memilih untuk menikmati betapa punggung itu demikian tegap dan lebar. Cocok sekali dijadikan sebuah sandaran. Tapi yang pasti, bukan untuk Maudy yang sekarang meskipun bayang Malik di masa lalu masih terbayang. Tak ada yang Maudy bicarakan lagi selama berkendara bersama. Walau sesekali Malik mengajaknya bicara, tapi Maudy memilih agak bungkam. Alasannya, "Aku enggak dengar. Maaf. Nanti saja, Malik."
"Nah, kita sampai."
Laju motor itu memang terhenti di area parkir sebuah restoran seafood. Di mana nuansa bibir pantai sebagai sorotan utama. Semilir angin cukup kencang mengacak rambut Maudy begitu ia melepaskan helmnya.
"Salah satu pelayan hotel bilang, tempat ini terkenal dengan seafood-nya. Kita coba, ya?"
Maudy tersenyum dan mengangguk saja. "Oke."
Malik mempersilakan Maudy untuk lebih dulu memasuki area restoran yang mana disambut oleh beberapa pelayan. Maudy dibebaskan untuk memilih tempat mana yang ingin ia jadikan spot duduk makan kali ini. Setidaknya ini yang bisa Malik lakukan untuk mengganti hari yang kemarin Maudy luangkan untuk Aish. Walau sepanjang hari kemarin, ia tak lepas memperhatikan Maudy yang terlihat tulus sekali menghadapi bagaimana aktifnya Aish bermain.
Tak bisa Malik pungkiri, sikap Maudy berbanding terbalik dengan Raisa. Wanita yang resmi bercerai dengannya satu tahun lalu, selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri tanpa memikirkan Aish. Ah ... kalau menyoal mengenai kesibukan, dirinya juga memiliki andil yang sama besarnya. Sama salahnya. Juga sama melukai hati kecil anak semata wayangnya itu. namun Malik masih mau berusaha untuk terus memperbaiki hubungan dengan Aish.
Berbeda dengan Raisa. Di mata Malik, wanita itu sudah benar-benar melepaskan Aish begitu saja. Namun ... akhir-akhir ini entah kenapa wanita itu kembali menganggunya? Bertanya mengenai Aish dan mendadak ingin agar putrinya bersama Raisa sementara waktu. Setelah sekian lama?
"Kamu mau pesan apa, Malik? Dari tadi melamun aja," seloroh Maudy sembari menggeser buku menu yang sejak tadi sudah ia perhatikan dan catat apa keinginannya untuk mengisi perut. Berhubung sejak tadi lawan bicaranya hanya terdiam, Maudy manfaatkan dengan memuaskan dahaga akan pantai lewat netranya. Teriknya mentari siang ini tak menyurutkan beberapa pengunjung untuk bermain pasir juga air.
Rasanya Maudy juga ingin berlari ke arah bibir pantai sana.
"Kamu sudah?"
Maudy mengangguk cepat. "Aku enggak tahan tunggu kamu memilih menu. Aku sudah pesan duluan. Enggak jadi masalah, kan?"
Malik terkekeh lalu menggeleng sebagai jawaban. "Kamu bebas mau pesan apa pun."
"Dalam rangka apa, neh?" goda Maudy sembari mengerjap manja. Yang membuat suasana di antara mereka mulai mencair kembali.
"Ucapan terima kasih karena kemarin temani Aish berlibur."
"Memang sekarang Aish di mana?"
Malik agak lama terdiam tapi ia tetap harus menjawab pertanyaan Maudy, kan? "Ikut ibunya pulang ke Surabaya. Aku masih ada pekerjaan sedikit. Jadi ... kurasa Aish lebih baik di sana sementara waktu sampai aku selesai. Kasihan Aish kalau sendirian."
Maudy menyetujui ucapan Malik. Rasanya sekarang lah saat yang tepat untuk Maudy bicara mengenai apa yang selama ini terpendam di hatinya. "So ... kamu ke mana aja, Malik?"
***
Melihat suaminya terbahak puas, bukan berarti membuatnya ingin larut dalam tawa juga. Ada gusar yang ia punya tapi ditahan barang sejenak. "Kamu yakin, Mas?" tanya Regi akhirnya. Tak tahan juga karena ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
"Yakin, lah. Kenapa enggak yakin?" Barra sedikit mengurangi gelaknya. Matanya menatap sang isteri penuh puja. Di depannya, duduk wanita cantik berambut kecokelatan dengan berat badan yang naik drastis. Apa Barra mengeluh? Tidak. Justeru ia merasa Regi semakin cantik karena kehamilannya ini. Menggemaskan. Begitu kata Barra acap kali ditanya mengenai penampilan Regi sekarang.
"Hei, kenapa cemberut?" Dijawilnya ujung dagu Regi. "Kalau manyun begini kenapa mirip sekali sama Love?"
"Ih! Mas Barra nyebelin! Aku lebih cantik dari Love, ya. Masa iya aku selalu disamain sama Love?" Regi rasanya ingin menjambak rambut suaminya. Kalau tak ingat kualat dan dosa, mungkin sejak lama sudah ia lakukan. Ditambah, objek yang mendadak dijadikan topik utama pembicaraan mereka muncul begitu saja. Seenaknya naik ke pangkuan Barra dan tertidur di sana!
Astaga, ya ampun! Kapan Regi menang dari anaknya Barra!
Suaminya juga! Keterlaluan luar biasa karena mengelus kucing angora berbulu putih bersih itu dengan sangat lembut. "Ibu Tiri lagi marah, Love. Lihat," kata Barra pelan tapi masih bisa Regi dengar sebenarnya. Namun Regi pura-pura mengabaikannya. "Marahnya mirip kamu lagian juga makin lama makin mirip kamu, lho."
"Mas!"
Barra kembali tertawa dan kali ini jauh lebih keras dibanding sebelumnya. "Jangan marah gitu, ah. Enggak baik ibu hamil marah-marah terus."
Regi mencibir. "Aku ini enggak dalam keadaan bercanda, Mas. Kalau Maudy tau si Bobby ke Bali karena permintaan kamu, habis lah Bali."
"Lho?" Barra terperangah.
"Kamu enggak tau kalau Maudy sudah marah, kan?"
"Kamu juga seharusnya tau, kalau bom rindu itu lebih dahsyat meredam kemarahan Maudy."
Ucapan Barra membuat Regi terdiam. "Maksudnya, Mas?"
"Alah. Kadar peka kamu memang enggak pernah bertambah hari ke hari, Regi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro