Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[13] Yang gila itu ...

"Lo ke mana aja baru bisa dihubungi, Maudy?!"

Rasanya Maudy mau menjauhkan ponselnya dengan segera begitu mendengar teriakan membahana manja milik Regi. Eh ... dalam hal ini tak ada kemanjaan di sana. Bisa Maudy bayangkan betapa wajah Regi yang putih mulus itu merah padam karena marah dan menahan kesal.

Memangnya ini semua mau Maudy? Tidak lah!

Tapi bagaimana bisa ia sibuk dengan ponselnya di saat ia bercengkerama tanpa tau diri dan waktu dengan Aish? Iya, benar. Seseru itu bermain dengan gadis yang menurut Maudy kesepian ini. Terbukti dari kehebohan yang mereka ciptakan sepanjang berada di beberapa lokasi wisata yang mereka kunjungi. Meskipun kebanyakan butuh ditempuh jarak yang cukup lumayan.

Maudy berdeham sekilas sembari melirik ke arah pria yang mengemudikan mobilnya dengan santai tapi tetap fokus. Menarik napas pelan dengan embus perlahan. "Ehm ... satu jam lagi gue hubungi, ya."

"Satu jam? Lo gila?" Regi kembali memekik. "Lo di mana sekarang? Disusul Pak Jo aja! Kasih gue lokasi tepatnya."

"Rex, gue sudah besar. Enggak perlu khawatir seperti itu, lah."

"Besar? Lo gampang kesasar, Dy, kalau lupa?"

"Lo yang ceroboh kalau jalan selalu salah baca maps. Kiri dan kanan aja suka lupa."

"Tapi gue punya mulut buat nanya kita nyasar ke mana. Kalau lo, kan, bisanya marah-marah."

"Anjir ya, T-rex, bibirnya makin badas aja! Lagi hamil woi!" Pekik Maudy tak tahan. "Mana Barra? Sesekali lo harus diaduin sama laki lo biar paham kalau bicara jangan serampangan!"

"Sembarangan! Serampangan itu lo!"

"Kok, lo ngeselin ya, Rex?" Maudy tak menyangka di dalam mobil Malik pun ia masih bisa kelepasan bicara seperti ini. Sekarang ia gunakan nada yang cukup turun ketimbang sebelumnya. Tinggal mempersiapkan diri menghadapi Malik yang pastinya memiliki pandangan kalau Maudy tak pernah berubah.

Tetap Maudy yang urakan. Sama seperti saat ia masih mengenakan seragam sekolah.

"Gue benar-benar khawatir, Dy," kata Regi di ujung sana. Sama seperti Maudy, ia pun menurunkan intonasi suaranya. "Pak Jo bilang lo enggak ada di tempat-tempat yang katanya mau lo datangi."

Maudy menghela pelan. "Satu jam lagi gue telepon, ya. Enggak usah khawatir gitu. Gue bisa jaga diri, kok." Maudy nyengir. Kalau Regi ada di depannya pasti ia sudah habis kena jitak juga jeweran. Tapi percaya lah, Regi adalah orang yang memang selalu mengkhawatirkan keadaannya lebih dari siapa pun.

"Gue tunggu, ya, Dy."

Sebelum ia benar-benar memutuskan sambungan telepon itu, Maudy beberapa kali mendengarkan banyak petuah dari Regi. Sejak menikah dan sekarang hamil, wanita itu sungguh mirip Rere Herdiyanto. Cerewet! Yang bisa Maudy lakukan selain mengatakan 'iya' apa lagi? Ketimbang dirinya berdebat rasanya juga percuma. Regi selalu benar dan tak mau kalah.

"Malik, sorry," Maudy sungguh canggung jadinya begitu ia selesai bicara dengan Regi. Itu lah yang membuatnya menunda segala macam panggilan dari Regi bahkan Barra. Astaga. Regi benar-benar konyol! Masa iya mantan bosnya itu diminta untuk menelepon Maudy juga? The power of T-rex dan bucinnya Barra Herdiyanto! "Keganggu, ya?" ringis Maudy tak enak hati. Ia jadi salah tingkah sendiri.

"Enggak, kok." Malik tersenyum sembari menoleh ke spion tengah. "Aish kalau tidur macam aku, Dy. Enggak akan terganggu sama suara apa pun."

Bahu Maudy makin terkulai lemah. Ia lupa kalau ada anak kecil yang terlelap karena kelelahan seharian bermain. "Ya ampun, maaf, yaaa," kata Maudy dengan suaranya yang memelas. "T-rex kalau telepon memang begitu. Bikin hati panas aja."

Malik terkekeh. "Pacar kamu?"

Bibir Maudy mendadak manyun. "Menghina atau bertanya?"

"Bertanya, Dy," Malik merasa seperti dilempar pada masa di mana dirinya akrab sekali dengan perempuan di sampingnya ini. Dulu rambut Maudy pendek. Hanya sebatas telinga yang membuatnya bebas bergerak. Berlarian ke sana ke mari dengan anak-anak panti. Berteriak heboh juga bernyanyi tak peduli betapa sumbangnya suara yang ia miliki. Tak ada kata lembut yang Maudy miliki sebagai seorang anak perempuan. Bahkan cara makannya saja persis seperti anak lelaki kebanyakan.

Selalu tampil apa adanya tak pernah meributkan mengenai dirinya sebagai perempuan. Bahkan kalau Malik boleh jujur, Maudy tak kenal rasa takut entah itu ketinggian atau melawan siapa pun yang beRina menentangnya. Ternyata sifat dasar yang gadis itu miliki masih ada. Buktinya bicara dengan seseorang yang dalam pikiran Malik adalah orang yang cukup dekat dengan sang gadis, tak kenal rasa sungkan sama sekali. Persis seperti Maudy yang pernah ia kenali dulu.

"Bukan. Sahabat," sahut Maudy dengan cepat.

Malik mengangguk pelan. "Aku berterima kasih banget kamu mau meluangkan waktu untuk bermain sama kita berdua. Aish sudah lama banget enggak tertawa gembira seperti tadi."

Maudy tanggapi dengan senyuman kecil saja. "Sama-sama. Aku juga happy, kok."

"Berapa lama kamu di Bali?"

"Satu bulan, lah."

"Itu ... kamu liburan atau menghindari masalah?"

***

Kalau saja bisa Maudy menghentikan gerak kakinya di sekitaran kamar, pasti sudah dilakukan. Tapi kaki ini masih terus saja mondar mandir tak tentu arah. Di kepalanya juga bergema pertanyaan Malik yang ternyata ... tepat sasaran sekali. Pening di kepalanya makin jadi tapi tak jua menghentikan tingkahnya ini. Padahal ia sudah lelah bergerak sejak tadi. "Kaki! Udah dong! Gue capek!"

Sekali lagi Maudy menarik napas panjang, mengembuskannya dengan kasar. Rambut panjangnya sudah berantakan sebab ulah tangannya. Sorot matanya terpantul dari cermin yang ada di meja rias, kentara sekali kebingungan.

"Gue harus apa?" lirihnya. Kakinya ternyata mau bekerja sama! Mengarah pada tepian ranjang dan langsung tubuh Maudy pun dibanting di ranjang yang rapi ini. Memijat pelan pelipisnya seraya memejam. "Sial banget!"

Kejadian kala itu di mana awal mula segalanya terjadi. Saat Maudy berlibur bersama Regi serta ... ciuman itu. Benar. Semuanya bermula dari sana.

"Dy, lo kalau mukul lihat-lihat dong!" Bobby frustrasi! Kesakitan juga tapi lebih kesal karena di depannya, sang gadis yang baru saja ia lepaskan pagutannya itu malah menyeringai. Kesan cantik dan manis yang Bobby sematkan tanpa suara untuk Maudy, sirna sudah. Berganti dengan kesan mengerikan dan penuh dendam yang membuat dirinya agak gentar juga.

"Lo bilang lihat-lihat? Lo pikir pakai tempurung kepala lo apa yang lo lakuin sama gue!"

"Apa, sih? Cuma cium aja, kan?"

Apa katanya? Cuma cium?! Maudy tak tahan! Sekali lagi diarahkan pukulan ke sembarang arah. Meskipun tadi ia sempat terkejut kalau salah satu dari pukulannya mengenai bagian yang seharusnya Maudy hindari.

"Dy, sumpah, ya! Sakit!" pekik Bobby di mana tangannya ia gunakan untuk berlindung. "Kejam banget jadi perempuan. Lo juga menikmati ciuman tadi, kan? Ngaku aja, lah!"

Makin jadi lah Maudy marahnya. "Sembarangan!"

Untuk beberapa saat Bobby bisa tergelak karena mengetahui ucapan itu bisa mempengaruhi tindakan Maudy. Kendati ia tetap harus menghindari semua pukulan dari gadis yang menurutnya menggemaskan ini. "Dy, sumpah ya kalau lo mengarahkan pukulan terus ke sini," tunjuk Bobby tanpa tau malu. "Gue enggak bisa bikin anak orang hamil."

"Bagus! Biar rasa! Biar enggak sembarangan nyosor!"

Bobby terbahak tapi seketika itu juga menarik Maudy hingga gadis itu membentur dadanya. Didekapnya erat tak peduli betapa keras Maudy berusaha untuk menghindar. Pukulan yang bagian lengan, dada, juga wajah Bobby makin jadi. Tapi ia abaikan. Ketika mendapatkan sela untuk bicara, di mana tepat di telinga Maudy, itu adalah kesempatannya. "Gue serius. Pukulan lo tadi sakit banget. Kalau nanti enggak bisa bangun gimana?"

Tubuh Maudy menegang namun ia segera saja menguasai keadaan. "Apaan sakit banget? Lo bisa meluk gue gini?"

"Gue tahan, Dy." Bobby merasa di atas angin. Maudy tak lagi banyak bergerak. Titik peluh di wajah sang gadis bisa ia lihat jelas. Rambut panjang berkelir hitam itu juga tampak berantakan. "Tanggung jawab kalau enggak bisa bangun."

"Mana ada?!" pekik Maudy. Matanya melotot garang ke arah pria yang ternyata masih memeluk ia seenaknya.

"Gimana kalau ditest dulu?"

"Lo gila?"

"Iya."

Maudy ingin melepaskan diri tapi ucapan Bobby juga tindakan yang dilakukannya, membuat Maudy terdiam bagai patung. Sebelum bibir mereka kembali Bobby pertemukan, kata-kata itu bagai sihir yang sangat kuat bagi Maudy.

"Lo bikin gue gila sejak awal ketemu, Dy. Sampai rasanya ... kegilaan gue sudah enggak bisa tertolong lagi kecuali di dekat lo."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro