[12] Makan, Dy, nanti kurus!
Sekarang Bobby yang kalang kabut karena ulahnya sendiri. Lagi juga dia tak memperkirakan respon sang ayah yang mendadak antusias. Sepanjang mereka menuju tempat renovasi yang dibicarakan sang ayah, beliau juga tak pernah lupa menyelipkan tanya, "Kapan mau dikenalkan dengan Papa?"
Demi Venus yang dekat dengan Matahari! Ucapan asal Bobby kenapa Tuhan malah jadikan macam boomerang, sih? Bibirnya ini hanya asal bicara. Otaknya dengan cepat mencari nama perempuan yang bisa ia jadikan tameng. Sorot matanya ia buat semeyakinkan mungkin karena tau, ayahnya bukan orang yang gampang dikelabui.
Tapi ...
"Jangan terlalu lama kalau sudah cocok. Lihat Barra dan istrinya itu. Papa yang hanya bertemu di pesta saja sudah yakin mereka pasti pasangan yang cocok."
Bobby mau meringis juga takut jadinya. Tak mungkin ia pasang wajah aneh membayangkan dirinya bersama Maudy di pelaminan. Hal tergila yang terlintas di benaknya sekarang. "Nanti, Pa. Dia masih sibuk kerja."
Sekali berbohong, ucapanmu akan terus berselimut dusta, Bob! Harusnya dia sadar akan hal itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur tercebur lumpur pekat bernama tipu muslihat. Tapi jauh di lubuk hati Bobby, lebih baik ia berbohong ketimbang bertemu dengan perempuan pilihan ayahnya. No way!!!
Memangnya Bobby ini Siti Nurbaya versi beda kelamin?
"Kerja? Kerja apa? Orang tuanya bagaimana? Kuliahnya di mana? Kegiatan di luarnya apa saja?"
Bobby menghela napas panjang. "Kita sudah mau sampai, Pa. Lebih baik bicara mengenai proyek renovasi saja. Bicara mengenai Maudy tak ada habisnya."
Itu benar. Di mana isi pembicaraan itu mengenai hal-hal buruk seputaran kelakuan Maudy; yang absurd, yang terlalu blak-blakan, yang tak pernah dipikir dulu sebelum bicara, yang sering sekali menatapnya sinis, belum lagi tangannya yang ringan sekali memberikan pukulan untuk Bobby. Memberi kesan kalau Bobby ini samsak tinjunya.
"Benar juga," Wicak melirik sekilas pada putranya yang duduk tenang di sampingnya. Apa dirinya percaya begitu saja? Tidak. Sejauh pengamatannya selama Bobby di Jakarta, ia tak pernah dekat dengan siapa pun kecuali berpusar pada kehidupan Barra dan keluarga Herdiyanto. Hal itu tak jadi soal karena ia menyadari, baik Rere juga Rustam menyayangi Bobby setulus hati.
Maka saat sang putra mengatakan sudah memiliki kekasih di Jakarta, satu hal yang pasti akan Wicak lakukan; meminta putranya membawa sang gadis. Membuktikan kalau Bobby bukan asal bicara. Meski dirinya lebih menyukai kalau Bobby bertemu dengan Nimas Ganeswari. Garis keturunan dan latar belakang gadis itu sudah lama Wicak tau. Lagi pula menjalin hubungan baik dengan keluarga Bringharja bukan hal yang buruk.
Antusiasme yang ia lontarkan hanya sebatas untuk menunjukkan kalau dirinya peduli. Setidaknya ia harus menghargai ucapan putranya, kan? Belajar dari pengalaman selama Bobby tak ada di rumah, di mana ia harus menekan sekali rindu serta banyak hal mengenai keberadaan Bobby yang menetap sementara di Jakarta. Sepertinya membujuk Bobby bukan lagi dengan paksaan serta intimidasi meski Wicak bisa saja menggunakan dua hal itu.
"Di sini, Pa?" tanya Bobby dengan kepala sedikit mengawasi sekitarnya. Mereka sudah turun dari mobil dan bersiap menuju lokasi di dalam villa yang akan direnovasi.
"Iya."
Kening Bobby berkerut cukup dalam. Kapan terakhir kali ia diajak berkeliling melihat semua milik Diningrat? Sepertinya seminggu sebelum ia ke Jakarta. Bertujuan untuk memberitahu dirinya akan banyak hal yang bisa ia urus selama di Surakarta. Tapi keinginan Bobby bulat. Ia tetap melangkah meninggalkan sang ayah ke Jakarta. Kuliah, menghirup udara bebas, tak terlalu dikekang oleh banyaknya aturan, juga ... merasakan arti hidup yang sesungguhnya.
Untuk lokasi yang baru saja ia pijaki ini, Bobby merasa belum pernah ke sini. Apa ini asset baru sang ayah?
Mereka berjalan sembari sesekali berbincang ringan. Juga menimpali dua orang yang menyapa mereka di mana Bobby yakini adalah orang kepercayaan sang ayah untuk mengurus renovasi bangunan yang memang cukup tua. Memasuki area yang cukup luas untuk ukuran lobby, Bobby dan Wicak disambut beberapa pelayan berseragam khas. Disajikan minum serta penganan ringan sekadar melepas lelah. Wicak masih terus mengomentari progress yang disampaikan oleh dua orang tadi. Sementara Bobby memilih menikmati segala hal yang bisa ditangkap netranya ini.
"Bisa lihat perencanaannya, Pak?" tanya Bobby tiba-tiba. Dirinya cukup penasaran karena ada beberapa hal yang menurutnya tak perlu namun dipaksa untuk dikerjakan.
"Oh, sebentar Pak." Salah satu dari mereka, Rido namanya, mengeluarkan satu map berisi mengenai bagan-bagan serta estimasi ukuran untuk tempat-tempat yang butuh mendapatkan sentuhan pembaharuan. "Silakan, Pak."
Bobby sekali lagi tenggelam dan membiarkan ayahnya bicara dengan Rido serta Salman. Ia sibuk membolak balik lembaran kertas di dalam map tersebut. "Ini kalau saya mau protes masih bisa, kan?"
Obrolan mereka terhenti. Wicak sedikit membenahi kacamatanya. Dua orang lainnya menatap Bobby dengan kernyitan di dahi. "Maksudnya?" tanya Wicak akhirnya.
"Ini banyak yang tak perlu, Pa. Bobby koreksi beberapa point. Tadi Bobby sempat lihat bagian mana yang butuh renovasi kecuali bangunan di belakang. Lebih baik itu hancurkan saja, bangun baru."
Wicak mengerjap pelan. "Bangunan di belakang masih bagus, Nak."
"Benar kah? Bobby salah lihat kalau begitu?"
***
Maudy suka restoran yang menyajikan hidangan dengan grill dan kuah asam manis yang menyegarkan. Tiap kali penawaran makan bersama Regi muncul di sela kegiatan mereka menguras tabungan, di mana nominal angka yang ada bertukar dengan baju, sepatu, celana, atau parfum, maka tujuan utama untuk mengisi energinya lagi adalah restoran khas jepang atau korea.
Olahan daging sapi yang dibakar lengkap dengan bumbu asin juga gurih, berpadu dengan sup di mana terdapat udang, bakso ikan, juga potongan tahu lembut sangat ia gemari. Oh ... jangan lupakan sayuran yang tak terlalu matang ketika ia masukkan ke dalam kuah mendidih. Jika Maudy sudah berada di dalam restoran dengan gaya seperti itu, yakin lah, bisa satu atau dua jam ia habiskan hanya sekadar untuk makan.
Akan tetapi kali ini, meskipun di depannya mengepul asap beraroma daging lezat juga wadah besar berisi aneka isian sup, Maudy rasanya mau segera pergi dari sini. Kalau bisa sejauh mungkin karena rasanya canggung sekali. Sementara di sampingnya, anak yang kemarin ia temui malah makan dengan asyiknya. Apa anak itu tak tau betapa gugup Maudy berada di situasi seperti sekarang?
Bagaimana tidak? Di depannya duduk seorang Malik yang tampak tak terganggu sama sekali. Meski kemarin sempat bertemu, tapi ia tak menyangka kalau akan ada pertemuan selanjutnya. Apa yang akan mereka bahas memangnya? Maudy rasa tak ada. Lagi pula sang pria sepertinya sibuk meladeni putirnya sejak tadi. Tangannya repot dengan penjepit daging dan sesekali bertanya pada putrinya apa yang diinginkan.
"Lho, Dy, kamu enggak makan? Bagianmu sudah matang, kan? Atau tunggu supnya?" tanya Malik dengan senyum tipisnya. Senyum yang tak pernah Maudy lupa. Yang selalu ia impikan untuk hadir di depannya dan menjelaskan banyak hal mengenai masa lalu. Tapi sekarang? Maudy tak lagi menginginkannya.
Ia hanya ingin kembali ke villa. Oh tidak. Rencananya hari ini adalah menikmati jalan di sekitaran Canggu. Atau ke mana pun motornya melaju. Persis seperti pelancong tak punya tujuan yang hinggap dari satu tempat ke tempat lainnya. Yang penting, kan, Maudy melaporkan dirinya ada di mana. Agar tak membuat heboh baik Jo atau pun Regi yang cerewetnya naik ribuan kali lipat.
"Pokoknya ke mana pun lo sampai di satu tujuan, lo kabari Pak Jo! Paham?" kata Regi tadi pagi saat Maudy menolak pengawalan selama ia bersenang-senang. Bahkan alasan dirinya ingin mencari pacar, bisa turun pamornya karena ada Jo di dekatnya, juga tak bisa menikmati kebebasan dirinya, tetap tak menggoyahkan keteguhan Regi.
Baik, sih, tapi ... Maudy macam anak lima tahun saja!
Namun demi apa pun yang terjadi di Bulan, Maudy rasanya lebih baik bersama Jo ketimbang sekarang. Ia terjebak di situasi yang asing sekali seperti ini. Sangat tak nyaman.
"Ah, iya." Hanya itu yang bisa Maudy jawab. Makan di mana ia berusaha bergerak setenang mungkin. Tak terlalu antusias seperti biasanya ketika ia dihadapkan dengan pemanggang serta irisan daging.
"Restoran ini cukup enak, kok. Aku sempat cari referensi untuk makan selama di Bali." Malik berkata sembari menuang kuah sup untuk anaknya. "Aish makan yang banyak, ya. Sarapan tadi hanya sedikit, kan?"
Aish cemberut. "Aku enggak suka sayur, Pa. Masa sarapan ada sayurnya gitu. Enggak enak."
"Kamu seperti Tante Dydy, lho. Dia juga enggak suka sayur dulunya."
Maudy membeku. Malik ... masih ingat mengenai dirinya?
"Tapi sepertinya sekarang enggak, ya, Dy?"
Agak lama Maudy terdiam.
"Dy?" panggil Malik kali ini dengan kernyitan bingung. Apa sejak tadi gadis ini memikirkan sesuatu? Wajahnya terlihat tak nyaman? Padahal ia berniat meminta maaf karena pertemuan singkat kemarin dijeda dengan adanya meeting lanjutan. Rasanya Malik ingin merutuk tapi tak bisa. Dirinya memiliki tanggung jawab yang besar di sini.
"Ah, iya. Sekarang aku suka sayur," ringis Maudy. "Kamu makan yang banyak, Aish. Sehat, lho, sayur itu."
Malik tersenyum lega akhirnya. Setidaknya Maudy tak terlalu sungkan lagi. Pertemuan tak disengaja ini membuat masa lalunya kembali menyeruak sejak semalam. Terutama mengenai gadis yang ada di depannya ini. Yang rasanya ... jauh berbeda dari terakhir kali ia tinggalkan. Terpaksa meninggalkan semua karena suatu hal, lebih tepatnya.
"Kamu tinggal di Bali?"
Maudy menggeleng cepat. "Liburan aja, sih."
"Sendirian?" Malik cukup terkejut mendengar ucapan Maudy barusan. Liburan biasanya bersama keluarga, teman, atau pasangan. Tapi Maudy?
"Yah ... gitu lah. Nasib jomlo enggak ada obatnya," kekeh Maudy. Diambilnya irisan daging panggang bagiannya yang sudah matang. Makan dengan lahap karena tak mungkin ia terus menerus bersikap canggung. Perutnya minta diisi dengan kapasitas maksimal. Agendanya juga sudah penuh hingga malam nanti. Ia tak mungkin menyia-nyiakan aneka makanan lezat di depannya ini.
"Kami temani gimana?"
"Gimana?" tanya Maudy berusaha sesantainya. Masih belum bisa mencerna dengan baik ucapan Malik.
"Aku dan Aish temani liburannya. Gimana?"
"Liburan sama Tante Dydy?" sambar Aish dengan cepatnya. Melihat sang ayah mengangguk, Aish terpekik girang. "Hore!!!"
Maudy? Tersedak hebat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro