[11] Ngantuk tidur, Dy, bukan scroll IG
Mana bisa terpejam dengan damai kalau di kepala Maudy seliweran terus sosoknya Malik. Bukan karena perubahan yang ia lihat sekarang. Tiap orang di masa lalu pasti memiliki perbedaan di masa depan, kan? Bisa jadi ia menjadi lebih cantik karena pintar memantaskan diri. Bisa jadi juga ia tambah keren karena outfit yang dikenakan. Atau rajinnya seseorang merawat tubuh termasuk pergi ke pusat kebugaran. Siapa yang tau?
Seperti Malik yang masih ia ingat sampai sekarang sosoknya. Pemuda jangkung dengan rambut agak ikal, kulitnya cokelat terpanggang matahari. Sorot matanya lembut dan penuh empati. Sikapnya yang hangat juga terkontrol emosinya. Hanya beberapa hal yang berubah ketika mereka akhirnya bertemu kembali. Dalam segi fisik, Malik membuat Maudy tak mengedip untuk beberapa saat. Tubuhnya tinggi tegap dibalut dengan setelan jas serta dasi. Rambutnya tertata rapi khas eksekutif muda yang tengah bekerja di sela jadwalnya yang sibuk.
Tapi ... ke mana Malik yang ia kenal dengan sikap tenangnya? Nada tingginya saja membuat Maudy yang berdiri memperhatikan dari jauh, bergidik ngeri. Apa lagi kalau dirinya menjadi sang wanita? Tapi rasanya juga, wanita yang menurut Maudy cukup fashionable itu tak terpengaruh sama sekali.
Maudy masih belum lupa pertengkaran yang terjadi di lobby hotel itu. Yang membuatnya mengambil sikap untuk menjauh. Segala yang terjadi tadi sore sungguh membuat jantungnya tak keruan berdetak. Matanya menengadah menatap langit kamar yang putih. Tenang serta sejuk di sana tapi tetap tak bisa membuat Maudy terpejam cepat. Bayang Malik, pertengkaran dengan wanita yang katanya mantan istri Malik, Aish yang merupakan putri Malik.
Ya Tuhan, Maudy kenapa terlibat hal ini, sih? Drama rumah tangga serasa menonton serial drama korea yang membuat jiwa mendadak panas. Sekali lagi, ia berbalik ke sisi kiri. Memeluk guling di mana selimutnya hanya menutup bagian kaki. Mendesah pelan sebagai wujud kefrustrasian yang ia miliki. Matanya dengan cepat mencari jam yang ada di dinding kamar. Sudah menunjuk pukul sebelas malam.
"Ngantuk kenapa, sih, mata. Capek tau," keluh Maudy pelan. Disambarnya ponsel yang ada di nakas. Mungkin bermain di mesia sosial bisa membuatnya mengantuk. Ide yang cukup bagus, kan? Gadis berkulit putih ini memang aktif di media sosial. Ia tau, kepentingannya di media sosial juga mendukung kariernya sebagai seorang sales mobil. Banyak pertemanan terjadi di sana juga koneksi yang ia miliki termasuk asset yang berharga. Tak sekali dua kali ia berkenalan dengan orang-orang yang menjadi customer setianya di Honda.
Jemarinya dengan lancar mengetik nama yang ingin ia tau dunianya di media sosial tapi ... nihil. Selalu seperti itu sejak ia mengenai arti sosial media. Satu-satunya orang yang ingin ia ketahui keberadaannya adalah Malik. Namun sampai detik ini juga, pencariannya tak membuahkan hasil apa-apa. Rasanya hal yang mustahil mengingat zaman yang berkembang pesat, seseorang tak memiliki sosial media. Iya, kan?
"Ck! Enggak guna!" Maudy berdecak sembari melempar ponselnya ke sembarang arah. Ke ranjang memang, tapi tetap saja kalau jatuh dan pecah? Ah ... Maudy mana mau memikirkan hal itu. Belum juga ia kembali menyibak selimut dan menenggelamkan diri di dalamnya, ponsel itu meminta perhatian. Keningnya jelas berkerut, lah. Ini sudah jelang tengah malam, siapa pula yang meneleponnya?
Kurang kerjaan, kah?
Nama T-rex tertera di sana yang membuat Maudy segera menggeser icon hijau. "Kenapa? Lo enggak tidur?"
"Ish, ish, ish. Bukannya salam atau apa malah nanya dengan nada gitu."
Maudy mencibir. "Sudah lah. Enggak lucu kalau lo basa basi gitu, Rex."
"Emang teman enggak beradab!"
Maudy tergelak. "Tumben telepon tengah malam? Kenapa? Enggak bisa tidur?" tanya Maudy setelah ia meredakan tawanya.
"Enggak juga, sih. Mas Barra lagi telepon sama bijinya."
Cengiran hadir di wajah Maudy, lebih banyak ke arah meremehkan ketimbang hal lainnya. "Yah ... sesama biji pasti rindu, kan? Rennes lagi pulang kampung, kan?"
Ada helaan napas panjang yang Regi berikan di ujung telepon sana. Membuat Maudy mengerutkan kening heran. "Kenapa lo?"
"Dia terancam enggak bisa balik ke Jakarta, Dy."
Maudy? Ngakak, lah! Akhirnya hama yang ia jauhi, virus yang dihindari, wabah yang ia singkirkan jauh-jauh dari hidupnya, sudah tak ada lagi. Membayangkan harinya di Jakarta tanpa Bobby sepertinya menyenangkan. Sejak Barra menikah dengan Regi, menjadi orang nomor satu di Honda Fatmawati, juga beberapa kali Maudy harus satu frame dengan pria paling menyebalkan yang pernah Maudy temui.
"Kok, lo gitu?" tanya Regi dengan nada tak percaya. Mungkin di ujung sana, Regi sampai terperangah karena tak menyangka respon Maudy akan heboh seperti ini. Meski Regi akui, Bobby dan Maudy kalau disatukan hanya akan menambah pening di kepalanya.
"Yah, gimana, ya? Gue jujur aja senang, sih. Tapi kalau boleh tau, kenapa dia enggak balik lagi?" Maudy menegakkan punggungnya. Duduk bersila dengan tampang puas hanya karena kabar yang baru saja ia dengar ini.
"Entah, sih. Mas Barra belum cerita lengkap gitu. Tapi kayaknya karena keluarga Bobby memang agak kolot."
Alis Maudy saling tertaut. "Kolot?"
"Iya. Dia, kan, keturunan Adipati atau apa lah gue enggak paham."
***
Di tangannya, terdapat nampan berisi cangkir teh serta teko kecil dan penganan ringan untuk sang ayah. Meski Bi Inah melarangnya tapi Bobby tetap melakukannya. Obrolan dengan Barra semalam meskipun menambah deretan keruwetan yang ia miliki, tapi Barra memang orang yang tepat untuk diajak berbagi. Saran serta masukannya cukup membuat Bobby menyadari kalau ada beberapa hal yang harus ia lakukan.
Wicaksana sendiri sebenarnya cukup sibuk mengatur ini dan itu perkara kebun serta hasil persawahan yang ia miliki. Belum lagi bidang-bidang tanah yang dijadikan lahan untuk tempat pariwisata terkenal. Semuanya Wicak yang mengelola sendiri, dibantu seorang asisten tentu saja. Sejak dulu, keluarga Diningrat terkenal sebagai tuan tanah hingga kini. Bahkan hingga ke luar tanah Surakarta pun, nama Diningrat sangat disegani sebagai pemilik wilayah yang cukup dermawan juga kaya raya.
Jadi, Bobby sendiri sebenarnya kalau ingin menggantikan posisi sang ayah sangat memungkinkan. Namun risiko yang ia emban juga bukan perkara ringan. Sebagai seorang putra dari salah seorang garis keturunan keraton, banyak tata krama yang membuat Bobby serasa diikat lehernya. Tak bisa bergerak bebas juga tak leluasa bertingkah. Mesti Bobby tak banyak tingkah dan hidupnya lurus saja selurus tongkat pramuka, tapi tetap saja di mata sang ayah, ketidakhadirannya Bobby di sini sudah membuat gusar banyak orang.
Termasuk mempengaruhi kesehatan ayahnya.
Yang kini menjadi pertimbangan tersendiri bagi Bobby apakah ia harus kembali atau tidak.
"Pa," sapa Bobby begitu jaraknya sudah dekat dari tempat di mana sang ayah menunggu di aula tengah. Bobby yang kini sama seperti Wicak, mengenakan beskap navy dengan kain batik khas Surakarta yang diukir khusus oleh pada abdi dalem yang mereka miliki. "Maaf keterlambatannya."
Wicak mengangkat matanya. Kacamata kotaknya itu ia benahi perlahan. Tersenyum kecil dan mempersilakan putranya untuk duduk. "Harusnya itu tak kamu lakukan, Bobby. Tak pantas."
Bobby tau, dirinya pasti mendapatkan protes. "Iya, Pa. Tapi ... kalau Bobby ada di sini berarti Bobby siap melayani Papa, kan?"
Tadinya Wicak tak ingin banyak berdebat dengan anaknya. Putra kebanggaannya yang terkadang membuat ia pening mendadak. Termasuk sekarang. Ada saja bantahan yang diberikan Bobby perkara sepele. Padahal nampan beserta isinya bisa dibawa oleh pelayan yang ada di rumah ini. Tapi kenapa justeru Bobby yang melakukannya? Apa ini salah satu bentuk protes yang tengah putranya lancarkan?
"Hari ini agenda kita ke kota, Nak," Wicak mencoba mengabaikan perilaku Bobby. Disesapnya cangkir teh yang tersedia. "Villa di sana katanya butuh direnovasi. Kamu bisa bantu Papa?"
Bobby tak kuasa menolak, kan?
"Juga bertemu Raden Ayu Nimas Ganeswari."
"Untuk agenda jodoh menjodohkan, Bobby tak mau terlibat." Bobby berkata dengan nada tegas. "Papa boleh mulai atur hidup Bobby tapi bukan hati yang hanya satu dimiliki ini."
Tak ada respon apa pun dari sang ayah bukan berarti Bobby merasa bebas. Sekali lagi Bobby membuat penegasan. "Kalau tujuan Bobby diminta kembali hanya untuk menikah, Bobby hari ini kembali ke Jakarta. Lagi juga di Jakarta ada yang menunggu Bobby, kok."
"Siapa?"
Bobby menelan ludah gugup. Serasa termakan umpannya sendiri. Tak menyangka kalau ayahnya merespon dengan kata tanya 'siapa' bukan mengatakan 'Putuskan segera. Jangan buat malu.' Mengingat sang ayah termasuk orang yang ditaktor dalam hal keputusan.
"Maudy namanya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro