Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Singgah

Separuh malam kini mereka telah lalui. Jam di radio mobil menunjukkan pukul tiga pagi. Mobil sedan merah berbelok memasuki kawasan pom bensin. Arun melirik jarum bensin hampir mendekati empty. Pom bensin yang menjadi tempat mereka singgah itu terdapat tiga mobil dan lima tronton tengah parkir.

Arun menghentikan mobil tepat di kawasan tangki pengisian bahan bakar. "Kelihatannya kita harus beristirahat sejenak. Mobil ini harus mendinginkan mesin."

Mereka turun dari mobil. Luna menatap terdapat minimarket di depan. Ia melangkah menghampiri minimarket itu. Walau sudah makan malam, tetapi perutnya masih terlilit oleh rasa lapar.

Luna memasuki minimarket sederhana, tidak terlalu besar atau kecil. Terdapat beberapa orang yang tengah duduk di minimarket itu. Pintu kaca mulai didorong oleh Luna, suhu dingin AC menerpa. Tidak terlalu luas bagian dalamnya, tetapi banyak cemilan dan barang lain yang dijual. Luna segera melangkah ke bagian lemari pendingin membeli minuman susu, lalu pergi menghampiri ke lemari roti. Mengambil dua buah roti.

Setelahnya, Luna melangkah menuju kasir. Tidak ada lagi yang ingin ia beli saat ini. Penjaga kasir pun memindai barcode yang ada di bungkus cemilan dan kotak susu. Saat ia hendak mengeluarkan uang, tangan seseorang menodongkan ATM untuk pembayaran debit pada kasir. Luna segera menoleh, sosok Arun sudah berada di sampingnya, entah sejak kapan ia berada di sana, Luna tidak menyadarinya.

"Cepat sekali isi bensinnya?" Luna penasaran.

"Bukannya memang begitu?" Arun melayangkan pertanyaan kembali. "Lagipula mobilku sudah terparkir di depan minimarket."

Luna segera menoleh, mobil sedan merah sudah berada di depan minimarket. Bisa-bisanya Luna tidak menyadari. Mungkin selama memilih minuman, ia tidak terlalu fokus menatap ke luar.

Penjaga kasir itu mengembalikan kartu debit milik Arun. "Setidaknya seorang perempuan sepertimu tidak perlu mengeluarkan uang."

"Pemikiran macam apa itu?" Luna menyeringai.

"Kita istirahat dulu, mungkin beberapa jam sampai pagi tiba. Mataku sudah tidak kuat lagi untuk melek." Arun menguap lebar.

"Tidak apa-apa kalau kamu mau tidur. Lagi pula kita tidak sedang tergesa-gesa 'kan?"

Arun melangkah meninggalkan Luna di dalam minimarket. Ia membuka pintu mobil belakang. Segera ia merebahkan diri. Perjalanan panjang tiada hentinya membuat kakinya kelelahan. Ketika menatap langit-langit, Arun kembali teringat keputusannya. Apakah ini keputusan terbaik untuknya atau tidak? Ditambah Arun kabur bersama seorang perempuan.

Kelihatannya masalah ini akan bertambah lebih parah, gumam Arun sembari tersenyum simpul. Ia pun perlahan melupakan mengenai keputusan yang diambil. Perlahan ia mulai memejamkan matanya.

Luna duduk di bangku depan minimarket sembari menikmati susu kotak yang baru saja dibeli. Ia menatap bintang yang bertaburan di langit malam. Perlahan ia mulai menarik bungkus plastik roti, melahapnya pelan. Luna masih tidak bisa melupakan perdebatan dengan ayahnya. Entah mengapa ia merasa benci dengan semua ini.

Dilahirkan di dunia mungkin bukanlah sebuah kebahagiaan bagi Luna, melainkan sebuah kesengsaraan. Apa-apa penuh aturan dan batasan. Ingin sekali Luna menjadi seekor burung yang dapat terbang bebas ke mana pun. Semakin ia memikirkannya, semakin pula ia sebal dan benci dengan kehidupannya.

Ia melahap roti sekali lahapan, lalu meremukkan bungkus plastik hingga menjadi bola dan melemparkan ke dalam tong sampah. Pertanda Luna semakin kesal.

***

Aku benar-benar membencinya, sembari mengepalkan tangan dengan erat, Luna pun bangkit dari tempat duduknya. "Memangnya aku tidak boleh kuliah?" Nada Luna meninggi ketika berbicara dengan ayahnya di meja makan. "Selalu dan selalu ayah merendahkan perempuan sepertiku, kenapa aku tidak boleh kuliah?"

Meja makan itu kini berapi-api oleh amarah Luna.

"Bukankah sudah jelas? Percuma saja dirimu kuliah kalau ujung-ujungnya kamu akan berada di rumah kelak dan menjadi ibu rumah tangga." Ayah Luna menggebrak meja, pria itu memiliki tampang tegas dengan keriput di wajah. Rambutnya perlahan mulai memutih.

"Jadi, aku tidak boleh memilih jalanku sendiri? Apakah aku dilahirkan hanya untuk menjadi perempuan rumah tangga?" Luna memelototi ayah. "Pemikiran yang benar-benar kolot!" Luna tidak segan-segan mengatakan itu pada ayahnya. Ia beranjak dari meja makan, menuju kamarnya.

Selalu dan selalu, Luna berdebat dengan ayahnya, tidak pernah sekali sang ayah mendengarkan keinginan anaknya. Dan selalu pula, ayahnya berdalih untuk melindungi Luna, tetapi rasanya itu omong kosong. Ia memutar kunci pintu, dan duduk bersedekap lutut bersandarkan pintu.

Dadanya begitu sesak bersamaan dengan tenggorokannya yang sakit. Isak tangis mulai terdengar, bersamaan dengan air mata yang mulai membanjiri pipi bagaikan bak hujan deras yang tengah turun di luar sana.

Namun, di saat itulah sebuah rencana yang pernah ia susun sudah lama sekali mulai ia realisasikan. Kabur dari rumah. Tidak peduli hujan deras pun akan ia terabas. Percuma hidup dalam penjara yang bernama keluarga ini. Luna segera mengambil beberapa baju dari lemari, memasukkanya ke dalam tas. Mengambil ponsel dan dompet dengan uang yang tidak seberapa. Dalam perjalanannya ia akan mengambil semua uang di ATM untuk bertahan hidup. Entah cukup berapa lama dan apa yang terjadi setelahnya, Luna tidak peduli lagi.

***

Sembari menatap bintang, lamunan barusan membawa kejadian perdebatan di atas meja sebelum Luna kabur. Kini tidak tahu lagi ke mana ia berlari. Walau tujuan pastinya Jakarta, tetapi setelahnya Luna tidak tahu harus melakukan apa.

Dadanya terasa begitu sesak, tetapi ia tidak bisa menangis. Air matanya telah mengering.

Luna tertunduk, mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Ponsel itu sejak tadi mati, belum ia nyalakan semenjak kabur dari rumah. Pasti orangtuanya saat ini sedang mencarinya. Percuma saja berharap sesuatu yang tidak pasti itu. Boleh jadi, kehadiran Luna merupakan hal yang tidak diinginkan.

Melarang dengan dalih melindungi adalah sesuatu yang konyol bagi Luna. Bahkan yang dilarang pun belum tentu memiliki negatif. Tidak semuanya, itulah yang terpikirkan oleh Luna hingga saat ini.

Luna menguap lebar, matanya sudah tidak sanggup membuka lagi, sudah waktunya untuk tidur, apa lagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 3.30 pagi. Luna pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju mobil. Ia membuka pintu mobil depan, segera ia memasuki mobil.

Baru saja duduk, ia mendengar dengkuran Arun yang merebahkan diri kursi belakang. Dengkurannya begitu keras. Rasanya aku menyesal kabur bersama Arun, pikir Luna. Namun, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Perjalanan mungkin baru mencapai seperempat, entahlah.

Luna pun mulai memejam kan mata.

Tetiba, Luna terbangun dari tidur dengan sendirinya. Cahaya mentari sudah menyinari di luar sana, menerobos masuk melalui kaca depan mobil. Ia menoleh ke belakang sosok Arun sudah tidak ada di sana. Ia segera menatap ke luar. Arun sudah bangun sejak tadi, saat ini ia tengah berdiri dengan kedua tangannya di masukkan ke dalam kantung celana jeans. Apa yang dia lakukan? Luna pun penasaran, ia turun dari mobil menghampiri Arun.

"Sedang apa?" Luna melayangkan pertanyaan.

"Coba lihat ke depan," pinta Arun sembari menunjuk pada lahan sawah yang hijau bersamaan matahari yang baru saja terbit.

Luna menoleh, memandang pemandangan yang jarang dilihat. Sering Luna menatap pemandangan hamparan sawah hijau dengan matahari terbit. Namun, sekalinya ia melihat itu, tetap membuatnya takjub.

"Aku tidak ingin melewatkan pemandangan ini," kata Arun. "Pemandangan seperti ini jarang ditemui di kota."

Luna mengangguk. "Benar, walau aku sering melihatnya dulu, tetapi tetap saja pemandangan seperti ini tidak pernah membuatku bosan."

"Sebentar lagi kita akan melanjutkan perjalanan." Arun menepuk bahu Luna, lalu melangkah menuju mobilnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro