Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Rencana Kabur

"Ayo kita kabur...."

Arun sekejap menoleh pada Luna. Kabur? Itu pilihan terakhir Arun ketika keadaan semakin genting. Terkadang kabur bisa saja menjadi solusi yang benar. Namun, rasanya kalau kabur, Arun masih belum siap. Ia pun menggeleng kepala.

"Aku belum siap untuk kabur, kamu tahu sendiri 'kan kalau aku orangnya kadang kepikiran."

"Makanya aku mengajakmu kabur." Luna tetap bersikeras. "Aku tahu, kalau kamu pasti mudah kepikiran jadinya kita kabur."

Arun menoleh ke belakang, ia tidak membawa persiapan sama sekali. Seluruh pakaiannya ada di kos. Ia pun mengernyitkan dahi, memikirkan apakah keputusan yang dibuat oleh Luna sudah benar atau belum?

Selang beberapa menit berpikir, Arun mengangguk. "Baiklah kita kabur, tapi kita akan kabur ke mana?"

"Entahlah, aku masih belum tahu. Kita jalani dulu saja sampai kita menemukan tempat yang cocok."

Arun perlahan membuka bungkus hamburgernya, melahapnya sembari mengambil keputusan. Mungkin kabur bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, ia tidak tahu sampai mana mereka akan bertahan.

Perlahan, ia mulai menghela napas. Arun tahu, keputusan yang dibuat oleh Luna begitu nekat. Jika ia kembali, selamanya Arun tidak akan pernah terlepas dari tekanan sang ayah.

"Kelihatannya aku sudah menemukan jawabannya. Kupikir kabur adalah jawaban yang tepat." Arun menatap Luna.

"Benar 'kan?" Luna menyunggingkan bibir. "Kita akan pergi ke barat, paling-paling kita akan tiba di Jakarta."

Arun memutar kunci mobil, derungan mesin lembut terdengar. "Aku tidak yakin akan tiba di sana, tapi tidak ada salahnya juga mencoba."

Mobil sedan merah itu pun mundur, lalu keluar dari area parkir. Pertama yang harus dilakukan Arun adalah meringkas barang-barangnya yang masih tertinggal di kos. Hujan di luar sudah reda, langit berganti dipenuhi oleh bintang gemintang yang berkelap-kelip. Pertanda sesuatu yang baik akan segera tiba.

Mereka tiba di kos Arun. Arun menuruni mobil. "Kamu tunggu di sini, aku mau meringkas baju-bajuku."

Arun segara memasuki bangunan dua lantai itu. Bangunan itu memiliki dinding berwarna putih bersih, terlihat seperti baru saja di cat. Ini baru kali pertama Luna datang ke kos Arun. Kalau tidak salah ingat, rumah Arun di Surabaya 'kan? Kenapa dia memilih kos ya? Luna tidak habis pikir dengan alasan Arun memilih menyewa kamar kos. Mungkin ia bisa menanyakannya ketika perjalanan nanti.

Selang beberapa menit, bagasi belakang mobil terbuka. Arun memasukkan tas ransel yang berisi pakaian, konsol nintendo, dan lapton itu ke dalam bagasi. Segera ia melangkah, membuka pintu kursi kemudi. Arun memutar kunci mobil, derungan mesin menyala di tengah malam yang senyap.

"Baiklah, kita akan menuju ke barat, berarti tujuan kita Jakarta."

Luna mengangguk. "Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Jangan lewat jalan tol."

Arun mengemudi mobilnya, melaju di jalanan yang sunyi. Malam seperti ini, Surabaya tidak seramai pada siang hari. Arun bisa dengan bebas menaikkan kecepatannya yang tinggi itu.

"Kenapa kamu mengiyakan rencanaku?" tiba-tiba Luna melayangkan pertanyaan pada Arun.

Arun sedikit melirik pada Luna. Sebenarnya alasan Arun kabur juga sama dengan alasan Luna. Kabur dari kedua orangtuanya yang selalu memberikan tekanan lebih. Ia tidak mempermasalahkan sebuah tekanan yang selalu menimpa Arun. Namun, kali ini tekanan yang diberikan oleh kedua orang tuanya lebih parah dari biasanya. Selain itu, Arun juga diam-diam keluar dari kuliahnya.

"Mungkin sama denganmu, aku kabur dari orangtuaku. Aku tahu ini salah, tetapi di sisi lain mungkin ada baiknya. Fakta menariknya, aku berhenti kuliah diam-diam."

Mendengar itu membuat kelopak mata Luna terbuka lebar, sembari menyeringai dan berkata, "Dirimu berani juga rupanya. Itu sih lebih parah dari tindakanku." Luna tersenyum simpul. "Lalu, apa yang terjadi bila kedua orang tuamu tahu bila kamu berhenti?"

Arun mengedikkan bahu. "Entahlah, aku tidak tahu, paling-paling aku akan dimarahi habis-habisan. Sebelum hal itu terjadi aku memutuskan untuk kabur." Arun memindahkan perseneling mobil untuk menurunkan kecepatan, menginjak rem, memutar setir dengan cepat. Mobil sedan merah berbelok sedikit tergelincir hingga terdengar decitan ban.

Degup jantung Luna berdetak kencang ketika mobil yang ditumpanginya melakukan drifting.

Arun kembali memindahkan perseneling untuk menaikkan gigi.

"Tindakanmu barusan benar-benar bodoh ya," celetuk Luna dengan sedikit emosi.

"Aku suka melakukannya di jalanan, kadang," tanggap Arun. "Setidaknya ini yang bisa membuatku sedikit tenang. Kecepatan mobil yang tinggi bisa membuatku tenang karena emosiku berbaur dengan mesin yang bekerja cepat dan menimbulkan panas di dalamnya.

"Tidak salah bila ada seseorang yang pernah mengunggah video di tiktok kalau melaju dengan kecepatan tinggi serta emosi dan berteriak dengan kencang bisa membuatnya lega. Aku antara setuju dan tidak setuju, lebih tepatnya tidak untuk ditiru."

Pernah beberapa kali Luna melihat postingan video tersebut. Namun, ia belum pernah merasakannya. Banyak orang memiliki cara masing-masing untuk menenangkan diri. Seperti dirinya sendiri yang selalu tenang ketika sedang membaca buku.

Untuk saat ini, kenyamanan itu masih ada ketika ia bisa kabur dari rumah. Luna menoleh ke jendela mobil yang ada di sebelah kiri. Gedung Tunjungan Plaza yang menjulang tinggi dengan lampu bergelapan berwarna warni di setiap sisi gedungnya.

Apakah ini keputusan yang tepat? Entahlah Luna sendiri tidak tahu. Ia hanya bisa memikirkan untuk lari tanpa tujuan. Ingin rasanya kembali, tetapi bila Luna kembali ia akan terkekang dalam genggaman sang ayah. Lebih baik kabur saja.

Jalanan Kota Surabaya dipenuhi oleh genangan airu, berulang kali mobil sedan merah menyentuh genangan itu.

Perseneling mobil kembali dipindahkan oleh Arun, kecapatan mobil perlahan mulai naik sedikit demi sedikit. Kecepatan mulai menyentuh 85 km/jam. Tepat di depan lampu lalu lintas mulai menunjukkan kelap-kelip berwarna kuning. Artinya lampu lalu lintas itu tidak beroperasi, kendaraan mana pun boleh melintas dengan pelan.

Arun tidak mengangkat gas, atau menginjak rem sama sekali. Derungan mesin mobil terdengar semakin kencang.

Di bangku penumpang yang ada di samping, Luna memegang pegangan mobil yang ada di langit-langit. Sekarang ia baru menyesal menumpang bersama Arun.

Tikungan di hadapannya mulai dekat. Arun memindahkan perseneling, menurunkan gigi mobil. Kopling diinjak penuh bersamaan dengan menginjak rem sedikit, Dengan cepat, Arun memutar setir kemudi. Mobil sedan merah mengepot di tikungan. Decitan ban belakang terdengar. Tidak jauh, terdapat tikungan ke kiri. Arun melakukan hal serupa, mobil sedan merah berbelok dengan mengepot, decitan ban terdengar kembali.

Mobil sedan merah melaju dengan cepat di jalanan yang lurus itu. Harusnya ban belakang akan mengalami kendala, pikir Arun sejenak. Namun, kelihatannya tidak masalah. Masih ada ban cadangan di bawah mobil. Arun kembali menginjak gas lebih dalam. Laju mobil sedan semakin kencang. Namun, Luna yang duduk di bangku kemudi masih belum bisa tenang. Ketidaktenangannya itu tergambar di raut wajahnya.

Aku menyesal! Luna berteriak dalam batinnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro