1. Kehidupan Kita Terkekang dan Tertekan
Hujan deras mengguyur Kota Surabaya malam itu. Arun tengah duduk di kemudi mobil menatap butiran air yang menempel di jendela mobil. Dalam kegelapan yang remang akibat dari lampu dari papan reklame terpancar. Ia tengah melamun memikirkan banyak hal. Ingin rasanya ia marah saat ini, tetapi emosi itu masih tertahan dalam diri yang tengah gundah. Ingin rasanya menangis pun, tidak bisa. Kepalanya dipenuhi oleh jalur kebingungan dan tekanan dari pihak dalam.
Arun menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Akan tetapi, walau berusaha tenang, masih banyak hal yang mengganggu dirinya. Tak lama, ia memutar kunci mobil. Derungan mobil sedan berwarna merah itu terdengar samar di antara hujan deras. Perlahan mobil itu melaju, keluar dari area parkir umum. Dengan kecepatan tinggi, mobil itu melaju, menyentuh 80 km/jam. Lincahnya tangan memindahkan perseneling untuk menaikkan gigi. Mobil sedan semakin kencang, menyalip mobil lamban di depannya.
Setidaknya dengan kecepatan tinggi, hati Arun sedikit lega. Amarah itu melebur dengan kecepatan mesin yang kian semakin cepat. Tidak peduli itu akan melanggar peraturan. Lagi pula tidak ada polisi malam ini yang bertugas.
Kehidupan yang dijalani Arun begitu keras, kuliah di jurusan sesuai dengan keinginan orang tuanya sebagai ajang pamer ketika reuni keluarga. Hal itu tidak bisa dipenuhi oleh Arun. Apalagi kuliah jurusan hukum yang jelas-jelas bukan bidangnya. Keinginan Arun kuliah di ilmu komputer telah sirna. Ayahnya menginginkan Arun untuk memilih kuliah di jurusan hukum.
***
Malam ini hujan turun begitu deras, Luna tengah melangkah seorang diri. Tubuh serta pakaiannya basah kuyup. Tidak peduli apa yang akan terjadi pada dirinya, meninggal atau sakit, entahlah. Namun yang pasti ia terus melangkah.
Perdebatan yang heboh baru saja terjadi di rumah. Suara dari kedua orang tuanya begitu keras. Tidak ada yang mau mengalah, sekalipun Luna untuk diam pun enggan. Ini semua kepentingan untuk masa depan. Kadang antara orang tuanya dan Luna sendiri tidak pernah sejalah. Sang Ayah menginginkan Luna setelah lulus dari SMA tidak perlu melanjutkan kuliah. Akan tetapi, Luna menolaknya. Apakah seorang perempuan tidak pantas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi? Bagi ayahnya Luna, pendidikan untuk perempuan tidak begitu penting karena ujung-ujungnya perempuan akan berakhir mengurusi rumah tangga.
Pemikiran yang kuno itu masih melekat dalam kepala sang ayah, membuat Luna jengkel. Perdebatan itu masih terekam jelas dalam ingatannya.
Langkah Luna terhenti sejenak, menatap ke langit. Awan hitam menggantung di langit. Ia menjulurkan tangan ke atas sana. Dunia sudah berubah, tidak lagi terbenam dalam pikiran yang kuno. Banyak pemikiran lebih maju, atau kadang ada kalanya sang ayah tidak peduli. Ayahnya mengetahui banyak hal, tetapi ia beruaha menutupi realita itu. Ibarat sebuah burung yang terkurung dalam sangkar, tidak bisa terbang bebas melihat dunia dengan berbagai macam kisah dan pengalaman.
Luna melanjutkan langkahnya dengan tas ransel yang tidak membawa banyak baju. Untungnya tas itu terlindungi dari air hujan karena sebelum menyempatkan kabur, Luna memasangkan mantel pada tasnya, dan kabur lewat jendela.
Sebuah mobil sedan berwarna merah melintas, tiba-tiba mobil itu berhenti tidak jauh. Turunlah seorang laki-laki remaja yang Luna kenal. Segera laki-laki itu berlari menghampiri Luna. Rambutnya hitam, basah terkena air hujan bersamaan seluruh pakaian kaosnya.
"Luna, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya laki-laki itu.
Luna menggeleng. "A-aku baik-baik saja kok."
Air mata Luna mulai berjatuhan bersamaan dengan air hujan. Dadanya terasa sesak. Namun, lelaki itu tahu jika Luna mengalami kesedihan dan penderitaan yang amat dalam. Terpancar dari bola matanya yang berwarna hijau itu.
"Ikutlah denganku, nanti kamu sakit kalau begini terus." Lelaki itu menarik lengan Luna, membawanya ke dalam mobil sedan berwarna merah itu.
***
Hujan masih mengguyur Kota Surabaya begitu deras. Mobil sedan berbelok memasuki restoran cepat saji.
Rambut Arun basah kuyup akibat menolong teman gadis yang saat ini duduk di sampingnya. Rambutnya pendek sebahu hitam yang semula basah itu kini mulai mengering.
"Kamu belum makan, 'kan?" tanya Arun pada Luna—gadis rambut pendek itu.
Luna menggeleng. "Sama sekali belum makan." Raut sedih masih tergores di wajahnya.
"Kamu tunggu di sini, aku mau beli makan dulu." Arun turun dari mobil, berlarian menuju restoran cepat saji itu.
Luna masih ingat ketika ia bertemu dengan Arun pertama kali, saat itu Luna baru saja menginjakkan kaki di kelas satu SMA sedangkan Arun satu tingkat di atas Luna. Mereka saling bertemu di halaman belakang sekolah. Rumput-rumput meninggi berwarna hijau serta terdapat bangunan tua di hadapan mereka dengan dinding yang dipenuhi oleh lumut. Konon bangunan itu merupakan bangunan dari sekolah mereka yang sudah tidak terurus.
Memasuki jam istirahat, Luna melirik pada gerbang yang sudah berkarat, sedikit terbuka. Rasa penasarannya ingin ke sana tergugah, ia memutuskan untuk melihat di balik gerbang itu. Melewati gerbang itu, ia melihat bangunan terbelangkai. Sebelumnya ia tidak pernah mengetahui bangunan itu ada di belakang sekolah.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suara muncul tiba-tiba di samping Luna.
Luna menoleh, seorang lelaki remaja dengan rambut hitam dan bola mata biru tengah duduk asyik dengan konsol gim nintendo.
"A-aku hanya penasaran," jawab Luna.
Lelaki itu melirik Luna. "Baiklah, kukira kamu mau melaporkanku. Sebenarnya dilaporkan saja juga tidak masalah sih."
"Enggak kok, aku enggak ingin melaporkanmu."
"Baiklah, terserah padamu saja kalau itu," balas lelaki bernama Arun itu. "Jadi, kamu hanya penasaran pada bangunan di depan sana?" tanya Arun.
"Benar." Pandangan Luna kini tertuju pada badge yang ada di lengan. Badge tersebut berwarna biru, itu artinya orang yang diajak bicara oleh Luna merupakan kakak kelasnya.
"Aku pun juga begitu." Arun menghentikan permainannya. "Pasti kamu ke sini karena tidak punya teman kan?"
Luna tidak mengangguk, tetapi apa yang dikatakan oleh lelaki di hadapannya—Arun—itu ada benarnya.
"Karena jarang seseorang membawa temannya kemari." Arun menoleh pada Luna. "Namaku Arun, kamu boleh memanggilku tanpa kak dan selamat datang di klub penyendiri." Arun sedikit menyunggingkan bibir.
Arun aneh, pikir Luna. Namun, entah mengapa untuk sejenak rasanya begitu tenang. Dari sana lah semua kisah dimulai hingga saat ini.
Pintu kemudi mobil terbuka, sosok Arun menaiki mobil sembari membawa bingkisan. Bingkisan itu berisikan dua hamburger, Arun merogoh bingkisan itu lalu memberikannya pada Luna.
"Maaf ya, aku hanya bisa membelikan ini, mereka sedang kehabisan ayam dan nasi."
"T-terima kasih."
Arun melirik ke belakang. "Kamu membawa tas ransel dan berjalan di bawah hujan deras. Apa kamu baru saja pulang dari les?"
"Aku kabur dari rumah," balas Luna singkat, "bagaimana denganmu?"
"Aku berhenti kuliah, yah menuruti keinginan orang tua kadang menyebalkan. Kini aku tengah berusaha mencari pekerjaan yang layak dengan modal ijazah SMA, tetapi tidak ada yang mau menerima." Arun menghela napas. "Jadinya aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang."
"Ayo kita kabur...."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro