Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15

"Ayo cepet kita foto-foto!" seru Daffa sambil menenteng kamera. "Emang salah nungguin pengantin baru."

"Apa sih, Kak?!" ujar Shira malu. Apalagi melihat ekspresi Daffa yang terang-terangan menggodanya.

Mereka menuju Jembatan Cinta, spot ikoniknya Nami Island. Jembatan ini dikelilingi oleh pohon-pohon yang mulai tertutup salju. Selain sesi foto bersama, Daffa dan Yunda juga sibuk memfoto masing-masing anggota keluarga. Kecuali Davin yang memang tidak terlalu banyak ingin difoto sendiri, kecuali saat dipaksa istrinya untuk mengabadikan kenangan.

Yang paling diantisipasi, Dyo dan Shira yang tentu dinanti-nantikan chemistry-nya. Apa sungguh mereka benar-benar jatuh cinta satu sama lain?

Setelah diarahkan oleh Daffa dan Yunda, Shira dan Dyo berpose saling tatap dan bergandengan tangan, atau Dyo yang merangkul erat bahu Shira. Mereka juga mengambil foto dengan latar belakang pepohonan Ginkgo yang juga merupakan spot foto popular di sana.

Tak ketinggalan, sebagai ikon utama yang mengingatkan orang-orang pada Nami Islands adalah patung dari drama Winter Sonata. Patung ini menjadi salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi oleh penggemar drama tersebut dan turis dari seluruh dunia dan menjadi simbol yang romantis.

Patung ini berdiri menggambarkan dua karakter utama dari serial "Winter Sonata", yaitu Joon-sang dan Yoo-jin yang diperankan oleh aktor popular Bae Yong Jun dan Choi Ji Woo. Patung itu berhadapan satu sama lain dan tangan sang pria berada di sisi bahu sang wanita sementara tangan si wanita berada di dada pria.

Dyo dan Shira lagi-lagi diminta untuk berfoto seperti patung Winter Sonata. Shira dan Dyo menahan salah tingkah saat berhadapan. Pipi Shira rasanya panas sekali dan ia mengipas-ngipasi wajahnya. Apalagi saat Dyo dengan perhatian menghalangi wajah Shira dari salju yang turun.

"Udah belum sih, Kak?" tanya Shira saat Daffa malah sibuk ngobrol dengan Yunda masalah kamera.

"Iya bentar-bentar." Daffa lalu tertawa dan kembali memotret Shira dan Dyo.

Setelah banyak berfoto, perut mereka mulai menggerutu. Dyo merekomendasikan restoran dakgalbi alias ayam panggang yang terkenal di Nami Islands. Baru memasuki restoran, mereka menghirup aroma yang benar-benar menggugah selera. Dyo memesan makanan dan mereka duduk di meja masing-masing. Dyo dan Shira duduk berhadapan dengan Mora dan Bunda.

Shira dan Dyo pun bersikap dengan penuh antisipasi karena dua orang di hadapan mereka ini sangat sensitif dan memperhatikan mereka. Dyo meletakkan ayam panggangnya ke mangkuk Shira dengan perhatian. Dyo melirik Shira dan Bunda serta Kakak Shira bergantian, apakah ia harus menyuapi istri pura-puranya itu.

Dyo lalu menyumpit irisan ayam panggang dan menyuapi Shira yang menyambut suapannya dengan senyum manis. Shira juga ganti menyuapinya. Mereka puas saat menjumpai reaksi Bunda dan Mora.

Dakgalbi ada dua jenis. Ada yang dipanggang original ada juga yang ditumis dan berwarna merah. Puas makan dakgalbi, mereka lalu membeli hotteok, atau pancake tradisional korea yang berisi pasta kacang. Enak sekali dimakan saat masih panas dan dalam cuaca seperti ini.

Mereka juga menyusuri toko-toko souvenir khas Nami Islands. Mulai dari gantungan kunci, magnet kulkas, hingga topi dan kaos.

"Ini bagus," tunjuk Dyo pada gelang rantai dengan gantungan-gantungan kecil. Shira melihat pilihan Dyo dan langsung setuju.

Mereka memindai produk-produk lainnya. Ada kerajinan tangan seperti lukisan, patung, kerajinan anyaman, kaligrafi dan sebagainya.

Sementara Bunda dan Daffa lebih semangat berada di area makanan. Terdapat kimchi, biskuit beras, cokelat dengan rasa yang unik, dan lainnya.

***

Shira menggenggam erat tas tangannya. Bandara Incheon ramai seperti biasanya. Terlihat banyak penggemar dan wartawan yang menyambut kedatangan atau kepergian para idola. Pagi ini mereka akan mengantarkan kakak-kakak Shira juga Bunda, Yunda dan tunangannya, pulang ke Indonesia. Semua menghentikan troli yang penuh dengan koper besar. sudah check in dan akan pergi ke ruang tunggu. Saatnya berpamitan.

“Saling jaga ya, Sayang,” kata Bunda memeluk Shira dan Dyo bergantian.

“Bunda sehat-sehat di sana ya.” Shira menggenggam tangan Bunda.

“Kalian juga ya. Jangan lupa video call Bunda.”

Shira cipika-cipiki dengan Yunda. “Nanti semoga Mbak sama Mas bisa dateng ke nikahan aku ya,” ujar Yunda penuh pengharapan.

Shira mengangguk. “Semoga waktunya pas ya. Tapi pasti diusahain,” kata Shira.

Dyo tentu akan berhadir, namun Shira … rasanya apa benar jika ia harus hadir di tengah keluarga besar Dyo?

“Makasih ya, Mbak. Tapi kalaupun nggak bisa aku ngerti kok,” ujar Yunda pengertian.

“Lancar ya sampai hari H.” Shira memeluk Yunda sekali lagi dan menyalami tunangan Yunda.

Shira memerhatikan Dyo yang memeluk Bunda, Yunda dan calon adik iparnya. Terlihat sekali aura family man dalam diri Dyo.

“See you when I see you ya,” pesan Daffa. Daffa memeluk Shira erat. “Baik-baik kamu di sini.”

“Ntar ke sini lagi ya,” ujar Shira.

Daffa mengusap puncak kepala adiknya itu. “Iya. Oh ya, ntar minta Instagram temen kamu ya.”

Mata Shira melotot. “Ih, siapa? Clara?” tebaknya. “Enak aja. Siapa suruh kemarin nggak minta sendiri.”

“Kan malu, lagian aku juga nggak lancar Bahasa Inggris.”

“Nah itu makanya. Gimana bisa modus kalau Bahasa Inggris nggak lancar,” cibir Shira.

“Ntar belajar sama Clara.”

“Nggak ada ya.”

“Please, Dek. Cuman nambah temen, nggak main-main juga.”

“Aku tanyain orangnya dulu. Kalau mau baru aku kasih.”

“Tapi lagian kan bisa liat di Instagram kamu ya,” ujar Daffa baru terpikir.

Shira mencubit pinggang kakaknya itu.

“Udah-udah,” tegur Mora.

Mora memeluk Shira sejenak. “Jaga diri ya, jangan minum-minum, ngerokok apalagi narkoba.”

“Iya kak, iya,” sahut Shira mencoba untuk tidak tersulut emosi. “Kalian sehat-sehat di sana, kalau udah sampai kabarin.”

“Hm.” Mora masih terlihat gengsi tapi mengalihkan wajah menahan tangisnya.

Begitu juga dengan Davin yang cemas akut, seperti orang tua yang selalu khawatir akan banyak hal. “Kamu jaga diri baik-baik. Jangan pulang malem-malem. Kalau ada apa-apa minta Dyo buat jemput. Kakak pernah baca di sini rawan penguntit, jangan sampai kamu diincar pembunuh berantai.”

Shira menghela napas berat.

“Hush hush, Shira tau kok. Tugas kita doain aja semoga Shira sama Dyo di sini aman, bahagia,” ujar Nana, istri Davin menengahi.

“Ya kan tetap aja harus waspada.”

“Lagian kita juga bukan keluarga sultan yang bisa sewa bodyguard ke mana aja. Bener kata Kak Nana, doain aja," kata Nana lagi.

“Ah, ya. Kakak juga pernah denger banyak orang-orang yang nawarin sekte sesat atau gereja illegal,” ujar Davin masih tenggelam dalam kekhawatirannya.

“Aku udah beberapa kali ngadepin dan tinggal ngomong asal pakai Bahasa Dayak juga mereka nggak ngerti.”

“Tuh, kan. Beruntung kamu nggak papa, kalau ketemu yang nekat gimana?”

Shira benar-benar lelah. Dia kira menikah sudah bisa melepas kecemasan berlebih kakak-kakaknya.

“Udahlah, Kak. Hidup harus dihadapin. Nggak bisa terus berputar dengan kalau kalau kalau kayak kata kakak terus. Lagian kalau nasib jelek nggak usah di sini, di Indonesia juga. Kalau aku diem di rumah aja juga bakalan mati kalau udah takdirnya, orang tidur di rumah juga mati.”

Dyo datang mendekat. Ia mendengar semua itu tapi bertindak tidak mendengarnya. Dyo menggenggam tangan Shira. “Ashira, udah pamitan ke semua?”

“Udah, Mas.”

Dyo memeluk Davin. “Safe flight ya, Kak. Saya bakal jagain Shira sepenuhnya.”

“Saya ngandelin kamu, Yo.” Davin menepuk pundak Dyo.

“Yuk udah saatnya kalian masuk ruang tunggu. Aku bakal baik-baik aja, okay?” ujar Shira melembutkan suaranya dan memaksa untuk memeluk Davin.

Davin menepuk puncak kepala adiknya. Entah sejak kapan Ashira sudah sebesar ini.

“Dia bakalan baik-baik aja,” bisik Nana pada Shira. “Kamu jangan terlalu ambil pusing kata-kata dia ya.”

Shira mengangguk dan memeluk Nana. “Untung ada pawangnya,” canda Shira. Nana tergelak dan menyusul suaminya.

Semua orang melambaikan tangan dan mendorong trolly menuju ruang tunggu. Daffa, dengan wajah penuh canda dan senyum lebar, sudah siap dengan kamera untuk mengabadikan momen-momen terakhir bersama di Korea. “Nih, senyum dulu buat dokumentasi, siapa tahu nanti kangen kan bisa lihat-lihat lagi,” katanya sambil tertawa.

Shira dan Dyo pun ikut tertawa kecil, mencoba menghilangkan rasa haru yang mulai menyelimuti hati mereka.

Daffa, dengan tengilnya berseru, “Jangan lupa, aku tunggu kabar gembira ya. Ditunggu keponakanku rilis!”

Mora mengeplak bahu Daffa yang langsung mengaduh heboh.

Sementara yang lain, kecuali Davin, tertawa mendengar lelucon Daffa. Shira dan Dyo hanya bisa tersenyum kaku.

Punggung orang-orang itu kian jauh. Saat melihat keluarganya perlahan menghilang di balik pintu, Shira merasakan sedikit kekosongan di dalam hatinya. Dyo, yang berdiri di sebelahnya, memandang Shira lekat. “Nggak nyesel kan, Ra?”

Shira tertawa dan menghapus air matanya. “Nggak, dong.”

Saat Shira dan Dyo berjalan keluar, mereka disambut teriakan-teriakan dan kilatan kamera dari para wartawan dan penggemar memenuhi udara.

Dyo menatap kerumunan itu sejenak, lalu berkata kepada Shira, “Saya ke toilet dulu ya, tunggu di sini sebentar.”

Shira mengangguk, memperhatikan Dyo yang berjalan menjauh. Dia berdiri sendirian di tengah keramaian, merasa sedikit canggung. Tiba-tiba, tanpa sengaja, seseorang menabraknya dengan cukup keras.

“Maaf,” kata Shira sambil memegangi lengannya yang terasa sedikit sakit. Dia melihat seorang pria memakai masker dan topi juga headphone, menunduk sambil mengucapkan permintaan maaf dalam bahasa Korea yang terburu-buru.

“Maaf, saya tidak lihat, Anda tidak papa?” kata pria itu dengan suara serak dan membantu Shira bangkit.

“Ya, saya tidak apa-apa. Terimakasih”

Namun, saat pria itu berusaha menjauh, terdengar teriakan dari seorang penggemar. “Itu Brian Choi! Brian Choi!”

Suara itu langsung menarik perhatian seluruh kerumunan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro