Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Shira sadar pernikahannya hanya berasal dari kesepakatan. Namun, proses prewedding yang mereka lakukan benar-benar totalitas. Terlepas dari apa pun, ia ingin mencoba ... merasakan pernikahan.

Ia selalu menjadi saksi percintaan teman-temannya dan berujung ke pelaminan. Bagaimana mereka pusing menentukan MUA, dekor, gedung, seserahan dan sebagainya. Sementara Shira, calonnya saja tak terbayang sosoknya seperti apa dan sekarang ia malah terjebak dalam situasi tak terduga dengan Dyo, pria Indonesia pertama yang dijumpainya di Seoul.

Kendati sesi prawedding bertujuan untuk menyenangkan Bunda, Shira dan Dyo juga cukup menikmatinya. Shira dan Dyo berencana untuk mengambil foto prewedding di Gyeongbokgung, salah satu istana yang terkenal dan terbuka untuk umum.

Keduanya mengenakan hanbok, pakaian tradisional Korea. Shira membantu Dyo mengikatkan tali topi tradisional yang disebut dengan gat di bawah dagu. Shira tampak cantik dengan rambut yang digelung sederhana dan menggunakan aksesori khusus yang disebut Binyeo yang ditusukkan seperti konde ke dalam sanggul yang terletak di bagian belakang leher. Selain Binyeo, Shira juga mengenakan Tteoljam yang terdiri dari ornamen gantung.

Pemandangan arsitektur tradisional Korea yang megah dan anggun menyambut mereka. Shira mengenakan hanbok baby pink dengan hiasan bunga-bunga halus, sementara Dyo tampak gagah dalam hanbok krem yang kontras dengan hiasan emas. Di depan gerbang utama yang disebut dengan gerbang Gwanghwamun, Shira dan Dyo diarahkan Yunda untuk berpegangan tangan. Mereka menatap satu sama lain dengan tatapan penuh kasih.

Untuk menghemat budget, Yunda dipilih sebagai fotografer untuk mengabadikan momen itu. Cahaya pagi yang cerah menyinari wajah Shira dan Dyo, menciptakan suasana romantis yang sempurna.

Shira dan Dyo bergandengan tangan. Di halaman utama, dengan latar belakang bangunan istana yang megah, Shira dan Dyo berjalan sambil tertawa atau Dyo yang merapikan anak rambut Shira yang diterpa angin.

Di depan Balai Geunjeongjeon, Shira dan Dyo berdiri dengan postur yang lebih formal. Shira sedikit memutar tubuhnya, tangan kiri memegang hanboknya yang lebar, sementara tangan kanannya menggenggam tangan Dyo. Dyo berdiri tegak dengan senyum tipis di wajahnya, tatapannya hangat.

Dyo dan Shira melaksanakan prewedding dengan mencocokkan jadwal mereka. Di taman belakang istana yang tenang dan indah, Shira dan Dyo duduk di bangku kayu di bawah pohon.

"Mas Iyo, rangkul Mbak Shira coba," pinta Yunda. Sementara Bunda duduk di bangku taman yang lain hanya tersenyum senang dan sesekali mengabadikan momen tersebut dengan ponselnya.

Dyo menatap Shira yang lantas mengangguk setuju. Dengan perasaan gugup, Dyo merangkul bahu Shira sementara Shira bersandar di dadanya. Mereka berbagi senyuman dan tawa ringan, mata mereka saling bertatapan.

Shira mengatur napas saat Yunda berjalan ke sana ke mari penuh semangat untuk mengabadikan sesi prewedding mereka di berbagai spot. Kini titik yang dipilih yakni di atas jembatan kayu kecil yang melintasi kolam.

Shira berdiri di tengah jembatan, satu tangan di pinggang, dan mengangkat sedikit hanboknya sambil menatap Dyo dengan senyum lebar. Dyo, berdiri di ujung jembatan, memandang Shira dengan tatapan terpikat, seolah-olah tak bisa mengalihkan pandangannya darinya.

Shira rasa jantungnya berdebar cepat.

"Oke, sekarang kita jalan natural aja ya, Mas Iyo sama Mbak Shira bisa ngobrol aja," ujar Yunda. Ia mengambil foto candid interaksi Shira dan Dyo yang berjalan jauh di depannya.

"Awalnya kamu kan nari tradisional ya, Ra?"

Shira mengangguk. "Iya, Mas."

"Terus sejak kapan explore tari modern-nya?"

"Udah lama juga sih, Mas. Sejak SMP aku juga udah suka ikut dance cover atau ekskul dance sekolah selain tari tradisional. Suka ikutan dance competition kayak DBL gitu-gitu juga. Ke hiphop awal kuliah waktu diajak ikut komunitas."

Dyo mengangguk-angguk. "Pasti challenging banget ya buat kamu awal-awal mutusin untuk pergi ke Korea ngeraih mimpi kamu?"

Shira tertawa kecil. "Parah, Mas. Keluarga ngamuk. Soalnya aku nggak pernah senekat itu, kan? Tapi mereka nggak kasih aku ruang dan terus maksain kehendak mereka, jadi ya udah. Toh aku yang jalanin hidup. Tapi ada juga sih perasaan kek ... kalau seandainya kualat gimana? Masih ada kayak gitunya."

"Paham, paham. Mungkin kamu harus lebih banyak ngelibatin mereka aja, Ra. Kamu cerita rencana kamu gimana, prospek karier kamu ke depan gimana. Kayak waktu cerita ke saya sama Bunda."

Shira mencebik. "Iya sih, aku udah sewot duluan, soalnya mereka juga sewot terus."

"Setuju sih. Aku di game juga dulu ditentang, Ra. Kayaknya semua orang tua atau keluarga pengen yang namanya kestabilan ya. Nggak mau bikin kita susah. Tapi jalan orang kan beda-beda. Kestabilan itu juga nggak semudah ngebalik telapak tangan."

"Terus, gimana caranya Mas yakinin Bunda?"

"Nyebur juga sih kayak kamu. Saya obral pekerjaan yang bonafit awalnya, toh IT kan agak umum ya jurusannya. Terus Bunda setuju. Lanjut S2 beasiswa ke Inggris. Saya milihnya buat nyeriusin bidang Game. Bunda awalnya juga nanya apa nggak mau ke perusahaan yang lebih serius gitu. Bunda anggepnya perusahaan game becanda kali ya." Dyo tertawa. "Saya kasih pengertian dan hasilnya kan juga nggak bercanda."

Dyo menaik-naikan alisnya. Ya jelas, perusahaan tempat Dyo bekerja benar-benar berkembang pesat.

"Semoga aku juga bisa enjoy dengan semua ini ya, Mas. Walau kayaknya aku baru mulai dari 0. Orang gila mana yang switch karier di usia setua ini."

"Mana ada kamu tua. Kalau kamu tua saya apa? Artefak?"

Shira tergelak. "Nggak dong."

"Lagian kamu kan udah nari sejak dulu, dan saya rasa kamu udah di jalan yang benar. Nggak usah disesalin lagi yang kemarin-kemarin. Mungkin udah jalannya. Semua orang kan punya zona waktu masing-masing. Sekarang waktunya kamu jalanin hidup yang kamu impikan, kan?"

Shira mengangguk dan tersenyum. Bicara dengan Dyo selalu memberi insight yang baik untuknya.

Usai mengisi perut, Bunda berjalan diapit oleh Yunda dan Shira. Sementara Dyo membawakan kamera dan tripod menuju apartemen.

"Aku duluan ya," ujar Shira ketika tiba di depan unitnya.

"Istirahat ya, Sayang," pesan Bunda.

"Makasih ya, Nda."

Yunda tersenyum senang. "Siap, Mbak! Nanti aku kirimin ya link drive foto nya."

Shira mengangguk. "Oke. Santai aja ya."

"Bunda sama Yunda duluan aja, aku ada yang mau diomongin dulu ke Shira," ucap Dyo tiba-tiba. Pantas saja dari tadi masih di samping Shira sudah seperti perangko.

"Hm?" Shira jelas kaget.

"Oh, iya deh iya...." goda Yunda bergegas memeluk lengan Bunda, sedikit menyeret.

"Sabar dulu lho, ya!" Bunda mengingatkan, tapi kemudian mengikik bersama Yunda.

Dyo hanya geleng-geleng sementara pipi Shira entah kenapa memanas.

Shira lantas mempersilakan Dyo untuk masuk ke unit apartemennya. Biasanya Dyo hanya mampir meletakkan sesuatu atau hanya berbincang di depan unit. Ini pertama kalinya Dyo benar-benar bertamu.

"Silakan duduk, Mas. Maaf berantakan."

"Nggak berantakan," ujar Dyo sambil memindai sekitarnya. Tak banyak yang Shira pajang, hanya ada fotonya sekeluarga dan fotonya saat kecil dan dalam pangkuan orang tuanya.

Shira dengan gerak cepat mengambil selimut atau kaos kaki yang tergeletak di lantai.

"Mau minum apa, Mas?" tanya Shira.

Dyo berdeham. "Apa aja boleh."

Shira membuka kulkas mininya. "Mau susu cokelat apa jus jambu, Mas?"

"Jus jambu boleh, maaf ya ngerepotin."

"Hehe nggak papa, Mas." Shira membawakan dua gelas jus jambu dan beberapa camilan.

Shira lalu duduk di samping Dyo dengan canggung.

"Mau ... ngomongin apa, Mas?" tanya Shira penasaran.

"Hm .... saya nggak tau ngomongnya gimana. Tapi ... ini ... semoga sizenya cocok di kamu."

Shira menutup mulut ketika Dyo mengulurkan kotak beludru ke atas meja. Terlebih saat melihat senyum manis Dyo dan gesturenya yang mengusap belakang leher.

"Asli, nggak nyangka sih, Mas." Shira tertawa canggung.

Terus ini gimana? Dia pasang sendiri apa gimana?

Suasana canggung menghiasi ruangan itu.

"Saya bingung mau ngasihnya di depan Bunda sama Yunda atau nggak, tapi takut gimana-gimana, jadi mungkin baiknya pas kita berdua aja kali ya."

Shira mengangguk-angguk setuju. "Iya, Mas. Baiknya kayak gini aja sih."

"Saya bukain ya," ujar Dyo dan membuka kotak cincin itu. Ada dua cincin di sana. Cincin punya Shira memiliki berlian di atasnya.

Dyo mengulurkan cincin punya Shira.

"Aku pake ya nih," kata Ashira ingin tertawa.  Benar-benar salah tingkah.

Shira mengenakan cincinnya begitu pula dengan Dyo.

"Ih lucuu, cocok kok nggak kegedean. Kok bisa pas sih, Mas?" tanya Shira kaget. Cincin itu pas sekali di jari manisnya.

"Pake feeling," kata Dyo tersenyum. "Dipake ya, nanti kalau udah sah baru kita pindahin ke sebelah kanan."

"Makasih lho, Mas. Aku perlu patungan nggak?"

Dyo terkekeh sambil membetulkan letak kacamatanya. "Nggak usah, lah."

"Nanti aku traktir makan aja ya," kata Shira menyengir. Shira tertawa. Entah mau traktir berapa bulan memangnya dia kalau ingin sebanding dengan harga cincin itu?

"Pengen seblak deh," celetuk Dyo random.

"Nanti aku bikinin!" ujar Shira gercep. Kalau liat tutorial bikin seblak sih gampang.

"Kalau mau belanja kabarin aja ya."

"Oke! Eh, foto dulu yuk, Mas," ujar Shira memberanikan diri.

Shira lalu mengajak Dyo ke dekat jendela untuk mencapai pencahayaan maksimal. Dyo hanya mengenakan kaos polos warna hitam dan Shira menggunakan kaos garis-garis lengan panjang. Keduanya tersenyum sambil memamerkan cincin masing-masing saat tangan panjang Dyo mengambil swafoto.

Dyo menyandarkan tangannya di puncak kepala Shira yang mengembungkan mulutnya lucu. Atau Shira yang memberanikan diri merangkul bahu Dyo yang terpaksa menekuk lututnya agar Shira bisa sejajar dengan tubuh tingginya. Keduanya merasa lebih cair satu sama lain daripada sebelumnya. Namun, jantung mereka berdebar kencang saat menyadari pipi mereka saling bersentuhan tanpa sengaja.

Shira segera melepaskan rangkulannya.

Saat ingin berbalik, Dyo tersandung kaki Shira dan kehilangan keseimbangan. Shira pun relfeks menahan pinggang Dyo tapi karena tak bisa menopang beban tubuh Dyo, mereka berdua lalu terjatuh ke lantai. Sandal rumahan yang Dyo pakai melayang di udara dan bunyi gedubrak memecah keheningan. Kening Shira menghantam dada Dyo sementara Dyo mengaduh kepalanya mencium lantai.

Keduanya sama-sama mengelus kepala masing-masing. Shira membantu Dyo untuk duduk dan tawa mereka pecah.

"Kamu nggak papa?" tanya Dyo memastikan.

"Iya, Mas. Aman-aman. Mas nggak papa, kan?"

Dyo terkekeh. "Iya aman juga. Nyut-nyutan aja dikit."

"Nggak benjol, kan?" Shira panik dan sontak mengusap bagian belakang kepala Dyo untuk memeriksa.

"Nggak, soalnya tadi mendaratnya udah diatur punggung dulu baru kepala."

Shira mengembuskan napas lega. "Syukur deh."

Ponsel Dyo berbunyi, ada telepon dari Bunda. "Iya, kenapa, Bun?"

"Lama banget ngapain sih? Bunda susulin yah," kata Bunda kepo.

Dyo tertawa renyah. "Ini mau pulang! Ada ada aja sih, Bun. Kepo banget."

"Tau nih, Bunda! Biarin aja sih orang mau dua-duaan!" sahut Yunda heboh.

Shira tau kalau Bunda dan Yunda sedang menggoda Dyo. "Udah ya, Mas matiin."

Dyo memandang Shira dan dirinya masih duduk lesehan di lantai, keduanya tertawa bersamaan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro