Sin - 6
Vote dan komennya dong buat Nina sama Sinclair biar rame, dan biar R seneng 😉
Happy Reading ❤❤
ADA SEORANG WANITA, mungkin usia empat puluhan, yang mengatur meja makan di kamarku. Sementara dia sibuk, aku hanya meringkuk kembali di dalam selimut karena aku tidak ingin dia melihatku telanjang. Dia mengabaikanku dengan sangat baik, bahkan tidak melirikku sama sekali. Sinclair pergi lagi setelah memberiku kerah yang mungkin seharga satu juta dolar, melakukan apa pun yang dia lakukan di luar sana. Aku tidak bersuara, aku berusaha untuk tidak terlihat, dan sepertinya wanita itu juga berpikir itu hal yang baik. Ketika wanita itu selesai dia pergi tanpa kata, mengunci pintu, dan aku kembali sendirian.
Aku melirik meja yang dia siapkan, ada candelabra di atas taplak meja merah dengan tiga lilin yang menyala. Sebuah piring perak yang tertutup, dua gelas kristal, dan sebotol sampanye yang direndam dalam baskom es. Hanya ada satu kursi di sana tapi aku masih tidak mendekatinya. Perutku menggerutu kelaparan, makanan terakhirku adalah malam sebelumnya dan aku juga tidak minum seharian ini. Bukan berarti aku tidak bisa bertahan lebih lama. Saat aku berdebat dengan diriku secara internal untuk bersikap rasional dan makan sehingga aku cukup kuat untuk lari jika punya kesempatan, pintu kamarku terbuka.
Sinclair masuk dengan rahmat tenang yang selalu dia bawa, tidak ada sapaan, atau sedikit ramah tamah untukku. Aku ingin mengatakan padanya kalau bicara dan sedikit bersikap ramah tidak akan membunuhnya tapi aku menahan itu di ujung lidahku, tahu lebih baik dari pada mencari masalah. Jadi aku menggigit lidahku di dalam dan tetap diam. Dia duduk di satu-satunya kursi untuk meja makan, lalu matanya mencariku.
"Bergabunglah denganku," ucapnya. Ketika aku tidak bergerak dia memejamkan matanya, mengatur napas yang dalam lalu melepaskannya. Jari-jarinya mengepal dalam tinju di atas pahanya. "Bantu aku Nina, jangan buat aku mendorong lebih jauh. Kamu tidak akan suka itu."
Ancaman dalam kata-katanya menggerakkanku, membuatku mudah untuk membuat keputusan. Aku turun dari kasur, kehilangan selimut yang lembut dari kulitku yang terbuka membuatku sedikit gelisah. Udara tidak dingin tapi tatapan mata hajau gelap Sinclair mengirimkan merinding ke tulang belakangku. Aku berjalan dengan kaki yang kikuk masih tidak terbiasa dengan ketelanjanganku. Tidak akan pernah terbiasa. Mungkin aku bisa membujuknya jika aku bersikap baik, buat dia berubah pikiran, mempercayaiku cukup hingga dia mungkin akan melepaskanku.
"Hanya ada satu kursi." Aku merasa bodoh karena mengatakan sesuatu yang sudah jelas tapi aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"Aku tahu. Berlutut!" Dia menggeser kakinya terbuka, sedikit mengedikkan dagunya yang tajam.
Aku balas mengangkat daguku tinggi. Aku tidak akan melakukan ini. Kebanggaanku tidak akan mengizinkanku berlutut untuknya. Itu terlalu banyak untuk diambil dariku jadi alih-alih melakukan apa yang dia katakan, aku membenturkan tatapanku dengannya. Beradu dengan mata hijau yang sekarang terlalu tajam untuk memandangku. Tidak ada di antara kami yang mengalihkan tatapan, mungkin kami juga tidak bernapas. Aku menunggu dia untuk mengatakan sesuatu tapi sepertinya dia juga bertekad untuk membuatku menjadi yang pertama bicara. Jadi di situ aku mengalah. "Tidak." Satu kata singkat dariku membuatnya mengertakkan giginya.
"Berlutut Magpie! Aku tidak ingin memukulmu. Belum." Selalu dengan nada halus itu, jika aku tidak mengerti bahasanya aku akan berpikir Kalau dia memujiku bukannya mengancam untuk memukulku.
"Tidak. Tidak akan pernah!" Ada kilatan kemarahan di matanya. Aku bertanya-tanya apa aku sudah membangunkan monster.
"Lakukan Nina, sekarang! Atau aku akan menggunakan caraku." Cara dia menggunakan namaku seperti pisau, itu memotong tepat pada rasa takutku. Tapi aku masih tidak bisa membiarkan diriku jatuh ke lutut. Aku mundur secara naluriah, tapi tangan Sinclair menangkap pergelangan tanganku, mencegahku untuk menempatkan jarak yang lebih banyak di antara kami. Dia menyentakku ke arahnya, memaksaku untuk membungkuk di pahanya sehingga pantatku cukup tinggi. Payudaraku menggosok kain linen celananya saat aku memberontak tapi dia menyematkanku dengan mudah. Satu tanganya menahan leherku untuk tetap diam saat satu yang lain menarik turun celana dalamku. "Aku akan memukulmu enam kali dan kamu akan menghitung untukku. Ini hukuman karena kamu berdiri menantangku. Apa kamu mengerti?"
Aku tidak menjawabnya, hanya memberontak lebih banyak untuk melepaskan diri, tapi dia tidak menungguku untuk menjawab. Telapak tangannya menampar pipi pantatku, dan aku tidak bisa mencegah diriku dari mengerang dan tersentak dengan rasa sakit yang menyengat. Aku menggigit bibir bawahku hingga berdarah untuk menghentikanku dari jeritan yang melengking. Itu panas seperti neraka.
"Hitung Nina! Atau ini tidak akan berhenti sampai kamu pingsan," ucapnya dan tamparan ke dua datang. Aku masih membungkam mulutku.
Tiga. Empat. Lima. Itu terus berlanjut dan aku terus menagis dalam diam sampai itu genap selusin tamparan. Pipi pantatku terasa terbakar dan pedih tapi Sinclair masih belum berhenti. Pukulan berikutnya aku berteriak. "Satu!"
Aku mengutuk di dalam diriku, bersumpah akan membenci pria ini begitu buruk.
"Dua!" Napasku terengah-engah. Aku merasa dihancurkan dan mati rasa. Membenci semuanya dan ingin menghancurkan semuanya bersamaku.
"Tiga!" Aku membayangkan diriku membunuhnya. Berdiri di atas mayatnya dan di dalam genangan darahnya. Aku begitu luruh dalam rasa sakit, membiarkan itu menemukanku, membungkusku seperti tudung kenyamanan.
"Empat!" Aku berteriak dan mulai bertanya-tanya apa yang telah aku lakukan hingga aku pantas memiliki hidup semacam ini. Aku tenggelam dan merasa kosong. Begitu hampa dan rapuh. Rasa sakit hanya ada di latar belakang, aku tidak lagi terlalu memikirkannya. Hanyut ke dalam keputusasaan murni untuk mendapatkan sedikit kenyamanan.
"Lima!" Ada sesuatu yang retak di dalam diriku dan aku mulai menerima rasa sakit, memeluknya seperti pegangan yang menambatkanku dengan kehidupan. Aku fokus pada rasa panas dan pedih yang berdenyut. Menerima mereka, membiarkan mereka memberi tahu tubuhku.
"Enam!" Itu berakhir dan aku benar-benar menangis, merasa berdarah dan terkelupas di dalam jiwaku. Sinclair mengangkatku untuk mengangkangi pahanya membuat pantatku yang bersentuhan dengan kain celananya terasa lebih perih, tapi aku tidak menjauh. Aku memeluknya seolah dia jangkar di lautan lepas. Dia membiarkanku menagis di dadanya, memelukku dengan lengan yang kuat, menggosok punggungku dengan telapak tangannya yang hangat dan kasar. Aku hanya butuh seseorang untuk memegangku atau akan luruh. Dia terus menyentuh, membelai dengan gerakkan yang menghibur, bibirnya mencium rambutku, menghirup aroma kayu manis dan melati dari sampo yang kugunakan. Menawarkan begitu banyak kenyamanan setelah kekerasan yang aku alami. Hanya ada dia, dan aku kesulitan untuk menemukan pijakan dalam kebencian. Aku hanya butuh seseorang untuk menyatukanku kembali, dan aku tidak peduli kalau ini orang yang sama yang telah mencabikku. Rasanya sulit untuk menjauh ketika dia hanya menyentuhku untuk menghibur. Isakkanku berubah menjadi cegukan kecil dan terengah-engah. Masih sulit untuk bernapas tapi itu terasa lebih baik karena dia menahanku utuh, aneh rasanya memikirkan bagaimana dia memecahku dan kemudian menyatukanku lagi. Seolah dia merobek jiwaku terbuka dan kemudian kembali menjahitnya sembuh. Aku tahu aku harus membencinya untuk ini tapi aku tidak bisa menemukan kemauan di dalam diriku. Ini tidak masuk akal tapi aku tidak bisa membuat diriku menolaknya.
Sentuhan-sentuhan ringannya berubah menjadi lebih seksual saat napasku mulai tenang. Jarinya yang semula ada di punggungku kini turun untuk menekan pahaku. Buku jarinya menyikat pusat gairahku dan itu seperti tombol hidup untukku. Aku mengerang dan secara insting meremas bisepnya yang kuat. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menolak atau menjauh dan dia tahu itu. Batapa aku membutuhkan koneksi dengan seseorang betapa pun tidak masuk akalnya itu. Jadi ketika dia mengambil mulutku untuk ciuman yang dalam aku membiarkannya. Ketika dia memintaku untuk membukanya aku melakukanya. Lidahnya menari bersamaku, berbagi rasa asin dari air mataku yang jatuh.
"Bibirmu sangat lembut setelah kau menangis," ucapnya. Mencium dengan lebih lembut di sudut bibirku. Begitu manis hingga membuatku bingung. "Dan mata cokelat itu. Mereka sangat cantik." Aku membalas dengan erangan dan menekan payudaraku ke dadanya. Mencengkeram lebih erat lengannya, takut kalau dia akan melepaskanku. Jarinya membuka bibir bawahku, hanya untuk menemukan betapa aku basah untuknya. Ibu jarinya menggosok klitorisku sebelum dia mendorong dua jari masuk ke dalam diriku. Aku tersedak napasku yang terengah saat dia mencubit putingku dan kemudian mulutnya yang panas menutupi dan mengisap mereka dengan keras. Jarinya bercinta denganku dan aku hanya bisa membiarkan diriku hancur padanya. Betapa ini salah. Betapa aku akan membenci diriku setelah ini tapi untuk saat ini aku hanya ingin merasakan. Mungkin aku bisa berpura-pura kalau dia orang yang baik dan aku menginginkannya bukankah sesuatu yang salah. Aku tidak perlu bertarung dengan otakku lebih lama lagi karena dia mendorongku ke tepi dan membiarkanku jatuh dari ketinggian. Aku menangis, menjerit, mencakar lengannya yang ada di bawah jariku. Aku dihabiskan hingga aku tidak lagi berpikir. Semuanya terlalu samar ketika dia mencium bahuku.
"Mudah Sayang, aku memegangmu. Kau akan baik-baik saja," ucapnya. Dia membuatku berdiri kembali di kakiku dan dia ikut berdiri, melepaskanku hanya ketika dia yakin lututku tidak akan roboh. Aku masih linglung, masih tidak berada di elemenku jadi ketika dia pergi aku tetap diam di sana. Dia membuka beberapa laci, mencari sesuatu di dalamnya, lalu kembali ke kursi dan duduk. "Sekarang Magpie, membungkuk di pahaku." Aku menengang, takut kalau dia akan memukulku lagi. Matanya melembut padaku dan dia menawarkan senyum kecil di bibirnya seolah itu jaminan kalau dia tidak akan menyakitiku. "Aku hanya akan mengoleskan krim ini, itu akan membuatmu merasa lebih baik." Dia menunjukkan salep yang dia bawa. Aku masih ragu-ragu. "Ayo Magpie, kamu tahu aku menghukummu karena kamu menentangku. Jika kamu bersikap dan menjadi gadis yang baik aku tidak akan memukulmu. Jadi ayo datang, jangan memaksaku lagi."
Itu mungkin bodoh untuk mempercayainya tapi aku tetap melangkah dan membungkuk sepeti saat dia memukulku. Aku menutup mataku saat sentuhan pertama membuatku mengerang. Itu perih tapi krim itu terasa dingin dan saat dia mengusap telapak tangannya itu meredakan rasa nyeri dan panas. Dia meratakan semuanya, menyentuh dengan hati-hati setiap kali aku merintih. Aku merasa seperti gadis kecil, patah begitu buruk dan Sinclair satu-satunya orang yang bisa aku pegang jadi meskipun otakku meraung betapa salahnya semua ini aku hanya diam dan membiarkan semuanya terjadi.
"Gadis baik. Sekarang berlutut agar aku bisa memberimu makan." Aku hanya patuh ketika dia mendorongku ke lutut. Duduk di antara kakinya tanpa sehelai benang dan hanya mengenakan kerah dengan inisial namanya. Dia memilikiku dan itu mulai terlihat nyata. Bagaimana dia mengambilku, membengkokkanku menjadi sesuatu yang baru. Aku tidak yakin bisa lolos dari semua ini.
Aroma manis dari daging yang dibakar melayang ke hidungku saat Sinclair membuka tutup tudung saji. Aku menahan erangan dari bibirku dan perutku yang menggeram. Dia melihatku dengan kelembutan yang aneh saat dia menawarkan gelas berisi air padaku. "Minum ini," ucapnya. Meletakkan bibir gelas ke bibirku, aku minum hampir tersedak dan dia mengelus tengkukku. "Pelan, Sayang." Semua kasih sayang itu begitu aneh saat datang darinya. Tapi aku sudah berhenti memikirkannya jadi aku hanya melakukan apa pun yang dia katakan. Aku minum perlahan hingga setengah gelas habis lalu dia mengambil gelas itu dari bibirku dan mulai memotong. Membawa suapan pertama padaku, matanya melihat ke bibirku, terbakar seperti saat dia membuatku mencicipi Beef Wellington di pertemuan pertama kami. Saat aku menggigit daging dari garpu dia mengerang dan bergeser di kursinya. "Lagi?" Aku mengangguk, masih belum menemukan suaraku. Jadi dia bekerja, mengiris steak daging domba dengan saus nanas yang segar, menyuapiku di antara suapannya sendiri.
Kami terjebak dalam keheningan, aku tidak keberatan dengan hal itu. Hanya ada mengunyah, telan, dan lagi. Kadang-kadang itu daging, kadang kentang, dan sesekali sayur, aku menebak di kepalaku yang kacau apa yang akan dia berikan berikutnya. Itu seperti mekanisme yang mudah untuk diikuti otakku yang masih lamban. Dan kemudian sesekali dia membagi sampanye yang manis denganku, membelai kepalaku seperti aku anak kucing yang manis hingga dia memutuskan untuk memecah gelembung keheningan itu. "Rag memberi tahuku kau bertanya tentang putriku."
Aku tegang di punggungku, takut kalau dia akan marah lagi. "Aku hanya bertanya."
"Lalu kenapa kau tidak menanyakan padaku apa yang ingin kamu tahu sekarang?" Dia kembali mengelus rambutku, kali ini membawa potongan kentang ke bibirku. Aku mengambil itu, mengunyah perlahan, dan menelannya.
"Kau tidak akan marah?"
Dia membungkuk dan menarik daguku untuk mendongak, menyapukan bibirnya di bibirku dan menjilat seolah dia membersihkan saus yang mungkin ada di sana. "Tidak Magpie. Aku tidak akan marah. Aku ingin kamu bicara padaku."
"Dia sungguh putrimu?" Suaraku serak dan kasar setelah menangis tapi itu cukup jelas.
"Tentu saja, dia punya rambut pirang cerah seperti ciuman matahari dan kulit putih sepertimu. Tapi matanya adalah milikku. Ketika aku melihatnya, aku melihat apa yang sudah hilang dariku. Apa yang sudah lama diambil dengan paksa dariku. Aku ingin melindunginya, merawatnya tapi dia pergi lebih cepat."
Aku membayangkan gadis kecil seperti yang dia gambarkan, kecil dan lembut, begitu mudah untuk rusak. Kulit putih pucat dengan rambut pirang tertiup angin musim panas, lalu matanya adalah hijau paling gelap seperti mata yang sekarang menatapku. Dia akan menjadi sangat cantik, itu membuat hatiku sakit karena dia tidak ada lagi. Aku tidak bisa menghentikan diriku untuk bertanya-tanya apakah Sinclair akan seperti ini jika gadis kecilnya masih bersamanya.
"Berapa usianya saat dia pergi?"
"Enam. Masih sangat kecil. Aku bisa mengangkatnya di bahuku dan dia bisa mencium pipiku saat itu. Dia seperti matahari untukku." Dia melihat ke liontinku. "Dulu liontin itu miliknya."
Dan kau mengubahnya menjadi gembok yang mengunciku. Aku tanpa sadar menyentuhnya, tiba-tiba merasakan koneksi yang aneh, dorongan untuk menjadi mataharinya yang lain. Aku merasa seperti gadis kecil itu menggapaiku, memintaku untuk membantu pria ini. "Bagaimana dia mati?"
Menghela napas yang berat dia menangkup pipiku sehingga dia bisa melihat mataku. Ada terlalu banyak di matanya yang membuatku gelisah. Semacam kesedihan dan penyesalan, hal-hal yang mungkin tidak pernah dia bicarakan sebelumnya. "Pneumonia."
"Aku minta maaf," gumamku karena dia terlihat benar-benar kesakitan.
"Dia menderita itu saat baru berumur satu tahun, dia sembuh dan hidup dengan baik hingga hal-hal buruk terjadi."
"Apa maksudmu?" Dia memainkan helaian rambut di bahuku, terlihat enggan untuk membagikan lebih banyak tentang putrinya.
"Dia diculik. Saat itu musim dingin dan dia dikurung di sebuah ruang bawah tanah. Aku pikir itu udara dingin yang akhirnya membuat pneumonia-nya kambuh. Saat aku berhasil menyelamatkannya dan menbawanya ke rumah sakit, itu sudah terlambat. Dia pergi, aku gagal untuk melindunginya."
Aku meraih pipinya tanpa sadar, menyentuhnya, dan dia condong ke arahku seolah sentuhanku entah bagaimana mengurangi rasa sakitnya. "Bukan salahmu Sinclair. Aku yakin dia juga tidak ingin kamu mengambil itu sebagai kesalahanmu."
"Kau tahu Magpie? Itu suaramu yang membuatku mengingatnya. Begitu lembut dan indah, dan ketika aku melihatmu aku hanya ingin menjagamu, merawatmu. Aku ingin memilikimu."
Tuhan! Bantu aku! Pria ini kacau dan aku terjebak dengannya. Aku tidak punya ide di kepalaku untuk menangani informasi baru ini. Dia menyakitiku, benar, tapi aku juga tahu kalau dia tidak berbohong saat dia mengatakan dia ingin menjagaku. Dan di kepalanya yang kacau aku tidak akan ragu kalau dia akan menyakitiku jika itu artinya membuatku tetap bersamanya. Aku tahu bodoh untuk mulai merasakan simpati padanya tapi hatiku sakit saat melihat dia terluka. Aku tidak ingin peduli padanya tapi di sini aku, sekali lagi jatuh dan terurai padanya.
"Aku tidak akan kehilangan lagi, Magpie. Aku tidak akan kehilanganmu. Jika aku harus mengikatmu dua puluh empat jam untuk membuatmu tinggal maka jadilah itu." Kekerasannya kembali dan mata hijau lembut itu hilang, kembali ke ketajaman yang dingin.
"Kamu tidak akan kehilanganku." Itu mungkin sebuah kebohongan. Karena aku masih akan lari di kesempatan pertama yang aku miliki. Tapi jika berbohong dan berpura-pura akan membuatku jauh dari masalah maka itu yang akan aku lakukan. Aku menangkup pipinya dengan kedua tanganku dan menariknya untuk mencium pipinya dengan pelan. "Aku milikmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro