Sin - 2
JANTUNGKU MENGETUK DENGAN keras, seolah memukul tulang rusukku. Aku sudah membaca profil klienku malam ini dan aku tidak menemukan ketenangan di dalamnya. Mungkin sebaiknya aku mundur sebelum terlambat, telepon Brenda dan katakan padanya kalau aku tidak bisa melakukan ini tapi aku butuh sebelas ribu dan ini dia, delapan ribu ada pada pria ini. Sopir taxi-ku terus mengintip kaca spion di atasnya, mengawasiku karena aku tidak bisa berhenti gelisah.
Gaun merah ketat yang aku pakai juga tidak membantu. Aku sudah mewarnai rambut hitamku menjadi merah api, memoles bibirku dengan lipstik mawar, dan mempertegas garis mataku dengan eye-liner. Sebenarnya tidak ada yang berlebihan dari riasanku, bahkan gaunku cukup tertutup tapi tetap saja aku merasa seperti babi yang digiring. Perasaan kalau aku akan dibawa ke pembantaian. Mudah. Aku katakan pada diriku sendiri. Hanya tarik napas, dan semuanya akan baik-baik saja. Itu kebohongan tapi itu membuatku sedikit memegang kendali. Pada saat taxi berhenti di depan hotel aku kembali merasa tercekik.
Tarik talimu Nina! Kamu bisa melakukan ini! Ayo lakukan!
Aku mengangkat daguku tinggi saat melangkah keluar dan aku masuk ke pintu hotel. Tumit sepatuku mengetuk di lantai marmer saat aku berjalan ke meja resepsionis tapi aku dihentikan oleh pria berjas hitam sebelum aku mencapainya, dia tinggi dan kekar, seperti tukung pukul. Dia tidak menyentuhku atau apa pun, hanya melihatku dan sedikit membungkuk. Sopan dan dijaga, aku memaksakan senyum dan mengangkat kepalaku tetap tinggi.
"Miss Taylor?" Suaranya kasar, mungkin karena terlalu banyak mengisap tembakau atau karena luka sayat di tenggorokannya merusak pita suaranya.
"Ya," balasku. Aku menawarkan anggukan untuk keramahan. Kami berdua sama-sama tidak percaya satu sama lain. Tidak masalah selama kami tidak saling merugikan.
"Mr. Vince sudah menunggu Anda," ucapnya. Matanya menyipit mengawasiku, seolah aku bisa menumbuhkan beberapa sengat beracun. Aku harap aku bisa. "Mari Miss Taylor."
Aku membiarkan dia mengantarku ke elevator masuk dan menekan tombol untuk penthouse. Tidak ada pembicaraan di antara kami sampai kami keluar dan dia mulai, "Miss Taylor, Anda harus diperiksa." Aku mengernyit bingung. "Untuk keamanan," tambahnya. Aku bertanya-tanya apakah aku terlihat seperti pembunuh. Tapi aku tidak mengatakannya dan membiarkan dia memeriksaku, menekan lekuk di tubuhku untuk senjata dan meminta tas tanganku untuk melihat isinya. Setelah dia puas dia menyerahkan tasku kembali, mengantarku ke ruangan dengan sofa tunggal dan menghilang. Meninggalkan aku sendirian.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Ruangan itu luas dengan interior hitam dan silver, maskulin dan elegan. Ada beberapa lukisan di dinding dan satu akuarium dengan ikan Koi berbercak orange. Mereka berenang perlahan, terkurung, seperti diriku dua tahun ini. Di depan sofa ada meja rendah yang di atasnya terdapat botol anggur dan gelas yang belum tersentuh. Saat pintu di belakangku terbuka aku hampir melompat karena terkejut.
"Maaf jika aku membuatmu menunggu," ucap pria yang sekarang berdiri di ambang pintu. Matanya jatuh ke tubuhku, menilai untuk sesaat sebelum tersenyum dengan puas.
"Bukan masalah," jawabku. Aku membuat senyum palsu yang lain meski aku tidak dapat berbohong kalau aku sama terpesonanya dengan dia. "Ikan yang bagus."
Dia melihat ke akuarium dan kemudian kembali kepadaku. "Sesuatu yang cantik harus memiliki sangkar agar tidak terluka."
Aku merinding mendengar suaranya tapi tetap mempertahankan senyum. Takut atau tidak aku akan berakhir dengannya. "Sangkar tidak pernah menyenangkan."
"Untuk sesuatu yang liar, tentu saja," balasnya. Dia melangkah masuk, bentuk besar dan gelap. Udara berdesir saat dia bergerak, seolah pria itu adalah muatan energi. Kendali yang mematikan, kemeja krem-nya tidak menyembunyikan otot-otot yang kompeten dan rambut basah hitamnya masih mengalirkan air ke pelipisnya. Kehadirannya cukup untuk membuat lututku lemah, dia menjulang begitu tinggi, membuatku merasa begitu kecil dan lemah. Tapi senyumnya adalah sesuatu yang lain, lembut di bibir merah yang penuh meski sebenarnya tidak ada yang lebut darinya. Semuanya keras dan kasar, berteriak peringatan mematikan. "Apakah kau sudah makan?"
"Tentu, dalam perjalanan," jawabku. Tidak sepenuhnya bohong, aku makan beberapa potong apel sebelum taxi datang, aku pikir itu bagus. Aku mungkin muntah saat ini jika makan lebih banyak.
"Keberatan jika menemaniku makan?" Dia bertanya dengan lembut, seolah dia menghargaiku. Aku tidak mengerti tapi itu membuatku lebih takut, aku berharap ini akan cepat dan aku bisa pergi. Tapi dia membayarku dan aku tidak punya pilihan untuk mengatakan tidak, jika delapan ribu berarti duduk dan melihatnya makan sebelum ke inti maka jadilah itu.
"Aku yakin duduk dan melihatmu makan tidak akan membunuhku," balasku. Sudut matanya sedikit berkedut seolah dia menahan senyum geli di bibirnya.
Dia mengambil tanganku, menyelipkannya ke lenganya dan menbawaku ke ruang lain. Ototnya keras dan kulit cokelatnya membakar kulitku, aroma bersih sabun membuatku menarik lebih banyak napas. Dia tidak perlu membayar untuk mendapatkan wanita dan itu hanya alasan lain kenapa aku takut ada di sini.
"Bagaimana aku harus memanggilmu Miss Taylor?" Jarinya membuat pola di pergelangan tanganku. Belaian lembut yang hampir tidak menekan tapi aku merasakan panas padaku.
"Nina akan baik-baik saja," jawabku. Aku berusaha keras menahan gemetar di suaraku. Tapi tiap kali dia melirikku dengan mata hijau gelap itu, aku hanya ingin bersembunyi. Ada terlalu banyak kekerasan di dalamnya, hantu yang akan membuat setiap orang yang dia tatap akan gemetar.
"Reg memberi tahuku kalau Nina Taylor bukanlah namamu. Apakah ada alasan tertentu kau menyembunyikan namamu?" Tidak ada nada yang menekan dalam suaranya, masih santai dan tenang tapi aku jelas merasakan ancaman di sana.
"Banyak yang melakukannya ketika datang ke pekerjaan ini."
"Katakan padaku, berapa banyak dari data profilmu yang bukan kebohongan?" Aku menelan benjolan di tenggorokanku, semua data itu tentu saja palsu, termasuk foto rambut merah yang aku gunakan hanya untuk saat-saat seperti ini.
"Aku pikir itu bukan masalah, Mr. Vince."
"Sinclair, aku tidak keberatan kamu menggunakan nama depanku. Apakah Nina bagian dari kebohongan atau itu asli?" Dia benar-benar ingin tahu, menoleh untuk menunggu jawabanku. Tertarik seolah aku sebuah teka-teki dan dia mencoba untuk memecahkannya.
"Nina namaku, itu sedikit dari kebenaran yang ada," jawabku.
"Reg marah tentang ini," ucapnya dia diam seolah menunggu aku akan menanggapi tapi aku juga hanya pergi diam. "Dia pikir kamu bisa menjadi mata-mata atau pembunuhan bayaran. Dia tidak menemukan satu informasi pun tentangmu, dia bahkan tidak menemukan nomor jaminan sosialmu. Itu membuatnya gusar."
"Reg?"
"Kepala penjagaku, dia yang menjemputmu di pintu masuk," jelasnya.
"Itu menjelaskan kenapa dia begitu curiga padaku, meski aku tidak bisa melihat peluang untuk mencelakaimu dengan cara apa pun," balasku. Aku melempar pandangan ke tubuh besarnya. Tidak ada cara di neraka aku bisa menjatuhkan puluhan pound otot.
"Aku melihat," balasnya dan dia kembali tersenyum dengan geli.
Kami sampai ke ruang makan, ada meja besar dan dia membantuku duduk di kursi sebelah kiri dari kepala meja. Lalu dia menuangkan anggur untuk kami berdua. Duduk dan membuka tutup dari piring perak. Ada pastry dengan daging sapi yang masih merah. Dia melirikku seolah dia berharap aku mengatakan sesuatu. "Beef Wellington, pernah mencobanya?"
Aku mengangguk, Mama suka itu dan sering meminta juru masak kami untuk membuatnya. Tapi itu sudah lama sekali. "Masih berair, itu akan meledak di gigitan pertama."
Dia memberiku satu anggukan setuju dan membuat irisan, lalu membawa garpunya ke mulutku. "Buka mulutmu," ucapnya. Suaranya serak dan berhasrat itu memicu sesuatu menggeliat di perutku. Aku melihat ke matanya dengan ragu-ragu, melihat sesuatu terbakar di sana saat dia terus menatap mulutku. Aku membukanya dan mengambil gigitan, mengunyah dan menelan. Itu lezat tapi aku tidak benar-benar merasakannya karena dia terus mengawasiku. Aku menjilat bibirku dengan gugup dan Sinclair membawa garpunya ke mulutnya, membersihkan remah, dan aku terpesona dengan gerakannya. Seolah dia dapat merasakan bibirku di sana. "Bagaimana menurutmu?"
Cantik. Sangat cantik.
"Itu ajaib," jawabku. Dia tersenyum kecil hampir tidak terlihat. Kemudian dia makan dengan tenang seolah aku tidak ada di sana. Aneh rasanya melihatnya makan, dia terlihat jauh, seperti bukan manusia. Mungkin dia memang bukan. Terlalu dingin untuk menjadi manusia. Dia makan dengan kesempurnaan mutlak dan saat suapan terakhir pergi, dia menyeka mulutnya dengan serbet linen.
"Kamu tidak minum," ucapnya, dia melirik ke gelasku yang masih penuh, seolah itu mengganggunya. "Apakah kamu suka sesuatu yang lebih manis?"
Aku menggeleng, bingung di setiap detiknya. Ini bukan yang aku harapkan, aku hampir merasa seperti berkencan, hanya saja kencan yang hening. "Ini sedikit membingungkan."
"Begitukah?" Dia menaikkan alisnya dan minum dari gelasnya sendiri.
"Kamu membayarku—"
"Aku lakukan," potongnya, aku terengah-engah. Mungkin seharusnya aku tidak memulai percakapan ini. "Katakan Nina, apa yang kamu harapkan? Aku bercinta denganmu? Fuck kamu dengan keras?"
Panas merayap ke tubuhku, jatuh ke perutku, dan berkumpul di pangkal pahaku. Aku menggeliat di kursiku dengan napas yang semakin dangkal. Matanya yang terus mempelajariku sama sekali tidak membantu. "Aku pikir itu alasan aku di sini."
"Alasan kamu ada di sini adalah karena aku menginginkan kamu ada di sini. Apakah itu dimengerti?" Nadanya keras dan dia menatapku tepat ke mata cokelatku, menantangku untuk membantah itu.
"Dimengerti." Aku memutus kontak, menunduk untuk menghindari mata hijau yang menghantui, aku akan memimpikan mata itu untuk waktu yang lama.
"Lalu ayo," dia berdiri dan mengulurkan tangannya, "aku ingin menunjukkan sesuatu."
Mengambil napas yang dalam, aku mengambil telapak tanganya. Mereka kasar dan kuat dan ketika dia membungkus telapak tanganku, aku merasa seperti diambil. "Nina? Bisakah aku bertanya?"
"Ya." Matanya meneliti wajahku, menilai, dan akhirnya pergi ke bibirku.
"Apakah kamu menginginkanku?" Ada sesuatu di sana. Tepi yang berbahaya. Aku tidak yakin apa itu tapi aku tahu ketika aku melewatinya aku tidak akan bisa kembali.
"Apa yang aku inginkan tidak penting," jawabku. Itu selalu seperti itu, aku tidak pernah penting.
Dia mengernyit dan untuk pertama kalinya untuk malam ini, bibirnya ditarik ketat, ekspresinya gelap dan ditentukan. "Pilih jawabanmu dengan hati-hati, Nina."
Flip di perutku membuatku menyilangkan kakiku. Aku tidak yakin jawaban apa yang dia harapkan. "Aku tidak tahu." Akhirnya aku pergi dengan jawaban jujur. Berpikir kalau itu yang paling aman.
"Lalu aku akan memberimu waktu," balasnya. Ekspresinya melunak, tapi masih keras dan tidak dapat dijangkau. Aku tidak mengerti maksudnya dan aku takut untuk mencari tahu jadi aku membiarkan itu lewat. "Apa yang kau lakukan untuk menghabiskan waktu?"
"Apa?"
"Kau punya hobi?" Dia menuntut.
"Aku suka membaca, tapi lebih tertarik untuk musik."
Dia tersenyum, sepertinya puas dengan dirinya sendiri. "Kau bermain?"
"Piano, meski itu sudah sangat lama."
"Aku ingin mendengarnya," ucapnya. Dia melihatku, mencari tanda penolakan di wajahku tapi aku tidak. Aku ingin bermain untuknya. Dia gelap dan menakutkan tapi aku merasa tidak apa-apa untuk mencoba masuk. Aku masih memiliki jangkarku di luar jika aku hanyut ke arus dalamnya. Aku masih bisa lari.
"Lalu tunjukkan di mana aku bisa bermain," balasku. Matanya bersinar dengan sesuatu yang mirip kelembutan. Hampir membuatnya terlihat seperti pria dan tiba-tiba aku ingin menciumnya. Ingin merasakan bibirnya terhadap bibirku.
"Ayo!" Dia menarikku, membawaku kembali dari trance yang memalukan. Ruangan tempat piano itu memiliki jendela yang luas, dengan dinding hitam seperti ruangan pertama. Dia mendorongku untuk duduk dan aku merasa sedikit kikuk saat melihat tuts hitam dan putih. Dia duduk di sebelahku, menungguku untuk mulai.
"Ini mungkin akan sedikit berantakan," ucapku, memperingatkan.
"Aku menunggu."
Baiklah. Ini mudah.
Aku membiarkan memori banjir ke otakku, ini bukan not yang rumit tapi aku suka memainkannya, karena melodi itu mengalir seperti air. Jariku melayang di atas tuts, menciptakan chord dan akord. Nada-nada yang rendah, begitu sedih tapi penuh harap. Aku tenggelam saat aku bermain, seperti aku tidak lagi memiliki begitu banyak beban, itu mudah untuk hanyut ke dalamnya. Kemudian nada yang lebih tegas bergabung, jari Sinclair menari bersamaku di atas tuts. Menciptakan ritme yang lebih cepat, melodi membaur. Seolah kami sudah melakukan ini puluhan kali. Saat Nada-nada terakhir terbang ke udara aku tidak bisa menahan senyumku.
"Itu permainan yang cantik," ucapku. Dia melihatku ke mataku kemudian turun ke bibirku. Aku tiba-tiba kembali gugup dan sesak napas, seolah udara di sekitar kami memadat. Aku menjilat bibirku yang kering dan dia condong ke arahku.
"Katakan kau ingin aku menciummu," ucapnya.
"Aku ingin kamu menciumku," bisikku. Aku tidak yakin apakah aku mengatakan itu dengan sadar atau aku mengatakan itu karena aku di sini untuk uangnya.
"Kamu milikku, Nina," ucapnya.
"Ya, untuk malam ini," balasku. Dia mengernyit, ketidak sukaan yang jelas tertulis di wajahnya.
"Tidak kamu tidak mengerti. Belum setidaknya." Lalu bibirnya menekan bibirku, tangannya menangkup tengkukku. Lidahnya menggores bibirku dan aku tidak lagi yakin apa yang aku inginkan.
Bibirnya seperti sutra saat bergerak melawanku, lidahnya panas dan menuntut. "Buka untukku, Nina."
Ya, ya, apa pun. Aku hanya tidak ingin dia berhenti. Ini terasa sangat baik. Begitu manis dan menyesatkan. Dia bisa meminta apa pun padaku saat ini dan aku hanya akan menyetujuinya. Dia bercinta dengan mulutku, lidahnya menguasaiku dan aku mencintai rasa bibirnya di bibirku. Aroma aftershave yang dia gunakan hanya memabukkan, dia berbau bersih dan segar. Sulit untuk tidak menyukainya.
"Kau menginginkanku." Itu diucapkan sebagai pernyataan dari pada pertanyaan tapi aku tetap mengangguk. Bagaimana dia bisa berharap aku tidak menginginkannya jika dia terasa seperti itu. "Awalnya aku pikir aku hanya ingin seks kilat tapi aku punya pikiran lain ketika aku melihatmu."
Pikiran lain? Pikiran semacam apa?
"Aku tidak mengerti."
"Tentu saja kamu tidak. Satu lagi kesempatan Nina, apa kau menginginkanku? Apa kau ingin aku memilikimu?"
Aku masih gila dari ciumannya dan aku akan cenderung mengatakan ya jika itu berarti ciuman lain tapi nadanya yang gelap membuatku waspada. Dia jelas memperingatkanku, mengibarkan bendera merah agar aku lari. "Apa artinya jika aku menjadi milikmu?"
"Maka itu artinya kamu milikku. Semua dirimu. Tubuh, jiwa, pikiran, dan hatimu. Setiap inci dirimu." Dia membungkuk sekali lagi tapi kali ini dia tidak menciumku hanya bernapas di dekat telingaku dan berbisik, "Aku menginginkanmu dan aku akan menemukan jalan Nina, apa pun jawabanmu."
Itu sebuah kepastian di sana. Aku merasa dinding tebal baru saja jatuh di sekitarku, mengurungku seolah dia baru saja memasukkanku ke sangkar. "Lalu kenapa bertanya?"
"Karena aku berharap kamu menginginkanku," jawabnya seolah itu sudah jelas.
Pria ini gila dan aku ingin lari. Aku bodoh karena datang ke sini. Apa sudah terlambat untuk berbalik?
"Maafkan aku," ucapku. Dia diam, melihatku dengan mata hijau gelapnya seperti aku hewan yang tersesat. "Aku cukup paham apa yang mungkin kamu inginkan tapi aku tidak bisa."
"Tidak bisa?" Dia mengejek. Aku marah tapi aku menahannya di teluk. Tidak perlu menunjukkan itu padanya. "Lalu aku akan mengajarimu."
"Maafkan aku," ucapku lagi.
"Apa yang membuatmu datang padaku malam ini? Jangan berbohong, aku akan tahu. Katakan kenapa kamu datang di tempat pertama?"
Aku tidak yakin ingin memberi tahunya informasi apa pun. Dia sudah cukup mengancam tanpa tahu apa pun. Bodoh jika aku ingin mengatakan kebenaran tapi nada peduli di suarnya membuatku pergi. "Adikku terlibat utang dan aku harus membayarnya atau dia akan dipukuli sampai mati."
"Berapa banyak?" Nadanya masih keras tidak melunak dengan perkataanku tenteng pemukulan sampai mati jika aku tidak mendapatkan uang ini.
"Aku butuh sebelas ribu."
"Aku akan memberimu uang itu," ucapnya. Dia berhenti, melirikku mungkin berharap aku akan menolak ketika aku tidak, dia meneruskan, "Lalu kamu pulang, lakukan apa yang perlu kamu lakukan. Aku memberimu waktu tiga hari, putuskan apakah kamu menginginkanku atau tidak. Tapi Nina, ingat ini, apa pun jawabanmu akhirnya akan tetap sama. Bagaimana caraku mendapatkanmu aku tidak peduli, pilihan itu ada di tanganmu. Kamu bisa datang dengan baik atau aku bisa memakai caraku."
Aku merasa terjerat dan meskipun dia tidak melakukan apa pun, aku gemetar di tubuhku. "Apa yang kamu inginkan dariku jika aku menjadi milikmu?"
"Sederhana Nina, aku ingin kamu telanjang dengan tangan dan kaki terikat, mulut dibungkam dan mata yang dibutakan, terbaring di atas ranjangku."
"Apa aku sudah mengacaukan kesempatan terakhirku?"
"Kamu menyegel nasibmu saat kamu menungguku di ruangan itu. Maafkan aku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro