CHAPTER 44.1 : Kutukan Jashin
Lengan Roi terluka parah akibat cakar. Cakar panjang milik Hidan berhasil mengambil beberapa tetes darah. Darah milik Roi yang seharusnya cukup sebagai syarat untuk mengaktifkan kutukan.
Kutukan Jashin, adalah skill kelas A yang hampir tidak pernah diambil oleh siapapun. Biasanya, pengguna terbanyak dari skill ini adalah ras iblis. Alasannya hanya satu. Iblis punya fitrah regenerasi dan penyembuhan lebih baik dari ras apapun. Meski begitu ... karena tidak tahan dengan rasa sakit, hanya sedikit dari ras iblis yang membuka skill ini.
Meskipun efeknya mutlak, bayaran dari kutukan ini sangat berat. Mudahnya adalah luka untuk memberi luka. Mati untuk mematikan. Begitulah prinsipnya.
Contohnya begini. Jika pengguna kutukan memotong lengannya sendiri. Maka rasa sakit itu juga diderita oleh target kutukan. Atau jika pengguna kutukan menusuk jantungnya sendiri. Maka jantung target, juga akan merasa sakit seperti ditusuk.
Karena resiko itulah, ras iblis atau siapapun, enggan membuka skill ini. Padahal, ras iblis memiliki regenerasi luar biasa. Bahkan dapat menyembuhkan diri dengan cepat. Meski iblis memotong tangannya sendiri, tangan itu bisa kembali tumbuh dalam beberapa detik. Tapi tetap saja rasa sakitnya mengganggu mental mereka.
Sayangnya, rasa sakit itu adalah kenikmatan bagi Hidan. Dia merasa senang jika dirinya tersakiti atau terluka. Satu kata yang dapat mewakili fetish aneh itu, masokis. Itulah keadaan mental Hidan.
Mental yang aneh, kepribadian yang aneh, mendorong dirinya bisa sampai ke titik ini. Titik yang sangat membahayakan sampai mustahil menjadi lawan bagi siswa. Darah target yaitu Roi, telah ia rasakan dengan lidah. Seharusnya, semua peraturan telah terpenuhi. Hidan bisa melancarkan aksinya sekarang.
"Jangan harap kau bisa mati dengan mudah." Hidan memberi peringatan sambil menjilati darah Roi yang tersisa. Mengecup ujung jarinya hingga bersih dari darah.
Roi waspada, tapi tangannya cedera. Dia mengalami pendarahan dan rasa sakit luar biasa. Tidak bisa dibiarkan dengan diam tanpa tindakan.
"Maaf Akram. Tapi aku harus menyerahkan ini padamu," kata Roi lemas. Saking lemas, dia beralih ke posisi berlutut. Sambil memikirkan kenapa tubuhnya bisa lemas, Roi mengikat luka agar pendarahannya berhenti.
Anggap kutukan itu sudah aktif. Tapi kenapa aku merasa lemas? Iblis itu belum melukai dirinya sendiri sebagai syarat aksi. Selain itu rasa sakit luar biasa di punggungku ini ...jangan-jangan!
"Bagaimana? Rasa sakitnya sudah terasa???" Hidan bertanya sambil memamerkan banyak ekor kalajengking di punggungnya. Ekor itu menggeliat dan melukai punggungnya karena gerakan kasar.
Rasa cinta Hidan akan rasa sakit membuatnya bisa segila itu. Dia menyebut itu dengan konsep nikmat setiap saat. Tapi bagi target yang menjadi korban kutukan. Setiap saat adalah neraka.
Rasa sakit luar biasa yang mengganggu Roi, itu adalah rasa sakit yang Hidan rasakan. Rasa sakit dari perlakuan kasar dan gila terhadap tubuhnya sendiri. Bahkan tanpa perlu melukai diri lagi, Hidan bisa tenang menunggu. Menunggu kematian Roi yang perlahan dari rasa sakit itu.
Jelas saja Akram tidak bisa diam. Dia harus mengambil tindakan untuk Hidan. Jika tidak maka Hidan, bisa berbuat lebih. Akram hendak menarik samurai dari pinggangnya. Dia sudah mengambil posisi kuda-kuda dan siap menebas. Tapi melihat tingkah Akram, Hidan hanya senyum dan berkata.
"Tebas saja aku. Temanmu akan merasakan sakitnya juga sih, aku jadi tidak keberatan."
Kalimat pendobrak keyakinan. Keinginan Akram untuk menebasnya diurungkan. Andaikata Akram memotong bagian tubuh Hidan saat ini, maka Roi akan merasakan sakitnya juga. Ini adalah posisi pasti mati bagi Roi. Jelas, rasa sakit dari punggung itu membunuhnya secara perlahan. Bahkan hanya dengan diam, Hidan bisa membunuh Roi. Sementara itu posisi Akram, dia tidak melakukan apapun. Jika Akram menyerang Hidan, keadaan Roi akan semakin parah. Dia juga tidak punya skill pendukung atau penyembuh.
"Seandainya ada Dila di sini," batin Akram berharap.
[Tapi itu tidak mungkin. Dila sedang bersama Bintang saat ini. Mereka baru saja menghadapi Karasuri.]
"Hwahahahahahaha! Dia mulai sekarat loh. Ternyata manusia memang parah ya. Hanya rada sakit kecil di punggung seperti ini. Mereka sudah tidak tahan. Manusia memang makhluk sempurna. Tapi, lemah." Hidan terus mengintimidasi suasana dengan hinaan. Sementara Roi semakin lemas dan tidak mampu lagi untuk berdiri.
"K-kalau sudah begini, sekalian saja," gerutu Roi pelan dalam posisi berlutut. Akram menoleh sedikit, tahu kalau Roi mengatakan sesuatu. Tapi Akram tidak bisa mendengar itu.
"Teknik serangan beruntun."
<Gerbang kemurkaan>
Api yang bercahaya tengah membara. Membakar Roi dengan aura panas dan memberikan energi dalam waktu singkat. Berkat energi itu, Roi berdiri. Bersama aura panas yang bercahaya dan menerangi hutan.
Aura kuat itu sampai dirasakan iblis buta. Padahal dua orang laki-laki baru saja datang menemuinya. Tapi ada aura kuat yang mengganggu perasa miliknya.
"Aura ini ... mungkinkah, gerbang kemurkaan?" Iblis buta yang bernama Elfenda bertanya sendiri. Dia tidak bisa melihat apapun, tapi bisa merasakan banyak hal. Termasuk hal-hal yang tidak bisa makhluk normal rasakan.
"Oh iya aku sampai lupa. Kalian berdua, ada urusan apa?" tanya Elfenda sambil memainkan kepangnya yang menjalar ke samping leher.
"Kau ini iblis soal 'kan? Jelas saja aku akan mengalahkan kau!" kata Deni sambil menghunuskan pedang dan berlari. Elfenda hanya diam. Merasakan hentakan kaki Deni yang jelas saat berlari. Sementara itu, Vittho sedang menyusun transkripsi sihir dari belakang. Dia belum menarik pedangnya dari pinggang.
Padahal mata Elfenda tidak terbuka sama sekali. Tapi apa yang dia rasakan, melebihi penglihatan manusia normal. Gerakan indah dan anggun, tangan Elfenda menyentuh satu bidak yang warnanya putih. Bidak dalam genggaman itu, dia pindahkan ke belakang bidak putih yang lain.
[Perpindahan instan]
Transkripsi sihir yang dibentuk Vittho gagal. Dia diam, tubuhnya merasa kalau ada yang salah. Rasa sakit kemudian timbul. Membuat Vittho sadar kalau sesuatu telah menebas punggungnya.
Terlalu lemas karena rasa sakit, Vittho terjatuh ke depan. Tapi dia sudah sadar saat dirinya tumbang. Deni berpindah ke belakangnya dan menebas dirinya. Itulah yang terjadi.
Pedang milik Deni sudah dinodai dengan darah. Itu adalah darah yang keluar dari punggung Vittho. Deni tidak mengerti. Dia hanya diam dan melamun untuk beberapa saat.
Apa yang barusan terjadi?
Aku berlari dan hendak menebas leher wanita itu. Tapi aku mendadak berkedip. Sekejap setelah aku berkedip, Vittho ada di depanku. Aku tidak bisa menghentikan langkah. Aku tidak bisa menarik pedang itu. Posisinya sudah terlalu pas ketika aku hendak menebas iblis itu. Iblis wanita yang sejak tadi hanya duduk di pohon tumbang dan memejamkan mata. Iblis itu bahkan, tidak melihat kami sejak tadi. Kami benar-benar diremehkan.
"Jadi ... masih mau lanjut? Aku punya banyak hal untuk diawasi. Sebaiknya kau pergi saja," kata Elfenda dengan ramah dan lembut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro