BAB 20: Satu Hari Menuju Masa SMA
Bintang duduk dengan tenang, memperhatikan sekitar ruangan yang masih terasa asing sekaligus menarik dalam satu waktu. Jantungnya berdebar-debar dipenuhi semangat, sebuah hasrat untuk segera memulai sesuatu yang dianggapnya menyenangkan.
Di sebelah laki-laki dengan antusias tinggi itu, Oase tampak sedang mengecek sesuatu di ponselnya, tetapi sesekali matanya mengamati Bintang dengan pandangan yang seolah menilai.
"Peringkat 15, benar-benar kebetulan yang biasa dari orang biasa seperti Bintang," kata Oase dengan nada tenang namun tajam. "Aku lihat kau memang punya potensi besar. Sayangnya potensi besar itu sangat jauh terpendam, bahkan tidak bisa dijangkau oleh penilaian sekolah saking terpendamnya."
Kemampuan Bintang seharusnya lebih dari yang tertera di papan peringkat, begitulah maksud Oase. Fakta itu membuat Bintang semakin penasaran dan bertanya-tanya. "Itu pujian? Jelaskan saja tentang potensi terpendam yang selalu kau singgung-singgung itu."
Oase hanya tersenyum tipis, "Sekarang, yang perlu Bintang lakukan adalah terus berlatih. Potensi hanya akan tetap menjadi potensi selama tidak digali."
Sebelum Bintang sempat menanggapi lebih jauh, Bu Sulhah mulai berbicara lagi di depan kelas. Semua siswa langsung memperhatikan.
"Ada satu hal penting lagi yang perlu kalian ketahui," ujar Bu Sulhah sambil menatap para siswa dengan serius. "Salah satu dampak dari masuknya kalian ke sekolah ini adalah tersegelnya ingatan kalian tentang dunia luar."
Para siswa seketika menelan ludah, ada yang tampak bingung, ada yang tampak khawatir. Hening. Suara bisik-bisik gumam mendadak hilang sepenuhnya. Seperti sebuah kesadaran tentang betapa kosongnya ingatan mereka, membuat keringat dingin keluar dari kening pucat setiap siswa.
"Kalian tidak akan bisa mengingat apa pun tentang dunia luar—tentang keluarga, teman, atau bahkan latar belakang kalian," lanjutnya. "Hanya nama dan pengetahuan dasar untuk hidup yang tersisa, seperti makan, mandi, berjalan, atau bernapas. Semua ingatan lainnya, sudah tersegel. Untuk catatan, pihak yang bertanggung jawab atas kalian, entah itu orang tua atau wali, semuanya sudah menyetujui ketentuan ini."
Bintang merasa jantungnya berdebar sedikit lebih kencang. Ia menyadari bahwa meskipun ia mengingat namanya, ia tak dapat mengingat apa pun tentang asal-usulnya atau siapa yang mungkin sedang menunggunya di luar sana. Bu Safri juga sudah menyinggung soal ini sebelumnya.
Di sebelah, Oase tetap tenang, seolah sudah memahami dan menerima kondisi ini. Tidak ada sedikit pun panik yang tergambar di wajahnya. Ia bertepuk tangan pelan, satu kali kepada Bintang. "Tenang saja," kata Oase dengan nada yang menenangkan. "Kurasa hal semacam itu membuat kita semakin tenang dalam melalui kehidupan aneh di sekolah ini.
Bintang mengangguk pelan, sedikit terbantu oleh dukungan dari Oase.
"Terakhir, sekolah sudah menyiapkan berbagai kebutuhan sehari-hari untuk kalian. Beberapa kebutuhan itu termasuk sandang, pangan, semua kebutuhan pokok lainnya, termasuk kebutuhan hiburan yang mungkin kalian butuhkan. Tentu saja, semua kebutuhan itu harus dibeli dengan koin magis. Ingatlah bahwa penurunan prestasi akan berdampak pada penurunan koin magis yang diberikan. Bukan tanggung jawab pihak sekolah jika kalian sampai kelaparan karena kehabisan koin magis untuk belanja kebutuhan."
Satu lagi fakta menggegerkan baru saja diumumkan oleh Bu Sulhah. Sebuah pengumuman yang singkatnya mengatakan, "Bukan tanggung jawab sekolah jika kalian sampai kelaparan karena kehabisan koin magis. Sekolah sudah memberikan koin magis sesuai porsinya, sesuai prestasi masing-masing siswa."
Pengumuman itu sesungguhnya adalah peringatan agar para siswa dapat lebih bijak dalam menggunakan koin magis, sekaligus punya pertimbangan untuk selalu meningkatkan prestasi. Menjadi terpuruk selama kehidupan sekolah tidak lain dan tidak bukan adalah disebabkan oleh kelalaian masing-masing siswa.
"Sekolah hanya menyediakan kebutuhan tempat tinggal untuk siswa. Ponsel yang kalian pegang seharusnya sudah menyimpan informasi denah terkait lokasi asrama kalian. Tempelkan punggung ponsel kalian di permukaan pintu, dan pintu asrama akan terbuka. Dengan kata lain, kehilangan ponsel sama saja seperti kehilangan kunci asrama. Kalian bisa menghubungi bagian konseling apabila terjadi sesuatu semacam itu. Tentu saja, ada kompensasi koin magis yang harus dibayarkan."
Bu Sulhah menutup penjelasannya dengan senyum lembut yang menenangkan suasana tegang. "Baiklah, untuk hari ini, kalian hanya perlu menuju asrama masing-masing, beristirahat, dan mempersiapkan diri untuk kegiatan sekolah yang dimulai besok. Gunakan waktu ini sebaik mungkin untuk mengenal lingkungan sekitar dan saling mengenal satu sama lain. Selamat datang di sekolah kalian."
Para siswa mulai berdiri dan mengumpulkan barang-barang mereka. Dengan suasana yang masih dipenuhi bisik-bisik, satu per satu dari mereka bergerak menuju pintu, terlihat beberapa yang membuka peta di ponsel untuk mencari lokasi asrama. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu tentang seperti apa asrama yang akan mereka tempati, bagaimana interaksi mereka dengan teman-teman satu angkatan, dan apa saja yang akan mereka hadapi selama tahun pertama di sini.
Di antara kerumunan, Bintang melirik Oase, yang masih memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam. Oase menyadari tatapan itu dan mengangguk singkat. "Sampai di asrama, jangan lupa istirahat. Besok adalah awal yang serius."
Bintang tersenyum tipis, mengangguk, dan melangkah menuju pintu keluar bersama yang lainnya. Pikiran tentang segala yang telah dijelaskan hari ini masih bergulir di benaknya, terutama tentang ingatan yang tersegel dan potensi yang tersimpan dalam dirinya.
Saat Bintang tiba di depan pintu asramanya, ia mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menempelkannya ke permukaan pintu. Suara kunci terbuka terdengar, dan pintu itu sedikit berderak, seolah menyambutnya masuk ke tempat barunya.
Namun, sebelum sempat melangkah masuk, pintu asrama di sebelahnya terbuka. Oase berdiri di ambang pintu, menatap Bintang dengan ekspresi datar khasnya.
Bintang mendesah, sedikit jengkel. "Dari sekian banyak orang, kenapa harus kau yang jadi tetanggaku?"
Oase hanya tersenyum tipis, menanggapinya dengan nada santai, "Mungkin ini semacam takdir? Seperti bagaimana kita bertemu di awal ujian?"
Bintang memutar mata, tapi ia tak bisa menahan senyum kecil yang tersungging. "Jika ini memang takdir maka yang namanya takdir itu pasti orangnya usil." Meskipun menyebalkan, mungkin ada baiknya memiliki Oase di dekatnya.
MASA SEKOLAH SUDAH DIMULAI
~°~°~
Di sebuah ruangan yang remang, tumpukan radio kuno berbaris memenuhi setiap sudut hingga mencapai langit-langit. Desisan statis dan suara-suara kecil dari radio-radio yang menyala samar menciptakan suasana misterius yang tidak biasa. Di tengah-tengah ruangan itu, dua sosok berdiri, salah satunya laki-laki berambut acak-acakan dengan tatapan penasaran, sementara di depannya seorang perempuan dengan ekspresi tenang namun tajam.
Laki-laki itu membuka percakapan, menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar peringkat siswa baru. "Sepertinya para murid baru akan menjalani KBM besok. Apakah ada siswa yang membuatmu tertarik?"
Perempuan itu tak langsung menjawab, matanya terfokus pada layar yang sama, melihat nama-nama yang baru saja menempati peringkat awal. Senyumnya nyaris tak terlihat ketika jemarinya menelusuri daftar itu, berhenti tepat di satu nama.
"Entahlah," jawabnya perlahan, nada suaranya penuh perhitungan. "Rasanya aku ingin membubarkan klub ini saja sebelum naik ke kelas tiga tahun depan. Tapi... kalau ada orang seperti ini di antara siswa baru, sepertinya pembubaran klub penyiar radio masih harus ditunda."
Tatapannya terpaku pada satu nama di peringkat teratas: Oase, dengan MP total yang mencengangkan, 7.300.000. Senyum kecil menghiasi wajahnya, samar namun penuh makna.
Laki-laki itu ikut melirik ke layar dan tersenyum, seolah mengerti sesuatu yang belum terucapkan. Ruangan penuh radio itu mendadak terasa semakin berdesir, seakan mengantisipasi hari-hari menarik yang akan segera datang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro