
BAB 15: Benteng Es di Tengah Kawah Batu
Pagi yang cerah memayungi mereka, cahaya matahari menyusup di antara menara batu, menghangatkan udara yang tadinya dingin. Delapan orang itu berdiri melingkar, menatap satu sama lain dengan semangat baru, siap menjalankan rencana yang sudah mereka susun.
Akram menatap Azaela. “Jadi, rencana ini dimulai dengan partikel rohmu, ya? Siap?”
Azaela mengangguk tenang. “Siap. Aku akan memecah partikel rohku sekecil mungkin, lalu menyebarkannya ke seluruh area ujian ini. Dengan begitu, partikel-partikel itu bisa mencari siapa saja yang membawa lembar soal.”
Aila turut berucap ketika tengah menanti gilirannya dalam rencana ini. “Dan aku akan ‘menerima’ penglihatan dari partikel roh itu. Begitu aku tahu siapa yang membawa soal, aku akan mengambil alih kesadaran mereka. Mereka kemudian akan mengantarkan soal itu tanpa ribut-ribut.”
Andin mengepalkan tangannya penuh semangat. “Kalian urus soal, kami yang lain bakal jaga area ini biar nggak ada yang berani macam-macam!”
Sasa ikut menimpali, “Aku bisa buat benteng es di sekitar sini untuk jaga jarak musuh. Kalau ada yang mendekat, bakal ketahuan.”
Dila tersenyum lembut, siap memberi perlindungan tambahan. “Aku juga akan aktifkan barrier pelindung. Jadi kalau ada serangan mendadak, kita tetap aman.”
Bintang mengangguk, merasa semakin yakin dengan rencana ini. Daina, yang berdiri di samping Bintang, menambahkan, “Kalau ada makhluk roh atau entitas lain yang coba nyelinap, aku bisa mendeteksi mereka. Jadi, jangan khawatir.”
Akram menatap mereka semua, merasa puas dengan tekad yang terpancar di wajah teman-temannya. “Baiklah. Mari kita mulai. Ini bukan hanya tentang ujian, tapi juga tentang kerja sama kita sebagai satu tim."
Semua orang serempak mengangguk, penuh percaya diri. Tanpa membuang waktu, Azaela pun mulai memecah partikel rohnya yang seketika tersebar, tak kasatmata, menyelimuti area ujian. Mereka semua siap menjalankan peran masing-masing. Inilah langkah pertama dari aliansi yang baru mereka bentuk—ujian ini akan mereka hadapi bersama.
~•~•~
Partikel roh Azaela mulai tersebar di udara, melayang seperti debu yang tak terlihat, menyusup ke setiap sudut area ujian. Akram, Bintang, Daina, Sasa, Andin, Desi, dan Dila berdiri dalam posisi siap, sementara Aila memejamkan mata, berfokus menyambungkan kesadarannya dengan partikel-partikel roh yang tersebar.
“Aku sudah melihat beberapa kandidat,” gumam Aila perlahan, suaranya nyaris seperti bisikan. Ia mulai membayangkan sosok-sosok yang terlihat membawa lembar soal, satu per satu, memfokuskan pikirannya pada mereka.
“Bagus,” ucap Akram dengan suara rendah. “Ambil alih satu per satu, bawa soal-soal itu ke sini. Kita siap jaga kalau ada gangguan.”
Aila tersenyum tipis, dan tanpa membuang waktu, ia mulai menggerakkan kesadarannya, menyusup ke dalam pikiran salah satu orang yang memegang soal. Seketika, seseorang di kejauhan berbalik arah, berjalan lurus ke arah tempat persembunyian mereka, wajahnya tampak kosong.
“Target pertama sudah diambil alih,” bisik Aila. “Dia sedang menuju ke sini.”
Bintang menatap ke arah yang ditunjukkan Aila, mengawasi dengan waspada. Sementara itu, Sasa mulai menciptakan lapisan es tipis di sekitar mereka, membuat semacam batas yang bisa memberi tanda jika ada yang berusaha mendekat.
Tak lama, Dila melirik ke arah Andin. “Kamu siap, kan?”
Andin menepuk rantai yang menggantung di pinggangnya. “Selalu siap.”
Beberapa menit kemudian, sosok yang dikendalikan Aila akhirnya tiba, menyerahkan lembar soal pertama ke tangan Akram. Tanpa membuang waktu, Aila melepaskan kendalinya, dan orang itu kembali ke kesadarannya semula, berjalan menjauh seolah tak sadar apa yang baru saja terjadi. Seperti orang linglung.
“Kerja bagus,” puji Akram sambil melipat lembar soal. “Ini baru awal. Kita perlu lebih banyak.”
Aila tersenyum, kembali memejamkan mata, bersiap mengendalikan target berikutnya.
Namun, saat itu juga, dari kejauhan, tampak sekumpulan peserta lain yang sepertinya menyadari gerakan aneh di area mereka. Beberapa dari mereka mulai bergerak mendekat, wajah-wajah mereka penuh kecurigaan.
“Ada yang datang,” bisik Sasa, matanya tajam menatap ke arah mereka.
“Tenang, serahkan pada kami,” kata Andin, melilitkan rantainya di tangannya. Dengan gesit, ia bergerak ke depan, siap menghadang jika ada yang mencoba menyerang. Dila juga mulai menyiapkan penghalang, berjaga-jaga jika ada serangan tiba-tiba.
Azaela, meski tidak dalam wujud fisiknya, bisa merasakan ketegangan timnya. “Jangan terlalu dekat. Fokus saja pada rencana. Aila, teruskan pencarian soal.”
Aila mengangguk, kembali menyambungkan kesadarannya dengan partikel roh yang masih tersisa di udara. Dengan cepat, ia menemukan target baru, seorang peserta lain yang memegang soal.
“Target kedua terkunci,” katanya tenang. “Soal berikutnya sedang dalam perjalanan ke sini.”
Kali ini, Bintang dan Daina berdiri berjaga, mengawasi situasi. Peserta yang membawa soal kedua mulai mendekat, wajahnya kosong tanpa ekspresi, persis seperti yang pertama.
Saat lembar soal kedua berhasil mereka dapatkan, Akram tersenyum puas. “Lima soal lagi. Kalau kita bisa dapat semua, ini bakal jadi kemenangan telak.”
Sambil terus mengatur strategi dan mengawasi situasi, mereka melanjutkan rencana, yakin bahwa dengan kerja sama dan ketenangan, ujian ini akan mereka taklukkan bersama.
Saat lembar soal kelima berhasil didapatkan, suasana di sekitar kawah berbatu mulai tegang. Aliansi Akram kini jadi pusat perhatian, dan tak butuh waktu lama sampai sekelompok peserta lain muncul dari balik formasi batu-batu besar, ekspresi mereka penuh tekad untuk merebut soal.
"Kayaknya ini bakal jadi serangan besar," ujar Bintang, matanya mengamati kawah tandus di sekitar mereka yang sekarang mulai dikepung.
Sasa segera merapatkan kedua tangannya, memperkuat benteng es yang membentuk lingkaran di sekitar mereka. Meskipun es tampak kontras dengan lingkungan yang gersang, dinding itu kokoh dan menjadi perisai pertahanan utama tim. Setiap retakan langsung diperbaiki oleh Sasa dengan lapisan es baru, dan di beberapa titik, ia menambahkan duri-duri tajam untuk menghalangi lawan yang mendekat.
Seorang peserta lawan yang membawa pedang panjang berlari mendekat, mengayunkan pedangnya ke arah benteng es. Namun, Andin dengan sigap melemparkan rantainya, melilitkan senjata itu dengan cepat dan menariknya. Pedang itu pun terlepas dari tangan lawannya dan jatuh dengan bunyi berdentang di bebatuan.
“Maaf, tapi rencana kami terlalu penting buat dihalangi begitu aja,” ujar Andin sambil menyeringai, memutar rantainya untuk siap menghadapi serangan lain.
Lawan lainnya mencoba menyerang dari sisi lain, tapi Desi melangkah maju, tangannya mengeluarkan bola kecil yang tiba-tiba meledak begitu dilempar. Ledakan itu memercikkan debu dan membuat para penyerang mundur, beberapa di antaranya jatuh tersandung batu-batu yang tersebar di tanah.
“Siapa bilang aku nggak bisa bikin suasana di kawah ini makin panas?” Desi berkata dengan senyum puas, menciptakan ledakan kecil lagi untuk memperingatkan para penyerang.
Di tengah benteng, Dila tetap siaga, menjaga perlindungan magis di sekitar tim mereka. Setiap kali ada serangan langsung ke benteng es, ia memperkuat barrier yang tak terlihat tapi terasa dampaknya, menahan setiap energi serangan yang diarahkan ke mereka. Ia juga sesekali memberikan penyembuhan cepat pada teman-temannya yang terkena serangan.
Sementara itu, Akram dan Bintang mengambil posisi di garis depan, berhadapan langsung dengan para penyerang yang berhasil menembus penghalang luar. Akram bergerak lincah dengan samurainya, mengayunkan pedangnya dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, setiap tebasannya melumpuhkan upaya lawan yang mencoba menerobos. Di sisi lain, Bintang menggunakan elemen bayangannya untuk menciptakan selubung gelap di beberapa area, mengaburkan pandangan lawan dan membuat mereka kebingungan saat mendekati benteng.
“Apa nggak capek muter-muter di sini? Ini ujian, bukan ajang uji kekuatan,” ejek salah satu lawan, tampak frustrasi dengan pertahanan kuat mereka.
Akram tertawa kecil, “Ya, justru karena ini ujian, kami nggak akan nyerah. Kalau mau nyerang, serang sekuatnya.”
Di sisi lain kawah, Aila tetap berfokus mengambil alih peserta yang memegang soal berikutnya. Matanya terpejam, dan melalui partikel-partikel roh Azaela yang menyebar seperti debu di udara, ia berhasil menemukan satu lagi target. Seorang peserta yang memegang soal keenam mulai berjalan menuju benteng es mereka dengan langkah kosong, kesadarannya dikendalikan oleh Aila.
Bentrokan terus berlangsung, tetapi aliansi Akram mempertahankan pertahanan mereka tanpa celah. Meski dihadang banyak peserta yang mulai menyerang dari berbagai arah, benteng es Sasa tetap kokoh dan semakin dekatlah mereka pada tujuan—mengumpulkan soal-soal untuk mengakhiri ujian ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro