Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jurig 3 - Wira, si Pembuat Onar

"Bayu atos kulem?" (Bayu udah tidur?) tanya Lilis ketika berselonjor di sisi kasur Bayu malam itu.

Bayu yang semula membelakangi Lilis, berbalik menatap ibunya dalam. "Teu acan, Bu." (Belum, Bu.)

"Ibu bade nyarios." (Ibu mau ngomong.)

"Nyarios naon, Bu?" (Ngomong apa, Bu?)

"Enjing urang uih ka kos, nya." (Besok kita balik ke kos, ya.) Lilis mengusap-usap lembut kepala putranya. "Karunya si mamang diantepkeun nyalira." (Kasihan mamangmu dibiarin sendirian.)

Sinar mata Bayu meredup saat kepalanya menimbang-nimbang keputusan yang ingin dia pilih. Selintas ada beban mengganjal dada, tapi tetap persetujuan yang menjadi jawaban.

"Baik, Bu."

***

Ada gemercik membentuk nada menenangkan pagi itu, di dapur. Air keran yang mengalir menyegarkan pikiran Lilis yang sempat carut-marut. Perut besarnya terkadang membuat lelah, apalagi setelah pulang dari pasar sambil menenteng banyak plastik sayuran.

Tangan Lilis terangkat dan dientak sedikit membiarkan air menetes jatuh dari jemari ke wastafel. Gala pingsan tanpa sebab dan itu membuatnya cemas. Bubur kombinasi ayam, hati ayam, bayam, wortel, dan jamur shitake akan baik untuk dia.

Sementara berkutat dengan menu sarapan, Lilis belum tahu kalau sang keponakan sudah bangun, tapi otaknya jadi korsleting entah mengapa.

"Mari kita lakukan percobaan pertama." Ragu Gala berujar di kamarnya.

Cowok itu bergetar seperti tersengat listrik. Bedanya dia punya kulit cerah dan rambut selurus cinta terlarang. Tak gosong dan tak sekeriting mi instan.

Dia perlahan membungkuk dan menggoyangkan telapak tangan di bawah kaki Wira beberapa kali. "Kakinya melayang." Giginya gemeretak menggigit jari penuh kengerian. Ya ampun. Dosa apa aku sampai bisa lihat setan?

Wira merasa risi dan melangkah ke depan. "Rek dikukumahakeun oge ngges jelas aing teh jurig, Belegug!" (Mau digimanain juga udah jelas aku ini hantu, Bego!)

"Heh, dari tadi ngomongnya Sunda kasar mulu!"

(FYI: Bahasa Sunda terbagi atas kasar dan halus. Sunda kasar itu biasanya untuk sesama teman atau yang lebih muda, sedangkan Sunda halus seringnya untuk yang lebih tua. Kalau kalian suka hal berbau Korea, pasti kalian tahu istilah bahasa formal dan informal. Nah, bahasa Sunda kurang lebih begitu.)

"Suka-suka aku, lah!" seru Wira tak mau mengalah.

Gala memperdengarkan helaan dan embusan napas berat, lalu berkata, "Per-percobaan kedua!"

"Bi, beli kembang seribu rupa!" Gala muncul dan memekik di sisi Lilis. Wanita itu hampir serangan jantung dibuat keponakannya yang berhati mulia. "Buat ngusir setan!"

"Sudah kubilang jaga mulutmu. Aku hantu, bukan setan!" protes Wira. Akan tetapi, Gala tak memedulikan ucapan bocah yang tak tahu kapan menyusulnya ke dapur itu.

"Ya ampun, Alo. Ngagetin aja." Lilis memegang dadanya yang berdebar kencang meski bukan karena jatuh cinta. "Tunggu, kamu kapan bangunnya? Sini, Bibi ada masak sesuatu buat kamu."

Gala kebingungan ketika pergelangan tangannya ditarik duduk di meja makan. Lalu ada mangkuk yang masih mengepulkan asap disorongkan ke arahnya.

"Nih, buryam." Lilis tersenyum dan berjalan perlahan ke depan.

"Buryam?"

"Bubur ayam." Lilis mengenyak di seberang Gala. Ada selisip lega kala akhirnya ada kursi menahan bobot tubuhnya. "Nah, tadi mau ngomong apa?"

Gala mengamati Lilis dalam diam. Wajah pucat berhias peluh, tangan ringkih memegang perut, juga napas nan terdengar tak teratur. Memiliki suami yang bertugas di luar kota membuat Lilis mengerjakan nyaris segalanya di sini.

Ah, mengapa Gala baru menyadari Lilis terlihat sangat kelelahan? Namun, walau demikian, wanita itu tetap memasakkan bubur untuknya.

Gala urung mengutarakan niat. "Nggak jadi, Bi. Tadi cuma bercanda." Cowok itu tertawa seraya menyendok bubur dari tepi mangkuk. "Maaf ngerepotin, Bi."

"Nggak masalah sama sekali, Alo. Santai aja."

Gala mengukir senyum. "Ya udah, aku makan buburnya, ya, Bi."

Cowok itu kemudian menelan bubur penuh sukacita. "Enaaak." Cowok itu mengangkat dua jempol kemudian menyuapkan beberapa sendok sekaligus ke mulut.

Lilis tertawa senang dan beranjak. "Syukurlah kalau begitu. Kalau mau tambah, kasih tahu Bibi, ya. Bibi mau ke kamar dulu lihat Bayu. Mana tahu udah bangun, biar sekalian makan bareng."

Namun, pintu dibuka dan suara serak khas bangun tidur menghentikan langkah Lilis. Bayu keluar sambil mengucek mata.

"Eh, kebetulan banget, Bayu. Makan bubur dulu, yuk. Ibu yang masak, lho!"

"Bukannya tadi udah makan di rumah, Bu?"

Bibir Lilis melengkung ke atas menanggapi pertanyaan putra sulungnya. "Nggak papa. Makan lagi aja biar makin cepet tumbuhnya. Nah, minum air dulu."

"Sayang banget sama anak, ya. Bahkan keponakannya yang berdosa juga disayang." Tiba-tiba ada satu sosok muncul di samping Gala. Kepalanya ditopang tangan yang menumpu di atas meja dengan jari bertautan di bawah dagu. "Pantes banyak yang mau jadi anaknya."

"Apa maksudmu 'banyak'?"

Wira menatap lawan bicaranya. "Ah, nanti juga kamu bakal bisa lihat mereka." Dia mengedipkan mata penuh maksud.

Gala berusaha mencerna ke mana arah pembicaraan itu. Sendok tertahan di depan mulut yang sempat menganga dan seketika dia terbelalak.

"Jadi, mak-maksudmu, entar bakal banyak yang perlahan muncul di mataku ini?"

"Bukan muncul, tapi mereka emang ada di mana-mana." Wira tersenyum tanpa makna tercipta, memandangi semua hantu balita mengelilingi Lilis. Namun, tak ada satu pun berani menyentuhnya.

"Demi Neptunus!" seru Gala tertahan. "Aku nggak mau! Kembaliin mataku yang dulu!" Cowok itu mengucek matanya berlebihan.

"Sini, kucabut aja." Wira memamerkan kuku yang mendadak memanjang.

"Singkirkan itu!" Buru-buru Gala menepis lengan Wira hingga terdorong ke belakang.

Wira cuma bisa cekikikan melihat tingkah Gala. Namun, kala itu mereka tak sadar Bayu sudah duduk di dekat mereka.

"Ibu, ada suara ketawa kayak monyet." Bayu bangkit merenggut baju ibunya ketakutan. "Hantu itu datang lagi! Hawanya sama kayak kemarin."

"Eeeh, sangeunahna!" (Eeeh, sembarangan!) Wira memaki. "Maneh nu monyet!" (Kamu yang monyet!)

"Dia bilang aku yang monyet, Bu," tangis Bayu di dekapan Lilis yang kini memasang raut khawatir.

Gala meluncurkan aksi tanpa menunggu lebih lama. Dia segera menghabiskan bubur yang tersisa. Meletakkan mangkuk di wastafel beserta meminta izin kepada Lilis.

"Bibi, aku mau nelepon Bapak bentar. Oh iya, oleh-olehnya udah sampai kemarin, Bi. Ada di kamarku. Aku pergi duluuu!"

Ditarik rambut Wira sampai bangkit berdiri dengan tergesa. Membawa hantu itu pergi terseret jambakannya sebelum bertindak lebih jauh.

"Aduh, duh, duh. Sakit, anying."

***

"Emang pembuat onar kamu, ya." Gala membuka bicara ketika mereka sudah di luar kos. Cowok itu menunjukkan balasan dari pesan yang dia kirim beberapa waktu lalu.

Saya:
Selamat siang, Bu. Namaku Gala. Anak Ibu yang namanya Wira lagi sama aku. Katanya ditinggalin. Miris amat hidupnya, hehe. Kalau masih mau anaknya, dateng ke Kos Cintarasa aja, ya, Bu.

Nomor tak dikenal:
PENIPU!

"Malu banget aku." Gala menutup wajahnya sebal. "Kalau sempat aku ketemu penerima pesan ini, aku bakal loncat dari ... pohon kacang ijo!"

"Ngomong toge aja susah."

Gala mencibir dongkol. Setelah lama berjalan, mereka sampai di luar gang Cintarasa. Mata tajam Gala bekerling ke kiri melihat sekolah SMANSATAS (SMA Negeri Satu Tasikmalaya); tempatnya mengemban ilmu tak lama lagi.[]

Karya temen sejurusanku:
dkfmxk: Restar(t)
merosems : My Love From The Past
SeiongJeans : Jiwa yang Tertukar
Quintis8 : Jurig

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro