Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XVII. Keluguannya

TUJUH TAHUN KEMUDIAN...

Langit abu-abu mulai memercikkan air ke bumi didukung dengan angin yang berembus dengan kencang. Dari balik pintu kaca dapat terlihat dengan jelas rintikan air yang membasahi halaman rumah. Daun-daun yang berasal dari pohon mangga di halaman belakang rumah juga ikut diterbangkan oleh angin.

Rasa tidak peduli terhadap cuaca yang dapat membuat seseorang sakit itu membuatnya mengambil sepatu kets abu-abu kesayangannya dan melangkahkan kaki ke luar rumah. Tidak ada yang tahu ia akan keluar, karena semua berada di ruang nonton, sehingga ia merasa aman untuk keluar sebentar. Ia ingin menenangkan suasana hatinya yang tampak seperti langit sore ini. Tubuhnya yang kecil melalui jalanan yang bahkan dihindar oleh orang ramai karena hujan yang deras. Tubuh itu tidak bertemankan jaket dan payung. Ia hanya sekedar mengenakan kaos panjang biasa yang mudah diserang oleh hujan. Ia tidak memedulikan itu semua, termasuk semua orang yang menyuruhnya untuk berteduh terlebih dahulu. Ia terlihat menikmati kesinkronan cuaca itu.

Langkahnya terhenti tepat di depan gedung biru. Ia menunduk lesu tanpa memperhatikan apa yang ada di hadapan. Tanpa disadari ternyata tidak hanya langit yang menangis, tapi juga ternyata matanya meneteskan air yang membasahi wajahnya. Walau di wajah itu sudah tidak dapat dibedakan yang mana air mata dan yang mana air hujan. Ia tetap berdiri tanpa gerak, tanpa memedulikan.

Sebuah rangkulan yang datang bersama payung membawanya ke sebuah café yang terdapat di depan gedung. Ia berjalan perlahan, tidak banyak bicara, tetap diam mengikuti langkah yang membawanya.

"Kamu gila, sinting, atau udah nggak waras?" tanyanya sambil menyelimuti dengan jaket.

"Semua itu sama aja."

"Kesimpulannya kesemua itu hinggap di kamu, gitu? Dari mana kamu?"

"Dari rumah."

"What? Kamu bisa sakit kalau gini. Jarak rumah kamu ke kantor aku nggak dekat, Dhe. Ini cuacanya hujan. Kamu malah nggak pakek jaket, baju kaos pula. Nyari apaan kamu?"

"Nyari kamu."

"Aku? Aku ada buat salah apa sama kamu, hingga kamu hujan-hujanan jumpain aku."

Dhea tidak menjawab. Matanya kembali digenangi air yang antara iya dan tidak untuk keluar.

"Lho lho, kenapa malah mendung gitu kamunya? Udah cuaca di luar hujan, kamu jangan ikutan hujan dong."

"Aku nggak lulus." Tangis itu meledak.

Yang mendengar bukannya iba, malah tertawa terbahak-bahak, hingga semua yang ada di café memperhatikan mereka.

"Mikoooo... Kamu nyebelin banget, sih. Aku sedih, galau. Kamu seharusnya hibur aku, bukan ngetawain aku."

"Aku dukung kalau kamu nggak lulus."

"Kenapa kamu gitu? Nggak setia banget."

"Dhe, coba kamu mikir. Kamu anak hukum, lulusan Istanbul University. Rugi kamu ambil master hukum di sana, tapi kamu milih kerja di dunia perbankan. Nggak nyambung banget tahu nggak."

"Kamu tahu sendiri aku pengen banget untuk kerja di bank, seperti kamu. Lihat kamu kerja nyenengin banget tahu, nggak."

"Kalau kamu sukanya bank, ngapain S2 hukum?"

"Biar sinkron dengan S1 aku di sini. Lebih memperdalam lagi ilmu dan pengetahuan aku tentang hukum di dunia ini. Gimana perbedaan dan persamaannya."

"Terus mau kamu apain ilmu dan pengetahuan kamu yang udah kamu dapat selama 6 tahun sampai harus ke luar negeri itu?"

Dhea menjawab pertanyaan itu dengan diam dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dalam hatinya Dhea sangat membenarkan pertanyaan itu. Ia belajar mati-matian selama 6 tahun untuk meningkatkan ilmunya di bidang hukum. Ia menjiwai apa yang ia pelajari, namun ia tidak memilih bidang itu sebagai pekerjaannya. Dhea telah dibodohi oleh dirinya sendiri.

"Sekarang kamu minum lemon tea kesukaan kamu biar kamu hangat, nggak dingin terus. Satu lagi, kalau kamu sakit, jangan salahi aku. Karena bukan aku yang nyuruh kamu untuk datang ke kantor aku."

"Gitu banget."

"Iya dong. Masa kamu yang berbuat, aku yang bertanggung jawab. Mana mau aku."

"Gimana juga kamu bakal nikah, kalau nggak ada rasa tanggung jawab?" sahut suara dari belakang.

"Gitan??? Kenapa kamu bisa ke sini?"

"Tadi Miko chat aku, dia bilang kamu udah nggak waras. Aku takut, makanya aku langsung datang ke sini. Padahal aku tadi lagi ngajar. Tapi, setelah aku lihat sepertinya kamu baik-baik aja. Sehat."

"Miko?" Ujung mata Dhea menatap tajam pada lelaki yang tertawa tanpa peduli suaranya.

"Dia memang bukan perempuan waras, Git. Anak hukum ngejar perbankan."

"Ketawa terus sampe kerongkonganmu rusak," kesal Dhea.

"Kamu memangnya resign dari kerja kamu di Pengadilan?" tanya Gitan.

"Nggak, sih. Aku masih tetap kerja di situ. Tapi, aku masih terbayang-bayang untuk kerja di bank."

"Dhe, kamu udah ditakdirkan untuk bekerja dalam bidang hukum, beda dengan Miko yang ditakdirkan dalam dunia perbankan. Kamu harus terima takdir kamu."

"Tapi, Git, kamu tahu sendiri gimana dulu aku gila banget pengen kerja di bank."

"Nggak semua yang kamu inginkan bisa jadi kenyataan, Dhe. Karena Tuhan memberi kamu yang terbaik, Dia tau apa yang kamu butuhkan. Aku lihat kamu selama tiga tahun enjoy aja kerja di situ, nggak ada masalah, jadi kamu nggak perlu mencari pekerjaan lain. Saran aku, kamu berhenti cari pekerjaan lain. Cukup dengan tingkah gila kamu selama ini. Fokus dengan pekerjaan kamu."

"Iya."

"Yakin?"

"Sepertinya begitu."

"Jawabnya mantap banget, seakan nggak ada keraguan, eh ujungnya ada kata 'sepertinya begitu'," ledek Miko.

"Udah deh Mik, suka banget ledek Dhea. Oh ya, kamu ntar ikut ya acara kami," ajak Gita.

"Acara apaan, Git? Kenapa aku nggak tahu ada acara dan kamu malah langsung ngajak si usil ini?"

"Dalam minggu ini kita ada acara reunian gitu, belum tahu pasti sih hari apa. Aku perginya dengan bang Bayu. Biar kamu nggak sendirian, kamu ditemani Miko. Sekalian kita kenalin Miko dengan teman-teman kita."

"Aku kabari nanti ya," jawab Miko.

"Kenapa gitu?"

"Aku rencana mau pulang kampung, mau liburan."

"Liburan dalam hal apa? Memangnya kamu nggak kerja?" tanya Gitan.

"Lagi ingin pulang aja, sabtu minggu, kan, libur. Minggu malam balik lagi ke sini, senin langsung kerja. Kalian kapan ke sana?"

"Gimana mau ke sana? Kami sama sekali belum pernah ke sana. Tempatnya nggak tahu. Kalau nyasar gimana?" jawab Dhea asal.

"Kalau gitu kita pergi bareng aja. Sekalian nanti aku ajak kalian jalan-jalan di sana, ke tempat-tempat yang menurut aku indah. Aku yakin, kalian pasti suka."

"Beneran yakin kami akan suka?"

"Banget yakinnya."

"Gitan ikut ya? Nggak mungkin aku doang dengan Miko."

"Aku tanya bang Bayu dulu ya."

------------------------

Dhea tiba di rumah dalam keadaan setengah kering. Ia melihat langit masih mendung, tapi tidak dengan hatinya. Hatinya sudah tenang dan senang. Kedua sahabatnya selalu dapat diandalkan untuk menghibur kegalauan hatinya yang disebabkan oleh apa pun itu.

Dhea melihat pemandangan yang indah di ruang nonton, semua keluarganya berkumpul dan bercerita bersama. Hal itu yang selalu membuatnya nyaman berada di rumah, karena keluarganya selalu menyempatkan diri untuk bersama, termasuk Gitan. Walau mereka sudah tidak serumah, namun karena rumah mereka berdekatan, Gitan selalu datang ke rumah, kecuali dalam bulan ini. Selama sebulan Gitan tidak pernah datang karena harus mengurus Ayah Bayu yang sedang terbaring di Rumah Sakit. Sebagai anak tunggal, Gitan sebagai istri harus membantu apa pun selama ia bisa.

"Dari mana kamu?" tegur Dendy.

"Ketemu Gitan dan Miko."

"Bukan itu maksud Ayah. Kenapa kamu pergi saat hujan? Kamu pergi nggak bawa payung, nggak pakai jaket, kalau kamu sakit gimana? Ponsel kamu juga nggak bisa dihubungi. Satu rumah khawatir sama kamu."

"Maaf."

"Udah Ayah nggak perlu marahin Dhea seperti itu. Sini sayang, duduk samping Bunda," panggil Nashele sambil menepuk sofa kosong di sampingnya.

"Aku boleh minta satu permintaan?"

"Permintaan apa?" tanya Zayn sambil menempelkan handuk pada tubuh kecil adiknya.

"Aku mau liburan dong weekend ini."

"Liburan ke mana?"

"Kampung halamannya Miko."

"Kamu nggak pernah ke sana, kenapa kamu ke sana? Mau pergi dengan siapa? Tinggal di mana? Jalannya juga kamu nggak tahu," interogasi Dendy.

"Aku pergi ke sana dengan Miko, Gitan dan bang Bayu. Kami tinggal di rumah Miko, jadi akan aman. Kami jalan-jalan aja ke sana, refreshing. Sekalian Miko mau nunjukin tempat yang katanya indah. Kapan lagi aku bisa ke sana kalau bukan dalam moment seperti ini. Boleh ya."

"Kamu nggak tahu suasana di sana gimana, orang-orangnya seperti apa. Kalau kamu kenapa-napa gimana?"

"Ada Miko. Dia orang sana, jadi dia tau semua tentang daerahnya. Kalaupun ada hal yang terjadi dengan aku—minta-minta jangan—dia pasti ada untuk aku. Jadi Bunda, Ayah, Bang Zayn, dan Kak Renan nggak perlu khawatir."

"Miko belum menjadi siapa-siapa kamu secara resmi. Dia hanya seorang lekaki yang kamu kenal sejak kamu SMP. Bunda nggak setuju kamu melakukan perjalanan jauh itu dengan dia. Lelaki itu nggak bisa dipercaya seratus persen sedalam manapun kamu kenal dia. Kalau dia apa-apain kamu gimana?" bantah Nashele tidak setuju.

"Ya ampun Bunda, aku percaya dengan dia. Dia nggak akan apa-apain aku, kok."

"Bunda nggak setuju."

"Ayah..." panggilnya seraya melirik ke arah Bundanya.

"Ayah sebenarnya nggak terlalu masalah dengan siapa pun kamu pergi selama Ayah kenal dengan dia. Keluarga kita juga udah saling kenal. Tapi, keraguan Bunda ada benarnya juga. Kecuali dia itu udah sah jadi suami kamu, kamu boleh pergi dengan dia sejauh itu."

"Pernikahan kami masih lama Ayah. Belum juga tahu waktunya kapan."

"Kembali lagi ke diri kamu sendiri, kamu bisa jaga diri atau nggak."

"Ayah tahu, kan, aku bisa bela diri. Kalau dia macam-macam dengan aku, aku bisa bantai dia."

"Sekarang kamu bisa bilang gitu. Kalau udah terjadi bisa nggak kamu lakuinnya?" tanya Zayn.

"Bang Zayn kenapa ngomong gitu? Mau adiknya digituin?"

"Ya, nggak gitu juga. Masalahnya kamu pergi dengan lelaki, lho."

"Jadi, gimana dong? Ayah boleh, Bunda nggak boleh, Bang Zayn ragu, Kak Renan gimana?"

"Kalau Kakak, sih, gimana baiknya aja," jawab Renan netral.

"Polos banget jawabannya. Boleh dong, boleh, boleh. Gitan dan Bang Bayu juga ikut. Jadi aku nggak berdua doang dengan dia," bujuknya.

"Gitan dan Bayu udah nikah, mereka nggak masalah. Yang menjadi masalah itu kamu dan Miko. Kalian belum menikah."

"Bundaaaaa..." Ia merengek seperti anak kecil.

"Kamu harus janji satu hal dengan Bunda."

"Janji apa?"

"Sepulang dari sana, kalian harus segera memikirkan pernikahan kalian. Nggak ada banyak alasan untuk nunda."

"Bun, nggak mungkin secepat itulah. Kami masih menikmati pekerjaan kami tanpa harus terikat dengan pekerjaan lainnya."

"Sampai kapan kalian seperti ini? Kalian bertunangan udah dua tahun. Nggak baik lama-lama tunangan. Kalau kalian nggak segera menikah, Bunda akan segera mencari penggantinya untuk kamu, dan biarkan hubungan kalian hanya sebatas sahabat seperti dulu."

"Bundaaaaaa..."

Nashele meninggalkannya untuk berpikir tentang apa yang diucapkan. Semua keputusan ada di tangan anaknya, dia tidak ingin anaknya salah mengambil keputusan yang paling berarti dalam hidup dan untuk menjalani sisa hidupnya kelak.

Nashele memang ada benarnya. Setelah pulang dari Turki dan memiliki pekerjaan—meski masih kontrak—Dhea memutuskan untuk bertunangan dengan sahabatnya itu, karena ia tidak mau mencari lelaki lain yang ia tidak tahu baik untuk masa depannya atau tidak. Sementara Miko, ia mengenalnya dari masih kecil hingga sekarang, jadi ia merasa telah mengambil suatu keputusan yang tepat untuk memilih calon suami. Namun, Dhea dan Miko pun masih merasa sangat nyaman dengan kehidupan sekarang tanpa ada ikatan yang lebih mengikat. Mereka tidak pernah membicarakan tentang pernikahan. Mereka selalu membahas hal sehari-hari, tanpa berpikir bahwa telah lama mereka bertunangan. Mungkin Dhea kini harus mengikuti apa yang dikatakan Nashele. Ia harus membicarakan dengan Miko bagaimana kelanjutan hubungan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro