Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XV. Persiapan

Masih menggunakan setelan olahraga, ia merebahkan tubuhnya di kamar yang tidak ada siapa pun di dalamnya. Ia melihat langit-langit kamar yang putih bersih. Pikirannya terbang menyapu langit-langit kamar. Ia merasa begitu lelah dan sangat ingin istirahat. Namun, ia seperti tidak mampu untuk istirahat saat melihat keluarganya sibuk mempersiapkan pernikahan Gitan esok hari. Ia merasa ingin melelapkan dirinya untuk sebentar saja, tanpa gangguan, hanya dirinya dan langit-langit kamar.

"Dhe, kamu dipanggil Bunda," ujar Renan—istri Zayn—dari balik pintu kamar.

Mata yang baru dipejamkannya serasa tidak ingin dibuka, biarkan ia tertutup hingga acara tiba. Dhea melawan rasa lelah itu dengan bangkit dari tidurnya. Botol minuman diteguk hingga membuatnya kehabisan air. Dengan malas ia keluar kamar dan mencari Nashele. Ia melihat Nashele dari kejauhan yang sedang sibuk menata ruangan.

"Ada apa, Bun?"

"Kamu udah ambil baju di butik?"

"Ya ampun, aku lupa. Maaf, Bun."

"Udah Bunda bilang tadi selesai jogging kamu ambil baju di butik."

"Yaudah, aku ambil sekarang. Butik Bunda ada orangnya, kan?"

"Hari ini butik tutup, pekerjanya semua ada di sini bantu untuk acara besok. Kuncinya ada di tempat biasa."

Dhea melangkahkan kaki dan mengambil kunci di dinding dekat kulkas. Segala macam kunci digantungkan di situ.

Dhea mendayung sepedanya dengan perlahan, karena masih ingin merasakan embusan angin, walau sudah sejak tadi pagi berolahraga. Walau ia merasakan terpaan angin, tapi ia tidak merasakan kenyamanan, ia dikelilingi rasa gelisah. Dhea mendengarkan musik-musik yang ada di ponselnya melalui headset, mencoba agar pikirannya tenang, tidak seperti sekarang.

Dayungannya terhenti tepat di depan sanggar, di mana selama ini ia latihan dan diajarkan berbagai macam jenis kesenian. Ia hanya memandang dari seberang jalan agar tidak terlihat oleh teman-teman dan seniornya. Dhea mencari yang tidak akan ditemukannya. Ia masih tidak mengerti apa yang terjadi. Ia tetap memandang teman-temannya yang sedang bercanda tawa sambil bernyanyi dan memetik gitar.

"Hai, Dhe," sapa seseorang dari belakangnya.

Dhea hanya tersenyum dan merasa canggung karena hanya berdiri di seberang jalan.

"Kenapa nggak masuk? Teman-teman lagi latihan untuk acara di rumah kamu besok."

"Terima kasih ya kalian udah mau bersedia tampil untuk besok."

"Pasti, dong. Kamu salah satu anggota kita, jadi apa pun yang kami bisa pasti kami lakuin."

"Em, Bang Heri kenapa nggak pernah kelihatan ya?"

"Nggak tau juga, Dhe. Nomor dia nggak bisa dihubungi. Padahal rencana besok kami akan nampilin dia juga, tapi nggak bisa hubungi dia sama sekali. Dia nggak pernah lagi ke sanggar udah beberapa minggu, bahkan di kampus juga nggak pernah ketemu."

"Sebelumnya dia nggak ada kasih kabar apa-apa gitu?"

"Nggak ada sama sekali. Mungkin dia sedang ada urusan mendesak di luar daerah dan ponselnya mungkin terjatuh. Positif thinking aja, sih, kalau menurut aku."

"Iya. Terima kasih ya infonya. Aku mau ke butik bunda dulu. Salam ya untuk semuanya."

"Yakin nggak masuk dulu?"

"Jangan dulu, Bang, aku harus buru-buru sebelum bunda aku merepet," jawabnya tersenyum.

Dhea kembali mendayung sepedanya menuju butik Bundanya. Walau ia mengalihkan pikirannya pada hal yang lain, tapi pikirannya menolak. Ia merasa terlalu buruk, esok adalah hari pernikahan sahabatnya tapi pikirannya tidak untuk hal itu. Dhea merasa tidak menjadi saudara yang baik untuk sahabatnya. Ia tidak dapat menahan rasa yang terdapat di dalam hatinya. Ia ingin menemui lelaki itu dan menghajarnya dengan serbuan pertanyaan. Sisi lain hatinya tidak setuju dengan hal itu karena ia bukanlah siapa-siapa. Ia hanya seorang adik letting yang memiliki hati untuknya. Ia tidak memiliki hak untuk melakukan hal itu. Mungkin ia lebih baik diam dan menyimpannya dengan rapi dalam hati.

-----------------------

Ia tertidur dengan pulasnya di balik selimut yang menutup setengah tubuhnya. Ia tidur tanpa teringat waktu. Ia tidak melakukan hal lain selain tidur. Dalam tidurnya ia terlihat resah. Tubuhnya bermain ke sana kemari, tidak tenang. Ia tidak menemukan ketenangan seperti tidurnya selama ini. Tidurnya kali ini sangat terganggu. Ia merasa tidak nyaman.

"Dhe, kamu kenapa?" Suara itu mencoba membangunkannya.

Tangan menggoyang bahunya berharap dapat membangunkannya. Namun tubuh itu semakin resah. Keringat mulai mengucur dari dahinya. Tidak pernah ia terlihat seperti itu sebelumnya.

"Dhe, bangun. Kamu kenapa? Kamu mimpi buruk? Dhe—"

"Heri ...." Satu kata itu keluar dari mulutnya saat ia terjaga dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya.

"Heri? Kamu mimpi buruk tentang Bang Heri?" tanyanya seraya menghapus keringat sahabatnya.

Dhea tidak menjawab apa pun. Ia masih terengah-engah.

"Dhe, kamu mimpi buruk tentang Bang Heri?"

"Aku kangen dia, Git," sahutnya dengan tangis.

Gitan memeluk sahabatnya yang menangis rindu. Ia dapat merasakan kesedihan Dhea, meski tidak berada pada posisinya.

"Apa aku salah ya jatuh cinta pada dia?"

"Cinta itu nggak pernah salah, Dhe. Mungkin ini salah satu ujian untuk hati kamu."

"Tapi, kenapa begitu tiba-tiba? Apa aku nggak layak untuk mencintai dia?"

"Jika kamu mampu melalui ujian ini kamu layak untuk mencintai dia."

"Sampai kapan aku harus seperti ini? Dia pergi tiba-tiba. Aku nggak sanggup seperti ini. Berminggu-minggu dia hilang, nggak ada yang tau keberadaannya. Aku nggak bisa menghubungi dia. Jika dia memang ingin menjauh dari aku, dia cukup bilang pada aku untuk tidak terlalu dekat dengannya. Aku akan melakukannya. Sekalipun hal itu dia minta karena dia mungkin sudah memiliki hati pada yang lain. Aku akan terima, Git. Aku terima."

"Nggak baik berprasangka buruk pada orang lain."

"Aku nggak akan berprasangka buruk kalau dia nggak seperti ini. Kenapa dia menghilang? Kenapa dia pergi gitu aja?"

"Menurut aku dia punya alasan yang pasti. Mungkin, dia nggak bisa kasih tahu kamu."

"Apa? Apa yang dia nggak bisa kasih tahu aku?"

"Aku nggak tahu, Dhe. Kalau aku tahu, udah pasti aku kasih tahu kamu. Nggak mungkin aku menyimpan suatu hal dari kamu. Apalagi tentang lelaki yang kamu punya hati untuknya. Tapi, Dhe, aku yakin banget dia punya alasan itu, yang mana alasan itu nggak seperti yang kamu pikirkan. Kalau memang dia ingin menjauh dari kamu, kenapa semua nggak tahu keberadaan dia? Seharusnya hanya kamu yang nggak tahu keberadaan dia."

"Jelas mereka sekongkol, Git. Mereka itu teman. Sedangkan aku? Siapa aku ini untuk dia?"

"Lalu bagaimana dengan ponsel dia? Nggak mungkin dia ganti kartu hanya karena ingin menjauh dari kamu. Lalu kampus? Sanggar? Dia sama sekali tidak datang ke dua tempat penting itu."

Dhea membenarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gitan. Ia sama sekali tidak terpikir ke arah itu, hanya berpikir akan perasaannya. Ia memandang pada gambar yang menghiasi kamarnya. Ia menatap lekat pada tatapan itu. Apa yang tersembunyi dibalik tatapan indah itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro