XIX. Hati Menyapa
Dhea berdiri di antara reramaian orang yang berlalu lalang. Ia tahu bahwa ia berdiri di tengah lapangan. Namun, ia tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu. Dhea tidak mengenal siapa pun di antara sekian banyak orang, begitu juga dengan mereka. Tidak ada yang memedulikannya. Ia mencoba melangkahkan kakinya, namun ia tidak tahu hendak ke mana dilangkahkan. Kakinya pun tidak bisa ia gerakkan. Kakinya seakan lumpuh tidak bisa berjalan, hanya dapat berdiri di tempat.
Sentuhan tangan tidak dikenal menggenggam tangannya dan menariknya untuk melangkah. Dhea tidak tahu siapa orang itu. Seorang lelaki dengan badan tegap dan tinggi serta berkulit putih. Rambutnya rapi hitam pekat, dan mengenakan jaket berwarna hitam yang terdapat tulisan "AC MILAN" di punggungnya. Dapat ia ketahui lelaki ini adalah penggemar club sepakk bola itu. Ada rasa penasaran dalam dirinya, siapakah lelaki itu dan ke mana ia hendak dibawa? Namun, tidak ada rasa penolakan dari dirinya ke mana pun ia ditarik, Dhea terus mengikuti.
"Nonton bola, yuk," ucap lelaki itu menoleh kepadanya.
Betapa terkejutnya Dhea ketika melihat siapa lelaki itu. Ia tidak mampu mengatakan apa pun; lidahnya kelu, bibirnya membeku. Dhea terus mengikuti langkah lelaki itu yang semakin cepat, setengah berlari. Mereka berhenti tepat di sebuah toko kecil, yang mana di dalamnya terlihat banyak lelaki—baik yang muda maupun yang tua—sedang menikmati pertandingan bola.
Dhea tidak tahu club mana yang bertanding, karena ia tidak menyukai dunia lelaki yang satu itu. Akan tetapi, ia yakin AC MILAN adalah salah satu club yang bertanding, tapi tidak tau club mana lawannya. Ia tidak tertarik sama sekali untuk mencari tahu. Dhea lebih tertarik melihat lelaki yang di sampingnya, yang sangat serius melihat ke layar dan sesekali berteriak ketika bola hampir masuk ke gawang, ataupun saat memang sudah memasuki gawang. Tampak begitu bahagia wajah sosok itu, sesekali Dhea melihatnya dengan tersenyum dan tertawa. Namun tidak ada kata yang terlontar dari keduanya.
Lelaki itu kembali menariknya ke luar toko, dan mengajaknya berlari-lari. Mereka berlari dengan tawa menghiasi wajah. Mereka seakan sudah lama bermain bersama dan selalu melewati hari tersebut. Mereka bermain seakan tidak akan kehilangan waktu. Waktu adalah permainan mereka yang dapat dimiliki sampai kapan pun. Lelaki tersebut mengalungkannya sebuah kalung berbentuk hati yang begitu indah dan memberikannya sebuah kain yang ia tidak tahu apa itu dan untuk apa kain itu.
Lelaki itu pergi dengan tetap tersenyum ke arahnya. Dhea menatap mata yang kebiru-biruan itu yang langsung berpaling darinya, pergi melangkahkan kaki meninggalkannya. Dhea tidak mengejar lelaki itu, entah mengapa. Ia lebih tertarik untuk membuka kain itu.
"Nice Dream"
Dua kata itulah yang tertulis rapi di atas kain yang diberikan.
Dhea melihat lelaki yang telah jauh berlari hingga hilang dari pandangannya. Ia ingin mengetahui ke mana lelaki itu pergi dan mengapa meninggalkannya dalam keadaan demikian. Mengapa ia pergi begitu saja tanpa kata, hanya senyum yang ditinggalkan untuk tetap bersamanya.
Dhea terbangun dan terduduk di kasurnya. Matanya menatap dinding-dinding putih kamar. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa hal itu kembali? Ia memang tidak melupakan apa pun, tapi mengapa kembali dalam waktu lama, dan di saat dia sudah seperti ini, bahkan sudah memiliki pengganti.
"Kamu udah bangun, Dhe? Aku baru aja mau bangunin kamu. Cepat siap-siap," kata Gitan yang sedang memakai kaus kakinya.
"Kita mau ke mana?"
"Nggak tahu pastinya ke mana. Tapi, yang pasti kita akan olahraga. Buruan, Dhe."
Ia tidak banyak berbicara, ia hanya mengikuti apa yang disuruh oleh Gitan. Pikirannya tidak bersamanya, pikirannya masih bersama mimpinya. Dhea mencuci wajahnya dengan keras berharap ia tidak pernah bertemu mimpi itu. Semua itu hanya masa lalu, yang ia ketahui tidak akan ada di masa depan. Semua itu hanya bunga tidur, ia harus melupakan.
Dhea bergegas berpakaian dan menemui Gitan, Bang Bayu dan Miko yang sudah menunggu di teras rumah. Mereka semua memakai jaket dan masih merasakan kedinginan. Maklum saja, ini pertama kali mereka berkunjung ke kota dingin, dan ini masihlah pukul enam pagi. Miko yang sedari lahir tinggal di kota ini masih juga merasakan kesejukan seperti para pendatang.
Tidak terlihat ramai pada minggu pagi ini. Jalanan masih dilewati sekitar beberapa kendaraan, dan tidak banyak pejalan kaki. Mereka melewati kantor polisi yang terletak di sebelah kiri dan kantor bupati di sebelah kanannya. Mereka juga melewati mesjid termegah di kota ini, dengan kubah emas di atasnya. Selain itu mereka melewati jalan yang terdapat beberapa simpang yang di tengah jalannya ditegakkan sebuah tugu yang tidak terlalu tinggi, sekitar tiga meter ke atas, daerah ini sering disebut simpang lima karena memang memiliki lima simpang. Mereka memilih jalur kedua dari kiri dan terus berjalan.
"Wah, nggak juga jauh kita jalan, tapi udah banyak yang kita lalui. Kantor polisi, kantor bupati, pendopo, mesjid, simpang yang banyak itu, dan sekarang jembatan di atas sungai. Sebentar lagi bisa-bisa kita lewati laut," cerocos Gitan.
"Tepat. Kalau kita ke kiri, itu adalah jalan menuju danau. Nah, tapi tujuan kita bukan ke sana, melainkan lurus ke atas, untuk mendaki gunung. Aku bawa kalian melalui jalan aspal bukan jalan gunung, karena aku takut nanti kalian kesusahan atau ada apa-apa. Jadi, aku pilih jalan yang aman. Nanti kita juga bisa lari di sana, jogging pagi," jelas Miko.
"Waw, mantap banget. Yuk, buruan kita naik ke atas, aku udah nggak sabar ingin melihat kota ini dari atas gunung."
"Nggak perlu tiba di puncak juga nampak kota ini."
"Serius, Mik?"
"Yups."
Gitan terlihat begitu semangat pagi ini. Angin sejuk kota ini memberinya semangat yang hangat, ia ingin segera sampai di puncak. Ia ingin melihat segala keindahan yang tidak pernah dilihatnya. Ia ingin merasakan angin pegunungan di sini. Karena sedari kecil, Gitan tidak pernah mendaki gunung, walaupun kali ini ia tidak mendaki, hanya melalui jalan biasa, yang terpenting ia bisa merasakan suasana pegunungan.
Gitan mulai melihat embun yang jauh entah di mana, ia ingin mengambil embun itu dan menggenggamnya, tapi semakin ia mendekat embun itu semakin hilang dan tetap jauh. Sesekali ia memutar balik badannya ke belakang dan melihat betapa indahnya kota ini.
"Untuk mencapai puncak kita cukup ikuti jalan aja, kan?"
"Iya, Dhe. Kenapa?"
"Aku duluan ya. Aku mau lari."
Dhea meninggalkan teman-temannya dan berlari seorang diri. Ia tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik. Hatinya sedang kacau, ia menggalau. Ia ingin menghapus apa yang baru saja menghampirinya. Dhea ingin berteriak kepada dunia bahwa ia tidak ingin kembali pada masa yang menjatuhkannya. Ia ingin terus ke puncak dan melupakan apa yang ada di bawah. Hal yang ada di bawah adalah hal-hal yang ingin ia kenang, bukan untuk ia lakukan di masa depan.
Dhea terus berlari meski jalan itu penuh bebatuan. Sesekali ia tersandung batu dan bangkit untuk terus berlari. Napasnya terengah, tidak ia hiraukan. Ia lelah, ingin berhenti, istirahat. Namun, kakinya tidak mengizinkan. Ia terus berlari—sekitar dua puluh menit berjalan kaki—hingga teman-temannya jauh tertinggal darinya tapi ia tidak menghiraukan hal itu.
Dhea berlari hingga kakinya terhenti saat mata menatap keindahan danau yang biru. Langit biru seakan menyatu dengan air. Keindahan yang tidak pernah ia lihat. Ia juga dapat melihat bagaimana tata letak kota ini. Semuanya berdampingan seperti tidak ada yang memisahkan antara satu dan yang lainnya.
Air matanya membasahi pipi. Ia bingung sendiri. Apa yang terjadi pada dirinya? Bibirnya perlahan terbuka tapi tidak mengeluarkan suara. Ia tidak tau mengapa semua bergerak sendiri tanpa ada arahan dan kemauan dari dirinya.
"HE ... RI ..." Ia dengan jelas meneriakkan satu nama itu. Karena pemilik nama itulah yang menghampiri mimpinya pagi tadi.
Dhea sangat tidak menyangka, nama itu yang disebutnya di saat dia berada jauh dari kotanya. Ia ingin pulang, ia tidak ingin lagi berlama-lama di sini. Ia ingin melakukan suatu hal yang sangat penting dalam hidupnya. Ia harus pulang.
"Waaaahhhh, keren banget. Aku suka," teriak Gitan bahagia.
Dhea tidak tahu bahwa teman-temannya sudah sampai ke puncak dan berdiri di belakangnya. Ia segera menghapus air matanya, dan berharap mereka tidak mendengar apa yang tadi diteriakannya.
"Apa yang ada di benak kalian saat kalian melihat kota ini dari sini?" tanya Miko.
"Nggak ada bayangan apa-apa," jawab Gitan dan Bayu serempak.
"Kalian perhatikan baik-baik. Setiap aku ke sini, yang ada dalam benak aku adalah permainan monopoli. Aku membayangkan mencabut satu rumah dan memindahkannya ke tempat yang lain."
Mereka tertawa mendengar jawaban Miko.
"Kamu benar. Aku bisa membayangkan itu, dan mirip banget," jawab Bayu.
"Indah banget ya, Mik, kota kamu. Aku nggak nyesal datang kemari."
"Terima kasih. Lain kali kalau ada kesempatan datang lagi untuk melihat keindahan yang sama."
"Nanti kami bawa anak-anak kalau udah gede."
"Itu kelamaan, sekalian aja tunggu cucu lahir, biar sekali jalan."
Mereka tertawa bersama mendengar celetukan Miko. Hanya Dhea yang tersenyum simpul, seakan tidak merasakan kebahagiaan.
"Kamu kenapa? Nggak senang, ya? Tempatnya nggak asyik, ya?"
"Nggak, Mik. Tempatnya indah, menenangkan. Suasananya juga sejuk. Keren," jawab Dhea mencoba menjadi seperti biasanya.
"Terus kenapa dari tadi kamu diam aja? Bahkan kamu juga milih untuk ke atas duluan."
"Aku nggak apa, kok."
"Kamu yakin? Kalau kamu sakit, kamu bilang aja, biar kita pulang."
"Aku ingin segera balik ke rumah."
Gitan, Bayu, dan Miko terkejut mendengar jawabannya. Mereka tidak pernah melihat ia seperti ini. Karena Dhea tipe yang paling senang jika diajak hang out dan paling nggak suka untuk pulang cepat.
"Dhe, kenapa kamu ngomong gitu? Nanti malam kita akan pulang, nggak sekarang. Karena sebentar lagi kita akan keliling danau."
"Mik, kapan kamu akan nikahi aku?"
Miko benar-benar kaget mendengar pertanyaan itu. Tidak hanya Miko, tapi juga kedua lainnya. Mereka tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya dan semua berjalan dengan baik. Tapi kali ini, dalam keadaan tiba-tiba Dhea menanyakan hal ini kepadanya.
"Bukan kamu yang harus mempertanyakan, tapi aku yang harus menyatakan. Maaf, aku membuat kamu bertanya. Segera setelah kembali, kita akan mengurus pernikahan kita. Sebenarnya aku juga sudah membicarakan hal ini pada Bapak dan Ibu semalam, karena tujuan aku pulang ke sini memang untuk membicarakan hal ini. Maaf aku membuat kamu menunggu."
"Apa kamu sayang aku?"
"Kamu udah mengetahui perasaan aku dengan jelas. Walau kita sering bertengkar sehari-hari, itu bukan berarti nggak ada perasaan sayang untuk kamu. Itu hanya kebiasaan kita sedari kecil yang menurut aku unik dan aku nggak ingin mengubahnya. Aku ingin, walau kita memiliki ikatan yang penting dalam hidup, kita tetap seperti bagaimana kita awal menjalin kedekatan. Aku tidak ingin ada yang berubah."
"Terima kasih, Mik. Aku ingin segera memulai hidup baru tanpa berpaling pada hidup yang lama."
-----------------------
Dhea mempersiapkan semua keperluannya untuk kembali ke kota asalnya. Ia memang tidak membawa banyak barang saat berkunjung ke kota ini, hanya barang seukuran ranselnya, cukup untuk dua hari. Tangannya dimasukkan ke dalam tas kecil berharap dapat menemukan apa yang dicarinya dan ia merasa mendapatkannya. Namun, yang ia temukan bukanlah sesuatu yang diinginkan. Dhea mendapatkan selembar gambar yang sudah lama tidak dilihatnya. Gambarnya bersama seorang lelaki yang belum sempurna terhapus dari hati maupun pikirannya.
"Apa itu, Dhe?" suara Gitan mengejutkannya.
"Bukan apa-apa, Git." Tangannya memasukkan gambar itu kembali dalam tasnya.
"Dhe, kamu disamperin jin apa, sih, tiba-tiba minta Miko buruan nikahin kamu?"
"Bukannya bagus? Aku udah kelamaan tunangan dengan dia. Nggak baik tahu tunangan lama-lama. Sebelum aku dijodohin Bunda, lebih baik aku buruan nikah dengan dia."
"Kamu yakin itu alasannya?"
"Ada alasan apa lagi selain itu?"
"Nggak yakin aja dengan jawaban kamu. Kamu bohong."
Gitan meninggalkan Dhea tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab. Gitan benar, itu bukanlah jawaban sesungguhnya yang dibutuhkan oleh Gitan. Namun, Dhea juga tidak mempunyai kepercayaan diri untuk menceritakan apa alasan sesungguhnya yang merasukinya hingga meminta Miko menyegerakan pernikahan mereka. Ia hanya tidak ingin semua kembali seperti semula dan ia kembali terjatuh dan hancur hingga akan sulit untuk bangkit seperti sekarang.
Dhea meninggalkan kamar dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia sudah merasa gerah karena sedari pagi belum mandi dan sebentar lagi akan kembali ke kotanya. Ia merasa sangat tidak layak jika bepergian jauh tapi tidak mandi, akan sangat malu jika hal itu harus terjadi. Rasa dingin terkadang memang membujuknya untuk tidak mandi, tapi rasa gengsi memaksanya untuk mandi.Dan Dhea lebih tertarik dengan rasa gengsinya.
Kakinya tertahan di dapur saat melihat dua abang beradik itu sedang berbicara. Dhea ingin menyapa, namun kondisi tidak memungkinkan. Ia hendak pergi dan nanti akan kembali, tetapi langkah menahannya untuk tetap berdiri karena perbincangan yang menarik.
"Kamu tahu sendiri aku akan menikah dengan Dhea, gimana bisa kamu bicara hal konyol itu?"
"Bang, dia itu sayang banget dengan Abang."
"Abang sayangnya dengan Dhea, bukan dia."
"Dulu Abang sayang dengan dia. Apa rasa sayang itu nggak bisa kembali lagi?"
"Nggak akan bisa."
"Abang dulu sayang dengan Kak Dhea sejak SMP, terus kalian pisah dan Abang pacaran sana-sini. Pacar Abang nggak pernah satu. Dia bisa mengerti hal itu dan masih bertahan sama Abang walaupun dia tau abang duakan. Tapi, Abang kembali untuk Kak Dhea dan mengembalikan hati Abang untuk Kak Dhea. Dari sudut pandang perempuan, itu sangat nggak adil untuk Sherly."
"Perasaan itu nggak bisa dipaksa, Mika."
"Bukan nggak bisa dipaksa. Banyak orang nikah karena perjodohan dan akhirnya mereka sangat mencintai hingga nggak bisa dipisahin. Abang aja yang nggak pernah buka hati Abang untuk dia. Kurang apa, sih, dia?"
"Hati Abang nggak bisa untuk dia. Abang udah terlalu sayang dengan Dhea. Mik, tolong, Abang mau nikah dengan Dhea. Seharusnya kamu dapat memberikan pengertian itu pada dia."
Dhea tidak ingin lama berdiri di sana mendengar perdebatan adik-abang itu. Sepertinya ini hal yang seharusnya diketahui sejak lama. Dhea tidak menyangka semua akan berubah seperti ini. Ini adalah hal yang tidak pernah memasuki alam bayangannya. Ia terbayang semua akan baik-baik saja, tapi kini masalah menghadang dan ia tidak bisa berjalan dengan baik. Semua butuh pemikiran ulang. Masih ada hati lain yang harus dipertimbangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro