XIV. Tak Ada Angin
Ia menikmati musik yang terputar di mp3 playernya seraya mengetik kata-kata di laptop setelah membolak-balik buku yang berserakan di hadapannya. Sesekali perempuan itu mengunyah makanan yang disiapkan oleh Nashele untuk mereka, tapi hanya ia sendiri yang memakannya, tidak mereka berdua. Ia tidak peduli pada saudaranya yang sedari tadi hanya memandang layar ponsel, entah apa yang diharap pada ponsel itu. Saudaranya itu hanya mondar mandir di hadapannya, dan sesekali duduk di sofa dengan membanting bantal-bantal. Ia tampak begitu kesal, Karena melihat tingkah sahabatnya yang tidak seperti biasanya, ia menutup buku, menghentikan ketikannya dan memandang sahabatnya dengan lekat. Tubuhnya ikut bergerak dan berputar mengikuti arah ke mana sahabatnya itu berjalan.
"STOP!!!" pekiknya.
"Aku bingung dan pusing melihat kamu dari tadi mondar-mandir seperti setrikaan, ke sana kemari. Kamu kenapa? Otak kamu nggak beres? Tugas kuliah belum kelar? Atau kamu buat masalah baru di kampus?"
"Aku nggak kenapa-napa," jawabnya singkat.
"Come on, Dhe. Nggak mungkin kamu nggak kenapa-napa, tapi bertingkah seperti ini. Kamu mengganggu aku buat tugas, tahu nggak? Tugas ini dikumpul besok, dan kalau aku nggak siapin malam ini, aku besok bisa tegur. Kamunya enak nggak kena mata kuliah ini besok, karena kita beda ruang. Aku?"
"Maaf."
"Kamu kenapa, sih? Cerita dong dengan aku. Nggak biasanya kamu diam aja kalau ada masalah."
"Sebenarnya aku—"
"Anak Ayah kenapa nggak belajar?" tanya Dendy dari daun pintu kamar yang sedikit terbuka.
"Kami dengar kalian seperti bertengkar. Ada apa?" tanya Nashele.
"Kami nggak bertengkar Bun, aman-aman aja," jawab Gitan.
"Sungguh? Kalian jangan coba-coba nutupi, lho. Kalau ada masalah kita bicarain baik-baik."
"Ayah dan Bunda tenang aja. InsyaAllah antara aku dan Dhea nggak akan ada masalah. Bunda dengan Ayah kenapa belum tidur?"
"Bunda mau nanya tentang persiapan pernikahan kamu dengan Bayu. Apa ada sesuatu yang menjadi kendala atau gimana gitu? Karena Bunda tanya Ayah, Ayah diam aja, katanya tanya langsung Gitan biar Bunda bisa dekat juga dengan Gitan."
Gitan tersenyum mendengar jawaban Nashele. Ia juga melihat ke arah Dendy yang mengerdipkan matanya. Dendy memang punya cara tersendiri untuk membuatnya dekat dengan orang lain.
"Ayah benar dong? Kalau nggak gini, kapan Bunda mau dekatin Gitan?"
"Iya, Ayah memang benar. Nggak pernah berubah dari dulu. Bunda sayang banget sama Ayah."
"Ekhmmm .... Ada dua anak di bawah umur di kamar ini," sindir Dhea.
"Anak di bawah umur apaan? Kamu tuh udah tua, Dhe," timpal Ayah.
"Aku? Tua? Lebih tua Gitan daripada aku Ayah."
"Tapi mukanya lebih tua kamu."
"Bela terus anak kesayangan Ayah."
"Kamu kenapa ngambek?"
"Dia lagi nggak beres. Otaknya soak," sahut Gitan.
"Kenapa kamu bilang gitu?" tanya Nashele.
"Dari tadi dia gitu, Bun. Mukanya manyun terus, nggak ada senyumnya, apalagi ketawa. Ditanya kenapa, nggak jawab."
"Jadi itu yang kalian ributkan tadi?"
"Nggak ribut, Yah. Nanya doang, dia nggak jawab."
"Ntar aja bahas aku, bahas pernikahan Gitan dulu."
"Yaudah, sebelum darah kamu mencapai ubun-ubun. Pernikahan aku, kami cuma baru selesai mengurus tentang catering. Kami memesan sekitar dua puluhan jenis makanan, dan itu makanan Indonesia pastinya. Namun, dari berbagai daerah, ada makanan khas Aceh, Padang, dan Jawa. Karena aku nggak bisa fokus pada keluarga kita aja, tapi aku juga harus memikirkan keluarga bang Bayu yang dari Padang dan aku sendiri yang keturunan Jawa. Udah lumayan lama juga aku nggak merasakan makanan khas Jawa."
"Tunggu sebentar, duit dari mana kalian pesan makanan-makanan itu?" tanya Dendy curiga.
"Santai dong Ayah nanyanya. Kami nggak melakukan sesuatu yang kriminal untuk mendapat uang itu. Uang itu hasil kerjanya Bang Bayu. Walau hanya makanan, setidaknya itu hasil keringatnya Bang Bayu sendiri."
"Bunda salut dengan kalian. Terus pakaian, gedung, undangan, penghulu, gimana?"
"Belum, Bun," jawabnya nyengir.
"Pernikahan kalian udah di depan mata, dan kalian belum nyiapin hal itu? Apa yang kamu tunggu? Kamu mau memakai pakaian casual atau baju tidur di hari pernikahan kamu? Kalau seperti itu bukannya duduk di pelaminan kamu malah cuci piring di belakang."
"Maaf, Bunda, aku nggak bermaksud seperti itu."
"Bunda, kenapa gitu ngomongnya?"
"Ayah, pernikahan bukan hal yang main-main. Ini waktunya semakin jalan, nggak bisa kita hentiin gitu aja selama beberapa hari untuk kita persiapkan apa yang belum, lalu kita jalankan lagi waktunya. Gini aja, mana list tamunya, biar Bunda yang urus undangan."
"Belum bikin, Bun," jawabnya menggaruk kepala.
"Ya ampun, Gitan, ini pernikahan kamu. Kamu harus memikirkannya total. Kamu cukup menjalani ini sekali seumur hidup kamu, jadi jangan sampai ada sesuatu yang nggak lengkap di hari itu. Bunda tahu kamu sibuk dengan kuliah kamu, tapi kamu juga nggak boleh lupain hari penting dalam hidup kamu. Bunda rasa, kamu memang harus capek total dalam dua minggu ke depan hingga hari itu tiba, karena setelah itu kamu nggak perlu lelah memikirkannya lagi. Kamu selesai. Hanya perlu menjalaninya sebagai seorang istri dan mahasiswi," ucap Nashele geram.
"Gitan, mungkin kamu belum mengetahui secara luas seperti apa Bunda. Tapi, beginilah dia, memiliki sifat yang menurun pada Dhea. Jadi, kamu cukup menghadapinya seperti menghadapi Dhea," jelas Dendy.
"Gimana bisa aku hadapinya seperti Dhea, Bunda lebih tua dari aku."
"Oh tidak, Bunda memang tua, tapi Bunda sudah biasa bergaul dengan anak sebaya kalian. Jadi, benar apa kata Ayah, kamu bisa menganggap Bunda adalah Dhea."
"Nggak sopan nanti akunya."
"Sopanin aja. Simple, kan? Udah nggak perlu bahas yang nggak perlu. Sekarang juga kamu tulis list nama teman atau siapa pun yang ingin kamu undang. Selebihnya biar Bunda yang handle. Untuk gedung kita adakan di rumah aja, halaman belakang kita luas, jadi ntar kita beri tema garden party aja, Bunda rasa bisa keren hasilnya. Masalah pakaian, besok kamu dan Bayu datang ke butik Bunda biar kami ukur. Rugi dong Bunda buka butik, kalau pernikahan anak sendiri bajunya dijahit di butik orang. Terus untuk penghulu, Ayah bisa dong urus itu? Untuk anak kita." Nashele menatap Dendy dengan sorotan mata menyelidik.
"Tentu. Apa pun yang bisa Ayah lakukan, pasti dilakukan. Anak perempuan pertama yang akan menikah, udah pasti diistimewakan."
"Terima kasih Ayah, Bunda." Ia memeluk kedua orang tuanya itu.
"Dhea, kamu cerita dong, kamu kenapa? Dari tadi diam aja." tanya Gitan.
"Aku nggak kenapa-napa. Kamu kalau udah nikah jangan lupain aku ya."
"Nggak akan aku lupain kamu. Kamu sahabat terbaik aku, adik aku, mana iya aku lupain kamu. Aku akan sering ke rumah. Janji."
"Jangan janji palsu, tuh."
"Nggak akan."
Gitan memeluk Dhea yang berdiam diri. Gitan sangat menyayangi saudaranya itu, dan merasa berat jika harus melepas kebiasaan mereka yang selama ini terus bersama. Tanpa disadari air menggenangi pelupuk matanya. Ia mengisyaratkan pada Ayah dan Bunda untuk diam, tidak memberitahu Dhea bahwa ia ingin menangis. Dhea bukanlah seseorang yang akan membiarkannya menangis. Dhea selalu melarang keras ia menangis, meskipun dirinya sendiri tetap menangis walau dilarang. Di sela pelukan mereka, Dhea melepasnya karena ponselnya berdering.
"Maaf, aku nggak bisa jawab pertanyaan kamu," ucap seberang.
"Kenapa? Apa susahnya kasih tau aku dia di mana?"
"Maaf, Dhe. Aku nggak bisa bantu kamu. Mungkin kamu bisa tanya langsung dengan orangnya."
Klik! Sambungan terputus.
Air matanya jatuh setitik dan mengalir perlahan di pipinya. Ia merasa sedih dan bingung. Apa yang terjadi padanya? Ke mana orang yang ia cari pergi? Mengapa menghilang begitu saja? Salah apa yang telah diperbuatnya sehingga orang itu seakan menjauh darinya? Ia dibingungkan oleh keadaan yang kini dihadapi.
"Siapa, Dhe? Kenapa kamu nangis?"
Dhea memeluk Gitan seraya tersedu. Ia terisak tangis, masih belum bisa mengeluarkan isi hatinya. Biarkan tangisnya yang terlebih dahulu menceritakan kisahnya. Ia tidak dapat menggambarkan hatinya yang ia sendiri tidak tahu bagaimana wujudnya. Ia melemah hanya karena—mungkin bagi orang lain ini adalah hal sepele—ketidaktahuannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro