XII. Memori Lama
Rumah sederhana itu telah dihiasi dengan banyak bunga, dimulai dari pagar rumah hingga isi rumah. Terlihat lebih ramai di halaman belakang rumah, karena di tempat inilah acara digelar. Semua tertata dengan rapinya, bunga-bunga indah terletak di tempatnya, bingkai foto yang berukuran 60cmx40cm terpajang menarik di samping pelaminan. Beberapa meja lingkar berlapiskan kain putih-mustard tersusun rapi di taman yang tidak seberapa besar itu, tidak lupa di atasnya telah terhidang beberapa makanan dan minuman segar. Makanan tidak hanya terhidang di atas meja untuk tamu, tetapi juga terhidang di atas meja panjang prasmanan.
Para tetamu semua terlihat bahagia dan mengumbar senyum untuk saling menyapa antar sesama tamu, kebanyakan dari mereka saling mengenal hingga terlihat begitu akrab. Mereka menikmati minuman dan makanan yang telah disediakan, juga menikmati alunan musik yang diperdengarkan. Resepsi ini tampak begitu elegan tanpa ada suasana ricuh.
"Siapa, sih, yang nikah? Kelihatannya kaya banget. Lihat aja tamunya elit gitu gayanya, banyak bulenya."
"Mana aku tahu. Kita cuma disuruh datang doang. Mana tahu dia itu siapa, anak siapa, pekerjaannya apa."
"Ngapain juga kita disuruh datang ke tempat orang yang nggak kita kenal?"
"Entahlah. Ayah mana juga? Nyuruh kita datang tapi dia sendiri nggak tahu di mana."
"Ayah aneh lho, pagi tadi jam 7 udah ganteng banget, pake jas gitu."
"Kenapa aku nggak tahu?"
"Mana kamu tahu, kamu asyik dengan kasur dan bantal. Dhe, lihat pengantinnya disuruh nyanyi, tuh. Ganteng banget ya?" ucapnya sambil menunjuk ke arah pengantin yang berdiri di pelaminan.
Mereka tampak serasi dengan pakaian berwarna putih membalut tubuh. Dhea merasa mengingat wajah itu. Lelaki itu tidak asing baginya, tapi ia tidak tau siapa. Dhea mencoba mengingat dengan baik, siapa lelaki yang bersanding di pelaminan itu, ia tidak dapat mengingatnya. Senyuman itu begitu akrab dengannya.
"Maaf, Kakak silahkan naik ke pelaminan, kita akan mengadakan foto keluarga." Suara itu membuyarkan lamunannya.
"Keluarga? Maaf, kami bukan anggota keluarga ini."
"Tidak mungkin bukan. Pakaian yang kalian kenakan jelas menandakan kalian keluarga pihak lelaki. Silahkan, jangan sampai yang lain menunggu."
Mereka semakin bingung dengan perkataan itu. Keluarga? Sejak kapan mereka berkeluarga? Dari mana datangnya silsilah bahwa mereka keluarga? Tidak ada sejarahnya yang menyatakan mereka keluarga. Ataukah mungkin mereka keluarga jauh yang jarang bertemu, dan di hari penting seperti inilah kesempatan mereka untuk bertemu? Tidak mungkin. Jelas yang diundang ke acara ini juga tidak ramai, hanya beberapa kerabat dekat, sekitar 200-400 orang. Hal ini sangat membingungkan mereka.
Mereka tidak mau menambah pusingnya kepala mereka, maka dari itu mereka langsung menuju ke arah pelaminan, yang ternyata Dendy sedari tadi sudah berdiri di sana, di samping seorang perempuan yang dapat diperkirakan ia adalah ibu mempelai lelaki.
Dhea seperti terbayang sesuatu ketika melihat perempuan itu, namun bayangan itu tidak jelas, abu-abu, suram. Ia mengibaskan tangan di wajahnya untuk menghilangkan bayangan yang menurutnya tidak penting itu. Pengantin lelaki tersenyum ke arahnya. Dhea tidak tau harus membalas senyuman itu atau harus mengabaikannya. Berbeda dengan Gitan yang sejak pertama menyukai pengantin lelaki itu terus tersenyum melihat si pengantin, tanpa peduli istrinya berada di samping. Fotografer mengambil beberapa gambar mereka yang memang terlihat seperti keluarga besar.
"Hai, Dhe."
Raut wajahnya terlihat terkejut tipis melihat dua perempuan yang menyapanya, yang mana itu adalah sepupunya, Silla dan Pooja, mereka keturunan asli India, sehingga sah-sah saja wajah mereka manis mancung seperti orang India. Mereka tidak terlalu sering berkumpul bersama, hanya sesekali jika hari besar, seperti lebaran dan acara keluarga.
Dhea mulai melihat ke sekitar dan baru menyadari banyak saudara-saudaranya di acara itu, dan memakai pakaian yang seragam dengannya. Namun, ia tidak mengingat pernah berkunjung ke rumah ini, sehingga ia tidak tau bahwa ternyata yang menikah adalah salah satu dari saudaranya.
"Kamu pasti seneng banget lihat abang kamu nikah. Cantik ya kakak ipar kamu, bule."
"Sah udah keluarga kamu jadi bule beneran. Kamu nanti cari bule juga, nggak?"
"Kakak ipar? Abang aku? Keluarga bule?"
"Kamu masih nggak tahu ya?"
"Tahu? Tahu apa?"
"Yang nikah itu abang kamu, yang selama ini tinggal di Turki."
"Abang aku? Ngaco banget sih kalian? Aku nggak punya abang. Aku anak satu-satunya di keluarga aku."
"Om Dendy mungkin belum cerita dengan kamu, nanti tanya aja kalau nggak percaya."
"Kami ke sana dulu ya, dipanggil Mama."
"Hei, tunggu ...."
Kedua perempuan itu meninggalkannya yang semakin bingung melihat keadaan yang ia tidak mengerti apa itu. Dhea melihat ke arah Gitan, berharap dapat jawaban, tetapi Gitan hanya mengangkat bahunya, sama-sama tidak mengerti.
"Hai, adik kecilku. Apa kabar kamu? Makin cantik ya adik aku," sapa pengantin lelaki—yang kata Silla dan Pooja adalah abangnya—sambil mengelus kepalanya.
"Maaf, kamu salah orang. Git, kita cari Ayah yuk."
"Aishe ...."
Panggilan itu menghentikan langkahnya. Dhea melihat lelaki itu lekat. Ia mencoba mengingat, mungkin ia mengenalnya, pernah melihatnya, tetapi ingatannya seperti tidak berfungsi sama sekali. Ia tidak mengingat lelaki itu. Siapa dia?
"Kamu temen dekatnya Aishe ya?"
"Dia saudara aku, bukan teman aku."
"Oh, kalau begitu kamu pasti yang namanya Gitan."
"Dari mana kamu tau tentang dia? Kamu penguntit ya? Kok bisa-bisanya sih Ayah kenal orang seperti ini? Git, sepertinya lelaki ini nggak waras, deh. Sayang istri dia, dapat suami ganteng, tapi gila. Pulang, yuk."
"Dhea, kamu nggak boleh ngomong gitu sama dia," tegur Dendy yang baru tiba di tengah mereka.
"Ayah? Dia ...." Dhea menunjuk perempuan di samping Dendy.
"Sayang, kamu udah besar, Nak." Tangannya menyentuh lengan Dhea.
"Lepasin aku. Ngapain kamu balik ke sini? Bukannya kamu udah senang hidup di sana?"
Kini ingatan Dhea memulih. Ia mengingat siapa perempuan yang sedari tadi berdiri di samping Ayahnya. Ia tersenyum kecut melihat perempuan itu.
"Sayang, kamu harus mendengar penjelasan Bunda."
"Aku? Dengar penjelasan? Nggak ada yang perlu dijelasin. Kejadian hari itu cukup menjelaskan semuanya."
Mereka menyantap makan malam dengan suasana hening, tanpa seorangpun mengeluarkan suara. Perempuan kecil itu melihat ke arah orang tuanya yang tidak terlihat seperti biasanya.
"Aku akan berangkat pukul 8 besok pagi."
"Bunda mau ke mana?"
"Bunda nggak pergi jauh sayang. Tahun depan Bunda akan kembali."
"Katanya nggak jauh, kenapa pulangnya tahun depan?"
"Bunda ada pekerjaan di sana."
"Aishe mau ikut Bunda."
"Sayang, kamu tinggal di sini saja sama Ayah kamu."
"Ayah sama Bunda bertengkar ya? Kenapa pisah gitu?"
"Kami nggak pisah, sayang. Bunda kamu ada hal yang harus diurus di sana. Kalau kamu ikut, nanti kerjaan Bunda nggak akan selesai, dan Bunda nggak bisa cepat pulang ke sini."
Perempuan kecil berusia empat tahun itu menangis karena harus berpisah dengan ibunya. Ia selalu menanti kehadiran ibunya di pintu rumah selama hampir 2 tahun, tapi seorang yang sangat dirindukan itu tidak pernah hadir, tidak pernah pulang. Hatinya marah, ia membenci ibunya yang dianggap telah membohonginya. Setiap telepon tidak pernah dipedulikannya, ia tidak mau mengenal perempuan itu.
"Mana janji kamu pulang dalam waktu satu tahun? Dua tahun aku nunggu, nggak pernah kamu muncul. Jangankan muncul, hubungi aku aja nggak. Ibu seperti apa kamu? Sekarang kamu balik, setelah 16 tahun kamu ninggalin aku? Untuk apa?"
"Dhe, Ayah nggak pernah ajarin kamu kasar sama orang tua. Kamu nggak boleh gitu, walau bagaimanapun dia Bunda kamu, orang yang udah ngelahirin kamu."
"Nggak apa, Yah, mungkin dia mau melampiaskan semua kemarahannya selama ini sama aku, karena aku nggak ada kabar. Maafin Bunda ya. Saat Bunda hubungi kata Ayah kamu nggak mau ngomong," ucap Neshele—yang diakui sebagai Bundanya Dhea.
"Karena aku nggak suka bicara dengan pembohong."
"Maaf, Aishe, semua ini disebabkan oleh aku. Bunda nggak ada salah, kok. Kamu cukup melampiaskan semuanya untuk aku, jangan untuk Bunda."
"Kamu siapa? Dari tadi kamu sok kenal banget tau nggak."
"Dia Abang kamu."
"Maksud Ayah? Gimana bisa aku punya abang? Sedangkan sejak aku lahir, aku di rumah sendirian, nggak ada anak lain di rumah kita."
"Memang benar di rumah cuma kamu seorang anak, karena abang kamu tidak pernah tinggal di rumah kita. Zayn lahir di Turki dan besar di sana, bisa dikatakan ini pertama kalinya dia ke Indonesia, itupun permintaannya agar dapat melaksanakan resepsi pernikahan dengan keluarga lengkapnya, ada Ayah dan kamu. Sejak Bunda mengandung kamu, Bunda ingin ikut Ayah tinggal di Indonesia, maka itu hanya kamu yang ada di rumah kita, sedangkan Zayn tetap di Turki bersama nenek. Nah, ketika kamu berumur 4 tahun, Bunda kangen sama abang kamu ini, makanya dia pergi ke Turki tanpa bilang sama kamu dia pergi ke mana, dia takut kamu nggak ngebiarin dia pergi. Ternyata, rasa rindu itu memiliki alasan yang kuat. Zayn sakit parah di sana dan harus dirawat di rumah sakit sehingga Bunda harus merawatnya lebih lama lagi dan nggak bisa menepati janjinya sama kamu untuk pulang dalam waktu setahun," jelas Dendy.
"Sayang, Bunda benar-benar minta maaf, Bunda nggak bermaksud ninggalin kamu, Bunda sayang sama kamu."
"Dhe, aku dengarnya aja sedih, Dhe. Kamu maafin aja Bunda kamu, nggak baik dendam untuk orang tua sendiri. Dia itu yang relain nyawa untuk kamu, Dhe."
"Tapi Git—" Kata-katanya terhenti saat melihat Gitan yang menatap sendu ke arah Neshele. Dhea mengerti apa yang dirasakan Gitan.
"Iya, aku maafin Bunda, dengan syarat."
"Maafnya kenapa ada syarat, Dhe?"
"Harus, Git. Kalau nggak, rugi aku maafin."
"Segitu banget jadi anak. Maafin itu harus ikhlas, nggak boleh bersyarat-syarat gitu."
"Suka-suka aku dong. Masalah buat kamu?" jawabnya dengan menjulur lidahnya.
"Apa kalian sering seperti ini?"
"Bukan sering, Bun, tapi selalu," timpal Dendy.
Neshele tertawa kecil melihat tingkah mereka. "Apa syaratnya, sayang?"
"Bunda dan Bang Zayn serta istrinya harus tinggal di rumah. Nggak ada yang namanya harus kembali ke Turki atau apa pun itu. Kalaupun kalian ke Turki, aku harus dan wajib diikutsertakan, karna aku belum pernah ke sana. Selanjutnya, yang ini namanya Gitan, dia bukan hanya sahabat aku, tapi saudari aku, jadi kalian harus menganggap dia ada, nggak boleh cuekin dia, perlakukan dia seperti kalian perlakukan aku."
Zayn dan Neshele tertawa mendengar syarat yang diajukannya.
"Ngapain ketawa? Aku nggak minta kalian ketawa, lho. Aku hanya minta kalian penuhi syarat itu aja."
"Tanpa kamu syaratkan pun, hal itu udah pasti terjadi. Aku dan Bunda udah urus surat pemindahan kerja kami. Tentang Gitan, kami juga tau, kok. Karena saat Ayah mengangkat Gitan menjadi anak, hal itu juga atas persetujuan Bunda."
"Gampang banget dong berarti aku buat syaratnya," gumamnya membuat yang lain tertawa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro