XI. Memendam Luka Untuk Bersama
Pemandangan yang begitu indah, memuaskan mata yang memandang ke arahnya. Air yang terlihat begitu jernih ditemani ombak-ombak kecil menghampirinya, menyentuh pasir-pasir halus yang terinjak kaki-kaki penjelajah. Angin berembus membuat keadaan semakin tenang, memberi hawa kesejukan dan kedamaian.
Ia berjalan menyusuri pinggiran pantai seorang diri seraya merasakan angin yang berhembus ke arahnya. Ia menikmati air-air laut yang menyapa kakinya. Sesekali bermain dengan air yang berwarna biru segar itu. Ia sangat menikmati keindahan yang kini ada dihadapannya, ia merasakan ketenangan yang begitu diincarnya.
"Hei, Al, ngapain di sini?" sapanya terhadap Alpi yang sedang berdiri di bawah pohon dengan menatap lurus kearah pantai.
"Melihat indahnya pantai."
"Indahnya pantai atau indahnya seseorang yang bermain di sana?"
"Her, aku mau ngomong sesuatu dengan kamu."
"Ngomong aja, kenapa harus gunain permulaan gitu? Nggak biasanya."
"Apa yang akan kamu lakukan saat seseorang berada di hati kamu?"
"Aku akan menyatakannya."
"Jika seseorang memiliki kamu di hatinya?"
Heri mengerutkan kening dalam kebingungan. Ia berpikir apa yang hendak disampaikan sahabatnya melalui pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya sedikit lain itu. Tidak pernah sebelumnya Alpi bertanya hal yang seperti itu. Ia tahu betul sifat Alpi yang langsung bercerita kepadanya jika ada sesuatu hal yang mengganjal dalam hatinya, tanpa pertanyaan yang berbelit seperti saat ini. Ia memang melihat beberapa perubahan dalam diri Alpi yang mulai sedikit pendiam dari biasanya sejak usai penampilannya di ospek kemarin, dan ia belum menemukan jawaban atas hal yang terjadi itu. Apakah semua ini jawaban atas yang dialami sahabatnya?
"Kamu lihat dia? Dia tampak bahagia dengan air laut yang menerpanya. Tapi, kita nggak tahu bahwa sebenarnya ia ingin menghindari itu. Ia tetap mengembangkan senyum manisnya dan tertawa bahagia meskipun air itu selalu menyapanya dan membuat kakinya basah. Ke mana pun ia berjalan air itu masih dapat menerpanya. Seperti itulah dia."
"Apa perubahan sifat kamu ini ada hubungannya dengan Dhea?"
"Dia memiliki hati untuk seseorang yang nggak pernah menyadari akan hal itu. Dia juga masih bertahan agar ia dapat terus melihat seseorang yang telah memberikannya senyuman dan kebahagiaan meski ia tidak pernah dapat memilikinya. Aku salut dengan perasaan yang dimilikinya. Tidak ada yang dapat menebak bahwa ia memiliki perasaan dan menyimpannya begitu dalam. Ia ingin menenangkan perasaannya dengan menenggelamkan diri dalam kesejukan pantai ini. Angin yang dapat menenangkannya. Aku titip Dhea sama kamu, Her. Aku yakin kamu dapat menjaga dia. Bukan untuk aku kamu jaga dia, tetapi untuk kamu dan dia."
Alpi meninggalkannya yang masih merasa tidak mengerti dengan keadaan. Heri menatap sahabatnya yang berjalan menjauh menyapa teman-temannya yang lain. Hari ini anggota sanggar mengadakan hangout bareng untuk merefresh otak yang sudah dimumetkan oleh soal ujian beberapa minggu lalu, dan membayar lelah penampilan mereka kemarin di ospek mahasiswa baru.
Heri memalingkan pandangannya ke arah perempuan yang masih beriringan dengan pantai, dengan asyiknya bermain bersama air-air yang terkadang menyapa kakinya. Ia berjalan mendekati perempuan itu sambil tersenyum ramah. Ia mengamati perempuan itu yang sama sekali tidak menyadari kehadirannya. Ia merasakan kenyamanan melihat senyum perempuan itu terhadap air. Ia merasakan kebenaran dari kata-kata Alpi, bahwa perempuan ini memiliki sesuatu dibalik senyumnya yang selama ini selalu diumbar di mana-mana.
"Kamu senang dengan air-air itu?"
"Bang Heri?? Hmm, ya. Mereka menyenangkan juga menyejukkan. Mereka lebih mengerti," jawabnya dengan senyuman.
"Boleh ikutan?"
"Boleh banget. Nggak ada larangan di sini untuk Abang ikut gabung."
Berat rasanya membiarkan lelaki itu ikut gabung dengan dirinya yang sedang dilema. Dhea merasa sulit berbicara atau mengungkapkan sesuatu, hatinya masih sesak. Ingin ia bertanya tentang kejadian kemarin, tapi tidak bisa. Ia akan sangat malu jika bertanya hal yang tidak wajar itu. Siapa dia untuk bertanya hal itu? Ia mencoba merilekskan diri agar tetap terlihat seperti biasanya. Ia tidak boleh menimbulkan pertanyaan aneh dalam benak lelaki itu.
Mereka tidak terlibat dalam banyak pembicaraan, kebersamaan mereka lebih banyak dililit oleh keheningan dan gemuruh ombak. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Dhea sesekali menatap Heri yang tidak menatap ke arahnya. Ia merasa bahagia dapat menyusuri pantai bersama lelaki itu. Ia merasa mendapat kesempatan dekat dengan lelaki itu. Ia bersyukur lelaki itu menyarankan diri untuk ikut bersamanya. Ia dapat melupakan lukanya untuk sejenak. Senyumnya terus mengembang dengan pancaran mata yang begitu berarti. Tapi tidakkah ia akan merasa bersalah pada Siska? Ah, untuk sementara mari lupakan.
"Foto bareng yuk."
"Wah, udah seperti artis aja Abang diajak foto bareng."
"Iiih PD banget, sih? Daripada kita diam-diam nggak karuan gini. Di sanggar juga biasanya Abang sendiri yang langsung jepret."
Lelaki itu tertawa mendengar celetukan perempuan itu.
Mereka mulai bernarsis ria di hadapan kamera. Tampak jelas kebahagiaan yang datang tulus dari dalam diri mereka. Seakan kehilangan rasa sadar, Heri mengenggam tangan Dhea dengan nyamannya dan menariknya untuk berlari bersama, kejar-kejaran di pinggiran dan tertawa bersama. Semua mereka abadikan dalam potretan-potretan yang mereka ambil.
Heri menarik Dhea untuk mengikutinya ke kolam yang tidak jauh dari pantai. Kolam itu memiliki keunikan tersendiri, airnya berwarna kehijauan, pemandangannya yang indah membuat seakan berasa di pinggiran hutan. Mereka menenggelamkan setengah kaki mereka ke air dan duduk di pinggiran kolam.
"Kamu sepertinya senang banget hari ini?"
"Iya dong. Kalau lagi sama Bang Heri, pasti senanglah."
Jawabannya itu membuat Heri menatapnya dengan tatapan menyelidik. Dhea segera menutup mulutnya yang kembali keceplosan mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya ia ucapkan. Ia mengalihkan pandangan ke mana-mana, berharap ia tidak didapati oleh Heri. Ia tidak menyangka kebahagiaan yang baru ia rasakan harus terbongkar begitu cepat hanya karena bibirnya yang mengungkapkan hal tidak pantas itu. Ia merasa tidak akan selamat kali ini.
"Syukurlah kalau memang Abang bisa membuat orang lain bahagia, Abang juga akan bahagia."
Dhea hanya diam tanpa menjawab apa pun. Ia tidak berani melihat bagaimana ekspresi lelaki di sampingnya. Apakah ia sudah terbongkar? Apakah lelaki itu sudah mengetahui? Atau pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rasa tidak nyaman? Atau memang masih tidak menyadarinya? Berbagai kemungkinan menghantui pikirannya, dan membuatnya tidak nyaman dengan keadaan ini.
"Abang ambil air dulu ya, haus. Kamu mau?"
"Boleh."
Heri beranjak dari duduknya meninggalkan Dhea yang lalai dengan pandangannya ke sana-sini, menuju ke arah teman-temannya yang asyik bercanda tawa. Ia mencari-cari di mana minuman yang mereka bawa tadi, namun tidak juga ia temukan. Ia berjalan ke arah pohon, namun langkahnya terhenti mendengar suatu percakapan.
"Kamu nggak bisa nyimpulin gitu aja, dong. Kalau hal itu nggak benar gimana? Kamu cabut aja, deh, permintaan kamu dari Heri."
"Aku nggak akan pernah cabut permintaan itu. Hal itu udah benar. Kamu nggak lihat tadi gimana bahagianya mereka berdua? Aku bisa lihat selama ini bagaimana pandangan Dhea terhadap Heri. Memang dia memperlakukan kita semua sama, tapi tetap terlihat rasa itu. Aku nggak bisa paksain rasa ini terhadap dia, yang hanya akan membuat dia terluka. Aku ingin lihat Dhea bahagia. Aku nggak ingin melihat Dhea sedih seperti kemarin saat melihat Heri bersama Siska. Jelas mereka nggak ada hubungan apa pun."
"Terus gimana dengan Heri? Dia nggak tau apa-apa dan dia harus menjalani ini semua? Sayang dianya, Al."
"Aku rasa dia juga punya feeling untuk Dhea. Selama ini dia support aku untuk terus mencintai Dhea, tapi dibalik semua itu aku tau dia memendam rasa sakitnya karena mengetahui aku sayang terhadap Dhea. Aku nggak mau berada di tengah-tengah sepasang insan yang seharusnya bersama. Aku ingin melihat mereka bersama, mewujudkan cinta mereka, tanpa adanya halangan dari aku."
"Al, semua itu hanya praduga kamu aja, belum tentu benar. Kita nggak bisa langsung berasumsi seperti itu. Kamu jangan menyakiti diri kamu sendiri karena hal yang belum pasti seperti ini. Kalau memang apa yang sudah kamu katakan semua ini salah gimana? Dan di saat kamu menyadari semua ini salah, mereka telah bersama. Apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan menyesal, Al. Kamu masih bisa mencegah ini semua agar tidak terjadi penyesalan pada dirimu dengan menghentikan Heri."
"Nggak, ini nggak akan salah. Aku yakin dengan pilihan aku. Ke depannya pun aku nggak akan menyesal, yang ada aku akan bahagia melihat mereka. Aku yakin hal itu," jawabnya tersenyum mantap.
Heri begitu terkejut mendengar percakapan antara Alpi dan Kevin. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia menjadi teringat ketika kemarin Dhea menghilang dan pada jawaban yang diceplos oleh Dhea tadi. Jadi, inilah mengapa Alpi menyerahkan Dhea padanya. Satu sisi ia merasa bersalah pada Alpi karena membuatnya terluka dan memutuskan harapannya untuk mendapatkan Dhea. Namun, di sisi lain terbersit rasa bahagia mengetahui bahwa Dhea memiliki hati untuknya. Ia masih belum dapat memastikan mengapa ia merasa begitu. Ia dibuat bingung oleh keadaan yang kini dihadapinya. Haruskah ia mengikuti pinta Alpi atau harus membiarkan Alpi kembali pada harapannya untuk menggapai Dhea.
-------------------------
Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang berlapiskan tikar. Jaket yang tadi dikenakan ia lempar begitu saja di atas lantai. Ia menatap langit-langit kamar yang putih bersih tanpa kotor sedikitpun, walaupun ruang itu kecil. Ia masih memikirkan apa yang tadi didengarnya, dibuat berpikir akan hal yang ada dihadapannya. Ia mulai merasakan kegalauan yang kini melanda. Ia menghela napas panjang, berharap dapat membuang semua kepenatan dalam pikiran.
Ia mengambil ponsel dan melihat hasil pose dirinya dan perempuan itu saat mereka sedang bersama. Ia memiliki banyak koleksi foto mereka. Setiap selesai latihan ia terkadang memotret Dhea diam-diam, dan mengajaknya foto bersama. Ia tersenyum melihat perempuan itu yang selalu tersenyum dan tertawa, bahkan dengan bercucuran keringatpun perempuan itu masih terlihat cantik dimatanya. Perempuan itu tampak selalu bahagia di manapun ia berada. Ia menunjukkan tawa yang dapat membahagiakan siapa pun yang bersamanya. Ia merasakan kenyamanan walau hanya melalui potretan, kenyamanan yang sulit didapatkan.
"Kamu tampak bahagia di foto itu." Suara Alpi mengejutkannya.
"Aku tau, karena itu aku segera menata hati aku untuk kalian, dan aku sudah membiasakan diri aku untuk melihat kalian seperti yang tadi aku lakukan. Dia perempuan yang menyenangkan dan dapat memberi kesenangan bagi orang lain. Itu poin besar yang aku dapatkan dari dia. Dia have fun dengan siapa saja. Kamu jangan sia-siakan apa yang ada dihadapan mata kamu, kalau kamu nggak mau nyesal setelah melepasnya. Aku percaya kamu dapat melakukan yang terbaik. Baik untuk kamu, untuk dia, untuk semua."
"Ya. Aku akan melakukan yang terbaik. Terima kasih untuk dukunganmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro