VIII. Galau
Ia duduk seorang diri di sudut dengan menatap hampa ke luar ruangan yang berlapiskan kaca itu. Minuman segar yang sedari tadi telah disajikan untuknya hanya ia mainkan dengan mengaduk-aduk tanpa meminumnya setetes pun. Hatinya gelisah, pikirannya tidak karuan. Ia masih belum menemukan jawaban atas masalah yang berada di hadapnya. Ia dibuat bingung atas hal yang harus dipilihnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, karena ia tidak pernah menghadapi hal yang seperti ini sebelumnya. Ia hanya ingin hal terbaik yang dapat dipilihnya. Ia tidak ingin memiliki pilihan yang salah yang dapat membuatnya terjatuh dan terpuruk.
"Sayang, maaf aku telat," sapa sebuah suara dari belakangnya yang menyadarkannya dari lamunan.
"Iya, nggak apa, kok."
"Kamu kenapa pucat gitu? Kamu sakit?"
"Kamu kenapa nggak bilang aku dulu tentang rencana kamu? Kenapa kamu langsung ngomong dengan Ayah?"
"Gitan, maaf. Aku berpikir aku ngomong dengan orang tua itu lebih baik daripada ngomong dengan pasangan lebih dulu. Percuma aku bicarain dengan kamu lebih dulu, karena kita harus minta restu dari orang tua juga. Nah, kalau aku langsung bicarain dengan orang tua mereka dapat memikirkan yang terbaik untuk kita."
"Tapi kalau aku belum siap gimana, Bang?"
"Setidaknya orang tua tau tentang keseriusan yang ingin aku lakukan, Git. Aku nggak ingin main-main dengan hubungan kita. Kita udah menjalin hubungan selama bertahun-tahun. Kenapa kita nggak melangsungkan ke tahap selanjutnya kalau memang kita bisa daripada kita terus berpacaran seperti ini yang kita nggak tahu akankah berujung dengan pernikahan atau nggak. Aku ngelakuin ini juga demi kebaikan hubungan kita. Setidaknya orang-orang juga tahu bahwa kita selama ini nggak asal pacaran, melainkan dengan tujuan yang akan kita laksanakan."
"Tapi aku masih kuliah, bang. Gimana nasib kuliah aku? Gimana nasib kita ke depan? Kita harus hidup seperti apa? Aku nggak mau setelah nikah kita hidup melarat karena nggak punya uang untuk makan, nggak berpendidikan. Aku mau kehidupan kita itu layak. Aku nggak mau nikah sekarang."
"Aku udah kerja, insyaAllah cukup untuk kehidupan kita berdua. Dan sebenarnya yang memiliki ide itu adalah orang tua aku, bukan aku. Mereka hanya ingin kita memiliki status yang jelas, bukan pacaran seperti ini. Bagi mereka pacaran itu bukan hal yang baik bagi anak muda zaman sekarang. Mereka hanya ingin melindungi kita. Dan menurut aku, alasan mereka masuk akal, dan aku setuju dengan hal itu. Gimana menurut kamu? Kita hanya mengesahkan hubungan kita, selebihnya kita tetap seperti biasa. Bedanya, ya kita tinggal serumah dan kamu menyiapkan segala keperluan aku."
"Aku bingung. Nggak pernah terpikir di benakku bahwa aku harus menikah secepat ini. Aku masih nggak bisa berpikir dengan baik sekarang."
"Aku mau kita benar-benar serius, Git. Banyak kita lihat sekarang orang pacaran bertahun-tahun ujungnya putus. Aku nggak mau seperti itu. Aku ingin hubungan kita ini berujung jelas."
"Aku juga maunya gitu, berujung dengan kamu, bukan dengan yang lain. Tapi –"
"Kamu pikir aja dulu, Git. Jangan buru-buru kamu kasih jawabannya. Kamu konsultasi lagi dengan Ayah dan Dhea."
"Si Chubby? Dia palingan cuma nakut-nakutin aku, ngejek aku. Kamu seperti nggak tau dia aja."
"Dia memang usil, tapi kamu ingat nggak ketika kita dulu jadian? Siapa yang satuin kita? Siapa yang buat kita akur ketika kamu marah besar dengan aku? Dia, kan? Dia ahli banget dalam ngurus perasaan dan hubungan orang."
"Iya sih, tapi tuh anak lebih banyak ngeselinnya, sekaligus ngangenin," jawabnya dengan tersenyum mengingat wajah imut saudaranya itu.
"Kamu jangan nangis lagi dong Git, jelek tau. Aku yakin dia nggak gitu. Dia sayang banget sama kamu," hibur Dhea kala itu.
"Dhe, kamu nggak bisa bilang dia sayang dengan aku. Nggak ada bukti. Semuanya hanya bualan belaka supaya aku tertarik, jatuh hati dengan dia. Aku benci dengan semua perhatian yang dia berikan untuk aku. I hate him."
"Nggak semua perhatian yang dia berikan untuk kamu itu busuk, nggak semua yang dilakukannya itu palsu. Kamu harus berpikir positif atas apa yang terjadi. Kamu nggak perlu membenci apa yang udah terjadi. Kamu cukup jadikan semuanya pelajaran dan kenangan kamu, bukan kenangan yang harus kamu ingat selalu, tapi kenangan untuk menata masa yang lebih baik ke depannya. Tapi, aku nggak yakin dengan semua hal yang terjadi itu. Feeling aku menolak semua itu."
"Tapi itu faktanya Dhe, gimana bisa kamu menolak apa yang telah terjadi? Kita sama-sama ngelihat dia pelukan dengan perempuan itu. Nyakitin benget, Dhe. Seharusnya dia bilang padaku bahwa dia sudah memiliki kekasih sehingga nggak perlu membuat aku berharap seperti ini. Atau jangan-jangan dia nganggap aku seperti adiknya sendiri? Banyak di tv-tv laki yang memberi perhatian lebih hanya menganggap perempuan itu adiknya bukan seseorang yang spesial. Dia itu PHP banget tau nggak."
"Sekarang aku tanya, kamu memandang hal itu fakta berdasarkan pikiran emosi kamu atau pikiran hati kamu? Kalau kamu larut dalam emosi tentu kamu akan berpikir hal yang belum tentu benar, tapi kalau kamu menggunakan hati kamu untuk melihat apa yang terjadi bisa saja hasilnya beda. Pernah nggak kamu nanya hati kamu, hal ini benar atau nggak? Atau kalau kamu masih ragu, sekalian aja kamu langsung tanya dengan dia, siapa perempuan itu? Lebih pasti, kan?"
"Malu banget kalau aku harus tanya langsung, nanti aku dipikir perempuan agresif lagi. Terus kalau dia bohong juga tentang perempuan itu gimana?"
"Kamu nggak perlu nanya seakan kamu menginterogasi dia ataupun menunjukkan ekspresi cemburu kamu. Kamu bisa bertanya sambil bercanda yang nggak menimbulkan kesan aneh di dianya. Kamu percaya pada hati kamu aja."
Setiap kata-kata yang dilontarkan Dhea mampu menenangkan hatinya. Saudaranya itu memang tipe perempuan yang usil dan susah diajak serius, tapi jika ia sudah berada di posisi serius, ia akan sangat dibutuhkan. Ia mampu memberi energi melalui kata-kata, senyuman, dan semangatnya. Gitan bersyukur telah dipertemukan dengan seorang perempuan cantik seperti Dhea, yang mampu selalu ada untuknya dalam keadaan apa pun. Yang selalu memberikan ledekan-ledekan untuk membuatnya cemberut lalu tersenyum. Segalanya telah mereka alami bersama dalam waktu yang tidak singkat.
-----------------------
"Aku mau nikah."
Ucapan itu yang ia lontarkan saat memasuki ruang nonton, di mana tempat mereka biasa berkumpul. Ia masih berdiri sambil menunduk ragu. Mereka yang mendengarkan satu kalimat yang begitu saja terucap darinya bukan main kagetnya, hingga membuat mata melotot. Dhea yang sedang mengemil, rela tidak memasukkan makanan ke mulutnya hanya karena mendengar kalimatnya. Mereka merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Kamu serius?"
"Kenapa kamu bisa bilang gitu?"
"Kalian udang ngobrol bareng?"
"Itu keputusan asli kamu atau karena paksaan?"
"Masih ada keraguan nggak?"
"Kamu udah yakin belum?"
"Kamu jangan main-main dengan pernikahan."
Dendy dan Dhea secara bergantian memberi tanggapan atas apa yang ia putuskan. Ia berjalan dan terduduk lemas di hadapan mereka. Ia tampak tidak bersemangat, entah mengapa. Matanya menerawang ke sana kemari yang menandakan bahwa ia sedang berpikir dengan apa yang hendak dikatakannya. Matanya masih menunjukkan ketidakyakinan. Ia menggigit bibirnya sambil terus berpikir. Ia masih belum siap untuk mengatakan semuanya. Ia membutuhkan kekuatan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya kini. Mengetahui hal itu, Dhea menggenggam tangannya untuk memberi kekuatan dan keberanian dalam dirinya. Dhea sadar, saat ini Gitan membutuhkannya untuk memberikan kekuatan.
"Aku tadi udah bicara dengan bang Bayu. Kami udah bicarain semuanya. Aku rasa nggak ada salahnya 'kan kalau aku nikah di usia dini? Kami udah kenal lama, aku tau keluarga dia, dia juga tau keluarga aku. Tapi kalau kalian menentang keputusan aku ini aku nggak masalah, aku bisa terima dan aku akan bilang dengan dia. Aku masih butuh keputusan dari kalian. Aku nggak mau ambil keputusan seorang diri tanpa persetujuan dari kalian. Kalian mau 'kan bantu aku membuat keputusan yang sebenarnya?"
"Bukannya tadi kamu udah buat keputusan?" tanya Dhea polos.
"Itu keputusan aku dalam keraguan, Dhe. Aku ingin lebih yakin dengan adanya keputusan dari kalian. Aku nggak ingin salah ambil keputusan."
"Kalau dari Ayah, apa pun keputusan kamu, kalau kamu yakin bisa menjalaninya di kemudian hari, silahkan. Tapi kalau kamu masih ragu dan takut di kemudian hari, Ayah sarankan ditunda dulu rencana kalian."
"Kalau dari aku, kalau kamu bahagia, lakukan aja apa yang kamu inginkan, asalkan hal itu berada dalam lingkaran positif."
"Makasih banget ya kalian selalu ngedukung aku. Aku bersyukur banget memiliki keluarga seperti kalian. Walaupun aku memilih untuk nikah kalian tetap mau, kan, bantu aku dalam segala hal? Nggak akan ninggalin aku pada suami hanya karena aku udah nikah?"
"Kamu itu anak Ayah, mana ada seorang Ayah yang akan melepas diri hanya karena anaknya telah menikah. Ayah masih merasa bertanggung jawab atas kamu walau sebenarnya kamu telah menjadi tanggung jawab suamimu."
"Iya. Kami akan selalu ada untuk kamu kapan pun kamu butuh bantuan kami. Aku akan selalu jadi adik kamu. Nggak peduli kamu nikah ataupun kamu jadi perawan tua."
"What? Perawan tua? Kamu doain aku gitu? Jahat banget sih kamunya sama aku?"
Dhea dan Dendy tertawa melihat ekspresi Gitan yang tadinya sangat serius berubah menjadi jelek karena mendengar ledekan Dhea. Dhea memang tidak lupa membubuhkan candaan dalam setiap perbincangannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro