Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VII. Kepenatan Hati

Suasana kampus ramai akan mahasiswa yang ingin menuntut ilmu, dan kali ini mereka sedang mengikuti ujian final semester genap pada hari terakhir. Ketegangan tampak di wajah mereka yang baru keluar dari ruangan masing-masing, dan ada yang sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan ujian di jam berikutnya. Mereka membolak-balik lembaran-lembaran yang dapat dipelajari sehubungan dengan materi yang diujiankan. Ada pula sebagian dari mahasiswa bergegas pulang karena sudah menghabiskan ujian pada hari ini, dan akan merefresh diri karena sudah beberapa hari dipusingkan oleh soal-soal ujian. Selain itu, ada juga yang melanjutkan nongkrong di kantin dan bercengkerama dengan teman-teman.

"Hai, apa kabar?" sapanya tersenyum.

"Baik," jawabnya mencoba tersenyum.

"Hei, perhatiin deh Farhan dan Dhea. Mereka nggak seperti biasanya ya? Apa sesuatu terjadi? Apa mereka putus?" obrol Vera dan teman-temannya di ruangan dan melihat ke arah luar jendela.

"Masa, sih? Sepertinya nggak mungkin kalau mereka putus. Mereka selalu tampak bersama, hanya ada masalah dikit mungkin," jawab Wela.

"Hei, hei. Gosipin orang mulu kerjaan kalian berdua. Berapa kali harus dijelasin pada kalian berdua, nggak ada status yang namanya pacaran di antara mereka berdua. Mereka hanya sebatas teman. TEMAN. T-E-M-A-N,"sahut Gitan dari balik mereka dengan penuh ketegasan.

"Mana ada teman yang gitu dekatnya," bantah Vera.

"Kalian memang anak keras kepala. Nggak percaya fakta. Silahkan. Percayalah pada opini yang kalian yakini," balas Gitan meninggalkan mereka.

Sementara itu, di luar ruangan terlihat Farhan yang mnegikuti langkah kaki Dhea.

"Kamu mau ke mana?" tanya Farhan pada Dhea.

"Aku mau pulang. Duluan ya," jawab Dhea singkat.

Farhan tidak tahu harus bagaimana menyikapi tingkah orang yang dicintainya itu. Ia menahan diri untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya. Ia tidak ingin melihatnya terluka lebih lama. Hatinya begitu perih melihat sikap tidak acuh itu, terlalu sakit diperlakukan seperti itu. Tapi itulah yang harus dihadapinya. Itu pilihannya ketika itu.

"F*ck you!!" ucapnya malam itu melalui ponselnya.

"Kenapa kamu bilang gitu? Apa lagi salah aku?" tanya Dhea tidak mengerti.

"Kenapa kamu mulai cuek sama aku? Udah berapa kali aku bilang, jangan pernah ngomong cuek, jutek dan ketus untuk aku. Aku nggak suka dan itu buat aku jengkel." Nada bicaranya semakin tinggi.

"An, aku nggak mood bertengkar. Kalau kamu cuma mau bertengkar, lebih baik udahin aja bicaranya."

"Nggak mood bertengkar? Aku ajak ketawa juga nggak mau ketawa. Kenapa?"

"Kenapa kamu harus berpikir negatif tentang sikap aku untuk kamu?"

"Aku akan terus negatif kalau nggak dipositifkan. Kalau kamu nggak mau selesaikan masalah ini, aku akan terus mengungkit hal ini besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan seterusnya."

"Kamu tau apa yang aku pikirkan saat melihat sikapmu saat ini? Kamu nggak seharusnya jatuh cinta pada aku. Aku hanya perempuan yang cuek, jutek, ketus, jengkelin, kaku, payah, dan pembuat masalah."

"Terus kenapa dengan berbuat salah? Apa nggak bisa diperbaiki? Kecuali kamu nggak siap untuk aku cintai."

"Cara kamu memperbaiki terlalu memaksa. Aku nggak suka dengan pemaksaan."

Ia mulai tidak dapat menguasai emosinya. Hatinya terlalu pedih mendapat caci maki dari teman yang selama ini dibanggakannya. Mereka sedang membahas tentang Farhan yang mencintai dirinya, dan dirinya yang ingin menjelaskan bahwa mereka tidak bisa bersama. Tapi apa yang didapat? Ia dibentak hanya karena kurang respon. Beruntung hatinya tidak terjatuh pada lelaki yang tiba-tiba berubah menjadi kasar ini.

Terdengar helaan napas dari seberang. "Oke, Dhe. Mulai sekarang Farhan yang kamu kenal nggak akan ada lagi. Dia udah mati. Dia nggak akan atur-atur hidup kamu lagi. Kamu bebas melakukan apa pun mulai sekarang. Tanpa aturan tanpa paksaan."

Dhea tidak sanggup lagi mendengar semua omong kosong yang disampaikan oleh sahabatnya itu. Ia mengambil keputusan bahwa semua telah berakhir. Tidak ada lagi persahabatan yang diharapkan akan bersama selamanya. Mereka hanyalah 'teman biasa'. Ia terlalu lelah menerima perlakuan sahabatnya—tidak, kini telah menjadi temannya—itu.

----------------------

"Dhe ...." sapa suara dua lelaki hampir bersamaan dari belakangnya.

Kejadian itu disaksikan oleh Farhan dengan mata merah membara. Api cemburu memanas di dalam sana. Ia ingin menghampiri dan menegur lelaki yang menyapa pujaan hatinya. Akan tetapi, kini ia tidak dapat melakukannya, ia tidak punya kuasa. Sebagai teman pun ia belum tentu mendapat posisi.

"Bang Heri? Bang Alpi? Ada apa? Sekalian gitu nyapanya."

"Mau pulang ya?" tanya Alpi.

"Iya, nih."

"Gimana ujiannya tadi? Lancar?"

"Alhamdulillah. Abang berdua gimana?"

"Lancar juga, kok. Langsung pulang, nih? Nggak ngantin dulu bareng kita?" ajak Heri.

"Nggak, deh, Bang. Ingin langsung pulang aja."

"Ayolah. Udah lama kita nggak duduk bareng, cerita-cerita. Nggak enak juga kalau kami cuma berdua."

"Okelah. Bawel banget dua abang ini."

Mereka dengan tersenyum melangkahkan kaki menuju kantin. Kantin tidak terlalu jauh berada dari tempat mereka. Cukup dengan melangkah dua puluh tapak mereka dapat tiba di kantin. Keadaan kantin kali ini sama seperti biasanya, selalu ramai pengunjung, tentunya pengunjung yang mencari makan dan berbagi cerita bersama teman seperti mereka.

"Tadi itu Farhan, pacar kamu, kan? Apa dia nggah marah lihat kamu pergi dengan kita-kita?" tanya Alpi waswas sambil menunggu pesanan mereka tiba.

"Bukan. Nggak pernah ada status itu di antara kami."

"Tapi banyak yang bilang hal itu benar. Kami juga sering lihat kalian bareng."

"Memangnya lelaki perempuan yang sering pergi bareng harus disimbolkan dengan pacaran? Kami berteman dan memang lebih sering pergi bareng, tapi Gitan juga sering ikut bersama kami. Terlebih, dia juga punya pacar. Jadi, nggak benar kalau aku ini disebut sebagai pacarnya."

"Terus kenapa kamu nggak klarifikasikan hal itu, jika itu nggak benar?"

"Untuk apa? Nggak akan ada yang percaya. Seperti Bang Alpi bilang tadi, seringnya dekat antara lelaki dan perempuan langsung divonis mereka itu pacaran. Mau dikata apa pun nggak akan menghapus hal itu. Nggak mungkin, dong, aku umumin di khalayak ramai bahwa kami nggak pacaran. Hmmm... Biarin aja mereka main dengan pemikiran mereka."

"Kami minta maaf kalau pernyataan kami salah dan mungkin menyinggung," ucap Heri.

"Kalian nggak salah, kok. Santai aja," balasnya tersenyum simpul.

"Hari ini kalian nggak bareng?" tanya Alpi.

"Mungkin nggak akan lagi."

Alpi ingin terus bertanya karena rasa penasarannya, tetapi cegatan tangan Heri menghentikannya untuk bertanya.

"Waahhh, lama banget datang pesanannya. Apa mereka lupa? Laper banget, nih. Aku ambil pesanan kita bentar ya," kata Dhea memegang perutnya yang sudah kriuk-kriuk dan beranjak dari tempatnya.

"Kenapa kamu menghentikan aku? Aku masih ingin tahu," tanya Alpi.

"Aku tahu kamu bukan ingin tahu, tapi kamu ingin memastikan bahwa nggak ada hubungan apa-apa antara dia dengan lelaki itu. Tapi, kamu lihat nggak ekspresi dia hari ini? Dia nggak seperti Dhea yang kita kenal, yang ceria, bawel, dan penuh semangat. Mungkin dia sedang ada masalah, bahkan dengan lelaki itu. Kamu harus bisa mengendalikan perasaan kamu. Jangan sampai perasaan kamu membuat dia semakin sedih untuk hari ini. Aku percaya bahwa dia memang nggak ada hubungan seperti yang kita pikir dengan lelaki itu. Aku percaya dengan semua yang dikatakannya tanpa harus memastikannya."

"Maaf. Aku terlalu terbawa suasana."

"Kalian bicarain apa, Bang? Aku dengar ada perasaan-perasaan gitu. Bang Heri lagi jatuh cinta ya?" Suara Dhea mengejutkan mereka.

Dhea meletakkan pesanan tersebut sesuai dengan pemiliknya. White coffee untuk dirinya dan Heri, teh dingin untuk Alpi, serta mie goreng + telur untuk masing-masing.

"Iya. Heri lagi jatuh cinta. Lagi berbunga-bunga hati," jawab Alpi cepat.

Heri mencoba mengerti apa yang dilakukan temannya itu. Ia juga tidak ingin membiarkan temannya ketahuan secepat itu. Ia ingin menjaga temannya yang sedang berusaha untuk mengendalikan perasaan.

"Iya, Dhe. Abang lagi suka dengan seseorang. Dia orang yang baik dan menyenangkan. Abang ngerasa nyaman dekat dia. Tapi, nggak punya keberanian untuk ungkapin. Abang juga nggak ingin dia tau."

"Kenapa?"

"Abang nggak mau nyakiti dia. Abang tahu, kalau udah saling mengungkapkan, apalagi sampai pacaran, pasti banyak banget cek/coknya. Lebih baik melihat dan memahami dia lebih jauh sehingga lebih dapat mengerti untuk menghadapi ketika ada masalah."

Tidak terdengar tanggapan apa pun dari Dhea. Ia hanya diam dan menikmati mie gorengnya dengan lahap. Terasa sesak di dalam hatinya mendengar hal yang baru saja diucap lelaki itu. Ia seakan disambar petir. Ia mencoba untuk berteduh di tempat yang lebih layak agar tidak terlalu sakit. Ia harus memahami dirinya atas apa yang dialami.

Dari kejauhan tampak tiga mahasiswi berjalan mencari tempat duduk yang kosong. Tidak banyak tempat yang kosong, selain di samping Dhea yang menyediakan tepat tiga bangku kosong. Cocok untuk jumlah mereka.

"Itu bukannya Dhea," tunjuk perempuan berbaju kuning.

"Dhea??" sapa si baju abu-abu dari tempatnya.

"Hai, Jihan. Apa kabar?"

"Aku sehat. Kamu gimana? Kenapa kelihatan lemas gitu?"

"Ah, nggak, kok. Aku baik-baik aja."

"Kamu kenapa peduli, sih, dengan dia? Dia juga sok akrab gitu," kata si baju kuning dengan nada kesal.

"Dia udah ngambil Farhan dari kehidupan kamu," timpal baju hijau daun.

"Selly, Putri, dia itu orang yang baik, kok, nyenengin lagi. Farhan udah kasih tau aku kepergian dia itu nggak ada hubungan dengan Dhea, semua itu karena kesalahan aku."

"Terus kamu dengan lugunya percaya semua omongan dia? Aku tahu kamu cinta banget dengan dia, tapi nggak harus kamu percaya apa pun yang dia bilang, kan? Sejak kalian putus, mereka semakin dekat, semakin mesra, ke mana-mana berdua. Kamu juga dengar gosip mereka. Kamu nggak bisa pungkiri itu, Jihan. Jelas Dhea adalah alasan kenapa Farhan ninggalin kamu."

Jihan tersenyum samar mendengar tanggapan teman-temannya perihal Dhea. Seperti apa pun mereka menyalahkan Dhea dan tidak suka terhadapnya, ia menyadari itu bukanlah kesalahan perempuan itu. Sejak putus pun ia memiliki komunikasi yang baik dengan Dhea, meski tidak demikian dengan Farhan. Sakit selalu menghinggapinya melihat kedekatan mereka, yang terkadang tampak langsung di hadapannya. Tapi ia tahu, Dhea tidak memiliki perasaan pada Farhan. Ia dapat melihat jelas bagaimana perilaku Dhea terhadap Farhan, sangat biasa saja, hanya manusia lain yang terkadang melebih-lebihkan.

Jihan akan terus berusaha agar mendapat kembali orang yang dicintainya itu. Mungkin ini hanyalah waktu untuk mereka beristirahat dari hubungan mereka, waktu untuk memperbaiki diri mereka dan mempersiapkan diri untuk kembali menyambut hari kebahagiaan mereka bersama.

Mata Dhea mulai berkedip-kedip, kepalanya berputar-putar. Ia merasakan sesuatu yang tidak baik dengan tubuhnya, seakan menjadi sangat berat. Tangannya semakin keras menggenggam sendok garpu tanpa mengambil mie secuil pun. Tangannya tergelincir keras di piring membuat kedua lelaki di sekitarnya memperhatikan kelakuannya.

"Kamu kenapa, Dhe?"

"Kamu sakit?"

"Kamu pucat banget."

Tanpa mengetahui apa pun, ia merasa hilang.

---------------------

Kepalanya masih terasa sakit. Sangat sakit. Pusing. Tidak pernah sebelumnya ia mengalami hal yang seperti ini. Rasanya seperti ingin tidur terus tanpa terjaga. Apa ini yang dinamakan akhir zaman? Kiamatkah yang ia rasakan? Atau ia telah pergi dari dunia yang selama ini ia tinggali? Ia berharap ia tidak sendirian meskipun ia mengalami hal itu, meski itu tidak mungkin. Sepertinya Tuhan mewujudkan harapannya saat ia mendengar perbincangan—entah siapa—yang berada di sekitarnya.

"Kira-kira Dhea kenapa ya?"

"Apa dia mengidap suatu penyakit atau gimana?"

"Hussh, jangan berpikir yang nggak-nggak. Mungkin dia cuma kecapean aja."

"Kita nggak tau, dia nggak bilang apa-apa."

"Aku nggak apa-apa kok. Badan aku kelelahan aja." Suara Dhea terdengar menjawab pertanyaan mereka.

"Kalau gitu kita pulang sekarang ya, Abang antar aja."

"Nggak usah, Bang. Aku bisa pulang sendiri, kok."

"Ntar kalau ada apa-apa di jalan gimana?"

"Untuk kali ini pulang dengan Alpi lebih aman, Dhe," saran Heri.

Dhea tidak mengucap sepatah katapun. Ia hanya berjalan dengan tenangnya tanpa melihat bahwa dua lelaki itu mengikutinya dari belakang. Mereka melakukan apa yang menurut mereka terbaik bagi Dhea, tanpa memaksanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro