V. Ungkapan yang Tak Diinginkan
Suasana ruang tampak riuh seperti kebiasaan mereka di saat menunggu dosen. Mereka masih tampak seperti anak SMA yang jika tidak ada gurunya hanya bermain dan bermain. Mahasiswinya sibuk bergosip dan beberapa lainnya lalai dengan ponsel masing-masing. Sedangkan yang laki-laki sibuk bercerita perihal yang menurut mereka adalah sesuatu yang luar biasa.
"Kenapa, Wel? Dari tadi aku perhatiin wajah kamu cemberut terus sambil natap ponsel. Ponsel kamu sakit?" tanya Dhea yang mengundang perhatian teman lainnya.
"Paling juga lagi galau karena nggak dihubungi Leo," celetuk Vera, sahabat terdekat Wela yang sangat mengetahui penyakit Wela kalau sudah cemberut.
"Tapi, dia udah dari tadi nggak balas chat aku. Kalau dia kenapa-kenapa, gimana?" kata Wela dengan wajah cemasnya.
"Mungkin dia masih tidur. Atau nggak ada pulsa. Atau mungkin juga dia nggak lihat ponselnya, ponselnya lowbatt. Dan masih banyak kemungkinan lainnya yang nggak seharusnya kamu cemasin, Wel," kata Dhea mencoba menenangkan.
"Nggak usah terlalu lebay, deh. Dianya baik-baik aja," tambah Vera.
"Kamu nggak tau gimana perasaan aku sama dia makanya kamu bisa bilang gitu. Kalau kamu ada di posisi aku, kamu juga akan berperilaku seperti aku."
"Wel, aku juga punya pacar. Tapi aku nggak segitunya terhadap dia. Kamu udah terlalu lebay kalau menurut aku, Wel."
"Itu karena kamu nggak punya perasaan yang dalam terhadap dia. Dianya yang cinta mati terhadap kamu makanya kamu nggak peduli. Kamu nggak ngerti apa yang aku alami, Ver. Perasaan aku kamu nggak alami."
"Udah udah... Kalian jangan bertengkar karena masalah kecil gini, dong. Nggak penting benget tau nggak," ucap Gitan mencoba meleraikan sahabat yang sedang beradu mulut itu.
"Kamu yang sabar ya, Wel. Mungkin sebentar lagi dia akan hubungi kamu."
"Kalau dia macam-macam atau dekat dengan perempuan lain, gimana? Aku nggak mau dia berpaling."
"Kamu cukup berpikir positif aja. Selain baik untuk pikiran kamu, baik juga untuk kesehatan hubungan kalian. Ntar kalau dia hubungi kamu, kamu bisa tanya apa yang buat dia nggak balas chat kamu, kenapa dia nggak hubungi kamu. Dan di situ kamu akan tau, benar atau nggak kecemasan kamu."
"Kalau dia bohong gimana, Dhe?"
"Hubungan yang baik itu berdasarkan pada kepercayaan dan kesetiaan si empunya."
"Makasih ya, Dhe, kamu udah tenangin hati aku."
Dhea tersenyum melihat temannya dapat lega setelah mendengar apa yang dikatakannya. Ia senang jika apa yang dikatakan dan dilakukannya dapat membantu orang lain. Dari arah pintu ia melihat sosok yang sedari tadi ingin ditemuinya. Ia langsung menghampiri orang itu dan menarik lengannya untuk mengajak berbicara di luar ruangan agar tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Kamu kenapa narik-narik aku gini? Kangen ya sama aku? Baru juga dua hari nggak ketemu."
"Ge-er kamu. Aku mau bicarain masalah Jihan."
"Jihan? Kenapa kamu bawa-bawa nama dia?"
"Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu mutusin dia? Dengan alasan yang menurut aku nggak masuk akal banget, An."
"Apanya yang nggak masuk akal, Dhe? Memang itu kejadian sebenarnya. Dulu saat dia ajak aku kembali, di dalam hati aku udah ada niat untuk melakukan hal seperti yang dia lakukan terhadap aku. Sekarang, aku hanya ingin mengakhiri semua permainan ini sebelum dia lebih sakit. Aku juga lelah, Dhe, berperan sok menyayangi dia, padahal di hati aku ada perempuan lain."
"Perempuan lain? Kamu gila? Dia itu beneran cinta dengan kamu. Kamu nggak lihat gimana tulusnya dia selama ini sama kamu? Bisa-bisanya kamu ngasih hati kamu untuk perempuan lain."
"Tapi, kamu juga nggak lihat gimana dia dulu perlakuin aku, Dhe. Sejak dia perlakuin aku seperti itu hati aku udah nggak ada lagi dia. Kosong, Dhe. Dan sejak aku ketemu kamu, hati aku kembali terisi dan itu terasa sangat menyenangkan, Dhe. Kebahagiaan dalam mencinta yang pernah direnggut dia dulu sekarang udah kembali karena ada kamu."
"Maksud kamu, karena aku kamu ninggalin dia?"
"Nggak, Dhe. Ini bukan karena kamu. Kamu nggak ada salah apapun. Kamu nggak ngelakuin apapun. Kamu juga nggak ngerebut aku dari dia. Ini memang kemauan hati aku, Dhe. Aku sayang sama kamu dan aku ingin menjalani semuanya dengan kamu, bukan dengan dia."
"Kamu gila, An!"
"Iya, Dhe, aku memang gila. Tapi, aku juga nggak bisa menghilangkan gila ini gitu aja, Dhe. Aku juga harus jujur dengan kamu. Aku nggak bisa memendam perasaan ini terus-menerus. Aku rasa kamu juga punya perasaan itu terhadap aku."
"Kamu salah, An. Semua nggak seperti yang kamu rasa dan kamu pikir."
Dhea meninggalkan Farhan sendiri tanpa mendengar panggilan-panggilan atas namanya. Ia dibuat bingung oleh situasi yang menurutnya telah menyudutkannya. Apa ini kesalahannya karena mereka terlalu dekat? Mengapa ia harus membuat seorang yang punya kekasih menjatuhkan hati padanya? Bagaimana ia bisa membuat seseorang terluka dan memberi solusi yang ternyata itu adalah kesalahan yang berasal dari dia tanpa disadarinya? Apa yang harus dilakukannya untuk ke depan? Bagaimana selanjutnya ia harus bersikap?
"Kamu tetap seperti biasa aja, Dhe. Anggap aja nggak terjadi apapun dalam beberapa hari ini. Kamu merasa hilang ingatan." Sebuah suara muncul seakan mengetahui apa jeritan hatinya dan memberi jawaban padanya.
"Gitan...."
"Dhe, aku minta maaf, aku dengar semua perbincangan kalian tadi. Karena aku merasa aneh begitu lihat kamu langsung narik dia dengan ekspresi yang nggak biasanya. Maka dari itu, aku ikuti kamu. Aku nggak nyangka banget kamu harus hadapi suatu hal yang seperti ini. Aku nggak tau harus bilang apa selain suruh kamu menganggap hal ini nggak pernah terjadi, kamu nggak pernah dengar apapun yang keluar dari mulut Farhan tadi. Aku nggak bermaksud minta kamu melarikan diri, tapi menurut aku ini solusi terbaik untuk kita semua. Setidaknya hubungan kalian juga baik-baik aja. Nggak akan terpengaruh dengan semua pembicaraan tadi."
"Gimana bisa aku anggap nggak terjadi apa-apa, Git? Aku udah lukai hati anak orang, dan dia datangi aku untuk berkeluh kesah. Gimana bisa aku setega itu?"
"Kamu nggak tega kalau menurut aku. Seperti yang dibilang Farhan tadi, ini bukan kesalahan kamu, kamu nggak ngelakuin sesuatu yang salah. Nggak ada yang salah, Dhe. Jalannya memang udah seperti ini, dan kamu harus berani menerima dan menjalaninya. Kamu nggak punya pilihan lain selain mengikuti permainan hidup ini."
Dhea tidak punya pilihan kata untuk menjawab apa yang dilontarkan oleh sahabatnya. Ia bingung dengan semua yang terjadi dalam kisah hatinya. Jika dulu ia mencintai seorang lelaki, lelaki itu tidak mempedulikannya. Kini, lelaki yang mencintainya, baginya hanyalah seorang sahabat yang tidak bisa ia beri hati.
----------------------------
Ia berjalan lesu di bawah terik matahari, keringat telah membasahi tubuhnya. Ia merasa sangat gerah, ingin segera pulang dan membersihkan tubuh yang telah lengket tercucur keringat. Ia terus melangkahkan kaki dengan fokus pada tujuannya tanpa peduli dengan panggilan teman lainnya untuk menunggu mereka. Ia terlalu lelah dengan teriknya hari ini.
"Tega banget sih, Dhe, dipanggil-panggil nggak ngegubris," celetuk suara yang berlari mengejarnya.
"Maaf, Git, nggak bermaksud gitu, aku cuma lelah aja. Harinya juga panas banget, gerah aku."
"Hati kamu juga lelah ya?"
"Kebangetan lelahnya hati aku, Git."
"Hey, girls.... Kalian udah lihat pengumuman libur ini nggak? Kita libur mulai dua minggu ke depan sampai akhir bulan sembilan. Waw banget, kan? Dua bulan kita libur. Asyik gila nggak tuh? Bisa puas-puasin menikmati hari tanpa tugas dan semua masalah kuliah. Bisa ke mana aja sepuasnya," kabar Wela dengan hebohnya saat menghampiri mereka yang telah tiba di parkiran.
"Apanya yang asyik, yang ada kita tuh kepikiran dengan nilai-nilai final kita yang belum keluar. Belum lagi kita harus balik ke kampus untuk ngospek mahasiswa baru," timpal Vera.
"Alah, itu urusan belakangan, yang penting tuh liburnya. Masalah ospek, nggak ada keharusan untuk kita ikut."
"Mana seru nggak ikutan ospek. Aku sangat menanti ospek, ingin ngerjain mahasiswa baru."
"Ini bukan masa penjajahan dulu, yang harus nyuruh ini-itu pada mahasiswa baru. Zaman sekarang, kita harus memberi pengetahuan buat mereka, bukan ngerjain," sahut Gitan.
"Yaudah, deh. Aku pulang duluan ya," ucap Dhea dengan nada datar.
Dhea langsung menancap gas motornya tanpa menunggu jawaban atas teman-teman yang sedikit heran dengan tingkahnya. Ia hanya merasa terlalu lelah hari ini. Hal-hal yang tidak pernah diduganya terjadi begitu saja. Dhea tidak pernah menginginkan hal yang dapat merugikan orang lain. Ia harus dapat menyelesaikan semuanya agar pikirannya tidak selalu terkuras untuk hal seperti itu, meski mungkin harus menggunakan ego.
"Dia kenapa, Git?" tanya Vera.
"Mana aku tau. Memangnya aku baby sitternya tau segala tentang dia?"
"Kamu saudaranya. Kali aja dia ada cerita gitu."
"Dia nggak seperti Wela yang semua hal terjadi itu diceritain pada semua orang. Dia ada juga yang ditutupi," jawabnya sedikit menyindir Wela sambil menjulurkan lidahnya.
"Iih Gitan jahat banget, nyindir aku."
"Memang fakta kok," sahut Vera.
Mereka tertawa melihat Wela yang manyun karena disindir. Wela tidak merasa marah hanya karena sindiran seperti itu. Ia merasa itu bukanlah sesuatu yang buruk, karena seperti yang dikatakan oleh Vera, bahwa itu adalah fakta. Ia malah bersyukur mendapatkan teman-teman yang bisa menerima kekurangannya sebagai seorang teman yang suka bercerita tentang berbagai hal yang dialaminya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro