Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

III. Keberhasilan

Dari kejauhan tampak desakan para mahasiswa di depan sekret. Mereka melihat dari satu kertas ke kertas lainnya yang ditempel, berharap tertera nama mereka di atasnya. Tampak wajah putus asa bagi mereka yang gagal, dan wajah bahagia bagi mereka yang lolos, termasuk dirinya. Senyum kepuasan dan bahagia jelas terpancar dari wajahnya. Ia dapat mengingat jelas bagaimana perjuangannya hingga dapat lolos ke dalam salah satu UKM kampus itu.

Tiga lelaki dan seorang perempuan telah duduk di hadapannya, bersiap melihat apa yang akan ditampilkannya untuk meraih perhatian mereka dan menempatkannya di posisi yang layak. Tidak satu pun dari mereka memberi ketegangan pada peserta, sebaliknya mereka memberikan ekpresi santai agar menjauhkan peserta dari rasa gugup.

"Aishe Ar-Dhea Sevilen, kalau boleh tau, bakat apa yang kamu miliki?"

"Sebenarnya saya nggak bisa yang namanya menyanyi, bermain musik, dan berakting. Tapi saya suka ngedance seperti artis-artis Korea itu. Kalau diizinkan saya akan melakukannya, tapi kalau nggak bisa ya saya nggak tau apa yang harus saya tampilkan."

"Satu pun dari alat musik yang ada disampingmu kamu tidak dapat memainkannya?" tanya lelaki yang memakai syal biru di lehernya, menunjuk pada beberapa alat musik yang terletak di samping Dhea; gitar, gendang, piano, suling, dan beberapa lainnya.

"Setau saya setiap orang dapat bernyanyi, hanya saja kita nggak tau suara dia itu layak atau tidak untuk bernyanyi," ucap lelaki yang mengenakan kemeja krem. Ia terlihat seperti seorang vokalis yang handal.

"Akting itu gampang. Kita hidup dalam dunia khayal dan berperan menjadi diri orang lain, bukan diri kita sendiri. Apapun yang ingin kita ucapkan dalam akting itu bebas jika tanpa skrip," tambah lelaki berambut kecoklatan.

"Terus saya harus gimana?" tanyanya polos.

"Sebelum saya memberimu izin untuk melakukan yang kamu inginkan, saya mau tanya dulu. Seperti yang kamu ketahui, di sanggar ini hanya memiliki empat bidang, di mana tidak ada yang namanya dance seperti yang kamu bakati. Kita di sini menari sebagaimana tarian adat tradisional. Nah, apabila kamu lulus, apa kamu akan mengikuti empat bidang ini atau bagaimana?"

"Saya akan melakukan yang empat bidang ini, Kak. Saya akan mempelajarinya. Lagian menari juga bisa menambah ilmu saya untuk ngedance, kan? Di dalam akting juga nanti mungkin saya bisa tampil sebagai seorang yang suka ngedance, kan?" jawabnya penuh percaya diri.

"Oke. Kalau gitu kami mau lihat kamu ngedance. Silahkan."

Dengan senang hati Dhea mengambil ponsel dari saku dan memutarkan lagu EXO dengan judul History. Ia memperlihatkan keahliannya dalam dance yang telah ia pelajari selama ini dengan mengikuti gerakan-gerakan dalam video klip lagu tersebut. Tubuhnya sangat lentur seakan dapat dilipat-lipat, tidak tampak sedikitpun kekakuan dalam gerakannya. Putaran-putarannya indah, bahkan tarikannya saat pindah posisi pun sesuai, tidak meleset dari lagu. Perempuan berkaos merah, selaku juri, ternyata membuka internet dan melihat video klip dari lagu tersebut. Ia melihat semua gerakan-gerakan tersebut yang sama persis. Terlihat senyuman dari wajahnya melihat likak-likuk tarian yang disajikan.

Bibirnya mengikuti lirik-lirik yang dinyanyikan, terdengar jelas ia bisa melafalkan lagu tersebut dengan begitu baik. Suaranya pun sangat bagus, ia dapat mencapai nada tinggi tanpa serak dan terputus sedikitpun. Napasnya tidak terengah meskipun ia menari dengan begitu semangatnya. Ia mengakhirinya dengan salam yang manis. Keringat bercucuran dari tubuhnya. Ia menyeka peluh di wajah dengan lengan dan masih tersenyum di hadapan juri-juri yang terlihat puas dengan penampilannya.

-----------------------

Ia telah duduk seorang diri dengan sajian nasi, steak ayam dan segelas lemon tea dingin menemaninya. Ia tidak menunggu apapun untuk menyantap makanan itu, ia terlalu lapar jika dihadapkan dengan makanan, bahkan ia bersedia untuk menambah jika harus memenuhi keinginan perut kecilnya itu. Sebanyak apapun ia menyantap makanan tubuhnya tidak kunjung besar, tetap dengan berat 46kg dan tinggi 165cm. Namun teman-temannya suka melihatnya dan berkomentar bahwa ia memiliki tubuh yang ideal.

"Ya ampun, baru juga kami telat 15 menit udah main habis aja satu piring," ucap suara lelaki yang menghentikannya menyantap.

"Belum habis, tapi hampir habis," jawabnya cengiran.

"Hai Han, apa kabar?" sapanya pada perempuan di samping temannya itu.

"Alhamdulillah sehat, Dhe. Kamu pasti sehat juga, buktinya makannya lahap banget," jawabnya dengan canda.

"Tau aja. Duduk dong, jangan berdiri gitu. Dilihat orang, dipikir aku nggak persilahkan kalian duduk. Nggak enak banget, kan?"

"Gitan mana? Bukannya dia juga ikut merayakan kelulusan kamu masuk sanggar?"

"Dia jalan dengan Bang Bayu. Lagian nggak masalah kita bertiga aja, kan?"

"Akunya sih nggak masalah ada Jihan, lha kamu sendiri," sindir Farhan.

"Oh gitu sekarang. Mentang-mentang punya pacar, aku diledek-ledek."

Jihan dan Farhan tertawa melihat ekspresi Dhea yang cemberut seperti anak kecil. Mereka memang dekat. Farhan sengaja memperkenalkan Dhea pada Jihan agar tidak adanya kesalahpahaman antar mereka. Karena kekasihnya itu pernah cemburu melihat kedekatan mereka. Ia takut akan ditinggalkan demi Dhea.

"Kamu terlalu dekat dengan dia. Dulu, kamu nggak pernah sedekat itu dengan perempuan lain. Tapi sejak kamu kenal dia, kamu seakan membagi duniamu untukku dan dia," protes Jihan, kekasihnya, ketika itu.

"Dia itu orang yang asyik, baik. Lagian, kami sama sekali nggak seperti yang ada dalam pikiran kamu. Aku menganggapnya sahabat, adik, keluarga aku. Berbeda dengan kamu yang menjadi pujaan hati aku. Tampak lucu jika kamu risih dengan keluarga aku."

"Tapi kamu sendiri yang bilang, ikatan yang terjalin tanpa adanya hubungan darah tidak dapat menjamin apapun. Aku nggak masalah kalau kamu dekat dengan perempuan manapun. Aku hanya nggak ingin kamu berubah, meninggalkan aku, dan pergi dengan dia."

"Memangnya yang kamu lihat dari diri aku ada yang berubah gitu?"

"Nggak ada. Tapi kita nggak tau ke depannya gimana. Apalagi kamu selalu bertemu dengan dia. Akan lebih memudahkan rasa itu untuk muncul."

"Kamu terlalu khawatir. Aku masih di sini untuk kamu, kok," ucapnya tersenyum, berusaha menenangkan sang kekasih yang begitu mencintainya.

Mereka adalah pasangan yang menjalin hubungan sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya sejak kelas dua SMA. Mereka berasal dari sekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama. Bisa dikatakan mereka cinlok. Ketertarikan tersebut dimulai oleh Jihan melalui kekaguman atas kecerdasan yang dimiliki Farhan. Ia selalu memperhatikan Farhan yang lebih sering nongkrong di pustaka daripada gabung bersama teman-teman di kantin. Farhan, ketika itu, lebih memilih untuk menutup diri dari yang namanya perempuan. Tidak seorang pun teman perempuannya di kelas, bahkan di sekolah, yang dekat dengannya. Hal itu membuat Jihan sedikit kesulitan untuk mendekatinya.

Beruntungnya, Jihan memiliki banyak relasi dari kalangan laki-laki maupun perempuan, sehingga sedikit memudahkannya untuk mendekati Farhan. Ia mencari tahu segala sesuatu melalui teman dekat Farhan. Mereka didekatkan atas permintaan Jihan. Farhan tidak menganggap serius tentang mereka, ia hanya menganggap teman, hingga Jihan menyatakan perasaannya terhadap Farhan.

"Maaf, aku belum terpikir untuk menjalin suatu hubungan dengan yang namanya perempuan."

Itulah jawaban singkat yang dilontarkannya pada Jihan. Jihan yang terluka dan tersakiti mendapatkan kalimat dari seseorang yang sangat diharapkannya, tidak menyerah sampai di situ. Dia terus berusaha untuk mendapatkan Farhan, hingga Farhan menerimanya, mungkin karena terpaksa atau kasihan melihat Jihan yang terlalu berambisi terhadapnya.

Jihan tidak pernah meninggalkan Farhan, ia selalu menemani Farhan, kapanpun dan di manapun. Ia ingin menjadi seorang terbaik untuk orang yang dicintainya itu. Jihan tidak ingin kehilangan Farhan. Ia memiliki harapan yang besar terhadap hubungan mereka. Harapan yang terlalu cepat dalam pemikiran anak SMA.

----------------------

"Jadi kamu lulus dengan penampilan dance Korea itu?"

"Alhamdulillah, An. Aku aja mikir nggak lulus, sebab di sanggar fokusnya tari tradisional. Sementara aku tari daerah emang nggak bias satupun. Uh, senangnya hatiku bisa lulus."

"Aku salut banget sama kamu, Dhe," sahut Jihan dengan dua jempol tangannya.

"Hei, Aishe?? Bener, nggak?" Tiba-tiba seorang laki-laki menyapanya, membuat mereka mengalihkan pandangan pada pria itu.

Dhea memasang tampang tidak mengerti dengan apa yang dimaksud lelaki tersebut. Keningnya berkerut dan berpikir apakah lelaki ini gila? Miripkah aku dengan seseorang yang dikenalnya? Siapa yang dia maksud? Mengapa dia menyapaku? Siapa dia? Dan masih banyak rentetan pertanyaan yang dipertanyakan alam pikirnya terkait lelaki yang ada di hadapannya. Farhan dan Jihan pun turut melihat reaksi di antara keduanya.

"Kamu anak sanggar juga, kan? Yang baru lulus?"

"Iya, emang benar. Tapi, aku bukan Aishe."

"Apa mungkin aku salah orang ya? Tapi aku lihat di formulir nama kamu Aishe."

"Dhe, awalan nama kamu, kan, Aishe. Masa sih nama sendiri kamu lupa." Jihan membantu Dhea mengingat.

Dhea menepuk jidat dan kemudian tertawa. "Maaf, ya. Iya, aku Aishe. Tapi, ada apa ya?"

"Lupa, ya, aku siapa? Kamu yang ngajar di unit kami karena mendapat hukuman dari Pak Adit, kan?" tanyanya dengan terus tersenyum.

"Oh My God. Minta maaf banget, Bang. Aku lupa. Karena cuma sesaat aja lihat wajah Abang dan aku nggak terlalu perhatian jadinya lupa, deh. Maaf, ya. Abang anggota sanggar juga? Apa kabar, Bang? Ngapain ke sini? Janjian dengan pacarnya, ya? Hayoo ngaku?? Duduk dong, gabung di sini, jangan berdiri gitu, sambilan nunggu yang ditunggu."

"Iya ya ya. Cerewet banget sih, nyerbu pertanyaan gitu. Nggak nunggu siapa-siapa. Cuma mau jumpain teman yang kerja di sini."

"Ooh gitu. Yaudah jumpain aja dulu temannya. Mungkin dia juga udah nunggu dari tadi."

"Ok. Abang ke sana dulu ya. Enjoy it!"

Lelaki itu pun pergi menemui temannya yang sedang bekerja sebagai kasir. Dhea terus memperhatikannya. Dhea mulai terpesona dengan lelaki yang memiliki wajah tampan, kulit putih bersih, dan mata yang kebiru-biruan. Sepertinya dia blasteran. Tipe aku bangeeettt. Sengaja ia menjerit dalam hati agar tidak ada yang mendengarnya.

"Dia ganteng, Dhe. Kenapa nggak kamu gebet aja?" tanggap Jihan.

"Tapi dia nggak seganteng Chanyeol," jawabnya manyun.

"Chan lagi Chan lagi. Dia cuma ada di Korea, nggak ada di sini. Cukup dia hidup dalam khayalmu, Dhe. Dia aja nggak kenal kamu. Lebih baik kamu fokus dengan kuliah kamu, nilai jangan jeblok lagi. Jangan asyik dengan Korea," bantah Farhan.

"Kamu kenapa emosi gitu dengar Dhea dengan Chanyeol? Lagian menurut aku dia cocok dengan Abang tadi. Siapa namanya?" tanya Jihan.

"Oh ya, aku lupa nanya namanya."

"Ya ampun Dhea, dia aja tau nama kamu. Ntar kalau jumpa lagi jangan lupa tanya ya."

"Kamu kenapa dukung banget dia dengan lelaki itu?"

"Lho, emangnya salah ya sayang aku dukung Dhea? Laki itu baik, tampang juga nggak malu-maluin. Sayang, kan, Dhea-nya selama ini nggak punya pacar. Tadi aja kamu ledek dia, bilang dia nggak punya pasangan, nggak seperti kita."

"Kamu kenapa, An? Kenapa emosi kamu tiba-tiba nggak bagus gitu? Lagi ada masalah ya?" tanya Dhea menyelidiki.

"Aku nggak apa, kok. Maaf aku udah merusak suasana. Kita lanjutin lagi makannya ya."

Jihan merasakan perasaan yang tidak aman. Ia melihat sedikit demi sedikit perubahan yang terjadi dalam sikap kekasihnya terhadap temannya itu. Perasaan itu sudah dirasakannya sejak awal mula lelaki itu menceritakan perihal Dhea pada dirinya. Bagaimana kedekatan mereka, bagaimana semua bermula. Ia berharap kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi. Ia sangat mencintai kekasihnya, ia memiliki harapan yang begitu besar. Ia ingin menghapus kesalahan yang pernah ia lakukan dengan menjaga baik hubungan di antara mereka. Ia tidak ingin kesalahan awal terulang kembali. Ia akan menjaga dengan baik kekasihnya dan tidak akan membiarkan kekasihnya lari pada siapapun. Jihan tidak akan pernah rela hal itu terjadi. Ia tidak tau bagaimana hatinya jika kekasihnya pergi dari dirinya dan melirik kepada yang lain. Cukup sekali ia kehilangan karena kesalahannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro