Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

twenty third note

Why are you sad? He asked.

When I am here.

When I love you.

—Lang Leav—

*

Jeno dan Injun refleks beranjak dari tempat mereka duduk, bersiap melakukan tindakan penyergapan layaknya sekumpulan polisi yang hendak menangkap serombongan pengedar narkoba. Untunglah, Nana cepat memahami situasi. Cowok itu ikut berdiri, menahan dua rekannya sebelum mereka melakukan tindakan radikal yang bisa saja dapat berujung pada terseretnya pihak-pihak yang diduga provokator ke ruangan khusus milik pihak keamanan apartemen.

"Injun, Jeno, setop! Gue kenal dia."

Yeda mengangkat alis, tapi sudut bibirnya membentuk senyum samar kala matanya dan Nana bertemu. Injun tercengang. Begitupun dengan Jeno yang sampai lupa menutup mulutnya.

"Kenal dimana?!"

"Ada."

"Kenal dimana?!" Jeno ikut bertanya, tidak kalah mendesaknya dari nada suara Injun.

Alis Nana terangkat. "Kok kalian jadi posesif gini, sih?"

"Kita butuh penjelasan!" Injun berseru, masih sedramatis sebelumnya, yang didukung Jeno dengan anggukan kepala berkali-kali.

"Dia ini—" Nana belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika Terry sudah lebih dulu memotong ucapannya.

"Dia adik saya. Namanya Yeda."

"Yoda?"

"Ye-da." Yeda mengoreksi Injun.

"Oh, Yoda." Injun tetap, seperti karakter alaminya, gemar mengajak ribut orang sekalipun dia baru mengenal orang itu kurang dari sepuluh menit.

Yeda memilih mengabaikan Injun. "Sori. Gue nggak tahu kalau hari ini bakal ada banyak tamu. Tapi berhubung Jevais sudah ada di sini... minat minum kopi bareng di kafe lantai dasar?"

"Nana, jangan!" Injun sudah rempong melarang.

"Kenapa?"

"Jangan ngopi sama dia. Auranya ni orang rada-rada mirip Jessica. Lo mau berakhir kayak Mirna?!"

"Injun—"

"Injun benar, Na!" Jeno lagi-lagi berpihak pada Injun dan Nana curiga ada yang tengah tidak beres pada otak anak itu hari ini.

"Gue udah lama kenal Yeda." Nana membantah, tetap ngotot dan melangkah menghampiri Yeda. "Boleh. Tapi lo yang bayar ya? Gue nggak bawa banyak duit."

"Oke."

"Kalau gitu, kita juga ikut!"

"Oh, tidak bisa." Terry menukas cepat, membuat kepala Injun dan Jeno sontak tertoleh seketika. "Kalian dihukum karena sudah berani-beraninya hampir memicu keributan di apartemen saya. Apalagi kamu, Injun! Kamu menyuruh Jeno menyergap adik saya sendiri di depan pintu!"

"Tapi, Pak—"

"Nggak ada tapi-tapian. Kalian harus dihukum dan hukumannya adalah nemenin saya sampai makanan yang saya pesan datanng!"

"Emang Bapak pesan makanan?!" Jeno merengut.

"Ini otw mau pesan."

"Nggak mau! Saya mau nemenin Nana!"

"Budak tidak bisa berkata tidak!"

"Emang kita budak Bapak, gitu?"

"Siapa yang tadi ngemis-ngemis mau jadi budak saya lagi?!"

Nana menghela napas, menatap bergantian pada Injun dan Jeno. "Nggak apa-apa. Gue memang perlu ngomong sama Yeda berdua aja. Kalian di sini, temenin Pak Toil."

Ucapan Nana mampu membuat Injun dan Jeno berhenti mendebat, meski mereka masih merengut tanda tidak benar-benar puas. Nana lanjut meninggalkan unit apartemen Terry bersama Yeda. Mereka tidak banyak bicara, hanya membisu sepanjang koridor sampai ke dalam lift. Nana tidak berniat memaksa Yeda untuk berkata-kata. Dia menatap lurus pada panel logam di samping pintu lift hingga suara denting khas terdengar dan pintu lift bergeser terbuka.

Kafe yang dimaksud Yeda tidak terlalu ramai. Cowok itu menyuruh Nana duduk terlebih dahulu, sementara dia memesan minuman. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, dia kembali dengan racikan kopi spesial buat Nana di tangan kiri dan matcha latte buatnya sendiri di tangan kanan.

"Seperti biasa, kopi maut untuk Jevais Nareshwara."

Biasanya, Nana akan tertawa. Tapi tidak sekarang. Yeda mengerti kenapa. Bagaimanapun juga, dia berhutang penjelasan pada Nana.

"Jadi, gue harus mulai dari mana?"

Nana tidak menyentuh kopinya sama sekali. "Pertemuan kita di warung kopinya Bang Horas hari itu... apa lo sudah merencanakannya?"

"Nggak."

"Gue mau jawaban jujur."

"Itu jawaban jujur." Yeda menyedot minumannya. "Gue bertemu lo, itu nggak disengaja. Apa yang terjadi selanjutnya adalah takdir. Entah kakak gue sudah cerita apa belum sama lo soal alasan kenapa dia mengenal lo lebih baik dari diri lo sendiri atau gimana dia bisa tiba-tiba muncul di sekolah untuk jadi wali kelas lo, harus diakui, kalau selama beberapa tahun ini, gue sudah iri sama lo bahkan sebelum gue mengenal siapa itu Jevais Nareshwara."

"Iri?"

"Kakak gue itu... seandainya lo disuruh menggambarkannya, bagaimana lo bakal melakukannya?"

"Pak Terry guru yang baik."

"Hanya itu?"

Nana menelan ludah, menunduk sedikit dan matanya terpaku pada tangannya yang berada di atas meja. "Lo benar. Pak Terry mengenal gue lebih dari gue mengenal diri gue sendiri, meski gue nggak tahu kenapa. Pak Terry baik. Pak Terry mendukung gue untuk menghadapi ketakutan gue sendiri dan membuat gue berani melakukan apa yang selalu ingin gue lakukan. Pak Terry—" Nana berdeham, merasa tenggorokannya tersumbat oleh gumpalan asing. Sesuatu yang biasanya dia rasakan setiap kali dia hampir menangis. "—Pak Terry penting buat gue. Dia mendengarkan gue. Dia mengerti gue. Dia memeluk gue saat gue sedih."

"See? Itu kenapa gue iri."

"Gue... nggak ngerti."

"Selama delapan belas tahun gue jadi adiknya, belum pernah sekalipun dia memeluk gue seperti gimana dia memeluk lo."

"Yeda—"

"Jangan khawatir. Bukan salah lo. Sejak awal, kita memang nggak pernah cocok jadi kakak-adik. Entah kenapa. Gue mempertanyakan banyak keputusan yang dia ambil dalam hidupnya. Dia nggak lebih baik, menganggap gue sebagai adik manja yang kehadirannya hanya jadi beban. Kita impas."

"Lo ingin dipeluk juga sama dia."

"Sayangnya, sekarang sudah terlalu terlambat untuk itu." Yeda tersenyum lagi, masih setipis sebelumnya hingga senyum itu hampir sulit teridentifikasi. "Dari kecil, gue udah tahu ada anak lain yang jadi perhatiannya. Bukan sesuatu yang dia niatkan. Awalnya, semua karena Om Adjie. Tapi gue sadar, lama-lama, dengan sendirinya kepedulian dia pada lo muncul. Waktu kita ketemu pertama kali, gue nggak menyangka kalau anak itu adalah lo. Jevais Nareshwara. Tapi ya, mungkin takdir memang suka bekerja sambil bercanda."

"Gue nggak mengerti."

"Ada masa lalu yang nggak diketahui banyak orang tentang lo. Dimulai dari ayah lo yang vokalis band itu, ibu yang nggak pernah lo temui dan om gue. Kita memanggilnya Om Adjie dan arguably, Om Adjie adalah orang paling penting yang pernah ada dalam hidup kakak gue."

"... kenapa?"

"Dari kecil, kakak gue bukan anak favorit kedua orang tua gue. Bukan berarti gue juga seseorang yang dibanggakan dalam keluarga, hanya saja ada orang tua yang cukup egois dan lebih suka anak yang penurut daripada anak kritis yang punya mimpi tidak jelas. Kakak gue selalu kepingin bekerja di bidang musik dari kecil. Sesuatu yang dianggap nggak menjanjikan. Gue nggak suka musik, jadi gue nggak bisa memahami impiannya dan dari sana, gue tahu kita nggak akan pernah bisa jadi kakak-adik seperti kebanyakan kakak-adik. Om Adjie berbeda. Om Adjie juga suka musik dan berhasil meraih mimpinya lebih dulu, karena itu kakak gue paling dekat sama dia."

Nana mengangguk, membiarkan Yeda lanjut bercerita.

"Om Adjie punya pacar. Seseorang yang dia cintai sedalam dia mencintai musik. Perempuan yang juga punya perasaan yang sama ke dia. Mereka hampir menikah. Sampai seminggu sebelum Om Adjie melamar perempuan itu, sesuatu terjadi. Katanya, semua dimulai dari konser sebuah band." Nana tersekat mendengar kata-kata Yeda, merasa jantungnya meluncur jatuh ke rongga perut kala Yeda meneruskan. "Konser ayah lo."

"Jangan bilang kalau—"

"Klasik, gue tahu. Konser yang penuh dengan orang-orang yang nggak semuanya baik. Alkohol terlibat. Perempuan itu cantik. Ayah lo sendiri adalah vokalis band yang penuh pesona. Semuanya terjadi sesederhana itu. Kemudian lo ada dan perempuan itu nggak punya cukup keberanian untuk meneruskan apa yang sudah dia mulai dengan om gue. Mungkin dia merasa berdosa, atau merasa tidak pantas."

Napas Nana memberat, membuatnya merasa perlu mencengkeram tepi meja kafe lebih erat.

"Gue nggak punya hak bicara apapun tentang nyokap lo. Itu terserah kakak gue. Tapi ya, pada akhirnya lo tinggal bersama ayah lo."

Nana tertawa hambar. "Gue rasa gue sudah bisa menebak apa artinya."

"Jevais—"

Nana menatap Yeda dengan kepahitan membayang di matanya yang kini berkaca-kaca. "Nyokap gue nggak menginginkan gue. Iya, kan?"

"Gue nggak peduli lo mau berpikir apa tentang nyokap lo atau asumsi apa yang sekarang sedang berputar tanpa henti dalam kepala lo, tapi lo harus tahu, lo sudah dicintai bahkan sejak lo belum paham apa makna kata 'cinta' itu sendiri." Yeda menukas cepat. "Lo dicintai oleh ayah lo. Lo dicintai oleh Om Adjie. Dan lo dicintai oleh kakak gue."

"Om Adjie?"

"Lo adalah bagian dari perempuan yang dia sayang. Sejak lo masih bayi, dia selalu memperhatikan lo. Dia nggak pernah lupa mengirim hadiah setiap lo ulang tahun. Dia selalu mengamati lo dari jauh, seringkali bersama dengan kakak gue."

Nana kehilangan kata-kata.

"Lo mungkin nggak punya ibu, Jevais. Tapi lo pernah punya dua ayah yang nggak berhenti peduli sama lo, bahkan sampai napas terakhir mereka."

"Maksud lo, Om Adjie udah—"

"Dia memutuskan untuk pergi beberapa tahun lalu, bunuh diri."

Nana menggigit bagian dalam bibirnya keras-keras, merasakan perih menyebar yang diikuti oleh asin. Pandangan matanya mulai memburam. Entah itu hanya halusinasinya saja atau memang air mata mulai berdesakan di pelupuk matanya.

"Om Adjie menitip pesan ke kakak gue, yang membuatnya jadi orang berikutnya yang menjaga lo dari jauh. Kenapa dia memutuskan jadi wali kelas lo setelah bertahun-tahun berlalu, gue tahu. Tapi mungkin lo harus mendengarnya dari dia sendiri." Yeda menghela napas, mengulurkan tangannya dan secara tak terduga, menyentuh punggung tangan Nana. Nana memandangnya, sadar bahwa ada dukungan emosional yang terpancar dari mata remaja di depannya. Gestur khas seorang sahabat yang sedang berusaha menenangkan sahabatnya. "Tapi gue senang lo bisa dekat sama kakak gue."

"Kenapa?"

"Gue nggak pernah bisa jadi adik yang baik buat dia. Berbeda dengan lo. Lo bisa mendebatnya. Lo bisa bikin dia tertawa. Lo bisa bikin dia merasa seperti manusia. Bikin dia kembali punya sesuatu untuk diperjuangkan."

"Lo... berlebihan. Gue banyak bikin Pak Terry kesal. Gue—"

"Lo membuatnya kesal, tapi dia nggak pernah meninggalkan lo meski hanya sekali, kan?"

Nana tahu apa yang dikatakan Yeda itu benar.

"Bisa gue minta tolong sama lo?"

"Minta tolong apa?"

"Kakak gue... kasih dia satu alasan untuk tetap hidup. Dia udah kehilangan segalanya. Seseorang yang dia cintai. Seseorang yang dia kagumi. Sekarang, dia juga sudah kehilangan satu-satunya hal di dunia ini yang dia sukai. Kehilangan pendengaran itu menyiksa, tapi jauh lebih nggak tertahankan untuk dia yang bekerja di bidang musik. Sebagai orang yang juga menyukai sesuatu yang sama, gue yakin lo mengerti."

Nana mengangguk. Kata-kata Yeda kini membuatnya mengerti mengapa Terry bisa serapuh itu setiap kali dia tidak bisa mendengar suara sama sekali. Nana sendiri tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Hidup di dunia yang sepi tanpa siapa-siapa dan masih harus kehilangan satu-satunya alasan untuk tetap ada... itu terlalu berat untuk dihadapi sendirian.

"Kakak gue sudah kehilangan segalanya. Bisa lo jadi segalanya yang baru buat dia?" Yeda berujar dengan penuh kesungguhan. "Gue... gue... nggak mau dia berakhir seperti Om Adjie."

Nana mengangguk lagi. "Iya."

"Thankyou, Jevais."

"Nggak. Gue yang harus berterimakasih sama lo."

"Jika lo nggak tahu dari gue, lo bakal tahu dari kakak gue. Jadi—"

"Bukan itu."

"Terus apa?"

"Makasih udah traktir gue kopi hari ini." Nana tersenyum. "Dan makasih juga, karena akhirnya rasa penasaran gue terjawab."

"Rasa penasaran?"

"Sekarang gue tahu apa arti huruf S yang ada di belakang nama lo."

*

Seminggu kemudian.

Malam tengah merambat menuju titik nadir ketika Terry menyusuri jalan setapak yang akan bermuara ke tepi pantai. Langit gelap, meski bertabur bintang, menyepuh permukaan lautan hingga jadi sekelam bubuk sekam. Angin bertiup, membuat bulu-bulu halus di lengannya kompak berdiri seperti sekompi pasukan yang baru dikomando. Setelan tidur yang dia kenakan tak cukup mampu menghalau dinginnya udara, namun Terry tidak peduli. Dia terus saja berjalan, baru berhenti ketika dia tiba di karang besar yang berada persis pada garis pertemuan antara daratan dengan lautan. Ombak berdebut, mengecupi salah satu sisi karang tanpa henti.

"Saya nggak akan melakukan apa yang kamu takutkan. Saya kan sudah janji sama kamu." Terry berkata tiba-tiba tanpa menoleh ke belakang, membuat Nana yang bersembunyi di balik batang salah satu pohon kelapa menghela napas, sebelum akhirnya berjalan mendekati Terry dan duduk di sebelahnya. Mereka menatap pada garis cakrawala yang gelap. Pagi masih beberapa jam lagi.

"Bapak tahu saya ngikutin Bapak?"

"Saya nggak bisa mendengar suara langkah kamu, tapi melihat dari gimana kamu, Jeno, Injun dan bahkan Yeda mengawasi saya selama berhari-hari belakangan, itu gampang ditebak."

Nana tersenyum pahit. Buatnya, bakal jauh lebih mudah jika Terry menangis atau memaki frustrasi karena pendengarannya yang kian berkurang daripada Terry yang bicara seolah-olah semuanya baik-baik saja seperti sekarang. Lebih mudah menyembuhkan orang yang mengaku sakit dan merasa perlu disembuhkan, daripada orang yang berpura-pura baik-baik saja dan membiarkan keputus-asaan menggerusnya pelan-pelan dari dalam. Pendengaran Terry memang belum hilang sepenuhnya, meski denging itu masih kerap berdering dalam telinganya, disusul saat-saat bisu tanpa suara. Namun kemampuan pendengarannya berangsur berkurang.

Mereka bilang, begitulah Tinnitus merampas bunyi dari hidup seseorang. Perlahan, tapi menuju akhir yang pasti. Tahap demi tahap yang membuat penderitanya kehilangan harap.

"Di sini dingin." Terry bilang begitu. "Kamu bisa masuk kalau kamu ngantuk. Saya nggak akan melakukan tindakan bodoh. Saya nggak akan mengingkari janji yang sudah saya buat ke kamu."

Terry mengulang soal janji itu lagi, yang bikin Nana teringat pada peritiwa minggu lalu. Seminggu lampau, setelah duduk dan bicara dengan Yeda selama beberapa saat di kafe lantai dasar, mereka kembali ke unit apartemen Terry hanya untuk disambut Jeno dan Injun yang sedang duduk santai sambil memeluk semangkuk besar es krim. Terry berada di kamarnya, entah melakukan apa. Lelaki itu baru keluar menjelang sore, saat Jeno, Injun dan Yeda pergi untuk membeli snack. Mereka berencana menginap di sana malam itu.

Nana tengah duduk menghadapi piano Terry, memainkan nada-nada awal Moonlight Sonata ketika pintu terbuka dan Terry menghampirinya, berdiri di sisi piano. Spontan, Nana berhenti bermain.

"Bapak baik-baik aja?"

"Yeda cerita apa aja sama kamu?"

"Cukup banyak." Nana berdeham. "Seenggaknya, saya jadi cukup paham kenapa saya ada. Juga kenapa saya harus jadi anak tanpa ibu. Walau saya nggak tahu, kenapa Bapak mau-maunya jadi wali kelas saya, jadi guru di sekolah bobrok penuh anak nakal tanpa pengalaman mengajar sedikitpun."

"Kamu tahu soal ibu kamu?"

"Nggak banyak, tapi saya bisa mengerti kenapa dia nggak menginginkan saya." Nana kira dia akan siap mengatakan itu, tapi ternyata tidak. Ada sakit menusuk dadanya.

"Saya jadi wali kelas kamu simply karena saya nggak bisa pergi meninggalkan dunia ini tanpa memastikan kamu udah baik-baik aja. Saya nggak akan punya keberanian bertemu dengan om saya kalau begitu caranya. Kamu satu-satunya alasan kenapa saya masih bertahan, setelah... saya nggak punya siapa-siapa. Setelah saya juga nggak punya apa-apa. Hidup sendirian sepanjang hidup sebagai penulis lagu nggak terlalu buruk... sampai well, ternyata dunia juga mau merampas pendengaran saya."

Nana mengangguk paham. "Saya ngerti."

"Hidup kamu udah baik-baik aja sekarang."

"Itu karena ada Bapak di dalamnya."

Terry tergelak, terkesan skeptis. "Jangan konyol, Jevais."

"Kalau nggak ada Bapak, hidup saya nggak akan baik-baik aja." Nana membantah. "Jadi tolong... tetap ada dalam hidup saya. Bisa?"

Terry mengabaikan permintaan Nana, malah membahas sesuatu yang lain. "Ibu kamu... dia memang pernah nggak menginginkan kamu. Tapi gimana kalau seandainya sekarang dia menginginkan kamu?"

"Apa itu mungkin?" Nana bertanya ragu.

"Saya udah bilang kan, 'seandainya'."

"Saya... bakal senang."

"Senang?"

"Iya."

"Kamu nggak marah?"

"Awalnya, waktu pertama dengar cerita Yeda, saya marah, karena saya nggak pernah meminta terlahir sebagai anaknya. Tapi setelah saya pikir lagi, saya rasa... saya bisa mengerti. Dia juga nggak pernah berencana memiliki saya. Dia nggak pernah mengharapkan saya ada. Itu bukan sepenuhnya salah dia."

"Jadi kalau dia tiba-tiba kepingin ada dalam hidup kamu, kamu bakal menerimanya?"

"Iya."

Terry memandangnya beberapa lama, kemudian berbalik dan kembali meninggalkan Nana sendiri tanpa berkata apa-apa.

Tetapi, hari itu tidak selesai sampai di sana.

Semula, segalanya terlihat baik-baik saja. Mereka menonton film bersama-sama sambil menyantap makan malam delivery yang Terry pesan, kemudian dilanjut saling berebut keripik kentang. Injun dan Yeda sama-sama punya kelakuan yang absurd dan cenderung tidak mau mengalah satu sama lain, tapi Nana punya firasat, setelah beberapa lama keduanya bisa jadi teman yang sangat baik. Terry banyak tertawa, begitupun Jeno yang biasanya diam.

Namun siapa yang tahu kapan kesedihan bisa menyulap harapan jadi keputus-asaan?

Lewat tengah malam, Nana dibangunkan oleh suara pintu depan yang ditutup. Hanya dia yang terjaga. Jeno tampak tenang memeluk guling, sementara Injun memeluk lengan Yeda yang jatuh tertidur di sebelahnya. Nana mengecek kamar Terry dan ketika sadar lelaki itu tidak ada di sana, nalurinya menyuruhnya untuk segera keluar. Benar saja, dia melihat Terry tengah melangkah menyusuri koridor kosong menuju satu pintu yang ternyata adalah tangga darurat.

Aneh, sebab setahu Nana, lift yang ada masih berfungsi dengan baik.

Kecurigaan mendorong Nana untuk mengikuti Terry. Lelaki itu terus naik dan naik. Tetap saja menapaki anak tangga demi anak tangga meski napasnya mulai terengah. Dia baru berhenti ketika anak tangga terakhir membawa mereka menuju rooftop tower apartemen. Angin berembus kencang, meniup rambut Terry hingga berantakan. Lelaki itu berjalan menuju tepi rooftop yang dibatasi pagar. Dia memandang sekeliling, pada langit yang gelap, pada temaram titik-titik cahaya kota yang tersebar berantakan serupa kunang-kunang.

Lalu, air mata leleh di wajahnya.

Jari-jari Terry mencengkeram pagar. Nana masih mengamati, tapi ketika satu kaki Terry melompati pagar pembatas tersebut, dia langsung berlari mendekat seraya meneriakkan nama Terry sekeras yang dia bisa.

"PAK!"

Terry tersentak, menoleh dan matanya melebar penuh kekagetan. "Ke—kenapa kamu di sini?!"

"Saya yang harusnya nanya, kenapa Bapak di sini?!" Nana berlari menghampiri pagar, mencengkeram lengan Terry seerat yang dia bisa. Air mata berjatuhan di pipinya tanpa bisa dia kontrol. Isaknya pecah, mengawali tangis sesenggukan yang mengguncang bahunya. "Tolong jangan begini. Tolong."

"Jevais, lepas."

Nana menggeleng berkali-kali, memegang kedua tangan Terry makin erat. "Nggak. Saya nggak akan pernah lepasin! Kalau bapak lompat, saya bakal lompat juga!"

"Kamu nggak akan berani."

"Bapak mau saya membuktikan?!"

"Jevais—"

Nana menatap Terry lekat, kemudian melepaskan genggamannya dari lengan Terry sebelum dia ikut melompati pagar pembatas. Tindakannya membuat Terry tersentak kaget. "Kalau bapak lompat, saya bakal lompat juga!"

"Berhenti!"

"Saya bakal berhenti kalau Bapak berhenti!"

"Jevais—"

"Saya bakal hitung sampai tiga dan kalau Bapak nggak juga balik ke sisi pagar yang lain, saya bakal lompat!"

"Kamu nggak akan berani."

"Biar kita lihat aja." Nana menyeka pipinya yang basah dengan punggung tangan. "Satu... dua... tig—"

"FINE!" Terry akhirnya berseru, melompat ke sisi pagar yang lain. Nana menghela napas, separuh dirinya lega dan separuh yang lainnya bertanya-tanya bagaimana dia bisa punya keberanian berdiri di luar pagar pembatas rooftop sebuah gedung pencakar langit seperti sekarang. Angin masih berembus kencang. Dia hanya perlu satu lompatan dan dalam sekejap, eksistensinya hanya akan jadi sebatas memori.

Tapi Terry jelas terlalu peduli padanya untuk membiarkannya merealisasikan ancaman tersebut. Lelaki itu bahkan membantunya kembali ke sisi pagar pembatas yang lain. Mereka tidak bicara setelah itu. Hanya saling duduk diam, membiarkan air mata terus menetes ke pipi masing-masing.

Kemudian Nana berujar. "Kalau Bapak sampai melakukan itu lagi, saya bakal melakukan sesuatu yang lebih parah."

"Kamu kira itu bisa menahan saya?"

"Saya nggak bermaksud menahan Bapak. Cuma ngasih tau, saya nggak akan membiarkan Bapak pergi sendirian. Nggak dengan cara yang seperti itu."

Sepanjang sisa malam, keduanya tidak bicara. Kecanggungan diantara mereka tetap bertahan hingga sarapan, sampai-sampai membuat Yeda, Injun dan Jeno saling melempar pandang seraya menyikut rusuk satu sama lain. Nana tetap bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa, tapi usai sarapan, dia berdeham dan bilang.

"Weekend minggu depan, ada yang tertarik jalan-jalan?"

"Jalan-jalan?" Alis Yeda terangkat.

"Jalan-jalan. Ke pantai. Atau ke gunung. Terserah." Nana mengangkat bahu. "Sebentar lagi, gue, Jeno dan Injun bakal sibuk ikut ujian. Belum lagi kompetisi band akan mengharuskan kita banyak latihan. Terus, kelihatannya Pak Terry juga butuh liburan."

Usul dadakan Nana, secara tidak terduga, disetujui oleh Terry. Maka, di sinilah mereka berada sekarang—di sebuah resort tepi pantai wisata. Mereka sengaja menyewa kamar yang mirip dengan rumah, berjarak tidak jauh dari garis pantai. Terry keluar menjelang tengah malam, hendak mencari udara segar. Namun tentu saja, Nana tidak cukup percaya untuk membiarkannya sendirian.

"Sana masuk. Nanti kamu masuk angin."

Tidak seperti biasanya, Nana tak membantah. Cowok itu malah bangkit, berbalik dan meninggalkan Terry sendiri. Terry sempat heran, namun akhirnya mengerti ketika Nana kembali tidak berapa lama kemudian dengan selimut tebal dan lebar di tangan. Dia mendekati Terry, menyampirkan selimut itu di sekitar bahu Terry. Selimut itu berukuran besar, hingga bisa turut digunakan melingkupi Nana yang duduk di sebelahnya. Mereka duduk berdekatan, didekap oleh selimut yang sama. Nana menghela napas panjang, memandang langit penuh bintang.

"Langit malam ini bagus, berbeda dengan langit minggu kemarin."

Terry menunduk, mengeluarkan decak geli sebelum dia berbisik. "Saya minta maaf."

"Maaf untuk apa?"

"Maaf karena kamu harus menyaksikan apa yang kamu lihat minggu kemarin."

"Saya nggak perlu permintaan maaf Bapak. Saya mau itu nggak pernah terjadi lagi."

Hening, hanya suara debur ombak yang terdengar.

"Seseorang pernah bilang, katanya hidup itu adalah sebuah keberanian."

Terry tetap diam.

"Saya nggak bermaksud mengecilkan masalah Bapak. Mungkin, apa yang Bapak alami lebih berat dari masalah yang saya punya. Atau masalah yang Jeno punya. Atau masalah yang Injun punya. Kita sudah hampir menyerah sama hidup. Berpikir kalau ya hidup hanya sekedar hidup itu nggak apa-apa. Jeno dan rasa bersalahnya karena merasa nggak pernah diinginkan oleh orang tuanya—dan malah jadi penghambat cita-cita mamanya. Injun yang nggak dihargai sama ayahnya sendiri. Atau saya... yang takut bikin orang-orang di sekitar saya terluka." Nana berkata. "Tapi sekarang semuanya sudah lebih baik. Semua karena Bapak. Bapak bikin kita jadi berani. Sekarang, bisa Bapak balik berani buat kita?"

Terry menunduk.

"Yeda udah cerita sama saya. Ternyata yang kemarin itu... bukan usaha pertama Bapak untuk... pergi. Yeda juga bilang, Bapak bermaksud mengakhiri semuanya setelah ini selesai. Setelah Bapak nggak lagi dibutuhkan dalam hidup saya, atau hidup Jeno atau hidup Injun."

"Sekarang, kalian nggak membutuhkan saya."

"Kita bakal selalu membutuhkan Bapak." Nana menegaskan. "Hidup kita baik-baik aja karena Bapak. Tanpa Bapak, hidup kita nggak akan baik-baik. Jadi, Bapak nggak boleh pergi."

Terry berdeham, berusaha memastikan suaranya terdengar baik-baik saja tatkala dia bicara lagi. "Besok, seseorang yang ingin kamu lihat bakal datang."

"Seseorang?"

"Kamu pernah bilang ke saya, kalau sekarang dia ingin ada dalam hidup kamu, kamu akan menerimanya. Itu betulan, kan?"

Nana hampir lupa caranya bernapas. "Bapak—"

"Besok, dia akan datang."

"Apa yang Bapak maksud itu—"

"Iya. Ibu kamu." Terry menoleh pada Nana, mendapatinya sedang menggigit bibirnya yang bergetar. "Saya udah undang dia kesini. Kemarin, dia belum bisa datang."

"Saya—"

"Kalau saya bilang dia merindukan kamu seperti gimana kamu merindukan dia, kamu bisa percaya?"

"Saya kepingin percaya."

"Kalau gitu, percaya." Terry tersenyum. "Dan jangan nangis. Kamu terlalu sering nangis akhir-akhir ini. Dasar cengeng."

"Ibu saya—"

"Dia punya ceritanya sendiri untuk dijelaskan. Cerita yang perlu kamu tahu." Terry menghela napas dalam-dalam. "Apa pun itu, Jevais, saya mau kamu bahagia."

Nana mengangguk sebelum akhirnya dia menyandarkan kepalanya di bahu Terry. "Saya juga mau Bapak bahagia."

*

Pagi dimulai dengan keributan tak berfaedah antara Yeda dan Injun yang berebut kaleng Pringles terakhir dari stok snack yang mereka bawa. Jeno hanya bisa duduk diam, melongo di tempatnya berada sementara Yeda dan Injun sibuk cekcok. Dia jadi pengamat yang baik sampai Nana muncul, terbangun karena perdebatan yang semakin seru. Tadinya, Nana berusaha mendamaikan keduanya, namun ternyata gagal. Akhirnya, jadilah dia mengalah dan setuju membelikan Pringles baru buat dua remaja itu asalkan keduanya setuju untuk berhenti bertengkar. Bukan apa-apa, Nana hanya khawatir keributan mereka membangunkan Terry. Mereka baru meninggalkan tepi pantai menjelang jam tiga pagi dan oleh karena itu, Terry masih butuh beberapa jam lebih lama untuk memenuhi jam tidurnya yang kurang.

Minimarket yang dimaksud oleh Nana tidak jauh. Hanya berjarak beberapa ratus meter di seberang jalan. Sekalian, Jeno juga titip es krim. Katanya, kalau bisa yang berbentuk kucing, soalnya Jeno lagi kangen Bongshik. Memang sih, semalam udah video call, tapi tetap saja kan rindu tidak sederhana itu untuk bisa diredakan dengan satu sesi video call.

Tidak butuh waktu lama buat Nana untuk mendapatkan barang-barang yang perlu dia beli. Beberapa permen cokelat dan es krim untuk dirinya sendiri, masing-masing satu kaleng Pringles untuk Injun dan Yeda serta tentunya, es krim berbentuk kepala kucing buat Jeno.

Dia sengaja menyusuri jalan di bagian seberang yang sejajar dengan letak minimarket, berencana untuk sekalian menyeberang nanti, di depan resort tempat mereka menginap. Jalanan sepi. Mungkin karena masih pagi. Bau basah menyapa hidung Nana, membuatnya menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya dengn udara yang sejuk.

Tetapi, langkahnya tiba-tiba terhentikan oleh kehadiran sebuah mobil hitam yang berhenti di depan resort. Seorang pria turun lebih dulu dari kursi pengemudi untuk membuka bagasi, mengeluarkan koper berukuran sedang. Kemudian, pintu bagian penumpang terbuka dan orang lainnya turun dari sana, berhasil membuat jantung Nana berdebar lebih kencang dari sebelumnya.

Itu Ryona.

Nana menelan ludah, teringat pada kata-kata Terry semalam.

Besok, dia akan datang.

Ibu kamu.

Saya udah undang dia kesini.

Kalau saya bilang dia merindukan kamu seperti gimana kamu merindukan dia, kamu bisa percaya?

Ryona mengedarkan pandang ke sekelilingnya, hingga dia menemukan sosok Nana yang berdiri di seberang jalan depan resort dengan kantung plastik berisi snack di tangan. Keduanya mematung, saling menatap. Nana tidak berani bergerak. Begitupun Ryona.

Lalu... air mata turun di wajah perempuan itu dan jantung Nana seakan berhenti berdetak.

Tiba-tiba saja, segalanya jadi masuk akal. Dia teringat cerita Ryona tentang konser yang terakhir kali dihadirinya hampir dua puluh tahun lalu. Konser yang tidak berakhir baik.

Juga Ryona yang memandangnya dengan begitu lekat waktu mereka pertama kali bertemu di mall.

Kemudian kehadiran wanita itu yang tiba-tiba di taman pemakaman tempat ayahnya dikebumikan.

Serta Ryona... yang datang ke acara Pensi tempat di mana Nana naik ke atas panggung dan tampil secara terang-terangan untuk pertama kalinya.

Sekarang, wanita itu menangis seraya menatapnya.

Nana melangkah ragu-ragu, bermaksud menyeberang jalan. Setengah dirinya menyuruhnya berlari. Separuh dirinya yang lain masih tidak percaya. Sejenak, Nana lupa pada semua yang berada di sekelilingnya. Ryona masih memandangnya lembut, hingga sesaat kemudian, kepanikan dan horor mewarnai mata wanita itu diikuti oleh suara klakson nyaring yang Nana dengar.

Nana menoleh, bertepatan dengan sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju ke arahnya, menghantamnya dalam waktu yang demikian singkat.

Es krim dalam kantung plastik yang dia bawa tercecer ke jalan. Kemasannya rusak, membuat isinya mengalir, bersatu dengan darah merah yang membasahi aspal. 






bersambung ke interlude

***

Catatan dari Renita: 

*drumroll* 

HEHEHEHEHEHEHE 

jadi gimana nih gaes 

terkejut kah kalian wkwkwk

btw mohon maapkeun kalau akhir-akhir ini author notesnya ngirit soalnya aku lagi banyak deadline nih di dunia nyata ya, semoga cepet kelar jadi aku bisa banyak bacot unfaedah di author notes. 

jadi sebenernya cerita ini sangat simpel kan wkwkwkwkwkwkwkwkw 

tapi akhirnya.... mari kita temukan dalam dua chapter dari chapter ini. 

ea maunya ending yang kayak gimana niiii? 

WKWKWKWKWKWK

btw makasih buat yang selalu setia menunggu, udah rajin vote, comment, promosiin DLP kemana-mana. makasih banget yaaaa. sebenernya kalian nggak wajib ngelakuin itu tapi tetep kalian lakuin huhu gemas :' 

semoga semuanya selalu dilancarkan urusannya daaaaan bahagia selalu! 

sampai ketemu di chapter selanjutnya. 

ciao. 

Semarang, August 26th 2019 

21.07

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro