twenty second note
To live is the rarest thing in the world.
Most people exist, that is all.
—Oscar Wilde—
*
Petang itu, secara tidak terduga Mama pulang dari tempat kerjanya lebih awal bersama sekotak donat glazed kesukaan Jeno. Jeno terkejut awalnya, tapi tersenyum ketika Mama bilang, itu hadiah dari Mama buat penampilan perdananya yang memuaskan bersama Injun dan Nana di sekolah tempo hari. Mereka menghabiskan sisa sore di ruangan yang sama. Mama membiarkan jendela terbuka agar sorot cahaya jingga dari matahari yang sebentar lagi lenyap di ujung barat turut memasuki ruangan, menusuk tembok serupa sinar proyektor. Beliau duduk, memegang buku dengan kacamata baca bertengger di hidung. Jeno duduk di bersila di lantai, di depan sekotak donat, menghadap pada Bongshik yang tengah asyik makan whiskas dari mangkuk.
"Ma." Jeno tiba-tiba memanggil, secara instan menyita seluruh perhatian Mama.
"Iya, sayang?"
"Pak Toi—maksudku, Pak Terry sakit."
Mama kini menutup bukunya, memandang anak tunggalnya yang kini tertunduk. Walau Jeno masih bicara sambil makan donat, Mama tahu dia merasa sedih. "Belum sembuh, Nak?"
Jeno menggeleng.
"Pak Terry sakit apa?"
Jeno menggeleng lagi. "Nggak tahu. Pak Terry nggak mau ngomong. Tapi... kadang-kadang Pak Terry nangis kalau dia udah nggak bisa dengar apa-apa."
"Nggak bisa dengar apa-apa?"
"Apa tuh ya namanya, Ma..." Jeno berpikir keras sebentar, mencoba mencari padanan kata yang lebih sopan, tapi akhirnya menyerah. "... budek. Kata Nana, bisa jadi Pak Terry ketempelan setan budek."
Mama jadi geli. "Daripada berspekulasi, kenapa kalian nggak tanya langsung aja ke Pak Terry?"
"Pak Terry udah lama nggak ke sekolah. Kalau ditanya juga nggak mau jawab. Dichat di grup, kita semua dicuekin. Kita jadi bingung harus gimana."
"Bingung karena kepo?"
"Sebenarnya aku nggak ngerasa perlu tahu Pak Terry sakit apa..."
"Terus?"
"... aku cuma mau mastiin kalau Pak Terry baik-baik aja. Selama Pak Terry baik-baik aja, aku udah senang."
Mama menghela napas, kembali meneliti Jeno lewat tatapan mata. Dia mengenal anaknya sebaik dia mengenali dirinya sendiri. Jeno yang selalu jadi anak manis dan penurut sejak kecil. Jeno yang tidak pernah membolos apalagi tertarik melakukan kenakalan-kenakalan khas remaja selepas jam sekolah. Jeno yang memperlakukan kucing-kucingnya—bukan hanya Bongshik, tapi juga Bongsai saat kucing itu masih hidup—selayaknya mereka manusia, seperti saudara yang tidak pernah dia miliki. Jeno itu anak yang lembut, namun bukan tipe orang yang mudah membuka diri apalagi dekat dengan orang lain. Sekarang, mendengarnya bicara seperti itu tentang Terry, meski tidak tahu persis, Mama paham seberapa berarti Terry buat Jeno.
"Kalau weekend ini kita tengok gurumu, gimana? Kamu sama Mama. Bareng juga sama Juna dan Jevais kedengaran bagus. Pak Terry nggak bisa nolak ketemu kalau kalian datangnya sama Mama, iya kan?"
"Bener juga."
"Oke, kalau gitu?"
Jeno berbalik pada Mama sambil mengunyah potongan donat terakhirnya. Pipinya setengah menggembung kala remaja itu tersenyum, membuat dua matanya bertransformasi jadi sepasang bulan sabit. "Makasih, Ma."
"Sama-sama, sayang."
"Ma."
"Em-hm?"
"Mau nanya lagi."
"Nanya apa?"
"Aku... kalau aku pacaran... boleh?"
Mama mengerjap beberapa kali, selama sejenak kehilangan kata-kata. Butuh beberapa lama buatnya menyadari makna pertanyaan Jeno. Jeno sendiri masih memandangnya, kentara sekali harap-harap cemas. Bongshik, layaknya manusia yang bisa mengerti arti ucapan Jeno, berhenti memakan whiskas di mangkuknya, kini nanar menatap Jeno. "Pacaran?"
Jeno meringis, menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Iya. Pacaran."
"Sama cewek, Nak?"
"Iya lah, Ma!"
"Oh." Mama terkekeh. "Kirain sama kucing. Bisa ngamuk nanti Bongshik."
Kata-kata Mama bikin Jeno teringat jika Bongshik masih ada di ruangan itu. Secepat kilat, dia menoleh pada kucingnya yang kini telah betul-betul kehilangan minat pada makanan dalam mangkuknya. Bongshik menengadah, memandang Jeno layaknya gadis hamil yang meminta pertanggung-jawaban kekasih.
"Bongshik, sabar ya. Nanti aku jelasin ke kamu. Sekarang ke Mama dulu." Jeno berpaling lagi pada Mama. "Jadi gimana, Ma?"
"Pacaran sama siapa?"
"Sama Giza."
Mama seketika mengerti—malah bertanya-tanya bagaimana bisa dia tidak langsung terpikirkan Giza begitu mendengar pertanyaan Jeno. Jeno hanya punya satu teman perempuan yang pernah dia ajak main ke rumah dan Giza orangnya. Setelah kunjungannya lebih dari satu bulan lalu, Giza tidak pernah datang lagi dan baru akhir-akhir ini, rajin berkunjung kembali.
"Memangnya Giza mau pacaran sama kamu?"
Jeno terhenyak, matanya terbuka lebar, lantas dia refleks berbisik pada dirinya. "Wah, iya juga. Aku belum tanya."
"Tanya dulu, gih."
"Jadi Mama izinin?"
"Kalau nggak Mama izinin?"
Jeno menahan diri untuk tidak manyun. "Ya... nggak jadi."
"Kenapa nggak jadi?"
"Kalau nggak disetujui orang tua, nanti harus kawin lari. Kata Injun, kawin lari tuh capek."
Mama berdecak diikuti tawa lepas. "Jangan minta izin ke Mama, soalnya Mama pasti izinin. Mama rasa Giza anaknya baik. Dia sayang kucing. Dan bisa jadi, juga sayang kamu."
"Terus minta izin kemana?"
"Ke Bongshik."
Jawaban Mama bikin Jeno menoleh lagi pada Bongshik. Kucing itu benar-benar sedang memberi perhatian penuh pada Jeno. Caranya duduk terkesan menuntut. Jeno menelan ludah, mendadak takut. Bukan apa-apa, tapi dia yakin Bongshik pasti paham maksud pembicaraannya dengan Mama. Konon katanya, otak kucing itu lebih cerdas dari perangkat gadget iPad.
"Bongshik."
Tidak seperti biasanya, Bongshik yang selalu mengeong tiap dipanggil kini membisu.
"Bongshik, maaf ya tapi kayaknya aku mau duain kamu."
Bongshik memiringkan kepala seraya menegakkan salah satu kupingnya.
"Tapi dia juga sayang sama kamu, kok. Tau Giza, kan? Temanku yang suka main ke sini. Aku suka sama dia. Jangan marah ya?"
Bongshik tidak langsung bereaksi. Kucing itu menatap Jeno sejenak, ganti memandang pada Mama, sebelum akhirnya dia mengeong lirih dan melompat ke pelukan Jeno. Jeno mengernyit, tidak mengerti maksud respon Bongshik sampai Mama bicara lagi.
"Kayaknya Bongshik setuju."
"Beneran, Ma?"
"Buktinya, kamu nggak digigit."
"Benar, sih."
"Nanti kamu mau bilang Giza?"
"Iya."
Niat jahil Mama timbul mendadak. "Kalau kamu ditolak?"
"Ya... nggak apa-apa."
"Nggak marah?"
Jeno menggeleng. "Nggak. Kan masih bisa temenan."
Mama terdiam, lantas perlahan-lahan, senyumnya merekah, menyadari bahwa tidak hanya manis dan berkelakuan baik, anaknya juga paham bagaimana caranya menghargai perasaan orang lain.
Dan untuk ibu mana pun, tidak ada yang lebih membanggakan daripada itu.
*
Malam baru dimulai dan Injun sedang duduk menghadap meja belajar sambil menggambar Moomin yang tengah naik sapu terbang—ceritanya Moomin lagi cosplay jadi Harry Potter—waktu seseorang mengetuk pintu kamarnya yang sengaja dibiarkan terbuka.
Injun menjawab tanpa menoleh. "Abang nggak makan malam sekarang, Alma. Duluan aja."
Alih-alih rajukan Alma (yang biasanya tetap gagal membujuk Injun), yang terdengar malah dehaman laki-laki dewasa. Sontak, Injun menoleh dan terperangah tatkala mendapati ayahnya berdiri di ambang pintu. "Aku nggak—"
"Udah lama kamu nggak makan bareng yang lain."
Injun mengarang alasan. "Aku belum lapar."
"Alma mau makan bareng kamu."
"Aku—"
"—dan Papa juga nggak keberatan."
Papa kelihatan salah tingkah dan itu menular pada Injun. Selama sejenak, mereka tak saling bicara, sama-sama diam dan membeku di tempat masing-masing dalam posisi awkward hingga Papa kembali membersihkan tenggorokannya. Matanya menatap sekali lagi pada Injun, kemudian lelaki itu berbalik dan pergi ke ruang makan. Injun masih tidak tahu harus mengatakan apa, tapi sesuatu membuat remaja itu tergerak bangkit dari kursi. Selama ini, tidak pernah sekalipun Papa menyambanginya langsung ke kamarnya. Biasanya, beliau bakal memanggilnya dengan setengah berteriak, atau menyuruh Mama atau Alma.
Juga, Papa tak terlihat segalak biasanya.
Semua orang sudah berkumpul di ruang makan ketika Injun tiba di sana. Mama tercengang sebentar, lalu antusias melambai, menyuruh Injun mendekat. Alma tersenyum lebar. Bang Ali hanya melirik, tapi jelas moodnya kelihatan bagus karena tidak perlu teriakan dan paksaan untuk membawa adiknya turun dan makan bersama mereka. Mereka mulai makan dengan tenang, meski kecanggungan antara Injun dan Papa terasa begitu kental, hingga akhirnya Alma memecah suasana, bercerita soal penampilan band Injun bersama Nana dan Jeno yang telah dia upload ke internet—dan bagaimana viewers video tersebut konstan mengalami kenaikan.
Mama menimpali dan Bang Ali turut memuji. Mama juga bercerita tentang Terry yang menurutnya adalah wali kelas paling ramah, baik dan ganteng yang pernah beliau temui. Bukan hanya itu, Mama juga sempat bicara soal nilai-nilai Injun yang akhir-akhir ini selalu bagus. Injun jadi malu, bingung harus berkata apa, sementara Papa tetap diam.
Ekspresi wajah lelaki setengah baya itu sukar dibaca, membuat Injun tidak yakin dalam bersikap, sampai akhirnya, Papa menyendok lebih banyak sup iga dari mangkuk besar ke mangkuk kecil dan mendorongnya mendekat pada Injun. Tindakan Papa bukan hanya membuat Injun tersekat kaget, namun turut membikin Alma, Mama dan Bang Ali terdiam seketika.
"Kamu selalu suka sup iga."
Injun merasa dia hampir menangis kala dia menjawab lirih. "... makasih."
"Juna, soal festival dan lomba band yang waktu itu sempat dibilang guru dan teman-temanmu, kalian jadi ikut, kan?"
"Mmm... belum tahu."
"Kok belum tahu?" Alma menyambar. "Banyak loh yang nungguin bandnya Abang tampil! Mau kutunjukkan komentar-komentar yang masuk di video yang aku upload?! Lagian, masa nggak ikut?"
"Abang belum bilang lagi ke Nana sama Jeno."
"Ikut juga nggak apa-apa." Papa berujar, masih punya kemampuan magis yang berhasil bikin mereka semua terdiam. "Seenggaknya, kamu nggak malu-maluin dan ada yang tepuk tangan."
"Hng..."
"Papa dengar dari Mama, katanya akhir-akhir ini nilai ulangan kamu bagus."
"Lumayan."
"Bagus."
Hati Injun serasa meledak jadi kepingan. Selama ini, tidak pernah sekalipun Papa memujinya, apa lagi di depan anak-anaknya yang lain. Injun tertunduk, merasakan matanya mulai berembun dan sup iga di dekat tangannya terlihat memburam.
"Bang." Alma mendadak memanggil, membuat Injun batal menangis.
Injun menelan ludah. "Apa?"
"Abang ada apa sama Kak Lala?"
Spontan, Injun tersedak sampai batuk-batuk.
Bang Ali melotot. "Lala anaknya Pak Syu'aeb yang anggota Kopassus itu?!"
"Lah, kamu tahu?!" Mama tidak kalah terkejut.
"Alma!" Injun berseru. "Kamu tahu dari mana?!"
"Jadi itu beneran?!" Mama makin heboh.
"Nggak gitu, Ma."
"Nggak gitu gimana?! Gosipnya udah sip banget digosok terus ama ibu-ibu tiap abis senam sore di depan rumah Pak RW!" Alma menukas. "Katanya Abang sama Kak Lala pernah makan rujak curian bareng di pos ronda."
"Astaga..."
Mama menatap anak keduanya dengan serius. "Nak, kalau kamu apa-apain anaknya Pak Syu'aeb, bisa abis kamu dibayonet!"
"Di-basoka kali, Ma." Alma mengoreksi.
"Nggak gitu, Ma!" Injun membantah lagi, lalu mendelik pada adik perempuannya. "Lala, jangan ikut campur. Ini bukan urusan anak kecil."
"Emangnya aku anak kecil?!"
"Mana ada anak gede yang masih ngumpulin hadiah dari telur Kinderjoy?!"
"Alah, abang juga masih!"
"Jelasin ke Mama soal gosip itu!" Mama memburu.
"Lala yang suka aku, Ma."
Sekarang, bukan hanya Mama dan Alma yang terkejut, tapi Papa dan Bang Ali ikut-ikutan berhenti menyuap makanan mereka.
"Loh, kok malah pada diam?!"
"Udah buta kayaknya itu Kak Lala. Maksudnya ya, apa yang dilihat dari abang?" Alma berujar pedas. "Tapi nggak apa-apa lah ya. Abang nggak bisa masuk IPA, seenggaknya pacarnya anak IPA. Pinter lagi. Cuma ati-ati aja, Bang. Kalau macem-macem, Abang bisa digodok sama Kak Lala sampai jadi dodol garut!"
"Alma, kok jahat?!"
"Aku nggak jahat, cuma jujur aja."
"Orang beneran Lala yang suka duluan sama abang."
"Masa?"
"Iya."
"Terus udah pacaran belom sekarang?"
Injun menelan ludah, menatap sekeliling dan menilik dari ekspresi super penasaran yang terlihat di wajah Bang Ali, Papa dan Mama, dia tidak bisa melarikan diri dari ini. "Belom."
"Abang ditolak?"
"Abang belum nyatain."
"Terus?!"
"Tapi Lala tahu Abang juga suka dia."
"Terus kok bisa belum jadian?!"
"Soalnya—"
"Soalnya apa?!" Alma memberondong dan Injun tidak habis pikir bagaimana bisa adik perempuannya yang manis bisa lebih nge-gas dari ibu-ibu pedagang cabe yang sedang adu-otot dengan pembeli dalam masalah tawar-menawar harga.
"Belum ada tanggal cantik."
"ABANG!"
"I—iya?"
"Abang goblok!"
"Alma!" Bang Ali memperingatkan.
"Maaf. Tapi jangan salahin aku juga dong! Abangnya salah!"
"Salah dimananya?" Injun menukas polos.
"Abang kira, perasaannya Kak Lala sebercanda masalah tanggal cantik?!"
"Hng..."
"Kalau abang mikir gitu, ya berarti abang goblok."
Kalimat Alma menghantam Injun secara telak. Lalu entah bagaimana, kata-katanya terngiang. Bergema, enggan pergi walau hanya sebentar dari dalam kepala Injun.
Abang kira, perasaannya Kak Lala sebercanda masalah tanggal cantik?!
Kalau abang mikir gitu, ya berarti abang goblok.
*
Perasaan Nana secampur-aduk itu tatkala dia memberanikan diri menarik laci meja kamarnya, langsung menampilkan sebuah buku yang lama tidak dia sentuh. Buku tempatnya menulis kata-kata—yang kata Ayah dulu, sangat bisa dikembangkan jadi lirik lagu. Isi halamannya macam-macam. Coretan-coretan emosional setiap kali Nana sedih. Lirik lagu yang sangat gombal buat Kasa—yang hingga sekarang tidak pernah Nana lengkapi dengan nada, catatan-catatannya tentang harapan, kerinduannya untuk memiliki seseorang yang bisa dia sebut ibu. Jika hidup Nana itu pesawat, maka buku tersebut adalah kotak hitamnya. Curahan semua perasaannya.
Nana jarang menulisi buku itu setelah Ayah tidak ada. Dia lebih sering menulis di sembarang kertas, yang kebanyakan diantaranya berakhir di tong sampah. Tidak berguna, terbuang, seperti bagaimana dia membuang jauh-jauh keinginan untuk naik ke atas panggung sebagai Jevais Nareshwara, bukannya pianis harian yang tersembunyi dalam bayang gelap. Seperti bagaimana dia berusaha melupakan tanyanya tentang bagaimana rasanya punya seseorang untuk dipanggil 'ibu'.
Hari ini, Nana membukanya lagi.
Bukan untuk menulis lirik, atau bercerita tentang kesedihan, namun untuk membuat sesuatu yang lebih penting daripada itu. Semula, eksistensi band mereka dimulai hanya untuk membantu Jeno menyelesaikan masalahnya dengan Dean. Namun sekarang, Nana merasa... band mereka punya makna lebih dari itu. Terakhir kali, diskusi mereka tentang lambang band tidak membuahkan hasil. Sekarang, Nana merasa berhutang. Usai pertemuannya dengan Terry di lapangan sekolah sore tadi, Nana merasa dia tidak bisa menemui Terry tanpa membawa sesuatu.
Lambang band mereka, bisa jadi sesuatu yang dia butuhkan itu.
Dalam keheningan kamarnya, Nana berpikir keras. Tadinya, dia ingin menggunakan lambang tengkorak, soalnya maskot Markas mereka kan Iteung si tengkorak. Namun setelah dipikir lagi, sepertinya alih-alih bakal bikin Terry terharu, itu justru hanya akan bikin Nana dapat geplakan gratis di punggung. Jadi dia berpikir lebih serius sambil mengingat-ingat simbol apa saja yang pernah dia lihat dan punya makna mendalam—hingga akhirnya, secara tak sengaja, ingatannya tersasar pada nama game online yang dulu pernah dimainkannya.
Mereka menyebutnya Coyote's Tale.
Well, itu hanya game biasa dan sejujurnya, tidak begitu berkesan. Namun seingat Nana, Kasa pernah bilang coyote—atau yang biasa disebut juga anjing hutan—berbeda dengan serigala. Kata-kata Kasa bukannya tanpa alasan, soalnya waktu itu Nana mempertanyakan kenapa nama gamenya Coyote's Tale, bukannya A Wolf's Tale dan ternyata, hewan yang ada di sana memang bukan serigala.
Nana berpikir sebentar, lalu memutuskan meraih ponsel untuk mencari tahu makna dari coyote itu sendiri dan dukun dari semua permasalahan umat manusia alias Google langsung memberinya sederet jawaban super lengkap. Nana meng-klik salah satu link, langsung disambut oleh sebentuk paragraf.
Sebagai hewan sakral, anjing hutan muncul ketika kamu merasa kamu kehilangan jalan.
Anjing hutan menjadi simbol untuk jawaban semua masalahmu, yang datang melalui jalan dan dalam bentuk paling tidak terduga.
Anjing hutan dapat hidup dan ditemukan di mana saja.
Mereka tangguh, mampu bertahan hidup di gurun, pantai, utan dan gunung karena mereka belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang senantiasa berubah-ubah.
Nana tersenyum. Dia rasa dia sudah menemukan lambang yang tepat untuk band mereka.
*
Sesuai dengan ucapan Terry pada Nana di lapangan sekolah, di akhir pekan mereka bertiga menyambangi tempat tinggal Terry. Tidak seperti biasanya, Terry tidak turun untuk menjemput mereka di lobi. Justru, resepsionis di belakang meja meminta salah satu pihak keamanan mengantar mereka ke atas. Ketiganya tidak mengatakan apa-apa, membisu sepanjang perjalanan hingga pihak keamanan yang mengantar meninggalkan mereka di depan pintu unit apartemen Terry yang tertutup. Nana menghela napas panjang, sempat menatap pada Injun dan Jeno bergantian sebelum dia mengetuk pintu.
Beberapa kali mengetuk, masih tidak ada jawaban apalagi tanda-tanda pintu akan dibuka. Nana menyerah, mengeluarkan ponsel dan mengetikkan pesan di groupchat mereka. Seperti tebakannya, pintu dibuka dalam hitungan detik. Wajah Terry muncul. Lelaki itu kelihatan lebih baik daripada saat Nana bertemu dengannya di lapangan sekolah kemarin, walau masih kentara jika dia kurang tidur. Dia tersenyum, namun mereka tidak.
"Nggak bisa bersyukur ya kalian? Udah untung saya senyumin."
"Nggak ada yang untung dalam situasi kayak sekarang." Nana membalas. "Kenapa bapak baru buka pintu waktu udah saya chat?"
"Tadi saya lagi di toilet."
"Lagi di toilet... atau karena bapak nggak dengar suara ketukan pintu?"
"Jevais—"
"Kayaknya yang kedua."
"Kita bisa bicara lebih jelas soal itu nanti. Sekarang, kalian masuk dulu."
Nana masih ingin mendebat, tapi memutuskan menutup mulutnya rapat-rapat dan masuk lebih dulu, diikuti oleh Jeno dan Injun yang saling sikut. Mereka kelihatan bingung. Wajar. Namun Nana penasaran, seandainya saja Injun dan Jeno ikut mendengarkan apa yang diucapkan Terry di lapangan kemarin, akankah mereka merasa sesedih, semarah dan sekesal dirinya sekarang.
"Jadi, saya mau ngomong—"
"Bentar, Pak." Injun menyela. "Nggak enak kalau ngomong nggak pake es sirup atau minimalnya es teh lah. Takut seret gitu kan apa tiba-tiba keselek."
"Injun—"
"Konon katanya ada orang yang mati karena keselek loh, Pak. Namanya umur ya emang nggak ada yang tahu tapi usaha nggak ada salahnya, kan?"
"Artajuna—"
Injun mengabaikan panggilan Terry, malah melirik pada Jeno yang sontak beranjak sigap. "Kalau bapak nggak mau bikinin, biar saya yang bikin."
Terry menghela napas, hanya bisa pasrah ketika Jeno bergerak menuju dapurnya, membuka kulkas dan menuang sirup, air berikut es batu ke dalam empat gelas. Terry tidak pernah menghitung telah berapa kali mereka menginap di tempatnya, namun yang jelas cukup sering untuk membuat ketiga anak itu mengenal tempat tinggalnya lebih baik dari dirinya sendiri.
"Tumben ada es krim di kulkas." Jeno berkata ketika dia kembali dengan nampan berisi empat gelas es sirup di tangan.
"Kamu mau?"
"Mau."
"Makan es krim bisa menunggu nanti." Nana membalas cepat.
"Oke. bener. Tapi Pak Toil minum dulu."
"Saya nggak haus."
"Emang. Tapi apa bapak tega sama Jeno yang udah capek-capek bikinin bapak es sirup? Tangannya Jeno yang lemah nan lembut itu harus merah-merah terkena dinginnya es batu. Coba bapak bayangkan—"
"Oke sip. Saya minum." Terry memotong sebelum Injun memulai sesi kuliah tujuh menit yang tak diinginkan.
"Jadi gini," Terry berdeham usai dia menelan beberapa teguk es sirup yang dihidangkan Jeno, menatap lekat dan bergantian pada ketiga remaja yang duduk berdempetan di depannya. "Saya mau bilang kalau saya sudah berhenti mengajar. Saya bukan lagi wali kelas kalian."
Jeno dan Injun berpandangan, sementara Nana tidak kelihatan terkejut sama sekali.
"NGGAK BISA!"
"Bapak, kalau nggak ada bapak, terus yang jadi wali kelas kita siapa?" Jeno bertanya, wajahnya memelas.
"Kan ada guru lain."
Jeno menggeleng kuat-kuat. "Nggak mau guru lain! Maunya bapak!"
"Aduh tolong ya, dari awal saya tuh bukan guru beneran. Jadi—"
"Atuh lah bapak, orang waras juga bisa tau dalam sekali lihat! Mana ada guru sontoloyo kayak bapak?!"
"HEH!"
"Muehehe."
Terry berdecak. "Saya serius. Saya sakit dan saya nggak akan bisa sembuh. Saya nggak bisa terus-terusan mengajar. Dan Nana benar soal yang tadi. Ketukan pintu itu, bukannya karena saya lagi di kamar mandi makanya saya lama buka pintu, tapi karena saya nggak dengar."
"Kalau gitu sudah pasti lah, Pak, Rukyah Ustadz Aang jawabannya! Saya curiga bapak kesurupan setan budek, jadi mari kita rukyah aja. Tenang, Pak, Ustadz Aang mah nggak pasang tarif! Seikhlasnya aja kata beliau. Begitulah ya kalau orang udah ikhlas dunia-akhirat, seluruh hidupnya hanya untuk yang Maha Kuasa."
"Artajuna—"
"Bapak nggak perlu malu. Soal setan budek dan nongkrong di rel, saya udah dengar ceritanya dari Nana! Rahasia bapak aman bersama kita. Tapi nggak tahu ya kalau bapak beneran caw dari sekolah. Mungkin bakal kita bocorin. Kalau perlu, sampai Deddy Corbuzier juga tahu!"
"Apa hubungannya apa Deddy Corbuzier?!"
"Nggak ada, sih. Cuma keinget dia aja."
"Injun, saya serius."
"Saya juga serius."
"Nggak." Terry berujar tegas. "Dengerin saya. Kalau kalian mau bikin saya senang, kasih saya waktu untuk diri saya sendiri. Nggak perlu mencari saya. Belajar yang baik. Bagusin nilai kalian. Dan soal band itu, karena kata Jeno urusan sama Sariffudin udah selesai dan—"
"Kita tetap ikut." Nana berkata dengan suara tenang, namun tak bisa dibantah.
"Apa?"
"Kita bertiga sepakat, kita bakal tetap ikut kompetisi itu. Bukan buat Dean, tapi buat Bapak."
Terry mendengus. "Saya nggak butuh."
Nana mengabaikan kata-kata Terry. "Sekarang sebagai gantinya, kita mau bapak berhenti ngomong. Bilang sama kita kalau sakit. Bilang sama kita kalau sepi."
"Saya nggak mau."
"Bapak nggak bisa nolak." Nana menyahut seraya merogoh saku jaketnya, mengeluarkan selembar kertas yang Terry berikan pasca geger akibat keberadaan bantal Seohyun dulu. Kertas itu kertas kosong. Terry memberikannya pada mereka, masing-masing satu lembar, memberi mereka keinginan yang bagaimanapun juga, tidak akan bisa Terry tolak. Kertas itu adalah tiket keinginan yang harus dikabulkan, selama tidak melanggar hukum dan bukan tindakan yang menyakiti orang lain. "Saya mau pakai tiket ini. Bapak harus izinin kita temenin bapak sampai sembuh."
"Sudah saya bilang, saya nggak akan bisa sembuh!"
"Belum dicoba, bapaaaaaak!" Injun menimpali. "Lagian, bapak nggak bisa ngusir kita bertiga gitu aja. Kita bertiga masih budak bapak. Masak bapak amnesia?!"
"Kontrak perbudakan saya sama kalian tuh udah berakhir minggu lalu! Kan cuma sebulan!"
"Oh, masa?"
"Kamu bisa cek sendiri."
"Yaudah! Perpanjang lagi aja!"
"Bener!" Jeno setuju. "Jadikan kita budak bapak!"
"Kalian tuh—"
Mereka masih berdebat tatkala pintu yang memang tidak dikunci tiba-tiba terbuka, disusul munculnya seraut wajah milik sesosok remaja. Nana, Injun dan Jeno terperangah. Anak itu jelas seumuran mereka. Reaksinya pun serupa, dia juga kelihatan terkejut.
"SIAPA KAMU?!" Injun sudah memekik heboh sebelum ada diantara mereka yang bisa bicara. Cowok itu berpikir, lalu berseru tak percaya sambil memandang Terry dengan sorot mata penuh luka. "Ah, tunggu!"
"Tunggu apa?"
"JANGAN-JANGAN INI ALASAN KENAPA BAPAK NGGAK MAU JADI GURU KITA LAGI! KARENA BAPAK UDAH NEMU MURID BARU! IYA, KAN?! BUSET, BAPAK JAHAT PISAN!"
"Injun, saya bisa jelaskan. Dia ini Yeda, dan dia—"
"NGGAK ADA PENJELASAN-PENJELASIN! ASTAGFIRULLAH! BAPAK TUH YA KAYAK FUCCBOI AJA HABIS MANIS SEPAH DIBUANG! DOSA, PAK! DOSA!"
Nana dan Jeno speechless. Yeda apalagi.
"Jeno, tunggu apa lagi?!"
"Apa?"
"SERGAP DIA!"
bersambung ke twenty third note
***
Catatan dari Renita:
haloh. ea di sini saya hanya ingin memberitahu kalau sepertinya kita akan berpisah di chapter 24 atau 25 + closing dari jevais wkwkwk
apa yang akan terjadi nantinya?
lets seeeeeeee wkwk
gue tau kalian pengen liat gemes-gemesan antara jeno-giza, nana-kasa dan injun-lala, well, we'll see more of them nanti, karena untuk DLP ini sendiri lebih berfokus ke jeno-nana-injun dan pak terry.
soal yeda gimana?
ya kita liat ntar wkwk
dah kayaknya itu aja dulu.
makasih buat yang udah meninggalkan vote dan selalu nyempetin comment. doain aku bisa sidang akhir sebelum akhir september.
semoga kalian juga sehat dan sukses selalu.
see you in next chapter luvs
ciao.
Semarang, August 19th 2019
20.57
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro