Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

twentieth note

Silence, too, can be torture.

—Justina Chen Headley—

*

"Pak Terry sakit."

Nana hanya menjawab sekenanya ketika semua orang mengangkat alis kala dia memberitahu mereka tidak jadi makan-makan untuk merayakan keberhasilan penampilan mereka di Pensi. Ryona sempat ingin menyahut, tapi memilih bungkam kala dia melihat kecemasan di wajah Nana, yang berusaha remaja itu tutupi. Tangannya melingkar di lengan Terry. Ryona tidak tahu persis seperti apa hubungan Terry dengan Nana-Jeno-Injun, namun kelihatannya mereka cukup dekat. Siapa yang mengira jika tiga remaja berkelakuan semaunya yang hobi cengengesan tanpa kenal waktu bisa tiba-tiba tampak secemas itu?

Mereka berpisah di gerbang sekolah. Mama Injun pulang bersama Kasa. Mama Jeno bersama Bongshik—tadinya, Bongshik ogah berpisah dengan budaknya. Jeno sampai harus menenangkan Bongshik, bilang kalau ada urusan penting. Untungnya, Bongshik mengerti dan berhenti merajuk. Jadi Jeno bisa ikut mengantar Terry pulang bersama Nana, Injun dan Ryona. Sepanjang perjalanan, tidak ada dari mereka yang bicara. Terry menatap keluar jendela dengan wajah muram.

Begitu tiba di lobi, Terry berhenti melangkah, memandang bergantian pada tiga siswanya. Suaranya serak kala dia bicara. "Kalian bisa pulang."

"Tapi, Pak—"

"Sekali ini aja, bisa dengerin saya?"

Jeno, Nana dan Injun berpandangan sebelum ketiganya kompak menghela napas diikuti anggukan. Nana beralih pada Ryona, tapi sebelum dia sempat bertanya, Terry lebih dulu berujar. "Saya ada perlu sama Tante Ryona. Kamu duluan aja."

"Hng... perlu?"

"Bukan urusan anak kecil."

Nana merengut, membuat Ryona bertanya-tanya bagaimana bisa anak dengan wajah dan penampilan seperti Nana terlihat cute layaknya balita yang tengah merajuk. "Yaudah. Saya pulang. Tapi janji loh ya, kalau ada apa-apa, bapak harus kasih tahu kita?"

"Nggak janji."

"Kalau gitu, saya nggak mau pulang!"

"Gampang. Tinggal suruh satpam usir kamu."

"Kita bakal kemah di depan. Bikin tenda." Injun mengusulkan. "Sekalian bikin api unggun sama bawa panci Indomie. Bapak sukanya rasa ayam bawang apa rasa soto?"

"Ck. Iya, nanti saya kasih tahu."

Jeno manggut-manggut, melirik pada Nana dan Injun, lantas mereka berbalik untuk selanjutnya melangkah menjauhi lobi. Ketiganya terutama Nana kelihatan tidak rela, tapi mereka menghargai keinginan Terry. Terry baru ganti menatap Ryona setelah memastikan tiga siswanya sudah benar-benar lenyap dari pandangan.

"Ada sesuatu yang mau saya bicarakan dengan kamu. Terkait Jevais."

Ryona mengangguk dan Terry lanjut berjalan. Lift yang membawa mereka ke lantai atas kosong. Sejenak, Ryona merasa canggung sebab Terry diam saja. Mata lelaki itu memandang kosong pada pantulan wajahnya sendiri di panel tombol lift yang terbuat dari logam mengilap.

"Kamu... sakit?"

Terry menoleh. "Tiba-tiba peduli?"

"Cuma ingin tahu. Jevais kelihatan secemas itu sama kamu."

Terry terperangah, mengerjap beberapa kali seakan-akan Ryona baru saja bicara dalam bahasa alien. "Apa kata kamu tadi?"

"Jevais kelihatan cemas sama kamu."

"Dia lagi kaget aja."

"Nggak." Ryona menyergah. "Bukan hanya Jevais, dua temannya juga... mereka sama-sama khawatir."

Terry tertawa sarkastik. "Itu jelas bisa masuk keajaiban dunia nomor delapan."

"Saya serius."

"Dan saya juga serius. Kamu nggak tahu apa-apa soal hubungan saya dengan tiga anak itu, jadi sebaiknya jangan sok tahu." Terry mendengus tatkala lift berhenti di lantai yang mereka tuju. Dia berjalan keluar, masih diikuti oleh Ryona.

Kesan pertama Ryona terhadap apartemen Terry adalah: tempat itu kelihatan suram, seolah-olah seluruh warna telah dihisap habis dari sana. Satu-satunya yang membuat tempat itu terkesan hidup hanya kumpulan foto dalam pigura di atas sebuah meja dekat sofa. Pasti bukan Terry yang meletakkannya di sana, sebab wajah-wajah tersenyum dalam foto itu adalah milik Jeno, Injun dan Nana. Ada foto lainnya di sebuah ruangan mirip laboratorium, memotret sosok Terry yang sedang tidak melihat ke kamera, Jeno yang tertawa dan Injun yang merengut. Ada tengkorak berbaju dan berambut palsu di sudut ruangan. Ryona duduk, mengamati foto itu sebentar sampai Terry keluar dari kamarnya dengan sebuah kotak di tangan.

"Foto yang bagus."

Terry mengernyit. "Ah. Saya udah bilang ke anak-anak itu, jangan suka bawa-bawa barang nggak penting ke apartemen saya."

Ryona menarik senyum tipis. "Kamu punya banyak waktu buat membuangnya, tapi tetap membiarkannya. Sekarang, saya rasa saya ngerti."

"Terserah." Terry enggan berdebat lebih jauh, langsung duduk dan menaruh kotak ke atas meja. "Om saya menitipkan ini ke saya. Buat kamu. Katanya, mungkin suatu hari nanti kamu perlu. Saya skeptis, walau hari ini membuat saya berpikir kamu sungguh-sungguh. Seenggaknya, kamu bikin Jevais senang dengan kehadiran kamu."

Ryona mengangkat alis, meraih kotak itu. "Harus saya buka sekarang?"

"Terserah. Kotak itu sekarang jadi punya kamu."

Ryona ragu sebentar, namun dia mencoba memberanikan diri. Kotak itu cukup besar dan agak berat. Jemarinya bergerak mengangkat penutupnya dan seketika, jantungnya serasa meluncur jatuh ke perut.

Benda pertama yang dia lihat adalah kotak cincin dan selembar undangan pernikahan. Undangan yang berakhir bersama kesunyian dalam kotak gelap. Pernikahan yang kandas sebelum dilangsungkan. Cincin yang tak sempat menyentuh jemari manapun, teronggok tanpa guna dalam beludru. Tangan Ryona bergetar seketika.

"Ini..."

"Om saya mencintai kamu, sampai akhir."

Kata-kata Terry tidak membantu, malah menebar perih. Benda-benda itu membuat Ryona teringat pada masa di mana hidupnya masih baik-baik saja. Puluhan lalu, ketika dia masih gadis muda yang menjalani hidup sesukanya. Lelaki itu mencintainya. Dia mencintai lelaki itu. Semudah itu, keduanya berjanji untuk selalu bersama seterusnya, layaknya akhir dari sebuah cerita dongeng yang selalu bahagia.

Namun tentu saja, hidup bukan cerita dongeng.

Dulu, Ryona sering berandai-andai. Jika dia bisa memutar waktu, dia akan kembali, berteriak pada dirinya sendiri untuk tidak pergi malam itu. Kalau perlu, dia akan menampar, menjambak dirinya berkali-kali karena sudah berpikir betapa menariknya sosok vokalis yang tampil di atas panggung. Dia akan mengomel, menyeret dirinya sendiri sebelum alkohol berlebih mengaliri sistemnya, membuatnya tidak lagi bisa membedakan mana yang ilusi dan mana yang realita. Dia akan menyuruh dirinya sendiri menolak bunga yang diberikan oleh si vokalis dari atas panggung. Dia akan membuat segalanya jadi baik-baik saja.

Sayangnya, itu hanya angan dan angan tidak bisa mengubah kenyataan. Malam itu sudah berlalu. Hari dimana dia terbangun dengan pria asing di sampingnya telah terlewat.

Ryona membenci pria itu, sebab pria itu membuat segalanya tidak jadi lebih mudah. Berbeda dengan kebanyakan laki-laki brengsek yang hanya akan meninggalkannya begitu saja, pria itu justru merengkuhnya, memeluknya dan berkata dia akan melakukan apa yang Ryona ingin dia lakukan.

Ryona membenci pria lainnya, yang kata Terry mencintainya sampai akhir, karena pria itu tidak menunjukkan reaksi yang dia harapkan. Pria itu tidak marah, apalagi meninggalkannya. Pria itu malah menegaskan, bahwa apa pun yang terjadi, dia akan selalu ada untuk Ryona.

Dan di atas segalanya, Ryona membenci dirinya sendiri.

Dia menghancurkan mereka berdua—ayah Nana, dan Om Adjie.

Satu-dua air mata menitik, jatuh meluncur berkejaran di pipinya.

"Jevais." Terry bergumam tiba-tiba, membuat Ryona mengangkat wajah. "Pastikan kamu nggak menyakiti dia. Jangan bikin saya merasa bodoh karena udah kasih kamu izin kenal sama dia."

"Izin?"

"Sejak hari kamu nyerahin dia ke ayahnya dan ninggalin dia, kamu nggak punya hak apa-apa lagi atas hidupnya."

Kata-kata Terry membuat Ryona teringat pada saat-saat dimana dia ingin anaknya menghilang saja. Bukankah segalanya tidak akan sesulit ini jika anak itu tidak pernah ada?

"Kalau kamu sampai nyakitin dia, kamu bakal berhadapan dengan saya."

Ryona menghela napas, tidak menjawab kata-kata Terry dan menyingkirkan undangan beserta kotak cincin dari kotak. Dia kembali tersekat. Apa yang berada di bawah undangan dan kotak cincin itu adalah kumpulan foto-foto, fotocopy dokumen sekolah dan segala catatan tentang Jevais Nareshwara.

"Kamu nggak pernah melihat dia tumbuh. Mungkin kamu bisa tahu lewat foto-foto itu. Om saya memperlakukan Jevais lebih baik daripada kebanyakan ayah kepada anak kandungnya. Sayang sama dia, lebih dari yang kamu lakukan."

"Ini..."

"Sekarang, bisa kamu pergi? Saya mau sendirian."

*

Nana sempat panik dia diam-diam telah dipecat ketika seseorang dari Gerimis meneleponnya, mengatakan dia tidak perlu datang dan bermain piano hari ini, tapi setelah diberi penjelasan akan tamu spesial yang akan tampil di sana sore ini, Nana mengerti. Jadilah, dia menghabiskan sepanjang sore duduk menghadapi pianonya. Sendirian, tidak ditonton Kasa. Nenek cuek saja, menyapu lantai sambil mendengarkan suara denting piano setiap kali Nana menekan tuts-nya.

"Tumben lagunya sedih. Katanya tadi waktu tampil Pensi lancar?" Nenek bertanya saat beliau masuk ke ruangan dengan sapu di tangan. Nana tertawa kecil. Judul lagu yang baru dia mainkan adalah Beethoven's Silence dari seorang komposer Meksiko, Ernesto Cortazar. Lagu itu memang jarang sekali dia mainkan karena terkesan gelap dan muram. Hari ini, dia senang, tetapi kecemasannya akan Terry membuatnya memilih memainkan lagu itu.

"Nek, mau nanya."

"Nanya apa?"

"Nenek pernah tiba-tiba budek nggak?"

"Aish, kenapa nanyanya gitu?"

"Nanya aja."

Nenek berpikir sebentar, mencoba mengingat-ingat. "Ah ya, pernah!"

"Kapan?"

"Udah lama banget, pas kamu baru bisa buang air, nangis dan minum susu doang."

"Terus sembuhinnya gimana?"

"Pake doa?"

"Hah?"

Nenek menjelaskan. "Waktu itu tuh budeknya gara-gara nenek lewat rel kereta jalan kaki sendirian pas maghrib-maghrib. Tiba-tiba nggak bisa denger gitu, untung nggak ada kereta yang lagi lewat. Kalau nggak ya atuhlah nenek udah almarhum. Katanya nenek ketempelan setan budeg. Kenapa emangnya kamu tiba-tiba nanya gini? Ada teman kamu yang budek mendadak?"

"Nenek tahu guruku nggak?"

"Yang ganteng itu, kan? Tahu lah!" Nenek malah semangat.

"Iya, Pak To—Pak Terry sering budek."

"Wah, dia sering nongkrong di rel kereta kali sore-sore?"

"Nggak tahu, sih."

"Coba tanya, suka nongkrongnya di rel mana."

"Emang kenapa?"

"Biar bisa nenek temenin."

"Yailaaaaaah!"

Nenek tertawa. "Bercanda, Nana! Tapi beneran deh, coba tanyain. Nenek ada rekomendasi Pak Ustadz buat rukyah soalnya."

"Hm... oke, deh. Nanti aku tanyain."

Nana baru menyelesaikan ucapannya ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang dari depan rumah. "Nanaaaaaaaaaa!"

Dari suaranya, Nana sudah tahu itu suara milik Jeno. Benar saja, begitu dia beranjak dan tiba di teras, Injun dan Jeno berada di depan pagar rumahnya. Injun menyikut dada Nana. "Kita tuh udah SMA! Tolong nadanya jangan kayak anak mau beli permen!"

"Terus kayak gimana?"

"Kayak gini, nih. Salamlek—eh, udah keluar tuh orangnya!"

"Kenapa ke sini?"

"Mau minta makan." Injun membalas asal.

"Mau ngajakin ke tempatnya Pak Toil." Jeno menjelaskan. "Soalnya belum ngehubungi dari tadi. Udah lewat beberapa jam."

"Oke, tapi kalau Pak Toil nggak ngejemput kita ke bawah gimana?"

"Nah itu. Kita atur strategi dulu di depan Indomaret."

"Oke, sip."

Nana masuk ke dalam, kembali lagi setelah berganti celana panjang dan memakai jaket. Mereka berjalan bersama menuju minimarket dekat rumah. Ketiganya diam saja, termasuk Injun yang biasanya banyak bicara. Dia tengah terserap ke dalam pikirannya sendiri. Pertama, dia merasa bersalah pada Lala karena sudah pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa. Kedua, dia merasa berdosa pada Terry karena menebak, Terry jadi budek betulan karena ter-tulah oleh kata-katanya.

"Kok diem aja? Lo nggak kebelet boker, kan?" Nana tiba-tiba menyikut Injun.

"Kepikiran Komandan."

"Kenapa?"

"Gue pernah nyumpahin supaya kuping Komandan beneran diambil Allah. Terus sekarang dia budek."

"Nggak juga, sih." Nana menyergah. "Kata Nenek, bisa jadi Pak Toil ketempelan setan budek. Apa kita harus bawa ustadz ya ke rumahnya? Biar sekalian dirukyah?"

"Boleh, lah. Nanti kita diskusiin."

Tidak berapa lama, ketiganya tiba di minimarket yang dimaksud. Begitu masuk, Injun langsung berjalan cepat-cepat ke rak bagian minuman, mengambil sebotol yoghurt, dilanjut mengambil beberapa bungkus snack dan meletakkannya ke meja kasir. Sengaja buru-buru, soalnya kalau bayarnya bareng sama Jeno atau Nana, pasti Nana bakal bilang "bayarin pake duit lo dulu ya, nanti gue ganti."

Sori, tapi Injun tidak akan termakan tipu-muslihat semacam itu.

Dugaan Injun terbukti benar kala Jeno dan Nana tiba di depan kasir pada waktu yang bersamaan. Tanpa dosa, Nana menumpahkan isi keranjangnya dan berujar pada Jeno. "Jadiin satu ya bayarnya? Nanti gue ganti."

Jeno manggut-manggut dan Injun diam saja, menggigit tepi botol yoghurtnya, berusaha menahan diri supaya tidak berteriak, "jangan percaya pada siasat siluman itu, Jeno! Uangmu tidak akan pernah kembali!". Soalnya salah-salah, malah nanti dia yang jadi korban Nana.

Pegal berdiri, Injun memilih keluar dari minimarket lebih dulu dan duduk di kursi yang berada di depan minimarket tersebut. Dia meletakkan plastik berisi snack miliknya di atas meja, kemudian mengeluarkan ponsel. Sempat berpikir sejenak, cowok itu akhirnya mengirimi Lala pesan teks.

artajuna: sayang.

lala: sori, ini bukan line adin.

artajuna: oh ya. yyaudah, maap, geh.

lala: ...

artajuna: hehe, jangan nangis dulu. gue beneran mau line lo, kok.

lala: apa? gue sibuk.

artajuna: sibuk kangen sama gue?

Read.

artajuna: ampun.

artajuna: mau nanya aja, sih.

lala: nanya apa?

artajuna: bapak kamu penghulu ya? 

lala: bukan, kopassus. 

artajuna: yah, padahal kalo penghulu bisa gratisan. 

lala: lo nih serius gasih?!!!

artajuna: iya nih, nanya beneran. 

artajuna: kapan siap dilamar?

lala: ...

artajuna: hehe, ga deng.

artajuna: shavela, suka yoghurt cimory nggak?

lala: ...

lala: sukanya lo.

artajuna: gue anggap gue gak baca.

lala: kalau lo nolak gue, maaf kita ga bisa temenan.

artajuna: emang sejak kapan kita temenan?

Read.

Injun belum sempat mengetikkan balasan ketika Jeno dan Nana keluar dari minimarket, lalu duduk di dekatnya. Nana baru membuka kemasan permen Yupi-nya saat tiba-tiba, perhatian mereka tersita oleh kemunculan sekelompok remaja yang mereka kenali. Itu teman-temannya Dean. Salah satu dari mereka menatap pada mereka dan dalam waktu singkat, dua kelompok remaja tersebut saling beradu pandang.

"Gue deg-deg-an—" Injun berbisik tatkala teman-teman Dean berjalan ke arah mereka. "—apakah ini tandanya cinta?"

*

Sepanjang hidupnya, Terry merasa hanya ada satu orang yang betul-betul memahaminya. Berbeda dari kebanyakan anggota keluarga yang cenderung keras kepala, Om Adjie itu lembut dan pengertian. Dia bisa menciptakan sesuatu yang magis lewat kesederhanaan. Apa yang dia sentuh selalu memiliki keindahan. Selain itu, Om Adjie juga menyukai musik, sama seperti Terry. Mereka terasingkan diantara yang lain karena sesuatu yang sama, namun tidak seperti Terry yang merasa kesal karenanya, Om Adjie malah tertawa dan berkata bahwa terasing adalah takdir tak terhindarkan setiap seniman. Keterasingan mengasah kepekaan dan hanya lewat kepekaan, karya-karya menakjubkan terlahir.

Kalau ada yang menyuruh Terry remaja mendeskripsikan seperti apa Om Adjie dan sebesar apa peran lelaki itu dalam hidupnya, Terry akan butuh waktu berhari-hari. Lucu sekali, sekarang yang terjadi malah kebalikannya. Om Adjie tiada lagi. Semua tentangnya tereduksi dalam tiga kata sederhana: sakit, sepi dan kenangan.

Om Adjie bukan orang yang sempurna. Ada saat-saat Terry mempertanyakan keputusannya. Seperti bagaimana Om Adjie memilih untuk tidak pernah bersama dengan perempuan manapun setelah Ryona. Atau bagaimana Om Adjie terlalu peduli pada seorang anak bernama Jevais Nareshwara seolah-olah anak itu adalah anaknya sendiri. Atau ketika Om Adjie memutuskan mengakhiri hidupnya, meninggalkan Terry dengan banyak pesan untuk orang-orang.

Iya, Om Adjie pergi dengan menitipkan banyak hal pada Terry. Sesuatu untuk Ryona. Sesuatu untuk Jevais. Tapi tidak ada apa pun untuk Terry—bahkan secarik surat, atau sebaris permintaan maaf. Tidak ada. Om Adjie meninggalkan Terry dengan hening.

Kematiannya adalah kehilangan terbesar dalam hidup Terry. Dia limbung. Dia tidak kehilangan orientasi akan dunia. Dia tenggelam dalam kesepian dan kesedihan. Tanpa Aria, boleh jadi Terry sudah mengikuti jejak langkah lelaki itu—memilih memutus hela napasnya sendiri, mengucapkan selamat tinggal pada dunia atas kehendak pribadi. Kehadiran Aria, awalnya membuat Terry yakin dia bisa bahagia lagi.

Tapi yah, tidak ada yang selamanya. Pada akhirnya, Aria juga pergi meninggalkannya. Dia kembali sendiri, tenggelam dalam melodi, menghabiskan malam-malam sunyi bersama suara televisi yang justru makin membuat segalanya terasa menyedihkan.

Orang-orang datang dan pergi, namun melodi tetap tinggal. Terry telah mulai berdamai dengan dirinya, berpikir dia bisa menjalani hidup hingga akhir masa dengan cara seperti ini: mencipta musik sambil menikmati keterasingan di balik tembok-tembok suram.

Kemudian, mimpi buruk itu datang.

Mereka menyebut Tinitus. Itu bukan penyakit, melainkan kondisi dimana telinga berdenging, dipenuhi oleh suara yang seolah-olah berasal dari dalam telinga atau kepala. Tinitus adalah gejala untuk beberapa kondisi atau penyakit, tapi sebabnya tidak dapat dipastikan. Semula, dokternya berkata bahwa gangguan itu bisa saja menghilang dengan sendirinya, namun seiring waktu yang berlalu, gejala yang Terry alami tidak membaik, malah kian memburuk. Dalam kasus Tinitus kronis, hanya seperempat dari total penderita yang bisa sembuh.

Sisanya? Mereka kehilangan pendengaran yang tak bisa disembuhkan, karena tidak adanya kepastian dari apa yang menyebabkan Tinitus tersebut muncul.

Saat mendengar keterangan dokter, rasanya Terry ingin tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Menangis, karena satu-satunya yang tertinggal untuknya, sesuatu yang bernama bunyi, kini turut dunia renggut darinya. Tertawa, karena ternyata sebab ketulian yang dialami oleh pianis klasik favoritnya, Ludwig van Beethoven, adalah sesuatu yang sama. Beethoven memiliki Tinitus, perlahan-lahan kehilangan pendengarannya hingga tuli total pada usia yang tergolong masih muda. Dokternya kelihatan semakin putus asa di setiap pertemuan, membikin Terry yakin jika takdirnya sudah jelas.

Hari-harinya bersama bunyi telah terbatasi.

Terry menarik diri ketika namanya sebagai songwriter tengah berada di puncak. Depresi menggerogotinya pelan-pelan dalam kesendirian. Lalu suatu malam, denging dalam telinganya terdengar begitu bising. Terry menunggu pendengarannya kembali, namun hingga hari berganti, dia tetap tidak bisa mendengar apapun. Kecewa dengan hidup, terlalu patah hati, Terry nyaris menyudahi segalanya dengan menenggak puluhan butir sekaligus.

Nyaris, sebab melalui sebuah kebetulan yang terlalu menyakitkan, Yeda menggagalkan usahanya.

Itu jadi kali pertama Terry melihat Yeda menangis sampai sesenggukan. Tidak hanya sebatas itu, dengan sepenuh emosi, Yeda pergi ke kamarnya, kembali dengan sebuah kotak berisi segala sesuatu tentang Jevais—album fotonya sejak kecil, fotocopy raport dan dokumen sekolahnya, alergi yang anak itu punya, hari ulang tahunnya.

"Kamu mau melakukan itu karena kamu merasa kamu nggak bahagia?!" Yeda membentak, membuat Terry terbungkam sementara air mata mengalir di pipinya. Lelaki itu menangis tanpa suara. "Aku kasih tahu ya, kamu nggak bahagia bukan salah dunia, tapi karena kamu nggak pernah bikin orang lain bahagia! Kamu nggak merasa berarti karena kamu nggak pernah bikin orang lain merasa berarti! Now, go ahead! Kill yourself! Kill yourself and become nothing but corpse! Sana, mati aja!"

Terry bergeming.

"Tapi apa kamu berani ketemu Om Adjie tanpa menepati janji-janji yang udah kamu buat?!"

Satu seruan dan ada banyak hal yang seketika Terry ingat. Lagu Om Adjie untuk Jevais yang belum selesai. Jevais yang telah kehilangan ayahnya dan kini sendirian. Semua janji-janjinya. Harapan Om Adjie agar dia bisa menjaga anak itu.

Terry menggigit bibir, menarik napas dan air mata yang tiba-tiba jatuh di pipinya membuatnya kembali tertarik ke kenyataan. Dia sedang terduduk sendirian di ruang tengah apartemennya, memandang pada bingkai foto berisi wajah tersenyum Injun, Jeno dan Nana. Rasa bersalah menyergapnya. Dadanya sesak, didera oleh sakit yang tak jelas dari mana asalnya. Terry tergugu. Isaknya makin keras kala dia sadar, dia tidak bisa mendengar suara tangisnya sendiri. Lelaki itu mengepalkan tangan, memukul dadanya berkali-kali, berharap rasa sakit yang menggelayut di sana bisa hilang. Namun segalanya sia-sia.

Sakit itu berdenyut, mengguncang sekujur tubuhnya, membuat pundaknya berguncang kian hebat.

Tangannya gemetar saat dia meraih ponsel. Pandangannya kabur oleh air mata ketika dia menatap kontak Nana. Dia ingin bicara dengan siapapun, siapa saja yang bisa mengerti. Tetapi menelepon Nana hanya akan membuat cowok itu khawatir. Jadi Terry mengurungkan niatnya dan malah menelepon Yeda. Sunyi masih bertahan, tetap tidak mau pergi. terry masih tidak mendengar apapun, bahkan nada dari panggilan yang menunggu untuk diangkat.

Teleponnya dijawab, terlihat dari tanda detik yang berjalan, namun Terry masih tidak bisa mendengar apa-apa.

Dia memeluk ponsel itu, menangis keras—lebih dari waktu dia menangisi kematian Om Adjie. Dia tidak tahu, di seberang telepon, Yeda membeku, lalu menyudahi panggilan sembari memutuskan bahwa ini waktu yang tepat baginya untuk kembali ke Jakarta.

Untuk pulang.

*

Jeno menelan ludah, tetapi berusaha berani ketika teman-temannya Dean tiba di dekat meja mereka. Anak-anak itu kelihatan beringas, dengan kulit cokelat terbakar matahari, tato yang tidak terlalu terlihat di kulit yang gelap, rambut pirang hasil semir produk Miranda dan tindik di telinga. Diam-diam Jeno bersyukur, dia sempat menempelkan tato hadiah chiki yang dia beli di tangan. Setidaknya, dia bisa jadi terlihat tidak kalah sangar.

"Lo Jeno, kan?"

"Bukan, dia Ferdi—" Injun sudah berniat berbohong kala Jeno memotong dengan suara tenang.

"Iya. Kenapa?"

"Bagus, kebeneran kita baru mau ke rumah lo. Ternyata ketemu di sini."

Nana bangkit dari duduknya, menyipitkan mata dan bertanya dengan nada nyolot. "Sori, tapi kalau lo pada mau nyari ribut di sini—"

"Ada pesan dari Dean."

"Surat wasiat?" Injun menebak, pura-pura menunduk dan sok merasa berduka. "Yah, mungkin memang sudah waktunya—"

"Bacot!" Salah satu teman Dean mendelik pada Injun yang balik melotot.

"Cangkem!"

"Aduh, kelamaan deh, langsung ke intinya aja! Dean titip pesan ke lo!"

"Apa?"

Temannya Dean menarik keluar sesuatu dari balik jaketnya—yang ternyata selembar kertas. Jeno mengernyit, terperangah saat menyadari kertas itu dibubuhi oleh tanda tangannya dan cap kaki Bongshik.

Lalu secara tidak terduga, salah satu dari mereka merobek kertas itu jadi dua tepat di depan mata Jeno. 






bersambung ke twenty first note

***

Catatan dari Renita: 

ea, hola gaes, jadi gimana apakah di tempat kalian mati lampu? 

hamdallah, jawa tengah area aman wkwk 

jadi, akhirnya disinilah kita berada haha dimana kita akan berakhir nantinya? lets see. 

tapi sekedar catatan, penyakit pak toil itu nggak mematikan. kayak ya... masih bisa hidup kok cuma ya nggak bisa dengar. 

kalian terlalu fokus ama pak toil, tar tau-tau yang metong nana. 

atau jeno. 

atau injun. 

kwkwkkwkwkwkwk

oke deh, kayaknya itu dulu. sampai ketemu di chapter berikutnya! 

ciao. 

Semarang, August 4th 2019 

19.45

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro