Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

twelfth note

A mother's love for her child is

like nothing else in the world.

It knows no law, no pity,

it dares all things and crushes down

remorselessly all that stands in its path.

—Agatha Christie—

*

Apakah cinta seorang ibu dapat diukur?

Dari kecil, Terry tidak pernah dekat dengan kedua orang tuanya. Dia juga bukan jenis orang yang terbuka dan hobi bercerita tanpa diminta. Berbeda dengan Yeda, walau tampaknya, punya bakat cerewet juga tak lantas membuatnya bisa dekat dengan ibu dan ayah mereka. Tapi Terry sangat dekat Om Adjie, bahkan sejak dia hanya anak kelas satu sekolah dasar yang hobi menyepi ke pojok ruangan sambil berlagak sibuk menyusun rubik.

Om Adjie itu adik ayahnya, lebih tua dua dekade dari Terry. Dalam keluarga mereka, Om Adjie bukan tipikal anak kebanggaan yang diceritakan dengan mata berbinar pada anggota keluarga yang lain. Katanya, Om Adjie itu agak urakan, hidup semaunya dan sombong sebab berpikir dia bisa hidup tanpa menggadai mimpi. Om-tante Terry yang lain pernah meledeknya karena datang bersama vespa kusam, tapi tidak berkomentar apa-apa kala suatu kali, Om Adjie pulang bersama mobil licin mengilap usai kesuksesan salah satu lagu buatannya yang dibawakan oleh seorang penyanyi ternama. Om Adjie pernah bilang, hidup itu murah dan yang mahal adalah gaya hidupnya. Sayangnya, gaya hidup tidak bisa menjamin seseorang akan selalu bahagia.

Ucapannya benar.

Terry masih ingat, Om Adjie pernah beberapa kali mengajaknya pergi ke beberapa tempat. Semula, Terry heran karena mereka seperti tidak punya tujuan di tempat yang mereka datangi. Butuh beberapa lama buatnya menarik kesimpulan, bahwa yang membuat Om Adjie datang ke tempat-tempat itu bukan masalah tempatnya, namun kehadiran seseorang yang dapat ditemukan di sana.

"Dia itu... siapa?" Terry bertanya suatu ketika, waktu mereka duduk bersebelahan di bangku seberang sebuah sekolah TK, memandang pada anak bercelana biru yang tengah tertatih meniti tangga perosotan.

"Seseorang yang dicintai oleh orang yang om cintai."

"Hah, maksudnya?"

Om Adjie menoleh pada Terry, lalu menarik senyum lebar. "Namanya Jevais Nareshwara. Nama yang bagus, kan?"

"Dia... anak om?" Terry bertanya hati-hati, tanpa sedikitpun nada menghakimi. Sudah jadi rahasia umum kalau Om Adjie memiliki kehidupan yang berbeda dengan kebanyakan anggota keluarganya. Entah karena apa, dia tidak pernah menikah. Juga tidak terlihat punya pacar. Apa yang Om Adjie lakukan selain mengamati anak bernama Jevais itu dari jauh adalah menenggelamkan diri dalam lembaran bloknot dan alat musik di studionya.

"Dalam kehidupan yang lain, mungkin."

"Terus kenapa om peduli?"

Om Adjie kembali menatap ke kejauhan, lantas jawaban lirihnya terdengar. "Because I feel bad for him."

"Kenapa?"

"He doesn't get the love that he deserves. A mother's love."

"A... mother's love?"

"Iya. Kasih dari seorang ibu. Kasih yang nggak akan bisa diukur dengan apa pun, sampai kapan pun."

Apakah cinta seorang ibu dapat diukur?

Malam itu, Terry menghabiskan setengah jam di kursinya hanya untuk menatap selembar kertas kusut dengan satu torehan kata: Jevais.

Keesokan harinya, selepas jam sekolah dia sengaja berkunjung ke rumah Jeno. Bukan buat ketemu Bongshik, apalagi Jeno, tapi untuk ketemu mamanya Jeno. Bongshik yang meskipun jantan ternyata punya naluri kuat memperbanyak budak-budak tampan langsung ndusel-ndusel manja waktu Terry datang. Jadilah dia duduk di pangkuan Terry sepanjang Terry bicara dengan Mama Jeno di ruang tamu—kucing itu bahkan mengabaikan kehadiran Jeno yang memandangnya cemburu. Terry bercerita soal insiden tawuran tempo hari, keberadaan Jupe, masalah antara Jeno, Dean dan Giza (juga sedikit keterlibatan Jupe dan sobat lekongnya) hingga taruhan antara Jeno dan Dean yang disaksikan Bongshik. Jeno menunduk dalam-dalam saat Terry bercerita, sementara Bongshik malah mengeong beberapa kali—mungkin bangga karena dia jadi kucing pertama di dunia yang membubuhkan cap kaki di surat bermaterai.

Mama Jeno tampak tidak percaya awalnya, perlu menghela napas dalam beberapa kali sebelum bicara. "Jeno,"

"Iya, Ma?"

"Mama nggak nyangka kamu temenan sama banci."

"Kak Jupe—"

"Tapi Mama lebih nggak nyangka lagi kalau ternyata anak Mama sudah besar dan bisa naksir cewek."

Wajah Jeno memerah, sementara Terry malah menahan ketawa. "Karena itu, saya perlu bantuan Tante."

"Bantuan apa ya?"

"Bantuan buat membujuk Na—maksud saya Jevais, supaya mau ikut tampil bareng Jeno dan Artajuna." Terry menyahut, lalu mulai menjelaskan soal bantuan yang dia maksud. Mama mendengarkan, lantas setuju. Mereka sempat mengobrol sejenak, banyaknya Terry bercerita tentang kelakuan Jeno di sekolah—yang menuai protes Jeno karena Terry menjatuhkan harkat dan martabatnya bukan hanya sebagai seorang anak, tapi juga seorang siswa. Mama tertawa, kemudian membiarkan Terry dan Jeno berdua bersama Bongshik di ruang tamu.

"Bapak tuh kebanyakan pencitraan!" Jeno protes sambil manyun.

"Loh, emang bener toh ya kamu udah bikin kepala saya benjol pake bola tenis waktu itu!"

"Tapi bapak nggak bilang apa-apa ke Mama saya soal surat kontrak perbudakan dan grup Sontoloyo!"

Ekspresi wajah Terry berubah sedikit. "Bisa digepuk saya sama Mama kamu kalau dia tau."

"Curang. Bapak malah pencitraan, berlagak kayak bapak guru paling the best sesekolahan!"

"Emang saya the best, kan? Guru mana lagi yang ngizinin anak muridnya yang babak-belur tinggal di rumahnya? Guru mana lagi yang neraktir anak muridnya makan makanan enak di mal? Hayo, mau jawab apa kamu?!" Terry malah sewot sebelum dia menunduk, menatap pada Bongshik yang kini sudah ngorok di pangkuannya. "Kucing kamu nih pindahin. Saya mau ke toilet."

"Dia tidur?"

"Kalau kucing kamu asli Nepal, mungkin dia lagi meditasi. Tapi karena kucing kamu ini tampangnya asli Lenteng Agung, maka kemungkinan besar dia tidur."

"Nggak bisa tiba-tiba dipindahin, Pak. Nanti dia syok!"

"Hah, emang bisa?!"

"Bisa. Terakhir Bongshik syok, dia nggak mau makan sampe kurus banget badannya, paha Lisa Blackpink kalah." Jeno menatap horor. "Tungguin bentar, sampai Bongshik bangun."

"Kapan?"

"Biasanya dia tidur minimal setengah jam, sih."

"Lah, terus saya mau ke toilet gimana?!"

"Di tahan aja."

"NGGAK BISA, SONTOL—" Terry baru ingat dia sedang ada di rumah Jeno, kontan buru-buru dia meralat ucapannya. "—maksud saya, nggak bisa, Jeno!"

"Kenapa nggak bisa?"

"INI TUH UDAH DIUJUNG?!"

"Bapak mau poop-ie?"

"..."

"Atau mau berak?"

"Sama aja!" Terry mendengus. "Nggak dua-duanya."

"Oh, pipis berarti."

"Iya! Terus kucing kamu ini gimana?!"

Jeno diam sebentar, kelihatan berpikir sebelum berujar. "Yaudah, saya coba bangunin pelan-pelan."

"What the—" Kata-kata Terry tertahan di tenggorokan kala Jeno berjongkok di depannya, menepuk pelan badan Bongshik seperti layaknya dia tengah membangunkan balita yang ketiduran.

"Bongshik... Bongshik... bangun, dong. Bongshik..."

"Kalau kamu ngebisik kayak gitu, gimana Bongshik mau bangun?!"

"Dia gampang syok, jadi kudu lemah lembut."

Terry menghela napas panjang. Perlu beberapa menit bagi Jeno buat membangunkan Bongshik tanpa bikin kucing itu tersentak dan Terry berani bersumpah, itu adalah menit-menit terpanjang dalam hidupnya. Untung, Bongshik bisa dibangunkan sebelum dia melakukan sesuatu yang memalukan seperti mengompol di ruang tamu rumah orang.

Malam ini, Terry sengaja menghadirkan bukan hanya Jeno dan ibunya, tapi juga Injun, Nenek dan Kasa. Mereka menyaksikan permainan piano dari sudut ruangan. Nenek terdiam saat Nana mulai menangis. Apa yang terjadi ketika denting suara piano terhenti adalah sesuatu yang tidak Terry duga. Mama Jeno berjalan begitu saja dari sudut ruangan, terlihat tenang meski puluhan pasang mata tertuju padanya. Dia mendekat, kemudian menarik Nana ke dalam sebuah dekapan. Air mata itu terisak dalam pelukannya, membuat Mama Jeno mengeratkan rengkuhannya sambil menyentuh lembut rambut di belakang leher Nana.

"Permainan piano yang indah." Mama memuji sambil tersenyum pada Nana usai pelukan mereka terlepas, dan seperti baru tersadar dari mantra yang menyihir mereka, para pengunjung Gerimis bertepuk tangan. Jeno kelihatan binngung, mengerjap takjub kala menyadari mereka semua memberinya standing ovation.

"Tante... siapa?"

"Itu Mama saya!" Jeno menyela dari kerumunan, membuat Nana terkesiap. Sejenak, ada kecewa membayang di matanya. Namun kemudian senyumnya tertarik lagi.

"Ah ya. Seharusnya saya sudah bisa nebak." Nana berkata pelan. "Makasih, Tante."

"Seharusnya?"

Nana tidak sempat menjawab sebab suara Terry yang bicara menggunakan mic terdengar. Dia menjelaskan sedikit tentang perjanjiannya dan Nana—tanpa bicara soal kompetisi band—dan berkata mereka berjanji melakukan sesuatu untuk yang menang. Pengunjung Gerimis tidak perlu tau soal apa yang akan didapatkan oleh pemenang, mereka hanya perlu menulis satu nama di selembar kertas yang sudah disediakan—entah itu nama Terry atau Jevais—dan memasukannya dalam kotak kaca di meja bartender. Sebagai bentuk apresiasi, Terry menghadiahi pengunjung yang bersedia ikut dalam voting satu minuman gratis.

Tidak butuh waktu lama bagi kertas-kertas itu buat terkumpul. Salah satu pekerja bar menghitungnya dan ternyata hasilnya, Terry lebih unggul satu poin dari Nana, walau Mama, Jeno, Injun, Kasa dan Nenek sudah ikut memberikan suara mereka.

"Sayang banget, Pak." Nana mencibir.

Terry berdeham. "Votingnya belum selesai."

"Maksud Bapak apa?"

"Kita berdua, kamu dan saya, belum voting." Terry berujar. "Dengar apa yang saya bilang sebelumnya? Kamu harus jadi pendukung nomor satu untuk kamu sendiri."

"Apa itu berlaku juga buat bapak?"

"Iya."

"Apa pun itu, nggak akan mengubah hasil yang udah ada." Nana meraih selembar kertas, menulis sebuah nama dan memasukannya ke kotak kaca berlabelkan nama miliknya. "Bapak tetap menang satu suara dari saya, karena gimanapun juga, bapak harus jadi pendukung bapak sendiri."

"Really?" Terry mengangkat alis seraya menyeringai, ikut menulis sebuah nama di kertasnya, hingga secara tidak terduga, dia memasukkan lembaran kertasnya di kotak kaca berlabel nama Nana. "Sekarang, kamu unggul satu suara dari saya."

Napas Nana tertahan. "Tadi bapak bilang—"

"Saya harus jadi pendukung saya nomor satu."

"Kenapa Bapak masukkin kertas bapak ke kotak kaca punya saya?"

"I see my younger self in you." Terry tertawa. "Jadi mendukung kamu sama aja kayak mendukung diri saya sendiri, saat saya masih belum jadi apa-apa. You gotta be your number one supporter, right? I decide to be my younger version's number one supporter. Your supporter."

"Saya nggak bisa—"

"Karena kamu takut Nenek kamu sedih seandainya kamu naik panggung dan main musik?" Terry memotong. "Open your eyes, kid. Nenek kamu ada di sana. Sekarang, lihat ke sana. Apa beliau kelihatan sedih?"

Ragu-ragu, Nana menoleh ke arah yang ditunjuk Terry. Dia sempat takut, tapi ada sesuatu yang berat di bahunya yang terangkat tatkala dia sadar bagaimana cara Nenek memandangnya sekarang. Mata perempuan tua itu berkaca-kaca, berbanding terbalik dengan bibirnya yang menarik senyum.

"Bapak... ngomong sama Nenek saya?"

"Iya."

Nana masih menatap Nenek, merasa sebentuk lega merayap ke dalam dadanya ketika Nenek menganggukkan kepala. "... Nenek... setuju?"

Terry menjawab lagi, masih dengan suaranya yang terkesan tenang. "Iya."

"Kalau gitu..." Nana beralih menatap Terry. "Janji adalah janji."

"Good. You better be true to your words, cause that's what a real man does." Terry balas tersenyum dan Nana tahu, itu salah satu senyum tertulus yang pernah dia lihat dari seorang Tertius Senandika. "Now, I gotta give you time to talk to your girl."

"Girl—oh, hng—Kasa—" Nana langsung nyengir malu-malu ketika dia sadar Kasa tengah berjalan mendekatinya. Nana tidak tahu bagaimana bisa Terry ikut menghadirkan Kasa di Gerimis, karena setahunya, Ayah Kasa sangat galak dan bukan jenis yang bisa segampang itu membiarkan anaknya keluyuran malam-malam. Kasa ikut tersipu, membuat kepala Nana tiba-tiba terasa ringan. Akan tetapi, cowok itu tahu dia masih jadi pusat pandangan dari sebagian orang dalam bar, sehingga cepat-cepat, tangannya meraih lengan Kasa, menarik cewek itu ke samping bar.

Di luar, suasananya lebih sepi. Bagian samping Gerimis menghadap ke taman mini berlapis rumput hijau, deretan semak dan beberapa tanaman bunga. Lampu taman bersinar temaram, menyepuh rerumputan di dekatnya dengan semburat perak.

Ketika mereka sudah berhasil meloloskan diri dari pandangan orang-orang, Kasa menarik tangannya lepas dari genggaman Nana, hanya untuk balik meraih jari-jari cowok itu ke dalam genggamannya. Nana terperangah sebentar, lalu dia menunduk sedikit, menatap tangan Kasa, sebelum akhirnya cowok itu menyelubungi jari-jari Kasa dengan telapak tangannya yang lain. Hangat. Tangan Nana yang lebih lebar bisa dengan mudah membungkus jemari Kasa.

"Tadi itu... bagus."

"Kasa,"

Kasa menengadah sedikit untuk memandang Nana yang lebih tinggi darinya. "Aku selalu suka lihat kamu main piano."

Nana nyengir. "Kasa, makasih udah datang."

"Makasih... untuk permainan bagusnya."

"Kasa,"

"Mm-hm?"

"Aku boleh peluk?"

Kasa mengangguk dan Nana tidak butuh menunggu lebih lama. Cowok itu menarik Kasa ke dalam pelukan. Lengannya melingkari Kasa, membuat cewek itu jadi kelihatan lebih mungil lagi. Nana membiarkan hidungnya terkubur oleh helai rambut gadis dalam dekapannya, menarik napas dalam-dalam dan begitu saja, rengkuhannya semakin erat.

Nana merasa agak sedikit tidak rela ketika pelukan mereka mesti terlepas, tapi matanya mengerjap saat Kasa membawa telapak tangannya ke dada Nana, meletakkannya tepat di tempat di mana detak jantungnya bisa terasa. "Aku nggak tau apakah kamu lagi baik-baik aja atau nggak, tapi aku tahu kalau kamu sekangen itu sama Mama kamu, meski kamu nggak pernah ketemu dia. Aku nggak tau, apakah suatu hari nanti kamu bisa ketemu Mama kamu atau nggak, tapi apa pun yang terjadi, Jevais Nareshwara, aku janji akan selalu ada buat kamu."

Nana tidak menjawab, namun matanya menatap lekat pada Kasa. Lantas perlahan, cowok itu membungkuk, mempersempit jarak diantara wajah mereka. Semula, Nana bermaksud mencium pipi Kasa, tetapi suara dehaman yang terdengar mendadak membuat Kasa tersentak dan gerak Nana terhenti. Cowok itu mengerjap, agak frustrasi, hingga akhirnya memilih memberikan satu kecupan di antara dua alis Kasa.

"Sori, bisa saya ngomong sama Jevais sebentar?"

"Bapak mau ngomong apa lagi?"

Kasa tertawa, terdengar agak canggung bercampur malu. "Nggak apa-apa. Aku bisa tunggu di dalam."

"Oke."

Wajah Kasa merona ketika dia melewati Terry yang lanjut mendekati Nana dengan segelas iced Americano di tangannya.

"Puas banget ya bapak ganggu saya?"

"Kamu masih terlalu muda buat mencium cewek di bar."

"Saya mau cium pipinya, bukan ciuman mesum kayak yang bapak pikir!"

"Awalnya pipi, terus meleset dikit sampai ke bibir. Terus meleset dikit lagi sampai ke leher. Terus—"

Nana memotong pedas. "Sori, saya bukan bapak."

"Saat saya seumur kamu, saya sudah punya fantasi tersendiri soal perempuan. Wajar. Kamu juga nggak usah pura-pura polos. Saya tau kamu pernah nonton film yang hiya-hiya."

"itu untuk—"

"—riset?"

Nana mati kutu, sementara Terry tertawa sebelum akhirnya menyodorkan segelas iced Americano yang belum diminum. "Kamu menang. Ini hadiah dari saya buat kamu."

Nana menerimanya, menyedot seteguk. Dia dan Terry berdiri bersebelahan, sama-sama bersandar ke tembok.

"Maaf." Terry tiba-tiba berujar.

"Buat apa?"

"Sebab saya nggak bisa menghadirkan Mama kamu."

Nana tertawa. "Saya masih belum tau siapa mata-mata bapak atau gimana bapak dapet info tentang saya, tapi yah, jujur aja, nggak apa-apa. Mungkin, bapak nggak tau siapa Mama saya. Wajar. Saya aja nggak tau."

Terry menatap Nana sejenak. "Gimana kalau ternyata saya tau?"

Nana tersedak, balik memandang Terry. "Maksud bapak?!"

"Cuma berandai-andai."

Wajah Nana berubah masam, ada antusiasme yang mendadak redup di matanya. "Hidup udah cukup pahit. Bakal terlalu pahit kalau kita berkhayal atau punya ekspektasi pada sesuatu yang nggak akan mungkin jadi nyata."

Terry mengangkat bahu. "Seperti kamu."

Ada tawa getir yang Nana lepaskan sebelum dia mengangguk setuju dan ikut mengulangi ucapan Terry. "Seperti kopi saya."

*

Hari ini, Injun dikejutkan dengan kehadiran manekin berambut pirang yang Terry colong entah dari department store mana. Cowok itu sempat membeku di ambang pintu Markas sejenak, sebelum akhirnya dia berbalik dan buru-buru ngacir. Geraknya sangat cepat, membuat Terry tidak sempat menghentikannya. Jadilah, Jeno harus puas mendengarkan omelan Terry dalam empat bahasa—Inggris, Indonesia, Betawi dan Sunda—hingga tak lama kemudian, Injun kembali dengan beberapa buah permen karet.

"Ngapain kamu bawa ginian?!"

"Biar dapet tatonya, Pak." Injun nyengir, membuka kemasan permen karet, kemudian mencabut tato hadiah dari tiap permen. Semua dia lakukan sambil mengunyah permen tersebut dan sesekali membuat balon. Terry dan Jeno saling berpandangan, tak memahami maksud Injun sampai akhirnya cowok itu membawa tatonya ke dekat manekin berambut pirang yang Terry tempatkan di sebelah Iteung, lalu menempelkan tato tersebut di leher, lengan dan bagian dekat belahan dada manekin yang menyembul.

"Kamu ngapain?!"

"Biar sangar dikit kayak berbi ibukota. By the way, kenapa bapak bawa dia ke sini?"

"Buat nemenin Iteung."

"Namanya siapa?"

"Oh ya, belom kepikiran."

"Euis aja. Biar bisa jadi sohib sepermainan Iteung."

"Tapi kan rambutnya pirang. Berarti dia bule, dong!" Jeno protes.

"Ya tinggal tambahin Robinson aja di belakang namanya, jadi Euis Robansin—eh Robinson!" Injun menjentikkan jarinya, berlagak seakan-akan dia baru saja menemukan ide paling cemerlang sedunia. "Euis Robinson binti Eric Robinson. Gimana? Keren kan!"

"Terserah kamu aja." Terry memutar bola mata. "Oh ya, Nana ke mana? Kok saya nggak lihat dari pagi."

"Sakit."

"Buset, kok bisa?!"

"Mungkin waktunya udah nggak lama lagi, Pak." Injun menukas asal, sambil nyengir pula.

"Nggak bisa gitu, dong! Saya kan udah keluar duit banyak buat neraktir minum pengunjung satu bar! Masa dia udah mau adios aja!?"

"Nggak tau, emang katanya nggak enak badan beberapa hari ini. Sering gitu, sih. Walau jago nonjok orang, badannya Nana tuh ringkih kayak asbes keropos, Pak. Keseruduk dikit juga retak. Mungkin masuk angin. Kayaknya, besok juga udah masuk lagi."

"Kalau besok belom masuk, kita besuk, oke? Tapi nggak usah kabar-kabari atau nanyain dulu di groupchat. Ogah banget saya disangkain khawatir sama dia."

Jeno manggut-manggut, sementara Injun hanya mengacungkan jempol.

Agenda mereka tidak banyak selepas jam pelajaran sekolah hari itu, karena Nana tidak hadir dan mereka belum bisa memulai diskusi soal penampilan mereka di Pensi tanpa Nana. Tak berapa lama, Injun dan Jeno pulang. Keduanya sempat berjalan bersama sebelum berpisah ke arah yang berbeda. Jeno banyak merenung sepanjang dia menyusuri trotoar, membuat perjalanannya jadi tak terasa.

Kala tiba di rumah, dia disambut oleh bau khas susu yang memenuhi seisi rumah dan suara Mama. Bongshik? Seperti biasa, lagi nonton drama Korea. Pasti Mama yang setelin. Sekarang tidak lagi nonton Park Bo-gum, tapi Kim Jae-wook. Bongshik lagi kepincut ahjussi Ryan Gold dalam drama tentang pelukis dan fangirl—untuk Bongshik cowok dan dia kucing, jadi dia tidak bisa jadi fangirl.

"Sudah pulang, Nak?"

"Diskusi hari ini nggak lama soalnya, Ma. Mama lagi bikin bolu?"

"Iya. Bolu susu. Oh ya, Na, kamu tahu rumahnya Jevais?"

"Nggak."

"Yah, padahal Mama mau minta anterin ke rumahnya. Mama sengaja bikin bolu susu agak banyak, sekalian ngasih Jevais sama teman kamu yang satu lagi itu, siapa namanya—"

"Injun?"

"Ah ya, Artajuna."

"Nana nggak bisa minum susu, Ma."

"Hah?"

"Nana nggak minum susu."

"Oh, oke, kalau gitu Mama bikin pudding cake cokelat aja kali ya buat Jevais."

Jeno diam sebentar, sebelum akhirnya berujar. "Nana sakit, Ma."

"Apa?"

"Nana sakit."

"Kalau gitu, kita harus besuk. Hm, bentar—ah ya, Pak Terry pasti tahu di mana Jevais tinggal kan, Jeno?"

Jeno mengangguk.

"Oke, Mama bakal tanya dia."

*

Saat menyadari dia berada di dekat sebuah taman bermain dan menyaksikan sosok versi mini dirinya sendiri tengah duduk menyendiri di sudut taman, Nana tahu dia sedang bermimpi. Dia berdiri sejenak di sana, bingung harus berbuat apa, ketika dia melihat Ayah berjalan menghampiri. Ada es krim di tangan Ayah, tapi ketika Ayah menyodorkan satu pada Nana kecil, bocah itu justru menepisnya hingga tanpa bisa dihindari, es krim tersebut jatuh ke rerumputan.

Nana mengerjap, merasa ada yang menusuk hatinya kala dia menyadari murung yang membayang di mata Ayah.

"Jevais,"

"Hari ini Hari Ibu."

"Jevais,"

"Tapi aku sendirian, karena aku nggak punya Ibu."

"Kamu punya Ayah."

"Tapi hari ini Hari Ibu, bukan Hari Ayah!"

Ayah terseyum, tapi Nana kecil mulai menangis. Tangis yang makin lama makin mengencang. Anehnya, tangis itu tidak mengganggu orang-orang yang berada di dekatnya, bahkan Ayah sekalipun. Lelaki itu memandangnya tanpa berkata apa-apa, kemudian berbalik dan melangkah pergi, membuat Nana betul-betul sendiri.

Sampai tiba-tiba, seorang perempuan menghampiri Nana kecil. Rambutnya tergerai sampai ke bahu. Dia cantik, dengan jemari yang terlihat lembut. Nana mengerjap, mencoba mencari tahu siapa sosok itu, tapi dia tak bisa melakukannya. Sosok itu sekabur memori lama. Tak jelas. Satu yang Nana bisa deskripsikan; dia cantik, dan dia menyentuh pipi Nana kecil yang sedang menangis.

Nana balik memegang punggung tangannya, menghentikan isak tanpa aba-aba. "... Mama?"

Nana mengerjap, kemudian perlahan matanya terbuka. Pandangannya kabur oleh sesuatu yang mirip air mata. Dia mengedip beberapa kali dan saat orientasinya mulai menjelas, dia merasa ada jari-jari lembut yang menghapus air mata di pipinya. Nana mengernyit, napasnya tertahan ketika dia sadar tangan itu milik Mama Jeno.

"... Tante?"

"Tante ke sini buat besuk kamu karena kata Jeno, kamu sakit. Nenek kamu nggak ada dan ternyata kamu di sini, mengigau. Mimpi buruk?"

Nana mengangguk.

"Butuh dipeluk?"

Nana mengangguk lagi, dan ketika dia sudah bertukar posisi jadi setengah duduk, Mama Jeno mendekapnya hangat. Pelukan selepas mimpi buruk, sesuatu yang tak pernah lagi Nana dapatkan setelah Ayah tidak ada. Dia balik mendekap Mama Jeno, tidak menyadari bagaimana diam-diam, Jeno memandang penuh iri.

Selama ini, dia tidak pernah punya saingan. Sebagai anak satu-satunya, Jeno memiliki semua perhatian Mama. Dan kini, melihat Mama memeluk Nana seperti itu, ada rasa aneh yang menyenggol dadanya.

Entah apa itu. 






bersambung ke thirteenth note 

***

Catatan dari Renita: 

wow it took longer than usual for me to update. so sorry, akhir-akhir ini mentally exhausted and i couldnt get myself to write anything haha but now im feeling a bit better jadi makasih buat yang udah vote, comment dan setia menunggu untuk chapter berikutnya 

well, someone is jealous! 

haha jeno nggak pernah punya saingan selama bertahun-tahun dan begitu mamanya kenal nana, sekarang tiba-tiba nana jadi dapet perhatian haha mungkin keliatannya egois dan childish tapi yah, konon masalah bisa mendewasakan persahabatan~~~~ 

so far kayaknya udah itu dulu. 

makasih buat yang selalu dukung, selalu rekomendasiin DLP, selalu rajin spam komen, makasih banget. semoga gue bisa update ini lebih cepet dan nggak lama kayak kemarin. 

sekian dan selamat puasa buat yang menjalankan. 

ciao! 

Semarang, May 20th 2019 

20.55

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro