tenth note
Love is the best preacher
and the greatest teacher.
—Joseph Pearce—
*
Jeno sengaja tidak bilang pada Nana, Injun atau Terry soal pesan teks dari Dean. Memang, rasanya sulit buat percaya pada Dean yang membuatnya tidak bisa menyandang tas di salah satu bahu untuk setidaknya seminggu ke depan, tapi Jeno merasa dia tidak punya pilihan lain. Nana dan Injun sudah terlalu banyak memberinya bantuan, turut dihajar gara-gara masalah pribadinya dan itu bikin Jeno merasa bersalah. Maka, dia mencoba menghadapinya sendirian. Dan lagi, hari ini adalah jadwal bersih-bersih Markas tempat mereka biasa berkumpul. Jeno hanya perlu minta ijin keluar sebentar untuk membeli minuman di supermarket dan seandainya terjadi apa-apa padanya hingga dia lama kembali, Nana, Injun dan Terry pasti bisa membaca situasi.
Dean tidak berniat mengajaknya adu jotos seperti tempo hari, Jeno berpikir waktu dia tiba dan sadar Dean hanya ditemani oleh dua antek-anteknya. Mereka duduk di teras minimarket, bertemankan teh botol dalam kemasan kotak dan rokok terjepit diantara jari. Rokok itu menyala. Dean menjentikkan abunya, tersenyum miring kala Jeno mendekat.
"Hebat juga lo masih hidup setelah kena hantam besi."
Jeno membalas dengan suara tenang. "Kamu mau ngomongin apa?"
"To the point dan berani. Pantesan aja cewek gue mau belok ke lo."
"Giza bukan cewek kamu lagi."
Dua kaki-tangan Dean mendengus, jelas kesal karena sikap tidak sopan Jeno, tapi Dean mengibaskan tangan, memberi kode supaya keduanya diam. "Nggak perlu dendam begitu. Lo juga bikin gue susah beberapa hari ini."
Jeno mengernyit. "Hah?"
"Gue nggak tau gimana caranya lo bisa temenan sama sekelompok cewek jadi-jadian itu, tapi yang jelas, mereka bisa lebih ganas dari hiu." Dean menggulung lengan baju seragamnya, menunjukkan bekas luka cakaran dan lebam kebiruan yang terlihat jelas. "Gue udah capek kudu ngumpet-ngumpet tiap nongkrong di warkop atau warnet. Udah macam buronan. Jadi tolong kasih tau mereka untuk berhenti nargetin gue."
"Maksud kamu, Jupe dan teman-temannya?"
"Siapa lagi?"
Jeno diam sebentar. "Saya bisa suruh mereka buat nggak ganggu kamu lagi, tapi dengan syarat, kamu berhenti ngejahatin Giza."
Dean mematikan rokoknya dengan menekankan ujung baranya ke atas meja, tak peduli walau itu meninggalkan bekas kehitaman dan bagian plastik yang meleleh. "Sampah. Gue udah nebak pasti lo bakal minta ini. Jawabannya adalah nggak. Lo kira gue lemah? Lo boleh tanya Jevais, teman lo yang letoy itu, kelompok gue bukan anak-anak ingusan kemarin sore yang baru belajar megang rokok dan bisa dipukul mundur sama banci. Gue hanya nggak mau ada tawuran viral yang bisa bikin kita jadi bulan-bulanan massa dunia maya."
"Kalau gitu, kenapa kamu ngajak ketemuan?"
Dean mengeluarkan kotak rokoknya, mencabut sebatang dan menyalakannya. Jeno memejamkan mata, berusaha menahan diri agar tak terbatuk saat Dean mengembuskan cincin asap ke wajahnya. "Lo sesuka itu sama Giza?"
Jeno tidak menjawab.
"Lo masih bisa dengar dan nggak bisu. Jawab, kampret."
"Iya."
"Gue mau kita gencatan senjata dan bikin perjanjian."
"Perjanjian?"
"Lo seharusnya merasa tersanjung. Kayak yang gue bilang, bakal gampang banget buat gue ngabisin lo, Jevais atau teman lo yang satunya, si Juna itu. Tapi dengan kelompok banci nggak jelas ngebelain lo, apa pun yang gue lakukan bakal menarik perhatian. Di sisi yang sama, kalau masalah ini berkembang jadi sesuatu yang lebih serius, itu juga nggak akan menguntungkan Jevais sama sekali. Gue nggak kenal lo, tapi gue kenal Jevais. Menyuruh lo menjauhi cewek gue, kayaknya nggak mungkin. Lo bukan hanya nggak bisa nonjok, tapi juga kurang ngotak."
Jeno diam saja.
"Gencatan senjata. Lo suruh kelompok banci itu berhenti gangguin gue dan bersikap liar tiap mereka lihat gue. Gue juga nggak akan mengganggu lo dan teman-teman lo."
Jeno mengernyit. "Terus... soal Giza gimana?"
"Dia cewek gue. Bodo amat dia mau bilang kita udah putus atau dia mau bilang apa kek ke lo. Dia cewek gue dan lo salah karena lo gangguin cewek orang." Dean terkekeh. "Meski begitu, gue ini orang yang fair. Maka untuk Giza, lo bisa ambil dia buat lo, dengan satu ketentuan."
"Ketentuan apa?"
Dean memberi kode pada salah satu anak buahnya melalui tatapan mata, yang dilanjut oleh cowok itu dengan mengeluarkan sebuah selebaran dan memberikannya pada Jeno. Jeno menerimanya, baru membaca sebaris ketika suara ngeong yang familier terdengar. Refleks, dia menoleh dan mendapati Bongshik tengah belari ke arahnya. Jeno tersekat, sempat bermaksud mengusir Bongshik menjauh, tapi terlambat. Bongshik sudah terlanjur melompat ke atas meja, mendesis galak pada Dean yang melongo sejenak, sebelum akhirnya tertawa.
"Bencong dan kucing. Lo ini punya bala tentara yang nggak terduga ya?"
"Jangan sakitin Bongshik."
"Sori, gue laki. Gue nggak mainan kucing."
"Jangan ngerokok di depan Bongshik. Paru-parunya sensitif!"
Dean mengerjap, tidak menduga Jeno bisa berubah jadi segalak itu hanya karena seekor kucing. Tapi dia mematikan rokoknya sambil bergumam kesal. "Whatever. Udah lo baca yang di selebaran itu?"
"Belom. Bentar nih mau dibaca."
"Jangan dieja. Kalau nggak bisa baca cepet, biar si Suryo bacain. Nilai bahasa Indonesianya dominan bebek, tapi bacanya nggak dieja kayak anak TK."
Jeno mengabaikan ejekan Dean, fokus pada selebaran di tangannya. Isinya adalah informasi terkait festival sekaligus lomba band indie tingkat SMA yang diadakan tahunan di Jakarta. Dikarenakan kompetisi itu ditujukan buat siswa SMA, maka ada ketentuan bahwa masing-masing band yang turut serta harus mewakili sekolah mereka. Satu band untuk satu sekolah.
"Ikut kompetisi itu lawan band sekolah gue. Kalau band sekolah lo menang, lo boleh ambil Giza. Nikmatin tuh bekas gue. Tapi kalau lo kalah, lo harus mengakui lo kalah secara gentleman dan berhenti gangguin cewek gue. Ngerti?"
"Saya... pikir-pikir dulu."
"Nggak ada pikir-pikir dulu. Lo kira gue barusan nembak lo buat jadi cewek gue?" Dean menyergah kasar, lalu membuka tasnya sendiri dan mengeluarkan selembar kertas folio bergaris penuh tulisan dengan bagian untuk tanda tangan yang sudah ditempeli materai. "Ada surat perjanjiannya. Gue bikin dua copy. Lo tanda tangan sekarang. Kalau lo menolak, gue anggap lo mengaku kalah dan lo harus jauhin Giza."
Rahang Jeno mengeras. Dia melirik pada Bongshik dan sebagai balasan, Bongshik menatapnya penuh keyakinan. Lagipula, dia memang tidak punya pilihan lain. Kalah sebelum bertanding jelas terlalu memalukan. "Oke. Tapi untuk saksi saya gimana? Saya nggak punya saksi."
"Oh ya. Si Goblok. Gue kirain lo bakal bawa teman lo!"
"Nana sama Injun udah cukup direpotin dengan masalah saya."
"Bodo amat." Dean berdecak, tiba-tiba beralih pada Bongshik yang masih menatapnya songong sambil berdiri di atas meja. "Saksi lo kucing ini aja dah! Ini kucing lo, kan?!"
"Iya, tapi—"
"Cakep." Dean ganti memandang Suryo. "Bawa bantalan buat stempel kan? Bagian tanda tangan saksinya dia kasih cap kaki ni kucing aja."
"Siap, Bos!"
Jeno melongo, masih merasa setengah tidak percaya ketika dia berjalan kembali ke sekolah bersama sekantung plastik penuh berisi minuman—dan snack titipan Injun-Nana—gulungan copy surat perjanjiannya dengan Dean dan telapak kaki Bongshik yang berwarna biru bekas kena tinta stempel.
*
"Pak, Iteung tuh udah tobat, udah hijrah, eh bapak tuntun lagi ke jalan maksiat! Kecewa saya tuh!" Injun berseru sambil menyapu lantai Markas sementara Terry memasangkan wig panjang merah gelap ke kepala Iteung. Belum cukup sampai di sana, dia juga menambahkan topi baret hitam dan memberi Iteung kacamata ber-frame bundar yang membuatnya kelihatan fashionable.
"Kalau gini kan dia bisa jadi se-oke cewek Korea."
"Buat apa se-oke cewek Korea kalau ujung-ujungnya terpanggang api neraka."
Terry menoleh, memandang sewot pada Injun. "Kamu nyapu aja yang bersih! Kalau nggak bersih nanti bininya brewokan. Mau?!"
"Selow atuh lah, jangan nge-gas, bapak!"
"Abis, kamu ngajakin ribut! Yang beli baju buat si Iteung saya, ya suka-suka saya lah mau dandanin dia kayak gimana! Iteungnya juga nggak keberatan, kok!"
"Kalau dia keberatan terus ngomong sih ya saya malah ngeri dan ngibrit dari sini sih, Pak."
Nana mengabaikan obrolan antara Terry dan Injun, berhenti sejenak melap kaca jendela ketika dia terpikirkan sesuatu. "Jeno kok lama banget ya? Katanya cuma mau nyari minuman doang."
"Nyari minumannya sampe ke Mekkah, coy, sekalian kita minum zam-zam sampe lambung kita seputih ubin mushola!" Injun menukas asal.
Untungnya, sebelum celetukan Injun membuahkan satu gaplokan manis dari Terry, Jeno muncul disertai Bongshik. Bongshik melenggang masuk begitu saja, bikin Injun melotot dan berseru heboh ketika dia tersadar ada sisa tinta biru di tapak kaki Bongshik.
"Ini negara kucing abis Pemilu apa gimana, nih?! Kok itu ada biru-biru di kakinya?!"
Jeno menghela napas, berpikir sebentar dan sempat memandang Bongshik seperti minta persetujuan, sebelum akhirnya mulai bicara dengan suara lirih. "Tadi... saya ketemu Sariffudin."
Nana, Injun dan Terry kompak menoleh pada Jeno, ekspresi wajah mereka kelihatan super dramatis.
"TERUS KOK LO MASIH HIDUP?!"
Plak!
Terry menepak punggung Injun sekerasnya hingga yang punya punggung meringis kesakitan. "Pak, ini tuh udah masuk kategori KDRTGS tau!"
"KDRTGS?" Jeno mengangkat alis.
"Kekerasan Dalam Rumah Tangga Guru-Siswa!"
"Makanya, kalau ngomong tuh yang bisa dipertanggung-jawabkan!" Terry bersungut-sungut. "Tapi bener juga sih yang ditanyain ini Sontoloyo second. Kok kamu masih napas?"
"Sarif nggak ngajakin ribut atau berantem. Dia cerita kalau dia udah capek dikejar-kejar sama Jupe dan gerombolannya tiap hari. Dicakar dan digebukin juga ternyata."
Terry manggut-manggut sembari mengusap rahangnya. "Yah, teman kamu yang namanya Jupe itu memang agak menyeramkan, sih."
"Benar. Pak Toil aja ngibrit sampai terkencing-kencing waktu pertama kali ketemu Jupe!"
"Kamu mau saya gaplok lagi?"
"Nggak, Pak. Cukup."
Nana tampak tidak sabar. "Ngapain dia nemuin lo?"
Jeno membuka gulungan kertas di tangannya, satu adalah selebaran soal kompetisi band dan satu lainnya adalah surat perjanjiannya dengan Dean—sudah dilengkapi tanda tangannya, tanda tangan Dean, tanda tangan Suryo selaku saksi Dean dan cap kaki Bongshik sebagai saksi Jeno.
"Tunggu—saksi lo—si kucing ini?!"
"Namanya Bongshik!"
"Iya—maksud gue, si Bongshik ini?!"
Bongshik mengeong pendek, seperti mengiakan pertanyaan Nana.
"Ini bisa mecahin rekor dunia sebagai perjanjian bermaterai pertama yang disaksikan oleh seekor kucing!"
"TAPI KENAPA JUGA HARUS CAP KAKI KUCING?!" Terry merasa dia nyaris kena keram otak, bertanya-tanya bagaimana bisa dia mencemplungkan dirinya sendiri ke dunia guru dadakan—dan lebih parahnya, kenapa dia harus dikelilingi oleh anak-anak berkarakter abstrak macam Jeno, Injun dan Nana.
"Sarif bilang, dia bakal mutusin Giza kalau band sekolah ini bisa menang ngelawan band sekolahnya di kompetisi itu."
"Terdengar gampang."
"Masalahnya..." suara Jeno makin memelan. "Saya... nggak punya band."
"Lah, kamu kan punya dua semprul ini! Manfaatkanlah mereka mumpung masih bisa dimanfaatkan—apa, Injun?! Kamu mau membantah?! Tutup mulut kamu ya! Ini teman kamu lagi butuh bantuan kamu demi memperjuangkan cintanya! Bergunalah sedikit, masa jadi manusia kalah ama tinja kerbau yang masih bisa bermanfaat buat pupuk tumbuhan?!"
Injun kicep, tapi tentu itu tidak menghalau nafsunya buat adu bacot dengan Komandan Toil tercinta. "Masalahnya bukan cuma itu, Pak! Kompetisi itu mengharuskan tiap band mewakili sekolah."
"Terus?"
"Cuma boleh ada satu wakil dari satu sekolah."
"Terus?"
"Tabrakan... cittt... jedeeeeer!"
"Nana, kamu lihat penggaris kayu yang saya beli tadi pagi? Kayaknya seru kalau dipakai ngegaplok orang sore ini."
"Meuni sensi pisan ih, Komandan! Nggak bisa diajak bercanda!"
"Ini tuh serius. Kamu nggak lihat mukanya Jeno sama Bongshik?!"
Injun cemberut. "Ada band nggak resmi dari sekolah yang selalu ikutan tiap tahun, walau nggak pernah menang dan selalu turun-temurun. Mereka tuh kayak ekstrakurikuler band nggak resmi di sekolah. Sekarang bandnya dipegang Jarot, anak kelas dua!"
"Yah, gampang toh kalau gitu."
"Gampang gimana?!"
"Kalian minta ijin ke Jarot. Minta dia ngalah tahun ini. Simpel."
Injun dan Nana saling berpandangan. "Tapi, Pak—"
"Minta ijin ke Jarot. Ini perintah dari saya sebagai majikan, untuk kalian para budak."
Injun dan Nana pun tidak berkutik.
*
Sesuai titah Paduka Toil, keesokan harinya, usai pulang sekolah mereka menemui Jarot yang kebetulan sedang nongkrong dengan teman-temannya di warung bakso tak jauh dari Warmil. Jeno belum kenal Jarot, tapi dia percaya sepenuhnya pada Injun dan Nana. Mereka sempat berdiskusi sebelum mendekati bangku tempat Jarot duduk.
"Ditraktir sekalian deh mereka, biar hatinya luluh." Nana mengusulkan.
"Emang lo punya duit?"
"Minta notanya aja ntar biar diganti sama Komandan Toil. Anggap aja anggaran tidak terduga dalam tugas."
"Bener!" Jeno bersemangat, tiba-tiba lapar karena mencium aroma khas bakso yang sedang direbus. "Sekalian masukkin bakso pesenan kita ke nota."
"Masalahnya tuh bukan itu!" Injun mendelik. "Ini mau minta pake nota dan diganti ke Komandan Toil juga, kita bayar di sininya pake apa?! Duit gue paling tinggal goceng, cuma cukup buat kerupuk kulit sama es teh manis!"
"Itu dipikir nanti! Kasian nih si Bucing!"
Akhirnya, meski tak memiliki amunisi berupa isi kantong yang memadai, ketiganya mendekati tempat duduk Jarot. Semula, mereka bersikap sok akrab, ngobrol-ngobrol—kebanyakan sih bicara soal game yang lagi hits di kalangan anak sekolah dan Bu Susi yang habis punya anak malah makin galak—hingga Jarot dan teman-temannya mengeluarkan kotak rokok mereka. Mereka menyulut ujungnya, mengembuskan asap ke sekeliling dan memandang aneh waktu Jeno batuk-batuk.
"Nggak suka asap rokok lo, Bang?"
"Dia anak baik." Injun menjawab mewakili Jeno.
"Lo nggak ngerokok?"
"Nggak. Kalau ketahuan nanti bisa diencus adek gue."
"Lo, Bang?" Jarot berpindah pada Nana.
"Cewek gue nggak suka gue ngerokok."
"Ow. Teh Kasa yang anak IPA itu ya?" Jarot menyeringai, lalu menyambung dengan suara setengah bercanda. "Ini beneran lo pada mau traktir? Kalau iya, kebeneran gue kepengen nambah bakso semangkuk lagi."
"Selow aja. Nambah aja." Injun sok santai, padahal dalam hatinya, dia sudah menjeritkan "wey, kampreto dicaprios mau nambah sebanyak apa lagi lo, bocah dajjal!" dalam hati.
"Beneran?"
"Terserah lo, Bos."
"Tumben. Abis ngerampok bank mana lo pada?"
"Lo mau nambah bakso apa kena tabok?"
Jarot nyengir pada Nana. "Bakso, Bang."
Akhirnya, Jarot dan teman-temannya nambah. Jeno sempat kepingin ikutan nambah, namun Nana memegang lengannya, memandangnya dengan sungguh-sungguh seperti memberitahu bahwa ikut nambah bakso, walau hanya semangkuk, bukan keputusan yang baik buat kantung mereka. Akhirnya, Jeno mengalah, menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus dan berusaha buang muka ke arah lain ketika bakso pesanan Jarot diantarkan.
"Gue mau ngomong sesuatu yang serius, nih. Jadi gini, kebeneran kemaren-kemaren gue adalah masalah sama Dean. Lo tahu Dean, kan?"
"Preman sekolah sebelah itu?"
"Iya." Injun membenarkan. "Gue tahu ini ribet, tapi intinya, teman gue bikin perjanjian sama Dean, ada hubungannya dengan kompetisi band antar sekolah yang—"
"Ah, gue tau apa maksud lo."
"Syukur deh kalau lo paham."
"Sayangnya, gue ama anak-anak udah nyiapin buat kompetisi itu jauh-jauh hari, Bang. Jadi kita nggak mungkin mundur."
"Tahun kemarin juga gitu dan band lo langsung keok sejak babak penyisihan."
"Emang. Tapi bukan berarti tahun ini kita bakal keok lagi." Jarot tersenyum masam. "Kalau maksud lo kayak gini adalah biar band gue mundur dan band lo maju—walau gue juga baru tahu kalau ternyata lo punya band—sori-sori aja, tapi nggak bisa, Bang. Bukannya nggak mau bantu. Soal band ini... udah lain."
"Teman gue cuma butuh satu kesempatan aja."
"Sori, tapi tetap nggak bisa."
Suasana di meja berubah jadi tidak nyaman setelahnya. Mereka tidak lanjut bicara, lebih banyak diam, hingga akhirnya Jarot pamit cabut lebih dulu, meninggalkan Jeno dan Nana yang saling memandang dengan clueles, serta Injun yang bertopang dagu. Dahinya terlipat. Matanya menunjukkan sorot ala orang yang sedang stress berat.
"Santai, besok bisa kita coba bujuk lagi." Nana menepuk bahu Injun.
"Atau kita bilang ke Pak Terry." Jeno mendukung.
"Bukan gitu..."
"Jangan patah semangat, Jun. Jeno aja masih positive thinking!"
"BUKAN GITU!"
"Terus apa?"
"GUE BAYAR BAKSONYA SI JAROT DAN TEMAN-TEMANNYA PAKE APA, BANGSAT?!"
*
Hampir jam sembilan malam dan Terry kembali terjebak dalam kesunyian apartemennya. Dia sudah mencoba mengirim satu-dua meme di grup obrolannya dengan para Sontoloyo, tapi mereka tidak membalas. Ogah terlihat kesepian dan butuh perhatian, Terry memilih mengabaikan mereka. Dia mencoba menyibukkan diri, yang malah membuatnya membongkar tumpukan kertas dan buku catatan di atas meja dekat piano—hanya untuk menemukan bloknot besar bertuliskan huruf kapital dalam spidol hitam di bagian sampulnya:
FINALE.
Sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin, finalis, yang diartikan sebagai bagian terakhir dari karya musik, sebuah penampilan atau sebuah pertunjukkan. Isinya adalah coretan kasar melodi yang lama Terry biarkan terabaikan. Terry memandangnya sebentar, menghela napas sebelum akhirnya meraih sebatang pensil dan mulai menambah guratan nada-nada baru. Dia mengetes nadanya sesekali dengan menekan beberapa tuts piano, mencipta denting yang memecah keheningan.
Kemudian, telinganya berdenging lagi dan genggaman pada pensilnya menguatnya. Terry berhenti sejenak, melarikan pandang ke luar jendela, pada langit yang muram tanpa bulan sebagai penghias malam. Pada cahaya kota yang terang, namun semu dan penuh kepalsuan. Denging itu masih tidak mau pergi, terus bersarang dalam kepalanya serupa sarang penuh lebah yang marah.
Terry membanting pensil sambil menutup bloknotnya kasar, tertunduk frustrasi hingga telepon apartemennya berdering. Telepon itu datang dari lobi, mengabarkan jika ada tamu-tamu yang menunggu Terry. Terry mengernyit, heran karena seingatnya dia tidak punya janji dengan siapapun, namun tetap turun. Ternyata, dia disambut oleh Jeno, Injun dan Nana dalam style yang sungguh tidak terduga.
Mereka bertiga mengenakan sarung kotak-kotak beda warna yang dipakai layaknya maling TV pagi buta—atau bapak-bapak yang sedang ronda. Bukan hanya sampai di sana, Nana membawa termos dan tiga cangkir. Ketiganya berselimut sarung dengan hanya mata yang tampak serupa ninja, memegang gelas berisi minuman hangat, tentu mengundang perhatian orang yang lewat. Petugas di balik meja resepsionis kelihatan menahan tawa, sementara wajah Terry dibuat membara karena malu yang luar biasa. Cepat-cepat, lelaki itu mendekati ketiga siswanya.
"Ngapain kalian di sini?!"
"Minum wedang jahe made by Nenek saya. Bapak mau?" Nana malah menawari.
"Maksud saya, ngapain dandanan kalian kayak maling dusun begini?!"
"Kemaren pas pulang, ketinget tempat bapak dingin banget, euy, berasa kayak di Dieng. Yah, walaupun saya belum pernah ke Dieng sih. Hihiw." Injun menyahut dan walau hanya matanya yang kelihatan, Terry tetap merasa tertantang untuk menampolnya karena ekspresi wajahnya ketika menjawab.
"Kita kayak gini biar nggak masuk angin. Nana tadi sempat nempel koyo di leher." Jeno menimpali.
"Jeno juga. Di jidat. Bapak mau lihat?"
"Ngaco kalian semua!" Terry berseru gusar seraya memaksa siswa-siswanya bangkit dari lobi dan mengikutinya menuju lift. Mereka cengengesan, mengucapkan terimakasih pada petugas waktu melewati meja resepsionis. Terry boleh agak sedikit bernapas lega, sebab di sepanjang jalan dari lobi menuju unit apartemennya, dia tidak berpapasan dengan banyak orang—yah meski kehadiran Trio Sontoloyo yang berkerudung sarung sempat membuat beberapa bule yang kebetulan satu lift dengan mereka mengangkat alis.
"Ngapain kalian ke sini?" Terry mengulang pertanyaannya tatkala ketiga anak itu sudah duduk manis di sofa ruang tengah apartemennya.
"Mau laporan soal misi terakhir yang bapak kasih."
"Misi yang mana?"
"Minta ijin Jarot."
"Kenapa harus dateng ke sini?! Terus kenapa chat saya di grup cuma dibaca aja?! Kalian kira chat saya itu selebaran besar-panjangkan-alat-vital yang ditempel di tiang listrik?!"
"Bapak, bapak, harap tenang, Pak!"
"Tau ih mara-mere melulu dari kemarin kayak cewek lagi PMS!"
"Yaudah." Terry menghela napas, lalu merendahkan nada suaranya. "Gimana soal Jarot?"
"Jarot menolak."
"Walah, berani sekali si Jarot itu menentang titah saya!"
"Sebenarnya, ada solusi lain, Pak. Pihak sekolah yang daftarin. Tapi kalau disuruh milih, anak sekolah pasti lebih demen bandnya Jarot. Emang sih nggak bakal menang, tapi seenggaknya nggak malu-maluin amat. Secempreng-cemprengnya suara nyanyi Jarot, masih lebih rombeng suara batuk Nana!"
"Heh, anying sia!" Nana menyikut Injun, jelas tersinggung.
"Oh, jadi kalau anak-anak sesekolah milih kalian, kalian nggak mesti minta ijin Jarot?"
"Tepat sekali."
"Yaudah, yakinin teman-teman kalian."
"Bapak, bapak, bapak, kapan bapak mau mengerti kalau hidup itu tuh nggak semudah cangkemnya Bapak?!"
"Heh, perhatikan bahasa kamu ya! Gini-gini saya majikan kamu!"
"AAHSHIIAAAAAAP!" Injun malah makin semangat mengejek, tangkas menghindar saat Terry melempar bantal sofa ke arahnya.
"Kalian yang kurang berpikir panjang. Bentar lagi kan Pensi tuh. Kalian tampilin sesuatu di situ, yang lebih bagus dari penampilan bandnya Jarot. Simpel, kan?"
"Sampal-simpel-sampal-simpel! Tampilnya mah simpel, Pak! Masalahnya tuh mau nampilin apa?!" Injun lagi-lagi angkat bicara, tidak sadar bagaimana Jeno membisu dan tiba-tiba, Nana jadi lebih pendiam dari biasanya. "Tari Saman?! Tepuk tangan Pramuka aja si Nana nggak bisa lancar!"
"Nggak gitu juga, Artajuna Purnasaman!"
"Kalau Jaipongan, saya bisa dikit-dikit lah." Injun kembali menukas. "Tapi ini tuh kompetisi band! Band! Bukan Tari Saman apalagi Tari Jaipong! Bapak mau nyuruh Jeno nyanyi? Suaranya kayak orang abis nelan batu gitu! Kasian nanti, Pak Asu—maksud saya Pak Agung—bisa semaput!"
Nana masih diam, sementara Jeno tenggelam dalam pikirannya sendiri. Terry menarik napas dalam-dalam, lantas menoleh pada Jeno dan memandangnya lurus.
"Dari tadi kamu diam aja. Menurut kamu gimana?"
"Saya bukan penampil."
"Kamu bisa main piano."
"Itu beda."
"Kamu mau bantu Jeno atau nggak?"
"Mau, tapi saya nggak bisa tampil." Nana menyahut. "Mungkin Jeno sama Injun aja. Suara Injun lumayan. Jeno bisa main gitar. Saya bisa jadi penggembira, tapi nggak dengan main game."
"Jevais—"
"Saya nggak bisa."
"Oke, setop!" Injun berseru, mengambil peran jadi wasit dadakan. "Sebelum berantem, jadi keinget sesuatu nih aing!"
"Keinget apa?"
Injun mengeluarkan selembar kertas dari dalam lipatan sarungnya—yang ternyata selembar nota pesanan makanan di warung bakso. "Untuk eksekusi misi kemarin, ada anggaran yang keluar. Silakan Komandan cek."
"Itu risiko kamu, bukan saya."
"Komandan!"
"Balik lagi ke Nana—"
"TERUS KOMANDAN MAU BIARIN HP SAYA JADI JAMINAN DI WARUNG BAKSO ITU SAMPE AKHIR JAMAN, GITU?!"
Terry mengerjap. "Maksud kamu—"
"Komandan, jangan jahat-jahat amat dong jadi manusia!"
"Oke."
"Komandan mau bayar sesuai jumlah di nota itu?"
"Nggak."
Injun melotot. "PHP DASAR!"
"Besok, abis balik sekolah, kita ke mal. Saya beliin kamu HP baru."
"YAAAAAAY!" Injun bersorak dengan dua tangan terkepal ke udara layaknya pemenang.
"Jevais, saya tahu soal—"
"Bapak nggak tahu apa-apa." Nana memotong cepat. "Saya bisa bantuin Jeno apa pun, tapi nggak dengan tampil bareng band."
Terry memandang Nana sebentar. "Oke."
"Oke apa? Kita jadinya bikin duo? Saya sama Jeno doang?"
"Saya anggap kata-kata Nana itu tantangan buat saya."
"Pak—"
"Apa pun yang terjadi, kalian bakal tampil di Pensi. Bertiga."
bersambung ke eleventh note
***
Catatan dari Renita:
wow, rasanya lama banget gue nggak ngepost di wattpad haha tapi gue rajin lah ya ngepost di instagram wkkwkwk
so, ternyata ini udah masuk chapter kesepuluh dan untungnya belum ada yang mati hahahaha
tadinya mau ada yang mati tapi hm kayaknya masih terlalu awal.
we'll see.
makasih buat yang sudah setia nungguin, yang udah vote, udah komentar, udah ngerekomendasiin ke temen-temennya wkwkwkwkwk
i'll give a spoiler: someone dies in the end.
ea tapi siapakah someone itu? dan bagaimana dia metong? yang jelas bukan karena kepeleset dari patung pancoran.
apa pun itu, lets seeeeeee
btw di sini ada yang ngikutin game of thrones nggak sih? hahaha
oke deh, kayaknya udah sekian dulu itu
(dan doain plis aku bisa sidang sebelum libur lebaran wkwkwk)
ciao.
Semarang, May 3rd 2019
20.40
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro