sixteenth note
Dogs offer unconditional and non-judgmental love.
Mothers don't always.
—John Edward Douglas—
*
"Karena gue nggak mau lihat muka lo lagi."
Jeno mengerjap setelah mendengar kata-kata Giza, seakan-akan gadis itu baru saja bicara dalam bahasa yang tidak dia pahami. Giza menggigit bibir, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat seraya berusaha mati-matian menahan tangis yang hendak pecah, lalu dia mengulangi ucapannya. Genggaman Jeno pada pergelangan tangannya melonggar. Mata cowok itu masih menatapnya, tapi kini ada luka di sana.
"Maksud kamu... apa?"
"Gue nggak mau lihat lo lagi. Mulai hari ini dan seterusnya, jauh-jauh dari gue. Ngerti?" Giza tahu dia sedang jadi orang yang sangat jahat sekarang.
Jeno menggeleng. "Kamu mungkin belum tau, tapi saya punya perjanjian saya sendiri sama mantan pacar kamu. Kamu nggak perlu memikirkan ancaman yang dia kasih. Setelah ini, kamu nggak mesti takut lagi sama dia. Saya janji."
Tidak. Dean tidak mengancam Giza. Faktanya, cowok berandal itu bahkan tidak pernah menemuinya lagi, atau mengganggunya lewat pesan teks. Dia seperti menghilang saja... seolah ditelan Bumi. Dan itu yang Giza takuti. Dia mengenal karakter cowok itu. Diamnya sekarang sama seperti tenang sebelum badai. Entah badai itu bakal menyerang Jeno, atau justru menyerangnya, dia betul-betul tidak ingin Jeno terlibat dengan apapun yang berhubungan dengan Dean. Giza menghela napas. Tanpa sengaja, matanya jatuh pada bahu Jeno. Dia sudah mendengar soal penyerangan yang Dean lakukan pada Jeno dan teman-temannya tempo hari—yang berakhir dramatis karena keterlibatan sekelompok banci. Pada serangan yang mungkin saja terjadi berikutnya, belum tentu Jeno seberuntung kemarin-kemarin.
Giza tidak bisa mengambil risiko.
"Jangan."
"Apa?"
"Jangan terlibat sama dia."
"Giza—"
"Jangan terlibat sama dia!" bisikan Giza berubah jadi seruan.
"Saya nggak bisa. Saya udah—"
"Nggak ada yang terlanjur. Temui Dean. Bilang lo minta maaf, janji kalau lo nggak akan pernah nemuin gue lagi."
Tatapan Jeno berubah tegas, suaranya tenang kala dia menjawab lugas. "Saya nggak bisa."
"Kenapa nggak bisa?"
"Sebab saya udah terlalu peduli sama kamu."
"Gue udah bilang tadi, gue nggak mau ngelihat lo lagi!"
"Tapi saya mau." Jeno membantah. "Nggak apa-apa, kalau kamu nggak mau lihat saya lagi, selama saya masih bisa lihat kamu."
Giza menelan ludah, tapi tetap enggan terlihat lemah. Cewek itu menatap Jeno nanar, lalu menarik risleting jaket Jeno dan membukanya. "Gue nggak butuh jaket lo!"
Jeno terperangah, kehilangan kata-kata meski hanya untuk sesaat, namun sebelum Giza bisa melangkah pergi dari hadapannya, tangannya telah lebih dulu terulur. Dia memegang lengan Giza, secara otomatis membikin gerakan gadis itu terhenti.
"Gue bilang kan kalau gue—"
"Hujannya bisa jadi deras nanti." Jeno menjawab cepat, nyaris terdengar seperti bisikan dan pelan, dia memakaikan jaketnya lagi pada Giza. Jemarinya menarik risleting jaket sampai ke dekat dagu, disusul menyimpul kedua tali di ujung tudung yang kini melindungi kepala Giza dari gerimis. "Nggak apa-apa kalau kamu mau pulang sendiri, tapi pake jaket saya."
"Jeno—"
"Saya janji, setelah semuanya selesai, kamu akan baik-baik aja."
Giza kehilangan kata-kata.
"Mau kamu setuju atau nggak, saya bakal selalu jaga kamu."
*
Mendung berarak pelan di langit ketika perempuan itu terduduk di sebuah bangku panjang yang berada tepat di tepi sebidang lahan pemakaman. Tempat itu sepi. Tidak banyak orang di sana, selain seorang lelaki setengah baya yang telah membersihkan rumput liar di bagian lain lahan pemakaman. Lelaki itu hanya menatap kepadanya sekilas, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Bagus, karena perempuan itu butuh dibiarkan sendirian. Ada sekumpulan nisan mencuat dari tanah yang menghampar di depannya, tetapi matanya hanya terpaku pada satu.
Pada nisan milik seseorang yang tidak pernah ingin dia lihat lagi.
Dulu, kala mendengar kabar kematiannya, ada beragam perasaan bergumul dalam pikiran perempuan itu. mulai dari lega, khawatir, luka, hingga penyesalan. Lega, karena orang yang dianggapnya telah menghancurkan hidupnya tidak lagi hidup di dunia yang sama dengannya. Khawatir, luka dan penyesalan, lucunya, timbul karena benaknya tertuju pada orang yang sama.
Saat mendengar kabar kematiannya, perempuan itu mengira, wajah itu tidak akan pernah dia lihat lagi. Segalanya telah berakhir dilahap masa, ditutup tanah dan memori-memori lama yang memancing duka lama-kelamaan akan terlupa. Tapi pertemuannya dengan seorang remaja tempo hari jelas mematahkan semua perkiraannya. Wajah itu sama dengan wajah dalam ingatannya. Senyum mereka serupa. Satu-satunya yang bikin remaja itu berbeda mungkin hanya warna kulitnya yang lebih pucat, juga sorot matanya yang sangat lembut. Dia terkesan innocent, seperti remaja baik-baik yang tidak pernah berbuat nakal.
Untuk yang kesekian kalinya, perempuan itu kembali menghela napas dalam. Matanya menatap pada nisan di kejauhan, hingga seseorang muncul dari arah pintu depan taman pemakaman. Dia masih mengenakan seragam SMA, dengan ransel tersandang di bahu dan rambut yang agak berantakan karena tertiup angin. Langkahnya ringan dan pasti. Seharusnya, perempuan itu sudah menduga, namun tetap saja, dia terkejut sampai kehilangan kata-kata.
Siswa berseragam yang dilihatnya adalah orang yang sama dengan remaja di mal waktu itu.
*
Harus diakui, Nana tidak sesering itu mengunjungi Ayah.
Nana tidak menangis saat pemakaman, juga tidak mendatangi kuburan Ayah pada minggu-minggu awal setelah kepergian lelaki itu. Bukan karena dia membenci Ayah. Dia memang bukan ayah yang sempurna, tapi jelas ayah terbaik yang pernah Nana miliki. Hanya saja, segalanya terjadi begitu cepat dan begitu tiba-tiba. Butuh berbulan-bulan buat Nana untuk tersadar bahwa Ayah telah meninggalkan rumah dan kali ini, perginya dia tanpa kembali. Perlu waktu yang lama bagi Nana untuk paham bahwa kini dia sudah sendirian. Tanpa orangtua, meski mungkin, ibunya masih berada di luar sana.
Nana hanya menyambangi tempat peristirahatan terakhir Ayah sesekali, ketika dia punya sesuatu untuk diceritakan, atau berita untuk dikabarkan. Misalnya, ketika kenaikan kelas. Nana akan bercerita bagaimana nilai bahasa Inggrisnya masih saja buruk, tetapi nilai Matematikanya sudah membaik. Dia akan memberitahu Ayah bahwa semester ini, dia tidak iseng coba-coba merokok di belakang sekolah seperti semester sebelumnya. Kadang, Nana juga bergurau tentang Nenek yang sudah mulai pelupa dan bagaimana Nana menggunakan kelupaan itu untuk menjahili wanita tua tersebut. Terakhir, Nana juga pernah bilang soal perasaannya pada Kasa—dia berharap, Ayah setuju kalau Nana suka sama Kasa.
Tidak banyak cerita spektakuler yang terjadi—lagipula, Ayah pasti bosan mendengar pujian Nana tentang Kasa yang katanya tambah cute dari hari ke hari atau trik baru bolos kelas yang baru saja Nana terapkan, karenanya dia hanya datang ketika dia punya sesuatu untuk diceritakan. Hari ini, Nana baru teringat jika dia belum memberitahu Ayah soal rencananya buat tampil di acara Pensi sekolah. Jadi dalam perjalanan pulang, Nana menyempatkan diri mampir.
Taman pemakaman sepi, walau Nana melihat ada perempuan asing yang duduk sendirian di bangku panjang dekat pagar. Perempuan yang kelihatannya tidak asing. Nana melirik padanya beberapa kali sambil mencoba mengingat-ingat, dan perlu satu menit baginya untuk menyadari kalau perempuan asing itu adalah perempuan yang dilihatnya di toko pernak-pernik di mal tempo hari. Ekspresi wajahnya sukar dibaca. Nana tidak berlama-lama mengamatinya, karena takut dianggap tidak sopan.
Pusara Ayah masih kelihatan terawat, walau tanpa bunga. Rumput hijau yang dipangkas pendek menyelimuti tanah merah di bawahnya. Nana tersenyum, meski dia tahu Ayah tidak bisa melihatnya. Sengaja, Nana tidak bicara keras-keras. Nenek sering bilang, doa yang diucapkan dalam keheningan adalah doa paling sarat ketulusan dan kisah yang dibisikkan seperti rahasia adalah cerita paling bermakna.
Selamat siang menjelang sore, Ayah. Di sini mendung. Semoga di sana cerah dan kalaupun hujan, Ayah nggak kehujanan. Sekedar berkabar, nanti aku bakal tampil di acara Pensi sekolah. Aku bakal main gitar. Mungkin dikit-dikit piano. Jangan khawatir, Nenek dan Kasa setuju, kok. Aku harap, Ayah juga setuju. Aku juga harap, Ayah nggak tersinggung waktu kubilang aku nggak mau jadi seperti Ayah. Selalu baik-baik di sana, kayak aku yang selalu baik-baik di sini.
Ada sepercik rasa bersalah muncul dalam diri Nana karena dia datang tanpa bunga. Tapi dipikir lagi, Ayah tidak suka bunga dan sepertinya sih, beliau lebih suka diberi cerita daripada bunga. Nana menghabiskan beberapa menit berikutnya di dekat makam Ayah, lantas beranjak dan berbalik. Hujan mulai turun rintik-rintik, mengiringi mendung yang menebal di langit. Nana mengerjap, mengernyit kala dia melihat perempuan di bangku panjang tepi lahan pemakaman tidak beranjak. Sempat ragu sejenak, Nana memutuskan mengikuti kata hatinya, berjalan menghampiri perempuan itu dan duduk di sebelahnya.
Perempuan itu tidak bereaksi. Hanya saja, ada air mata yang telah menetes di pipinya—yang kemudian buru-buru dia seka dengan punggung tangan. Nana mengangkat alis. Orang yang menangis di pemakaman jelas bukan sesuatu yang tidak biasa, namun entah kenapa, ada sesuatu dalam isak samar perempuan itu yang mengusik perasaannya. Nana menarik napas panjang, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sehelai saputangan. Itu saputangan pemberian Kasa.
"Tante bisa pake ini."
Perempuan itu menoleh, menatapnya sebentar sebelum ragu-ragu menerima saputangan yang Nana ulurkan. Dia membaca nama yang tertera di saputangan itu. "Jevais Na?"
"Jevais Nareshwara." Nana tersenyum sedikit. "Itu nama saya."
Perempuan itu mengeringkan air matanya, diikuti deham. "Nama kamu bagus."
Nana membalas dengan cengiran, sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. "Banyak orang bilang begitu."
"Kamu di sini... mengunjungi seseorang?"
Nana mengangguk. "Ayah saya. Tante?"
Perempuan itu berbohong. "Anak saya."
"Oh."
"Dia seumur kamu." baru kali, dusta terasa begitu menyakitkan.
"Ah, begitu." Nana manggut-manggut.
Hujan masih turun rintik-rintik. Tak cukup rapat untuk bisa membuat mereka basah. Keduanya diam sejenak, hingga Nana beranjak dari duduknya.
"Tante boleh bawa saputangan itu. Saputangan itu penting buat saya, tapi buat sekarang, kayaknya tante lebih butuh itu."
"Oh, nggak perlu. Ini pasti personal banget buat kamu. Jadi—"
"Sekiranya saputangan itu milik saya, nanti pasti bakal balik lagi ke saya." Nana tersenyum. "Mungkin, nanti saya bisa ketemu lagi sama Tante? Kayak waktu di mal kemarin."
Perempuan itu terperangah, merasa ada sesuatu yang meleleh dalam dirinya.
Anak itu... ingat.
Dia tidak tahu harus melakukan apa, bahkan ketika Nana tersenyum sekali lagi padanya sebelum berbalik pergi. Dia ditinggal sendiri, bersama sehelai saputangan yang ternoda oleh jejak air mata. Tanpa diundang, suara itu bergema dalam kepalanya, membawanya pada suatu masa, pada sebuah adegan yang terjadi bertahun-tahun lalu, pada waktu yang telah lama lewat.
"Namanya Jevais Nareshwara."
"Siapa?"
"Anak itu."
"Lalu?"
"Aku cuma berpikir kalau mungkin, kamu mau tahu."
"Aku nggak kepingin tau."
"Nggak mau coba ketemu?"
"Dia adalah bagian dari masa lalu yang mau aku lupa. Harusnya kamu tahu itu."
"Kamu mau memaksa seorang anak lupa sama ibunya, bahkan sebelum dia punya kesempatan mengenal kamu?"
"Dia nggak perlu kenal aku."
"Ry—"
"Pintu keluarnya ada di sana."
"Sekali lagi kutanya, kamu nggak mau coba ketemu?"
"Nggak."
"Bahkan setelah aku bilang kalau dia kangen ibunya?"
Perempuan itu tertunduk, diikuti air mata yang mengalir makin deras menuruni wajahnya. Hujan yang awalnya rintik-rintik kian rapat, tetapi dia tetap bergeming. Dia sendiri tidak mengerti, apa yang dia tangisi. Bisa jadi, penyesalan karena ego yang terlampau tinggi. Hanya orang yang tak punya hati yang bakal membiarkan anak semanis itu menghabiskan hari-hari dalam sepi, tanpa tahu seperti apa wajah ibunya sendiri.
Dia, adalah orang yang tak punya hati itu.
Jevais Nareshwara.
Anak itu... namanya... Jevais Nareshwara.
*
Terry sengaja memilihkan lagu populer yang diketahui oleh banyak orang buat mereka tampilkan, meski kelihatannya Injun dan Nana tidak terlalu senang. Menurut mereka, lagu itu terlalu pasaran. Tidak ada gregetnya. Tidak ada bedanya.
"Kenapa mesti lagu itu sih, Pak?"
"Emang kenapa?"
"Pasaran banget. Terus galau." Injun cemberut. "Padahal saya udah bilang ke seseorang kalau lagu yang bakal saya nyanyiin di Pensi tuh buat dia. Kalau lagu ini sih boro-boro dikasih bunga, belum turun panggung dengan sempurna aja kayaknya saya udah kena gampar dua belas kali!"
"Emang kenapa sama liriknya?"
"Baca atuh lah, Bapak!" Injun menunjukkan kertas berterakan chord dan lirik lagu ke depan muka Terry. "Pergi saja engkau pergi dariku. Biar kubunuh perasaan untukmu. Meski berat melangkah, hatiku hanya tak siap terluka. Hadeh, ini mah gagal bikin dia baper namanya!"
"Kayak Shavela bakal bisa baper aja sama kamu."
Nana dan Jeno mengernyit, saling menatap sebelum keduanya kompak berpaling pada Injun. "Shavel—maksud Komandan Toil tuh Medusa?!"
"Kamu naksir sama dia?!" Jeno tak kalah kaget.
Injun menghela napas, menatap pada Terry yang malah tebar senyum jahat. "Ini tuh nggak seperti yang kalian kira!"
"Lagian, kamu mau nyanyi lagu apa sih buat Shavela?"
"Alwaysnya Bon Jovi."
Nana dan Jeno saling memandang lagi, lantas serempak menutup mulut mereka, menciptakan ekspresi kaget yang luar biasa dramatis. "JADI BENERAN SHAVELA?!"
Injun berpaling pada Terry, hampir panik. "BAPAK!"
"Hehe, lagian kamu tuh mujaer apa manusia? Gampang amat dipancingnya." Terry terkekeh. "Kamu mau nyanyi lagu Bon Jovi dengan kemampuan bahasa Inggris selevel kerak jahannam kayak gitu? Ngimpi aja. Bukannya baper, malah enek Shavela sama kamu."
"BAPAK!"
"Saya sengaja pilihin kalian lagu yang semua orang tau, karena fokus utama kalian pas Pensi tuh ngambil simpati orang banyak! Gimana mereka bisa lebih milih kalian daripada Jarot dan teman-temannya buat ngewakilin sekolah! Kalau kalian nyanyi lagu yang aneh-aneh, gimana mereka bisa menikmati."
"Bosen banget lagu ini tuh, Pak! Di mal ada! Di Warmil ada! Di warnet ada! Di angkot juga ada!"
"Justru itu bagusnya. Familiar, dan orang bisa ikutan nyanyi. Udahlah, nggak usah banyak cang-cing-cong kalian! Nurut aja sama saya!"
"Wah, ini nama pemberantasan kebebasan berpendapat!" Nana berseru.
"Emang! Dibaik-baikin, lama-lama kalian keenakan ya? Biar saya ingetin, kalian tuh masih budak saya! Mana ada budak yang bebas?!" Terry berdecak, lalu mengeluarkan dompetnya dan mencabut keluar beberapa lembar uang. "Injun, kamu beli makanan. Apa aja. Nana dan Jeno tetap di sini, kita masih perlu diskusi."
"Wah, saya mencium bau pengusiran terselubung!"
"Bukan terselubung lagi, tapi saya emang ngusir kamu beneran. Sekarang, beli makanan!"
"Makanan apa?"
"Masih nanya?"
"Makanan tuh ada banyak, Bapak. Makanan kucing. Makanan ANJING—" Injun sengaja memberi penekanan berlebihan pada kata 'anjing'. "Makanan ikan. Makanan—"
"Makanan yang bisa di makan manusia."
"Pisang, apel, alpukat, kedondong, semuanya bisa dimakan manusia. Atau—"
"Makanan pokok yang bisa mengenyangkan, dapat berupa roti atau beras yang sudah dimasak menjadi nasi, memiliki rasa gurih, asin atau pedas yang seimbang dan tidak berlebihan, terklasifikasi dalam main course untuk sesi fine dining, bisa berkuah, bisa ditumis, dan bukan makanan manis, apalagi buah-buahan. Dimaksudkan untuk menanggulangi rasa lapar, bukan pembangkit selera atau appetizer maupun pencuci mulut atau dessert. Sampai di sini jelas, saudara Artajuna?"
"Bapak tuh abis nelen abu KBBI apa gimana?!"
"Kamu punya waktu setengah jam untuk balik lagi ke sini atau rahasia kamu tentang perasaan kamu buat Shavela akan saya bongkar—"
"ASHIAAAAAAP!" Injun tak lagi membantah, langsung ngibrit seketika keluar dari studio musik tempat mereka berkumpul untuk berdiskusi dan berlatih. Selain unit yang ditinggalinya, Terry punya unit apartemen lain yang terisi penuh oleh alat musik, juga dilengkapi dinding kedap suara. Dia menyebutnya studio. Pada detik pertama berada di dalam sana, Nana langsung tahu jika studio itu telah lama tidak dikunjungi—meski kondisi di dalamnya tetap bersih dan bebas deb. Tampaknya, Terry masih membersihkannya secara berkala.
"Sekarang, berhubung Sontoloyo Nomor Dua udah pergi, kita bisa lanjut diskusi. Lagu sudah ditentukan. Kalian bakal mainin lagu itu. Karena kayaknya suara yang paling cocok sama lagu itu so far suara Injun, jadi kemungkinan dia yang bakal bertanggung jawab untuk masalah vokal. Buat lagu lain, mungkin bisa kita diskusikan lagi. Sekarang, bagian pentingnya adalah... nama dari band kalian."
"Oh, soal itu, sebenernya kita udah ada, Pak." Nana menyahut enteng.
"Apa?"
"AJE."
"Excuse me—what?"
"AJE. Artajuna. Jevais. Ezekiel."
"Jelek bener, udah kayak merek wedang jahe abal-abal."
"Yaudah, diganti jadi EJA aja gimana?" Jeno mengusulkan.
"Kayak nama anak Pak RT yang kerjaannya cuma sebat sambil nongkrong di pos ronda. Nggak. Ganti."
"EAJ?" Jeno masih belum menyerah.
"Ngaco!" Terry melipat tangan di dada. "Gimana kalau... DLP?"
Nana dan Jeno kompak mangap. "Hah?"
"Dream Launch Project. Orang bisa nyingkat jadi DLP, pake ejaan alfabet Inggris. Kedengeran jauh lebih keren daripada AJE apalagi EJA."
"Nggak ada makna filosofisnya. Masih mending AJE atau EJA sekalian." Nana malah ngotot.
"Justru nama yang kalian pilih itu yang nggak ada makna filosofisnya! Apaan tuh AJE? Masa nanti kalian perkenalan diri 'Halo, saya Artajuna—Jevais—Ezekiel dan kami adalah AJE!'. Dikira kalian comica lagi stand up comedy? Nggak. DLP. Titik."
"Dih, otoriter."
"Kamu baru boleh bantah saya kalau kamu udah bisa beli makan siang dan bayar fee latihan di studio musik pake duit kamu sendiri."
"Astagfirullah, Ndan, perhitungan amat! Inget ya, harta nggak dibawa modar!"
"Udah urusan gini aja kamu inget Tuhan. Jadi gimana? DLP atau saya cabut semua bantuan saya buat kalian bertiga."
"Hng..."
"Udahlah, kalau udah miskin tuh nggak usah berlagak kebanyakan mikir."
"IYA, AMPUN, GUSTI NU AGUNG! DI EL PI IYA!" Nana berseru dramatis, sementara Jeno hanya manggut-manggut saja. Dia sih tidak terlalu peduli pada nama band, yang paling penting buatnya adalah urusan perband-an ini selesai secepatnya, jadi dia bisa balik ngebucin Bongshik dan Giza tanpa khawatir kena tampol Udin.
Usai sepakat—atau lebih tepatnya memaksa sepakat—soal nama band yang akan mereka gunakan, Terry ganti membawa topik soal simbol. Simbol adalah bagian lain yang penting dari sebuah band, seperti Slank yang melegenda dengan kupu-kupunya, atau Avenged Sevenfold yang tenar dengan gambar tengkorak bersayap kelelawarnya.
"Kepala kucing aja gimana?" Jeno, untuk yang kesekian kalinya, kembali melontarkan ide ajaib yang bikin baik Nana maupun Terry harus menahan diri supaya tidak mengurut dada.
"Kenapa nggak sekalian kamu usul gambar muka Giza yang jadi simbolnya?" Terry bertanya sarkastik.
"Atau gambar muka Kasa."
"Nggak. Ini band, bukan perkumpulan para bucin sejagat raya. Kita harus cari simbol yang bermakna."
"Misalnya?"
Terry menjentikkan jarinya. "Gimana kalau serigala?"
"Maaf-maaf, Pak, tapi ini band, bukan perkumpulan pemuja Ganteng-ganteng Serigala."
"Atau fans wetengnya Jacob Black."
"Serigala tuh punya makna filosofis yang—" Terry tidak dapat meneruskan kata-katanya karena telinganya mendadak berdenging. Tidak seperti biasanya, denging kali ini begitu keras, membuat kepalanya serasa berada dalam lonceng super besar yang tengah dibunyikan. Salah satu tangannya langsung mencengkeram tepi meja. Sejenak, dia lupa pada kehadiran Jeno dan Nana yang masih berada di depannya. Saat dia ingat, dia berusaha menenangkan mereka dengan mengangkat tangannya yang lain ke udara.
"Saya nggak apa-apa."
"Namun denging itu masih tak kunjung pergi. Terry menghela napas, berusaha untuk fokus dan merasa lega kala denging itu berhenti. Tetapi tak lama setelahnya, dia baru menyadari sesuatu.
Jeno dan Nana berteriak, memanggil namanya. Lucunya, dia tidak mendengar apa pun. Apa yang tampak terlihat seperti adegan film bisu. Hanya gambar bergerak yang sarat emosi, namun nihil suara.
Dia tidak bisa mendengar apa-apa.
bersambung ke seventeenth note
***
Catatan dari Renita:
halo.
sori banget untuk super late update, karena semingguan belakangan gue lagi kurang sehat haha iya, gue juga bisa sakit, gaes. nothing serious tho, i just caught a super bad cold. terus ditambah cramps karena period dan kayaknya stress juga walaupun ga tau karena apa. sooooo sorry cause you deserve fast update. tapi yah, emang kalau unwell gini, yang ketunda bukan cuma update tapi urusan sidang gue dan segala macem pun sampe mesti ditunda.
semoga update chapter berikutnya bisa cepet ya. again, i'm so sorry.
sekarang gue sudah di semarang lagi. back to reality lol gotta graduate fast and soon, at least sebelum neo city origin di jakarta ;P
buat yang udah kelar UAS dan mau liburan, selamat liburan! buat yang mesti ngurusin akademik, kerjaan dan rutinitas segala macam, semangat! life is indeed tiring, but the struggles are the only things that keep it worth living for ;p dont stop until you're proud, but its ok to pause sometimes, just to take a deep breath, you know.
terkait extra chapter noceur dan lainnya bisa dilihat di postingan terakhir instagram gue ya. buat yang suka kangen, gue sebenernya lebih sering nongol di instagram, bikin kayak semacam scratch/halu gitu wkwkwk so just check my page at rennozaria (gausah follo juga gapapa karena ga dikunci).
oke, kayaknya sekian dulu. berikut dibonusin satu lagu dari injun ;p
https://youtu.be/LFfesq2GFU8
ciao!
Semarang, June 29th 2019
19.19
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro