seventh note
I think the hardest part about being teenager
is dealing with other teenagers.
The criticism and ridicule,
the gossip and rumors.
—Beverly Mitchell—
*
Nana tidak bilang apa-apa ketika Jeno dan Injun kembali ke meja—begitupun dengan Terry yang kelihatannya tidak curiga pada sedikit perubahan ekspresi di wajah Nana usai membaca pesan singkat dari Bang Horas. Tapi begitu Terry melaju pergi bersama mobilnya usai menurunkan mereka di depan minimarket yang tidak jauh dari rumah ketiganya (atas permintaan Jeno yang bilang dititipi Mama untuk membeli sebotol pewangi pakaian, membuat Injun dan Nana ikut minta diturunkan di tempat yang sama), Nana langsung menarik lengan Jeno, memaksa cowok itu menatapnya.
"Lo sama pacarnya Dean ada hubungan apa?"
Jeno mengerjap, sempat bingung sebentar. "Maksud kamu Sariffudin?"
"Sariffudin... Saripudean, sama aja." Nana menegaskan. "Jawab pertanyaan gue. Lo ada hubungan apa sama pacar anak itu?"
Jeno tetap diam, tak menjawab dan anehnya, tanpa diamnya cowok itu mampu membuat Nana paham seketika. Matanya menggelap. Senyum kini sudah hilang dari wajahnya. Jelas, ini adalah kali pertama Jeno melihat Nana memasang ekspresi seserius itu.
"Gue kan sudah bilang, jangan cari urusan sama pacarnya Dean!"
"Saya nggak cari urusan."
"Terus apa?" Nana memburu. "Kalau lo nggak punya salah atau nggak berbuat apa-apa, nggak mungkin Dean dan antek-anteknya nyariin lo sampai nanya-nanya ke Bang Horas!"
"Sarif nyariin saya?"
Injun mengamati kedua cowok di depannya. Dia paham kalau sikap gusar Nana sangat beralasan, tapi di sisi lain, Injun juga mengerti jika anak baik-baik seperti Jeno tidak tahu efek berbahaya dari berurusan dengan tukang bully yang tak segan-segan menghajar orang sampai babak-belur seperti Dean dan kelompoknya. Cowok itu meraih tangan Nana, melepaskan cengkeramannya dari lengan Jeno.
"Tolong diperselow ya. Kita nggak mau mengundang masyarakat dan handai-taulan datang ke sini gara-gara kalian jotos-jotosan."
Nana mengabaikan ucapan Injun. "Jangan main-main sama Dean, Jeno!"
"Kenapa?" Jeno malah bertanya dengan nada setengah menantang. "Kamu takut sama dia? Kamu nggak berani karena dia lebih jago nonjok daripada kamu?!"
Tangan Nana terkepal tatkala dia membantah sengit. "Gue nggak takut!"
"Kamu kelihatannya takut."
"Gue. Nggak. Takut." Nana mengulang, kali ini penuh penekanan. "Tapi gue juga bukan orang tolol yang bisanya nonjok tanpa pake otak! Gue nggak bisa membela orang yang salah, dan menurut gue, lo salah kalau lo ganggu pacar orang!"
"Saya memang suka sama Giza, tapi Giza nggak pernah bilang kalau dia suka sama saya. Kita cuma temenan."
"Temenan, tapi lo berharap lebih. Iya, kan?"
Jeno kembali dibuat bungkam. Mereka saling menatap sinis beberapa lama, membuat Injun ikut berpikir keras memutar otak untuk menemukan cara mencairkan suasana—yang sayangnya gagal. Jeno berdeham, lalu suaranya berubah dingin. "Saya harus beli pewangi pakaian titipan Mama saya."
Nana diam saja, membiarkan Jeno melangkah menuju minimarket. Di dekatnya, Injun berdecak sembari menghela napas super panjang. Mereka tetap berdiri di pelataran depan minimarket hingga Jeno keluar lagi, kali ini bersama kantung plastik berisi sebotol pewangi pakaian dan entah apa lagi di dalamnya. Jeno tersentak, tidak menyangka Nana dan Injun masih akan berada di teras minimarket saat dia keluar, namun kemudian wajahnya berubah biasa lagi.
"Jeno—" Injun memanggil, yang sengaja Jeno abaikan. Dia bermaksud bersikap seakan-akan dua cowok itu tidak ada, tetapi Nana tangkas menahan langkahnya. Genggaman tangannya terasa lebih kasar dari sebelumnya.
"Kita belum selesai ngomong."
"Kalaupun Sarif nyariin saya, itu bukan urusan kalian berdua." Jeno menyahut, nada suaranya menohok harga diri Nana. "Dia nyarinya saya. Bukan kamu, atau Injun. Tenang aja, saya juga nggak akan menyeret kalian ke dalam masalah saya. Sekarang, bisa lepasin tangan saya?"
Nana menelan ludah, perlahan melepaskan tangannya dari lengan Jeno. "Sekali aja... walau hanya sekali... kayaknya lo nggak pernah benar-benar menganggap kita teman lo ya?"
Jeno menatap Nana dan dia langsung menyesalinya. Nana kelihatan seperti terluka. Ada rasa bersalah timbul dalam diri Jeno, meletup-letup dalam dadanya, membikinnya diserang sesak ganjil yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
"Gue dan Injun bakal antar lo pulang."
"Nggak perlu."
"Kita—"
Ucapan Nana terhenti oleh sosok lelaki jadi-jadian yang muncul dari kejauhan, berlari membabi-buta ke arah mereka. Ekspresinya menyeramkan, membuat Nana dan Injun ikut-ikutan syok bercampur panik hanya dengan melihatnya. Satu tangan lelaki jadi-jadian itu memegang high-heels warna merah terang yang tampak seolah-olah menyala ditimpa keremangan cahaya lampu jalan, sementara tangannya yang lain memegang wig pirang ala anak layangan. Wajahnya berlapis pupur putih pucat, ditambah bulu mata palsu dua lapis dan lipstik merah menggoda.
"ANYING, ETA SI JUPE, NA!"
"Kabur, Njun! Buruan!"
Jeno tidak paham apakah ada sejarah tertentu antara Nana dan Injun dengan sosok lelaki jadi-jadian berdada sebesar jeruk bali yang kini kian dekat dengan mereka, tapi Nana dan Injun sepanik itu, sampai-sampai mereka lupa pada niat awal mengantar Jeno pulang. Keduanya berbalik, ngibrit sekencang-kencangnya seperti kuda sirkus yang lepas. Jeno melongo, ditinggal sendirian bersama kantung plastik berisi sebotol pewangi pakaian, sementara sosok lelaki jadi-jadian yang berhasil bikin Jeno panik bergerak ke samping minimarket, berusaha menyamarkan diri dalam bayang-bayang bangunan. Jeno menoleh padanya, yang dibalas oleh waria tersebut dengan meletakkan jari di depan bibir.
Hanya sekitar setengah menit setelahnya, sebuah mobil polisi dengan bagian belakang terbuka dan disesaki oleh waria-waria hasil cidukan aparat muncul dari belokan jalan. Mobil itu berhenti di depan Jeno. Suara raungan ninuninu sirene dari pengeras suara yang dipegang salah satu polisi mengingatkan Jeno pada drama terobos lampu merah tadi pagi. Jujur, dia jadi agak trauma.
"Dek, lihat ada bencong lewat sini nggak?"
Jeno menggeleng. "Nggak, Pak."
"Waduh, kemana lenyapnya si Jupe itu ya? Padahal target utama malam ini tuh dia. Tapi yaudah. Hati-hati baliknya, Dek. Bencong-bencong kayak gini nih bisa ganas kalau lihat anak baik-baik dan cakep macam kamu pulang sendirian."
Jeno mengangguk terpatah, langsung buang muka kala menyadari beberapa waria di bagian terbuka mobil meniupkan ciuman jarak jauh padanya. Mereka tidak kelihatan panik maupun gusar. Malah, Jeno melihat beberapa dari waria tampak tangkas menggoda para aparat yang berjaga di bagian belakang. Mobil itu berlalu, kian jauh dan suara sirenenya makin teredam. Waria yang tadi bersembunyi baru keluar dari tempat persembunyiannya setelah lampu belakang mobil polisi yang tadi sempat berhenti tidak terlihat lagi.
"Tararengkyu pisan ya, Ganteng." Waria itu berujar pada Jeno. "Nambore akika Jupe."
"Hah, maksudnya?"
"Eits, lupa kalau kita nggak sekalangan. Hehe. Maksudnya, nama aku Jupe."
"Itu... bukannya nama artis?"
"Beda sama artis yang itu mah." Jupe menyahut kalem. "Mau tau teu kepanjangannya nama aku?"
"Emangnya... apa?"
"Jurig Peuting. Hehehe."
Jeno manggut-manggut mengerti.
"Nambore—maksudnya, nama kamu siapa, aduh meuni endolita cakrabirawa mukanya. Sampe soraya perucha saking saltingnya akika ngelihatin kamu."
"Soraya... perucha?"
"Bukan sodaranya Soraya Larasita—eh Larasati pastinya. Eta mah artis."
"Terus apa?"
"Eta teh artinya sakit perut."
Jeno mengangguk lagi, walau kali ini, dia tidak bisa menahan pandangannya untuk tak menatap lebih detail pada penampilan waria di depannya. Kakinya yang telanjang lecet dan kotor, jelas dia sudah berlari cukup jauh sebelum menemukan tempat persembunyian di samping minimarket. Dadanya besar, sarat oleh sumpalan yang kini tengah dia keluarkan tanpa malu-malu. Ada keringat menitik di pelipisnya. Jeno masih diam waktu Jupe bicara lagi.
"Hampir aja terciduk malam ini. Memang tuh bapak-bapak polisi, saking naksirnya sama Jupe, sampai Jupe dijadiin target utama. Atau dendam kali ya. Waktu itu Jupe pernah digoda, ya namanya juga Jupe gitu loh, dari belakang kayak Tamara Blezensky, eh dari depan ternyata kayak Tamara Belichiki. Kalau gini, alamat besok mesti pijat-pijat. Rontok semua deh sendi rasanya." Jeno tidak tahu apa Jupe memang punya suara selembut itu atau suara itu hanya muncul ketika mode bencongnya teraktivasi. "Cacamarica duta memang sustagen. Oh ya, kamu belum jawab pertanyaan Jupe. Namanya siapa?"
"Jeno."
"Jono?"
"Je-no."
"Oh, Jeno."
"Kakak—"
"Panggil Jupe aja." Jupe memotong.
"Jupe... tinggal di dekat sini juga?"
"Nggak jauh-jauh amat, sih. Kenapa?"
"Takutnya... butuh sendal jepit." Jeno berkata jujur, membuat Jupe berhenti mengeluarkan sumpalan bra yang bikin dadanya kempes seketika, matanya mengerjap tak percaya pada kata-kata Jeno. "Soalnya, kalau jauh, pasti sakit kan jalan kaki nggak pake apa-apa?"
Jupe sempurna kehilangan kata-kata, masih diam kala Jeno merogoh ke dalam kantung kreseknya, mengeluarkan sebotol minuman yoghurt rasa jeruk.
"Saya lagi kesal tadi, gara-gara teman saya. Biasanya kalau lagi kesal, saya suka minum itu. Tapi buat sekarang... mungkin Jupe lebih butuh ini daripada saya."
Jupe terhenyak, perlahan, tangannya menerima sebotol yoghurt yang disodorkan Jeno.
"Saya pulang duluan, ya. Hati-hati pulangnya, Jupe."
Jeno tidak merasa perlu berujar lebih. Dia melenggang pergi begitu saja, tak sadar jika selama sejenak, Jupe berdiri di sana dengan sebotol yoghurt di tangan. Ada rasa tidak percaya bercampur haru di matanya.
*
https://youtu.be/uTCJaNLin1E
Keesokan harinya dan beberapa hari setelahnya, baik Nana maupun Injun tidak lagi menyinggung soal Dean yang mencari Jeno. Anehnya, Dean juga tidak terlihat di mana-mana, berbeda dengan Giza yang sesekali bertemu Jeno di depan warnet atau di depan Warmil Bang Horas. Mereka saling menyapa, mengobrol sebentar dan tetap rajin bertukar kabar via messages Instagram. Jeno menganggap kalau urusannya dengan Dean mungkin tidak mesti berbuntut panjang dan dia masih bisa berteman dengan Giza, sedangkan Nana dan Injun seakan-akan ngambek, perlahan menjauhinya.
Tapi itu tidak berlangsung lama, karena Terry kerap memaksa mereka datang ke markas setelah jam pulang sekolah. Iteung masih nongkrong asyik di sana bersama setelan gamis dan kerudung modernnya yang dipakaikan oleh Nana—sekarang dilengkapi sunglasses yang membuatnya jadi kelihatan seperti tengkorak masa kini super eksis.
"Coba waktu itu bapak bolehin kita beli Supreme buat Iteung, dia pasti udah jadi tengkorak hypebeast." Injun bilang begitu suatu siang, waktu mereka ngumpul, yang dibalas Terry dengan satu gaplokan panas di punggung.
Terry selalu bilang, ruangan itu—yang sekarang jadi salah satu ruangan paling mewah seantero sekolah—bukan markas mereka, tapi tempat dilaksanakannya perbudakan untuk memuaskan ego Terry sebagai satu-satunya orang di sekolah yang bisa menindas anak-anak nakal seperti Nana dan Injun (Jeno bukan tergolong anak nakal sih, tapi tetap saja mereka satu komplotan). Namun alih-alih merasa diperbudak, ketiga cowok itu justru merasa ini adalah akal-akalan Terry buat memberi mereka sesi kursus tambahan di luar jam sekolah. Sehari setelah dibersihkan, Terry juga sempat membuat kehebohan dengan membawa sebuah piano entah dari mana yang digotong sekelompok manusia berotot mirip preman. Biasanya, Terry memaksa Injun-Nana-Jeno belajar bahasa Inggris, sedikit bahasa Jerman dan piano. Kadang, dia memanggil pengajar—yang dibilangnya temannya—bertampang seperti guru les lembaga kursus ternama buat mengajari mereka pelajaran yang tidak Terry kuasai, seperti Matematika, Ekonomi dan Geografi.
Injun dan Nana jelas tidak betah, tapi karena mereka sudah terikat surat kontrak perbudakan, maka keduanya tidak bisa berkutik. Lagipula, Terry bersedia membayar makan siang mereka. Juga, kegiatan mereka selalu bervariasi. Terry bahkan pernah menyuruh mereka membuat lukisan abstrak di atas kanvas dengan cat dan knife palette—sesi itu jadi sesi terfavorit Injun.
Tanpa bisa dihindari, tensi yang sempat menegang setelah konfrontasi kecil Jeno-Nana di pelataran depan minimarket waktu itu melonggar kembali, meski Nana jadi bersikap lebih 'diam' pada Jeno.
"Injun boleh pulang duluan. Dan Jeno, Nana, saya perlu ngomong sama kalian." Nana yang sedang memasukkan buku tulisnya ke dalam tas langsung berhenti bergerak waktu mendengar ucapan Terry sejenak setelah sesi 'perbudakan' mereka siang ini selesai.
Injun mengernyit, menatap dengan sorot menuntut pada Nana dan Jeno. "Kalian ribut di belakang gue ya?! Heh, kalau ribut tuh ngajak-ngajak, dong!"
"Nggak." Jeno membantah.
"Komandan mau ngomongin apa?" Nana bertanya tanpa basa-basi. "Nggak usah nunggu Injun balik. Ngomong aja sekarang."
"Kalian berantem ya?"
Jeno dan Nana saling lirik, lalu kompak diam.
Terry menarik napas panjang, kontan memahami situasi diantara mereka. "Jangan bilang kalau kalian rebutan cewek."
"Atau rebutan gue?" Injun menyela.
"Tolong ya, Injun, kamu bukan orang yang bahan-rebutan-material. Jadi diam dulu." Terry beralih pada Injun, yang bikin Injun nyengir. "Kalian nggak rebutan cewek, kan? Atau jangan-jangan Jeno suka sama anak IPA kesayangannya Nana?"
"Pak, kalau dia suka sama Kasa, bukannya diem-dieman, udah saya ajakin dia berantem pas hujan-hujan di rooftop bangunan tinggi terdekat!" Nana sewot.
"Terus kenapa?"
"Rahasia lelaki."
"Ye, Sontoloyo first, kamu kira saya ini bukan laki-laki?!"
"Oh, oke, ralat. Rahasia cowok, maksudnya." Nana mengoreksi. "Bapak kan udah om-om, bukan cowok lagi."
"Yaudah. Terserah kalian aja. Tapi sebagai majikan yang baik, saya berharap kalian terus rukun sampai nanti masa perbudakan ini selesai. Sekarang, kalian boleh pulang."
Ketiganya tidak bicara lagi, melanjutkan membereskan barang-barang mereka dan memasukannya ke dalam tas, lantas beranjak meninggalkan ruangan. Terry mengantar kepergian tiga cowok itu dengan tatapan mata, lalu perlahan napasnya terembus. Dia menoleh pada Iteung yang masih teronggok gaul di pojok ruangan, diam-diam bergumam.
"Kayaknya usul Injun buat menjadikan kamu tengkorak hypebeast boleh dipertimbangkan."
Sekolah sudah sepi sebab sudah lewat beberapa jam sejak waktu pulang. Injun sempat berharap kalau anak-anak OSIS rapat lagi seperti kemarin-kemarin—siapa tahu dia bisa ketemu Lala, tapi ternyata lapangan depan telah betul-betul kosong. Maaf-maaf nih ya, bukan berarti Injun naksir Lala. Cuma, Lala tuh baik banget akhir-akhir ini. Awalnya agak horor, namun lama-lama, Injun merasa kalau Lala itu tidak segalak dan tidak sejutek yang dia pikirkan sebelumnya. Apa jangan-jangan dia sengaja begitu soalnya bentar lagi Injun lulus? Nggak tahu juga, sih.
Yah, bisa jadi Lala mikirnya kayak toh tinggal setahun kurang dia direcoki oleh kehadiran Injun, jadi daripada memperbanyak memori kelam yang tiap diingat, bikin mereka kepingin saling jotos, mendingan berdamai sejenak dan menciptakan memori indah.
Memori indah... bangke banget udah kayak orang pacaran aja. Injun membatin dalam hati, menyentakkan kepala untuk mengusir suara-suara tentang Lala dari dalam kepalanya.
Mendung tebal berarak di langit saat mereka berjalan melintasi lapangan. Tidak butuh waktu lama buat berubah jadi rintik-rintik hujan yang untungnya tidak rapat, jadi tak langsung membuat mereka basah. Jeno, Injun dan Nana seperti tidak terpengaruh. Mereka masih berjalan santai, saling diam, hingga kehadiran sesosok gadis yang menunggu di dekat pintu gerbang sekolah berhasil membikin Jeno tertegun.
"Giza?"
"Oh, hai!" Giza melambai, tersenyum lebar dan walau hanya sesaat, Jeno seperti lupa menapakkan kakinya ke Bumi. "Gue kira lo pulangnya sama kayak anak-anak lain, tapi ternyata nggak."
Jeno mengernyit, refleks membuka jaket yang dia pakai dan menyerahkannya pada Giza. "Pake ini."
"Loh, kenapa?"
"Hujan. Nanti basah."
"Lo yang bakal basah kalau nanti jaket lo gue ambil."
"Iya, tapi seragam kamu warnanya putih. Kalau basah, jadi transparan." Jeno tertawa. "Bisa bahaya, kan? Seragam saya, mau jadi transparan juga nggak apa-apa. Nggak bakal ngundang bahaya."
Giza tersekat, tapi kemudian perlahan, tangannya terulur meraih jaket yang Jeno sodorkan. "By the way, ini teman-teman kamu?"
"Hng..." Jeno nyaris lupa pada keberadaan Injun dan Nana. "... iya. Yang itu namanya Artajuna, dan yang ini... Jevais."
"Halo, nama saya Giza."
"Jevais." Nana terang-terangan menunjukkan ketidaksenangan. "Lo pacarnya Dean, kan?"
Ekspresi wajah Giza berubah sedikit, tapi kemudian dia tersenyum. "Sudah nggak."
"Yakin Dean juga mikir gitu?"
"Nana!" Jeno berseru, yang malah bikin Nana menatapnya berani.
"Apa?"
"Jangan gitu sama teman saya."
"Gue cuma nanya."
Jeno menyipitkan mata pada Nana, sorot penuh peringatan tergambar jelas di iris cokelat gelapnya. Lalu, cowok itu berbalik pada Giza. "Kenapa kamu nungguin saya di sini?"
"Nggak apa-apa. Pengen lihat lo aja. Tadinya mau ngajakin lo keliling sekitaran sini bentar, ngasih makan kucing-kucing jalanan yang kita temuin, tapi ternyata hujan. Padahal gue udah bawa whiskas sama tongkol, in case ada kucing yang nggak suka whiskas."
"Iya, hujan. Kalau gitu, saya aja yang antar kamu pulang. Gimana?"
"Jeno!" Nana berseru, sementara Injun tampaknya sudah lelah duluan bahkan hanya sekedar untuk mengucapkan satu-dua kata.
Jeno mengabaikan Nana. "Saya duluan. Sampai ketemu besok."
Nana lagi-lagi mencoba menahan Jeno, tetapi Injun sudah lebih dulu meraih sikunya. Pada akhirnya, dia hanya bisa membiarkan Giza dan Jeno berlalu pergi.
"Dia nggak tahu Dean itu orang yang kayak gimana!" Nana berseru, kesal dan gusar mewarnai suaranya.
"Nana—"
"Gue nggak tahu dia nganggap kita apa, tapi gue sudah menganggap dia teman."
"Gue ngerti. Meski gitu, Jeno juga bukan—"
Kata-kata Injun tidak terteruskan, terpotong oleh suara berisik knalpot motor hasil modifikasi yang muncul dari ujung jalan. Bukan hanya satu motor, tapi beberapa sekaligus. Mereka berhenti sejenak di depan Warmil Bang Horas, seperti tengah merundingkan sesuatu yang serius. Lalu, Dean melirik arloji di pergelangan tangannya sebelum kembali naik ke jok motornya. Cowok itu merokok sebentar, dikelilingi oleh anak-anak SMA bertampang sangar yang juga anak buahnya. Usai menuntaskan sebatang rokok, Dean menyalakan mesin motornya, memimpin gerak anak-anak SMA itu menuju satu arah yang sebelumnya dituju oleh Jeno dan Giza.
"Kita harus cari Jeno." Nana berkata begitu pada Injun yang langsung setuju.
*
Ternyata, rumah Giza berada di arah yang berlawanan dengan rumah Jeno. Itu artinya, perjalanan pulang Jeno nanti bakal terasa lebih melelahkan, karena dia harus menempuh jarak hampir dua kali lipatnya jarak rumah-sekolah, tapi Jeno tidak merasa keberatan. Hujan sempat menderas sebentar, bikin mereka mesti menunggu di emperan ruko yang tengah tutup. Namun kala keduanya tiba di depan rumah Giza, hujan tinggal sisa-sisa. Aneh, hujan seperti hanya mampir dadakan buat membasahi jalan dan pucuk-pucuk pepohonan.
"Mau masuk dulu nggak?"
"Ngapain?" Jeno balik bertanya.
Giza nyengir. "Minum dulu mungkin? Tapi gue nggak punya kucing, soalnya ada yang alergi di rumah, jadi nggak bisa miara."
"Pengen, sih, tapi kayaknya nggak bisa."
"Kenapa?" Giza kelihatan kecewa.
"Ini udah sore. Nanti Mama nyariin kalau saya telat banget pulangnya."
"Ah ya, lupa. Lo pulang jalan kaki atau mau pake ojek online?"
"Nggak jauh-jauh banget, kok. Saya jalan aja."
"Jeno,"
"Apa?"
Giza seperti ragu, walau akhirnya dia tetap melanjutkan dengan terbata-bata. "Hng... karena kita udah temenan... apa lo nggak terpikir buat menagih... janji gue yang waktu itu?"
"Janji yang mana?"
"Tentang nama depan gue."
"Ah ya. Saya masih penasaran." Jeno tertawa hingga dua matanya bertransformasi jadi lengkung bulan sabit. Giza selalu menyukainya. Waktu Jeno tersenyum, tidak seperti kebanyakan orang, matanya ikut tersenyum. "Kamu mau kasih tahu?"
"Nggak mau coba tebak?"
"Safira?"
"Bukan."
"Selena?"
"Itu sih mantan pacarnya Justin Bieber."
"Oke, saya nyerah."
"Sofia."
"Hng?"
"Sofia." Giza mengulangi, kali ini dengan rona samar di pipinya. "Sofia Giza Imalona. Itu nama gue."
"Sofia,"
"Iya?"
"Nama kamu cantik."
Keduanya saling memandang dan meski tak dikatakan, Jeno dan Giza sama-sama menyimpan senyum di mata masing-masing. Langkah pulang Jeno selanjutnya terasa ringan. Langit yang meredup pelan-pelan menggelap. Burung-burung beterbangan di langit, mungkin bermaksud pulang ke sarang sebelum malam menjelang. Segalanya berangsur gelap dan remang-remang, tapi tidak dengan suasana hati Jeno. Ada yang meletup-letup dalam dadanya, seperti popcorn yang siap diangkat dari atas kompor.
Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Serombongan motor berknalpot modifikasi yang suaranya cempreng dan super berisik mendadak muncul di ujung jalan. Jeno tercengang kala menyadari, Dean berada di barisan terdepan, memimpin rombongan motor itu. Dia masih belum bisa membaca situasi yang terjadi tatkala salah satu motor berhenti. Dua anak bertampang berandalan turun dari sana, tanpa basa-basi langsung menyeret Jeno ke ujung gang buntu terdekat.
Jeno mencoba melawan, tapi karena dia kalah jumlah, mereka mampu menyudutkannya ke tembok dengan mudah. Dua cowok berseragam SMA yang menarik Jeno masih memeganginya ketika Dean turun dari motor. Salah satu anteknya yang lain mendekat, menyerahkan lonjoran besi.
Dean berjalan mendekati Jeno. Wajahnya masam. Ada senyum meremehkan tersungging di sana, terutama setelah matanya melirik pada nametag yang tersemat di seragam Jeno. "Jadi lo yang namanya Ezekiel itu."
Jeno mengerjap. "Jadi kamu yang namanya Sariffudin itu."
"DEAN!"
Jeno menunjuk nametag di seragam Dean. "Itu tulisannya Sariffudin."
"Lo sengaja nantangin gue ya?"
"Cuma nanya aja. Tulisannya Sariffudin. Kok dipanggilnya Dean?"
Dean melirik pada salah satu anak buahnya yang memegangi Jeno dan yang dilirik langsung mengerti. Cowok itu meninju perut Jeno. Keras, membikin Jeno langsung terbungkuk sambil terbatuk. Wajahnya memerah, jelas kesakitan.
"Lo ngapain sama cewek gue?!"
Dahi Jeno berllipat. Napasnya terengah menahan sakit, tapi dia masih berani menengadah, memandang sengit pada Dean. "Giza bukan pacar kamu lagi."
"Kata siapa? Kata dia? Heh, goblok, dia masih pacar gue atau bukan pacar gue lagi, semuanya terserah gue! Bukan terserah dia!" Dean mempersempit jaraknya dengan Jeno, lantas menghantamkan tempurung lututnya ke perut Jeno. Kontak fisik itu lebih bertenaga daripada tinjuan sebelumnya. Jeno mengerang kesakitan, merasa pandangannya sempat menggelap sesaat. "Itu pelajaran buat lo supaya nggak sok jago waktu ngomong sama gue!"
"WOY, UDIN! BERHENTI!"
Perhatian Dean dan centeng-centengnya teralih oleh seruan yang muncul dari ujung lain gang. Ternyata itu Nana. Dia berdiri di sana, berkacak pinggang dengan Injun di sebelahnya. Dean mengerutkan dahi, tapi senyum jahatnya lalu tertarik. Dia kenal Nana, tentu saja. Jevais Nareshwara itu adalah salah satu tukang tonjok paling berbakat yang pernah dia tahu. Nana bisa saja mengumpulkan banyak orang, punya banyak bawahan sepertinya dan pergi kesana-kemari memalak, melawan guru atau melakukan tindakan nakal lainnya dengan leluasa, jika saja dia bukan cowok yang mudah disetir oleh cewek yang dia suka. Ceweknya tak suka pada kebiasaan Nana berantem, membuatnya berakhir jadi cowok menyedihkan yang Dean tahu kerap main piano di bar tengah kota atau nongkrong di Warmil Bang Horas kala pagi buta.
"Ah, Jevais. Lama nggak ngelihat. Tertarik bergabung ke pesta?"
"Lepasin teman gue!"
"Dia teman lo?"
Jeno mencengkeram tangan Dean, menatapnya tajam. "Dia bukan teman saya. Kamu nggak perlu melibatkan dia dalam urusan ini."
"Alah, bacot!" Dean berseru, sekali lagi menghantamkan kepalan tinjunya, kali ini ke dada Jeno dan itu berhasil membuat Jeno hampir kehilangan kemampuan untuk tetap berdiri.
"HEH, APA-APAAN LO NINJU TEMAN GUE?!"
"Pergi!" Jeno berseru pada Nana, suaranya parau, sarat oleh kesakitan. "Kalian berdua, pergi dari sini!"
Nana mengabaikan perintah Jeno. Cowok itu malah bergerak menghampiri Dean dan komplotannya. Dean memutar bola mata, memberi kode pada beberapa anak buahnya yang lain. Mereka langsung paham, cepat bergerak menyambut Nana dan Injun. Dalam waktu singkat, adu jotos pun terjadi. Jeno tidak tahu Nana belajar dari mana, tapi cowok itu punya kemampuan berantem yang cukup baik. Dia tangkas berkelit menghindari kepalan-kepalan tinju yang diarahkan padanya, mampu memanfaatkan kaki dan tangannya untuk mendaratkan serangan yang tepat sasaran. Injun, walau tidak sejago Nana, masih lebih baik dari Jeno yang betul-betul tidak punya pengetahuan apa-apa soal adu otot.
Namun begitu, mereka tetap kalah jumlah. Pada akhirnya, Injun dan Nana tetap babak-belur terkena pukulan anak buah Dean. Kala keduanya sudah kehabisan tenaga, antek-antek Dean menarik Injun dan Nana, menyeret mereka dan memaksa keduanya berlutut di depan Dean—yang sekarang berlagak sombong bersama lonjoran besi di tangan.
"Goblok lo semua!" sembur Dean sambil menunduk, menghantamkan lututnya ke dada Nana. Nana mengunci mulutnya rapat-rapat, enggan membuat Dean makin puas karena mendengar rintih kesakitannya. Tapi wajahnya memerah, menandakan kalau nyeri yang diakibatkan hantaman lutut Dean itu cukup parah. "Kalau mau berantem dan ngebelain temen lo, coba ngotak! Ini mah kagak! Udah tangannya lemes kalau nonjok, otaknya juga nggak dipake! Sampah!"
Nana mendesis. "Lepasin teman gue."
"Apa yang bikin gue harus ngelepasin teman brengsek lo ini?"
"Kalau lo lepasin teman gue hari ini, besok-besok dia nggak akan ganggu cewek lo lagi."
"Omongan lo... bisa dipegang?"
"Nggak!" Jeno membantah. "Giza bukan pacar kamu lagi!"
"Lihat?" Dean tertawa mengejek. "Gue tahu lo ini bermental lemah, Jevais. Tapi gue nggak ngira kalau selera lo dalam memilih teman sama payahnya. Bodo amat. Kalian, pegangin dia. Urusan gue bukan sama Jevais atau sama si Juna. Urusan gue sama bocah kurang ajar yang nggak tahu diri ini. Kita lihat, apa dia masih bisa banyak omong kalau kepalanya udah gue bikin bocor."
Nana mendesis, mencengkeram salah satu kaki Dean hingga cowok itu batal melangkah. "Jangan berani-beraninya."
"Sangat khas Jevais. Selalu setia kawan."
"Gue serius."
"Terus apa? Lo sepeduli itu sama teman yang tolol ini? Gimana kalau kita buktikan? Gimana kalau misalnya kepala lo yang gue bikin bocor sebagai ganti kepala dia?"
Nana mendongak, memandang Dean dengan sepenuh rasa benci. "Menyedihkan."
"Apa lo bilang?"
"Gue bilang, lo menyedihkan." Nana menyeringai, membuat wajahnya yang penuh memar dan lebam bekas pukulan jadi tampak mengintimidasi. "Nggak ada yang lebih menyedihkan daripada cowok yang nggak tetap memaksa cewek sekalipun sudah ditolak. Lo... menyedihkan."
"Bagus. Lo bikin gue berubah pikiran." Dean bergumam geram dan seakan-akan mengerti, dua anak buahnya mengeratkan tangan mereka yang memegangi Nana. Salah satunya memaksa Nana menunduk, membuat tatapannya menusuk tanah yang berdebu. Dean melemaskan tangan lalu mengeratkan genggaman pada lonjoran besi di tangannya. Dia sudah siap menghantamkan lonjoran besi itu ke kepala Nana sekuat yang dia bisa.
Mungkin, itu yang bakal terjadi jika Jeno yang panik tidak cepat menggigit tangan salah satu anak buah Dean yang memeganginya, lalu memposisikan diri sebagai tameng buat Nana. Bukannya mengenai kepala Nana, lonjoran besi itu justru menghantam pundak Jeno dengan keras. Bunyi mengerikan merobek malam yang baru saja dimulai. Nana dan Injun membeku, kehilangan kata-kata. Begitupun dengan Dean dan anak buahnya.
Awalnya, yang terasa di bahu Jeno adalah dingin, yang kemudian dengan cepat berubah jadi panas. Nyeri berdenyut di sana, merambat ke sekujur tubuh. Jeno terhuyung, merasakan pandangannya mulai diselimuti oleh semut-semut yang datang entah dari mana.
"Jeno!" Jeno mendengar Nana berseru, memanggil namanya.
"HOY, ANAK-ANAK KAMPRET!" Ada teriakan yang lain lagi. Suaranya familier, tapi Jeno tidak bisa memastikan itu siapa.
"Jeno!"
"Kita harus bawa dia ke rumah sakit, Nana!" Injun ikut bicara, tapi suaranya terdengar sangat... jauh. Lama-lama, terasa lebih mirip kata-kata yang dibisikkan ke dalam ceruk gua. "Kasih tau nyokapnya!"
Napas Jeno terengah karena rasa sakit yang merambat tanpa jeda, tapi dia masih sempat membisikkan serangkaian kata penuh penekanan. "Mama saya—Mama saya—dia nggak boleh tahu... soal ini..."
Dan semuanya gelap.
bersambung ke eighth note
***
Catatan dari Renita:
finally, some actions! haha, namanya dunia remaja pasti selalu ada dramanya. kalau cewek-cewek berantem sambil jambak-jambakan dan sebagainya, cowok-cowok biasanya lebih ekstrem lagi lol somehow gue berpikir kalau dunia jeno-injun-nana itu agak sedikit lebih rumit dibanding dunianya trio chandra-calvin-cetta atau setra-rasi-sabda lol they have to deal with a lot o things, mulai dari masalah keluarga, pak terry yang masih nggak jelas maunya apa, tuntutan peer groups, masalah cinta monyet dan yha... konflik dengan sesama remaja :')
being teenagers is hard, especially when your parents constantly telling you to behave well, not to do this and do that instead. i've been there before dan renita di masa remaja sangat-sangat-sangat nakal dan emo (i often made my mom cry).
buat yang sudah selesai, ujian, selamat! seperti yang selalu gue bilang, belajar itu penting, tapi bukan yang terpenting. also think about your happiness cause it matters. biasanya sih pertanyaan yang sering gue dapat adalah gimana kalau seandainya passion seorang anak nggak didukung sama ortunya ada perbedaan pendapat soal pilih jurusan sendiri tapi nggak direstuin ortu atau pilih jurusan yang direstuin ortu tapi nggak sreg.
(gue sudah pernah posting ini di instagram tapi in case ada yang belum tau dan butuh jawaban) first, go talk to your parents. kalau orang tua lo bisa berunding, bagus. kalau nggak bisa, lo harus kompromi, kecuali lo sudah bisa dengan berani bilang "gue mau kuliah di sini. titik. mau direstuin atau nggak, nggak masalah. gue bisa bayar living expense dan uang kuliahnya sendiri."
silakan.
tapi kalau belom bisa, mau gamau lo harus ikut mau mereka. yes, darl, life is indeed unfair. gue nggak mau jadi anak IPA, maunya IPS, tapi dipaksa ke IPA. gue mau masuk sastra atau hukum, tapi nggak boleh (i only have two options: engineering or medical) dan karena gue nggak berada dalam posisi di mana gue bisa mandiri, gue terpaksa mengikuti.
walau begitu, passion nggak pernah mati. gue nggak masuk sastra, tapi gue masih bisa menulis. contoh paling dekat adalah mungkin sutradara joko anwar? dia lulusan ITB. mau sekolah film, gabisa. sekarang dia ngapain? jadi sutradara. nggak pernah ada kata terlambat. lo akan struggle, memang, tapi semua proses belajar juga pasti akan ada strugglenya. even orang paling jenius sekalipun.
don't give up, cause actually, life is pretty nice when you can live it the way you've always wanted. semangat terus ya.
oke, kayaknya itu aja karena gue masih banyak tugas yang lain sooooo, hope you're having a good night and ciao!
Semarang, April 13th 2019
18.15
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro