Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

seventeenth note

It kills me sometimes, how people die.

—Markus Zusak—

*

Hidup dalam dunia yang seutuhnya tanpa suara terasa mengerikan. Terry tersekat, mencoba menarik napas, tapi semua ketenangan seakan dirampas paksa darinya saat detik demi detik berlalu dan dunianya masih tetap saja sunyi. Nana memandangnya, jelas memanggil namanya, namun tak ada bunyi yang terdengar oleh telinga. Terry nyaris kehilangan kewarasan, mulai memukul kepalanya sendiri, perlahan berlutut sementara air matanya mengalir. Dia ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Lalu, senyap terganti oleh denging keras, seperti ada seseorang mengguncang lonceng di dekat telinganya. Kepalanya sakit, seolah-olah bisa meledak sewaktu-waktu.

Terry hampir berteriak frustrasi, hingga dia merasakan genggaman tangan Nana dan Jeno di bahu dengan lengannya menguat, membuatnya mengangkat wajah hanya untuk mendapati mata Nana sedang menatapnya. Mata itu berkaca-kaca. Hanya perlu satu kedipan dan air mata akan jatuh ke pipinya. Tetapi tanpa alasan yang tidak Terry ketahui, Nana menahan diri untuk menangis.

"Pak?" Dia memanggil dan kelegaan mengaliri dada Terry.

Dia bisa mendengar lagi.

"Kita harus ke dokter!" Jeno mendadak menyela.

"Bener. Kita harus—"

"Saya nggak apa-apa."

"Tapi, Pak—"

"Saya nggak apa-apa!" Terry mengulang dengan lebih tegas, tapi intonasinya terlalu tinggi hingga membuat Jeno dan Nana terdiam seketika. Bisa dimengerti. Mereka pasti terkejut, karena selama mengenal Terry, belum pernah sekalipun lelaki itu membentak dengan nada marah sungguhan. "Hng... maksud saya... saya baik-baik aja. Saya cuma butuh istirahat sebentar."

"Bapak yakin?"

Terry mengernyit. "Kamu nggak usah sok khawatir gitu sama saya. Geli."

"Saya serius!" Nana berseru. "Kalau bapak sakit, kita bisa antar bapak ke dokter!"

"Saya nggak apa-apa." Terry beranjak, menatap bergantian pada Jeno dan Nana dengan canggung, sebelum meneruskan ucapannya. "Kalian lanjutin aja diskusinya. Nanti kalau Injun udah dateng, makan duluan aja. Saya nyusul."

"Pak—"

Terry mengabaikan kekhawatiran yang terdengar jelas dalam suara Jeno, buru-buru melangkah pergi menjauhi mereka dan menghilang di balik pintu kamar yang lalu dia tutup. Lelaki itu bersandar sebentar di pintu, menghela napas dalam-dalam seraya meremas rambutnya diikuti embus napas frustrasi. Ada beberapa alasan yang membuatnya memutuskan hiatus dari pekerjaannya sebagai produser dan song-writer. Salah satunya adalah apa yang baru terjadi. Namun setelah setahun lewat, baru kali ini dia betul-betul tidak bisa mendengar sama sekali dan itu berlangsung dalam hitungan menit. Jujur, rasanya lebih menakutkan dari yang dibayangkan. Terry merasa kosong, hampa dan sepi.

Jika ditanya apa yang ingin dia lakukan sekarang, dia ingin bisa leluasa membanting barang, menangis, memukuli kepalanya sendiri, melampiaskan seluruh emosi yang kini terjejal dalam diri. Tapi dia tidak bisa melakukannya. Tidak di depan Jeno dan Nana—juga Injun yang kemungkinan besar bakal segera kembali. Mereka tidak boleh menyaksikannya yang seperti itu. Terry masih merasa bersalah pada Yeda karena adiknya itu mesti melihat bagaimana menyedihkannya dia berbulan-bulan lalu.

Tidak di depan mereka.

Tentu saja, tidak. Mereka pantas dapat yang lebih baik. Mereka tidak boleh melihat dirinya yang lemah dan menyedihkan.

Terry memutuskan masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin dari shower berhasil membuatnya merasa lebih baik. Hanya sedikit. Selebihnya, rasa takut itu masih bercokol dalam benaknya. Bagaimana jika nanti telinganya berdenging lagi, lalu dia tak bisa mendengar apa-apa untuk selamanya?

Terry baru selesai mengeringkan rambutnya dengan handuk ketika pintu kamarnya diketuk. Dia menghela napas, semula bermaksud mengusir siapapun yang ada di depan pintu, tapi batal kala suara Injun terdengar. Anak itu pasti berdiri sangat dekat dengan pintu, berbisik pada lubangnya seakan-akan dia hendak membagi rahasia terbesar dengan Terry.

"Komandan?"

Terry menyentakkan kepala, berjalan menuju pintu. "Apa?"

"Kata Nana, Komandan sakit."

"Saya nggak apa-apa."

"Makan dulu, Komandan."

"Kamu duluan aja."

"Saya belinya mi ayam. Nanti keburu busuk kalau nggak dimakan. Komandan mau makan mi melar?"

Terry menghela napas. "Kenapa belinya mi ayam?"

"Abis bingung mau beli apa. Terus Komandan juga yang bilang, nggak apa-apa makanan berkuah."

"Yaudah. Nanti saya keluar."

"Kapan?"

"Nantinya kapan?"

"Kamu kenapa jadi sok perhatian gini, sih?"

Injun diam sejenak. "Komandan,"

"Apa lagi?"

"Saya mau minta ampun. Saya janji bakal insyaf. Saya nggak akan ngutuk bapak lagi."

"Maksud kamu tuh—"

"Kemaren kan saya yang nyumpahin bapak, kalau bapak pura-pura nggak denger, nanti kupingnya diambil Allah. Eh, kata Jeno, bapak budek beneran."

"HEH—"

"Tapi jangan mati dulu, Pak! Plis!"

"..."

"Matinya ntar aja. Plis?"

"Kamu kira itu terserah saya?"

Injun meringis. "Nggak, sih."

"Tapi sekedar ngasih tau kamu, saya nggak ada rencana mati dalam waktu dekat ini. Soalnya, saya belum cukup bikin kamu susah."

"Bener ya?"

"Iya."

"Janji?"

Nada suara Injun berbeda dengan biasanya. Dia tak terdengar seperti bocah tengil yang kepalanya penuh ide jahil. Dia terdengar seperti anak kecil polos yang sedang merajuk, memohon pada Terry dengan sungguh-sungguh.

"Siapin mi saya."

"Siap, Komandan!"

Injun tidak menyadari, bagaimana Terry tidak pernah berjanji.

*

Diskusi mereka hari itu terhenti sepenuhnya. Belum ada keputusan pasti soal lambang yang akan mereka gunakan untuk band mereka. Terry sempat berniat kembali berdiskusi, tapi ketiga remaja di depannya menolak, walau tidak terang-terangan. Selepas makan, Jeno bahkan langsung pamit pulang. Ngakunya, akhir-akhir ini Bongshik mulai lupa sama dia, jadi dia mesti kembali mempererat ikatan batin dengan Bongshik dan satu-satunya cara adalah bobo bareng. Tak lama, Injun juga ikut pamit. Caranya malah lebih ekstrem. Sebelum pulang, dia mendekati Terry, kemudian meraih tangan lelaki itu dan menciumnya, persis seperti murid berbakti pada gurunya.

"Kalian tuh kesurupan apa?"

"Nggak apa-apa, Pak. Mau berbuat baik aja."

"Baru kepikiran berbuat baik karena takut saya mati?"

"Hehehe."

"Udah sana, pulang! Kalau udah nyampe rumah, kasih tau di grup."

"Siap, Komandan!"

Hanya dalam beberapa saat, tinggal Nana dan Terry yang duduk berhadapan di ruang tengah. Mereka saling diam sebentar, sampai Terry berdeham. "Kamu nggak mau pulang juga?"

"Bapak ngusir saya?"

"Iya."

"Bapak yakin bakal baik-baik aja kalau saya pulang?"

"Aduh, Anak Muda, nggak usah sok perhatian tiba-tiba gitu. Selama ini saya tinggal sendirian dan saya baik-baik aja. Pulang aja."

Kelihatannya, Nana benar-benar sedang tidak bisa diajak bercanda. Wajahnya sangat serius. Tidak ada lagi seringai tengil atau cengiran jahil. Matanya menatap lurus pada Terry. "Saya serius, Pak. Saya bisa nginap di sini. Nemenin Bapak. Nenek nggak bakal keberatan."

"Sayanya yang keberatan."

"Pak—"

"Saya nggak tahu apa insiden tadi itu membuat kamu ngerasa berhak mengasihani saya, tapi saya baik-baik aja."

"Saya nggak mengasihani bapak."

"Terus apa?"

"Saya peduli sama bapak."

Terry memandang Nana dengan nanar, lalu menghela napas dalam-dalam. "Dengerin saya, Jevais—"

"Dari dulu, saya nggak pernah tahu apa itu namanya takut. Tahu kenapa?"

"Jevais—"

Nana menarik senyum sedih. "Soalnya dari kecil, saya nggak punya apa-apa. Katanya, lebih mudah menghadapi kehilangan saat kita nggak punya apa-apa. Ayah saya lebih sering nggak sadar daripada sadar. Saya nggak pernah tahu siapa ibu saya. Mungkin ada Nenek, tapi saya paham, walau suatu hari nanti mungkin Nenek nggak ada lagi, Nenek nggak akan pernah ninggalin saya. Begitu juga dengan Kasa. Saya tahu, saya bisa percaya sama dia. Dia nggak akan pernah ninggalin saya."

"..."

"Tapi sore ini, buat pertama kalinya, saya takut kehilangan, karena saya nggak percaya sama bapak. Bapak bisa aja ninggalin saya. Dan saya nggak mau itu. saya nggak mau kehilangan bapak."

Terry menelan ludahnya. "Kamu harus pulang. Istirahat yang cukup. Besok kita ngobrol lagi."

"Bapak,"

"Apa?"

"Jangan kemana-mana."

"..."

"Jangan pergi kemana-mana."

Untuk yang kesekian kalinya, Terry benar-benar kehilangan kata-kata. Susah-payah, dia berpikir keras hanya untuk menjawab ucapan Nana dengan suara pelan. "Setiap orang punya masa sendiri-sendiri dalam hidup kamu. Kalau masanya sudah habis, dia akan pergi."

"Saya nggak peduli."

"Jevais—" Kata-kata Terry tertahan di tenggorokan kala dia menyadari bagaimana cara Nana memandangnya sekarang—kentara sekali, remaja itu hampir menangis.

"Bapak... jangan pergi kemana-mana."

Lidah Terry kelu. Dia betulan tidak mampu berkata-kata. Sebetulnya, mudah saja berjanji dan mereka akan melupakan apa yang telah mereka lihat. Namun Terry tidak bisa berbohong. Sebab, seperti yang pernah Om Adjie katakan padanya;

Jangan buat janji yang tidak bisa kamu tepati.

*

Dari balik kaca mobil yang tertutup, perempuan itu menatap ke seberang jalan, tepat pada sesosok remaja laki-laki berseragam sekolah yang tengah duduk di teras sebuah warung kopi. Segelas kopi hitam berada di atas meja, melengkapi sepiring gorengan bertabur cabe rawit. Dia sendirian, hingga salah satu temannya muncul dari ujung jalan dan mereka sarapan bersama. Perempuan itu diam-diam menarik senyum, terutama saat dia melihat kopi hitam milik anak yang dia amati. Sangat aneh melihat anak SMA minum kopi hitam yang dianggap lebih cocok buat teman duduk sore-sore bapak-bapak—tapi tidak baginya.

Sebab, seperti anak itu, dia tak bisa minum susu.

"Namanya Jevais Nareshwara." Supir yang duduk di balik setir tiba-tiba bicara, menatap pada si perempuan lewat rear-view mirror. Tentu, dia bukan hanya supir. Lelaki setengah baya itu cukup bisa dia percaya, bukan hanya untuk menemaninya mengamati Jevais Nareshwara dari kejauhan, tapi juga mencari tahu segala tentangnya—terutama yang berhubungan dengan sosok-sosok lama dari masa lalunnya.

"Kasih tau saya, apa aja yang kamu tau tentang dia. Hubungannya dengan ayahnya. Juga... dengan Adjie."

"Berdasar penelusuran saya, hubungannya dengan ayahnya cukup baik. Sesekali berkunjung ke makam ayahnya, seperti yang terjadi beberapa hari kemarin. Tapi tidak ada catatan kalau dia pernah berinteraksi secara langsung dengan Pak Adjie. Hanya saja, saya menemukan sesuatu yang cukup menarik."

"Menarik?"

"Setelah kematian Pak Adjie beberapa tahun lalu, Pak Adjie mewariskan sejumlah asetnya kepada keponakannya, termasuk rumah yang dulu ditinggalinya. Rumah itu telah berpindah kepemilikan pada seseorang atas nama Tendril Lucio Randajawan, teman baik keponakan Pak Adjie semasa sekolah. Rumah tersebut sempat ditinggali selama beberapa tahun, namun kini kosong, meski masih terurus."

"Lalu?"

"Keponakan Pak Adjie adalah Tertius Senandika, seorang produser dan penulis lagu yang menghilang dari dunia musik setahun lalu. Ada yang bilang, dia benar-benar pensiun. Sesuatu yang dianggap mengherankan, sebab dia masih muda dan karirnya sedang berada di puncak. Ada yang bilang, dia hanya mengambil rehat sejenak. Anehnya, Tertius Senandika justru muncul di sekolah tempat Jevais Nareshwara belajar dan bekerja sebagai guru, meski tidak tercatat secara resmi."

"Maksudnya?"

"Dia tidak bisa tercatat sebagai guru resmi karena tidak punya latar belakang pendidikan untuk menjadi pengajar professional. Ada perbedaan antara nama wali kelas yang resmi tercatat di database sekolah dengan apa yang terjadi pada kenyataannya. Menurut saya, dia tidak masuk ke sekolah itu untuk menjadi guru biasa."

"Dan apa hubungannya dengan Jevais Nareshwara?"

"Dia adalah wali kelasnya."

Perempuan itu menghela napas panjang. "Jelas ini semua ada hubungannya dengan Adjie. Keponakannya tidak punya urusan apa-apa dengan Jevais. Tapi, kenapa dia baru melakukan ini semua setelah bertahun-tahun lewat?"

"Itu yang masih belum saya tahu."

"Berarti tidak ada jalan lain. Saya memang harus menghubungi dia."

"Maksudnya... Ibu ingin... menemui anak itu? Maksud saya, benar-benar—"

"Dia selalu sendirian."

"Kelihatannya dia punya teman-teman yang cukup baik."

"Memang, tapi itu tidak akan pernah cukup." Perempuan itu membantah. "Lagipula, dia sudah dewasa. Saya rasa dia bisa menerimanya."

"Kalau dia tidak bisa menerimanya, dia akan membenci Ibu seumur hidupnya."

"Kalau memang begitu, saya pantas mendapatkannya." Perempuan itu menyahut getir, lalu mengeluarkan ponselnya. Seseorang dengan reputasi tak main-main seperti Tertius Senandika, menemukan kontaknya tentu bukan sesuatu yang sulit. Hanya dengan satu kali klik, perempuan itu telah mendapatkan alamat email Terry. Dia sengaja tidak menggunakan subjek apa pun, hanya sebaris pesan singkat.

Halo.

Ini Ryona, temannya Adjie. Saya perlu bicara tentang Jevais. Kamu ada waktu?

*

Berhari-hari lewat sejak hari ulang tahun Lala dan Injun belum menunjukkan tanda-tanda bakal memberi Lala hadiah, sesuai janjinya. Atau mungkin Injun tidak berjanji, hanya meledeknya saja. Dari awal mengenal Injun sejak baru masuk, Lala sudah tahu Injun itu lelaki berlumut selicin sabun batangan yang habis direndam air. Ini salahnya, kenapa berharap cowok itu sungguh-sungguh. Lebih salah lagi, karena dengan tololnya dia malah suka pada cowok itu sejak kelas satu.

Maksudnya ya, apa sih yang menarik dari Injun? Oke, dia mungkin punya tampang yang lumayan, rambut yang kelihatan ganteng secara estetik kalau lagi tertiup angin, suara yang bikin Lala pengen menceburkan diri ke rawa terdekat dan selera humor sampah tapi ngegemesin—tapi tolong ya, di sekolah ini, level Lala sebagai anak IPA tuh jelas di atas Injun (kata orang-orang loh, bukan kata Lala). Selain itu, Lala juga ketua OSIS, berbeda dengan Injun yang nilai raportnya sering banyak merahnya kayak kebon cabe.

Tapi ya, Lala nggak nolak dikasih hadiah ulang tahun. Apa lagi kalau ditembak dan diminta jadi pacar. Bodo amat dengan anggapan anak IPA lebih tinggi dari anak IPS. Kalau saja Injun beneran nembak dia, bilang kalau dia sayang sama Lala, Lala bakal membuang semua harga dirinya ke gerobak sampah terdekat.

Sayangnya... itu semua cuma angan-angan. Hanya cowok normal yang bakal nembak cewek yang dia suka. Dan Injun itu jauh dari kata normal.

Hari ini, Lala tidak punya agenda apa-apa usai jam belajar berakhir. Jadi dia buru-buru berjalan ke depan, mau pulang secepatnya. Dia juga lagi malas bertemu Injun, soalnya pasti jadi teringat akan janji hadiah ulang tahun yang belum dipenuhi. Sayangnya, niat Lala tidak terealisasi dengan lancar, sebab cewek itu belum lagi mencapai pintu gerbang sekolah saat terdengar suara seseorang memanggilnya.

"Shavela!"

Duh, kenapa sih akhir-akhir ini rajin banget manggil dia Shavela? Lala kan jadi baper kuadrat. Katanya, kalau dipanggil pake nama lengkap tuh berarti seseorang perhatian banget sama dia.

Tapi tentu, jual mahal harus selalu nomor satu. Lala jelas saja pura-pura nggak dengar.

"Shavela!"

Masih pura-pura nggak dengar.

"La, sumpah gue tuh tokcer loh! Kemaren aja Pak Toil gue sumpahin kupingnya diambil Allah—eh dia jadi—Lala!"

Lala akhirnya berhenti jalan, berbalik. "Apa?"

"Soal ulang tah—" Injun belum sempat selesai bicara ketika sosok Adin muncul entah dari mana. Cewek itu kelihatan menggemaskan, dengan seragam yang masih licin dan bau toko, juga rambut panjang yang dikuncir dua. Senyumnya lebar, membuatnya kelihatan cute.

"Kak Artajuna!"

"Eh, halo, Adin! Sori, gue lagi—"

"Kak Artajuna, aku mau nanya sesuatu soal sekolah ini. Ada beberapa ruangan yang—"

Lala menatap pada Injun dengan nanar, kemudian dia memutar bola matanya. "Sampah." Gumamnya datar, lantas dia berbalik dan melangkah menjauhi Injun. Injun sendiri kelihatan bingung dan sayangnya, Adin tidak memberinya kesempatan buat bicara. Jadilah, dia hanya bisa pasrah menyaksikan punggung Lala menghilang, berbaur dengan anak-anak lain di tengah keramaian pasca bel pulang sekolah.

Lala tidak tahu kalau saat itu, Injun sudah menyiapkan kue ulang tahun buatnya. Tidak besar sih, tapi itu dibeli pakai uang Injun sendiri—dari hasil menjual paksa gambar Moomin buatannya pada Terry, Jeno dan Mama Jeno. Lumayan lah.

Dikarenakan rencananya gagal, Injun putar otak dan memberanikan diri minta ditemani Jeno buat memberi kejutan ulang tahun pada Lala dalam bentuk lain di malam harinya. Ini agak berisiko, sebab ayahnya Lala itu anggota Kopassus. Kalau ada sesuatu yang salah terjadi, bisa-bisa Injun pulang dalam kondisi penuh bekas tinju. Jeno sempat takut, tapi setuju membantu Injun dengan catatan, Bongshik dibuatkan gambar sendiri. Soalnya menurut penerawangan Jeno, Bongshik suka pada gambar hasil karya Injun. Satu tambahan syarat lainnya, Bongshik diizinkan ikut dalam rencana Injun-Jeno untuk memberi kejutan ulang tahun pada Lala. Nana tidak bisa ikut, sebab seperti biasa, dia mesti main piano di Gerimis.

Malamnya, rencana pun dijalankan. Jeno bermodal Bongshik dan gitarnya, sedangkan Injun bermodal suaranya.

Injun tahu pasti, kamar Lala berada di lantai dua. Selepas petang, dia dan Jeno stand-by di depan rumah Lala. Untuk memancing Lala melihat keluar jendela, Injun menimpuki jendela kamar Lala dengan pentil jambu—yang dia colong dari pohon jambu dekat rumah. Usahanya berhasil. Lala merasa terusik, lalu membuka jendelanya bertepatan dengan Injun melempar pentil jambu yang entah sudah keberapa. Pentil jambu itu, tanpa bisa dihindari, menghantam jidat Lala dengan keras.

Lala melotot pada Injun yang kontan melongo, kemudian sibuk berbisik 'sori, sori, ga sengaja' dari bawah. "Lo ngapain!?"

"Mau ngasih hadiah ulang tahun yang gue janjiin."

"Pentil jambu?!"

Injun mengangkat kedua tangan, layaknya orang yang kena todong bazoka. "SORI. ITU NGGAK SENGAJA."

"Lo punya dua menit sebelum gue teriak dan bokap gue keluar."

"Hehe, bukannya sekarang udah teriak?"

Lala melotot, menghilang sejenak dari depan jendela. Kelakuannya membuat Injun kebingungan. Tapi ketika Lala muncul lagi dengan lampu tidur di tangan, Jeno refleks melindungi kepala Bongshik dengan tangannya sementara Injun tersentak kaget.

"EITS, JANGAN DILEMPAR. SAYANG LAMPUNYA. TUNGGU!" Gusar, Injun berpaling pada Jeno. "Oy, bucing! Mainkan musiknya! Itu kucing dilepas dulu, elah!"

"Bentar, bentar." Jeno menurunkan Bongshik dengan perlahan, seolah-olah dia tengah meletakkan anak bayi yang telah tertidur di atas kasur. Lala menunggu di tepi jendela, memasang ekspresi wajah tak terkesan walau sebetulnya jantungnya sudah menggelar konser akbar.

Jeno mulai memetik gitar, disusul oleh nyanyian. Lala sempat agak kaget. Dia tidak mengira jika Jeno yang pendiam itu bisa menyanyi—walau dia penasaran, kenapa Injun malah menyuruh Jeno yang menyanyi.

https://youtu.be/wXhwnPRbEWg

Di ujung cerita ini

Di ujung kegelisahanmu

Kupandang tajam bola matamu

Cantik, dengarkanlah aku

Karena masih Jeno yang bernyanyi, Lala tidak tersentuh sama sekali. Malah menurutnya, lagu itu cringe banget. Lala cuma mau dipandang Injun, bukan Jeno.

Aku tak setampan Don Juan

Tak ada yang lebih dari cintaku

Tapi saat ini ku tak ragu

Ku sungguh memintamu

Lala sudah mau protes ketika tiba-tiba Injun maju, lalu menatapnya dari bawah. Suasana sehabis petang yang temaram membuatnya terlihat ethereal. Seperti dia terlalu indah untuk jadi nyata. Dia menatap lekat pada Lala, bikin Lala tiba-tiba lupa apa itu udara.

Jadilah pasangan hidupku

Jadilah ibu dari anak-anakku

Membuka mata dan tertidur di sampingku

Kurang ajar. Ultimate attack. Lala hampir menggelepar kayak ikan mujair baru diserok dari kolam.

Aku tak main-main

Seperti lelaki yang lain

Satu yang kutahu

Kuingin melamarmu

Sayangnya, duet Jeno dan Injun harus terhenti secara prematur karena tiba-tiba saja, pintu depan rumah Lala dibuka. Ayah Lala muncul, masih mengenakan kaus loreng-loreng. Injun melongo. Apalagi Jeno. Bongshik tak bersuara, membuat segalanya kian mencekam. Lala? Sudah nggak bisa berpikir jernih. Kakinya lemas. Ingin rasanya dia langsung say goodbye pada peradaban Homo Sapiens.

"Ngapain kalian di sini?!"

"Hng... anu..."

"Kalian ngamen ya?!"

"Hng... anu... Om..."

"Saya nggak suka ada pengamen!"

"Iya. Maaf, Om."

"Pergi kalian! Berisik!"

"I—iya, Om." Injun buru-buru memberi kode pada Jeno untuk membereskan gitarnya, lalu membawa Bongshik cabut dari sana. Tapi sebelum betul-betul pergi, Injun sempat berteriak pada Lala yang masih berdiri di depan jendela.

"Happy birthday, Shavela!" Injun berseru seraya menunjukkan dua jarinya, membentuknya hingga terlihat seperti hati.

"WOAH, KALIAN BUKAN PENGAMEN TERNYATA YA?!"

"Lala, nanti jangan lupa nonton gue di Pensi!"

"YEUHH, CAH GEMBLUNG! SINI KAMU!"

Injun mengabaikan teriakan ayahnya Lala, buru-buru lari dan menghilang di kegelapan malam. Lala? Awalnya terperangah, tapi kemudian dia tertawa. Pipinya panas, namun hatinya terasa sangat ringan. Dari bawah, ayahnya menatapnya. Lelaki itu tak beralas kaki—alasan kenapa dia tidak mengejar Injun lebih jauh.

"Kamu kenal dia?!"

"Kakak kelas aku, Pa."

"Naksir sama kamu ya?!"

"Maunya aku sih gitu."

"Ya ampun, nduk, mbok ya kalau naksir sama orang tuh cari yang pintar gitu."

"Ah, Papa belum kenal dia aja."

Ayah Lala terdiam sebentar, tapi kemudian katanya. "Ya kenalin dong kalau gitu."

"Jangan."

"Jangan?"

"Kalau Papa kenal dia, nanti Papa jantungan."

"Maksud kamu?"

"Selamat malam, Pa." Lala nyengir, lantas dia menutup jendela kamarnya begitu saja.

*

Pada detik pertama perempuan itu menginjakkan kakinya turun dari mobil, dia langsung disambut oleh kemeriahan khas acara Pensi sekolah. Para siswa tidak mengenakan seragam hari ini, melainkan kaus yang sengaja didesain sendiri—biasanya, setiap kelas punya desain dan model kaus masing-masing. Suasana yang terasa aneh, karena perempuan itu tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di sekolah setelah belasan tahun berlalu.

Dia berpapasan dengan beberapa siswa, juga guru. Mereka semua menatapnya dengan alis berkerut, mungkin heran karena dia terlihat seperti tidak seharusnya berada di sana. Jujur saja, dia sendiri sempat ragu untuk melakukan ini. Tetapi Terry berkata, jika dia ingin bisa lebih dekat dengan Jevais, maka dia harus melakukan ini.

Perempuan itu belum jauh melangkah saat dia berhenti berjalan tatkala matanya tertumbuk pada sesosok remaja yang sedang duduk sendirian sembari mengetes bunyi petikan senar gitarnya. Remaja itu menunduk, tampak sangat berkonsentrasi dengan apa yang sedang dia lakukan. Dandanannya sederhana, hanya jeans dengan robekan di lutut dan kaus hitam. Rambutnya ditata rapi. Tidak berantakan. Tidak ada tato. Tidak ada tindikan. Anak itu betul-betul berbeda dengan ayahnya, walau mereka punya wajah yang sangat mirip.

Nana mengangkat wajah secara tiba-tiba, lalu menoleh pada perempuan itu, membuatnya tersekat sebentar.

"Tante yang waktu itu?"

"... saya... saya baru tahu kalau kamu sekolah di sini." Perempuan itu tiba-tiba gugup, hingga dia teringat pada saputangan yang Nana pinjamkan. Cepat, dia membuka tasnya, mengeluarkan saputangan yang telah terlipat. Licin dan wangi. "Saya mau mengembalikan saputangan kamu."

"Ah, makasih." Nana tersenyum. "Oh ya, maaf, tapi Tante buru-buru nggak? Kalau nggak, mungkin Tante bisa di sini sedikit lebih lama? Soalnya nanti saya sama band saya tampil."

"Apa boleh?"

"Boleh. Mamanya Jeno sama mamanya Injun juga datang, kok. Sayang, nenek saya nggak bisa datang, soalnya lagi nggak enak badan. Paling Kasa aja yang nonton. Seperti yang tante tau, Ayah saya udah nggak ada. dan ibu saya... hng... itu... saya nggak tau." Nana memaksakan senyum, tapi buru-buru meneruskan. "Intinya, saya bakal seneng kalau tante nonton."

"Oke."

"Hm?"

"Saya... bakal nonton penampilan band kamu."





bersambung ke eighteenth note

***

Catatan dari Renita: 

jadi gimana neh gaes. 

siapakah yang mati. 

apakah bongshik? 

wkwkwkwkwkkwkwkwkw 

apa pun itu yang jelas, cerita ini nggak akan nyampe 30 chapter. 25 paling banyak sih kayaknya wkwkwk. 

jadi mari kitalihat, apa yang akan terjadi. 

btw, buat yang lagi nungguin pengumuman sbmptn, semangat! 

dah kayaknya itu aja dulu. 

sekian dan terimakasih. 

ciao. 

Semarang, July 8th 2019 

21.10

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro