Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

prelude: nana bukan anak kopi senja

Once upon a time, there was a boy who loved a girl,

and her laughter was a question he wanted to

spend his whole life answering.

—Nicole Krauss—

*

prelude – jevais nareshwara

Pak Kepala Sekolah tidak berlama-lama tinggal di kelas. Usai menggambarkan sedikit tentang kondisi kelas yang menurutnya paling istimewa sesekolahan, beliau undur diri. Itu bisa dimengerti, karena Pak Kepala Sekolah punya banyak catatan sejarah hitam di kelas XII IPS 1, terutma dengan Nana dan Injun. Saking ogahnya lama-lama berhadapan dengan dua cowok itu, Pak Kepala Sekolah bahkan sampai lupa memperkenalkan Jeno, si murid baru yang pertama kali masuk sekolah hari ini. Jeno sih tidak keberatan, dia lebih fokus menjaga supaya Bongshik tetap aman. Terutama, karena dia merasa beberapa anak cewek mulai melirik ganjen ke arah Bongshik. Ekspresi di wajah mereka menyiratkan, mereka siap menerjang meja dan kursi hanya untuk mengelus-elus badan Bongshik.

Berbeda dengan Jeno yang super protektif pada kucingnya atau Injun yang malah iseng membuat kapal-kapalan dari sobekan lembar buku penuh coretan tulisan cakar ayam, perhatian Nana justru tersita oleh Pak Terry. Cowok berambut cokelat kemerahan itu memandangi Pak Terry dengan lekat selama beberapa saat, hingga dia sampai pada kesimpulan jika Pak Terry itu bukan orang biasa. Tentu saja, dia terlalu cakep untuk jadi guru bahasa Inggris di sekolah mereka yang langganan dapat predikat sebagai sekolah dengan jumlah siswa tidak lulus Ujian Nasional terbanyak setiap tahunnya. Kedua, Pak Terry tidak terlihat seperti guru dengan kemeja licin nan rapi serta blazer mahal yang melekat di badannya, ditambah lagi piercing di salah satu telinga, rambut yang di-styling ala artis Korea dan sunglasses yang sempat dipakainya.

Tadinya, Nana menebak sekolah mereka mendadak jadi bintang reality show, namun seiring waktu yang berlalu dan kru televisi beserta puluhan kamera tidak kunjung muncul, teori Nana pun kontan terpatahkan.

Kelas masih hening saat Pak Terry tiba-tiba berdeham. Suaranya bikin anak-anak cewek terperangah, lalu mendesis sambil bisik-bisik keganjenan macam orang mabuk kepayang. Pak Terry hanya tersenyum sekilas pada mereka sebelum ekspresi wajahnya kembali datar.

"Buka buku kalian, halaman 66. Baca penjelasan dan pahami apa maksudnya, kemudian kerjakan sepuluh soal latihan. Itu bagian grammar, bagus buat kalian karena kalian sudah kelas tiga. Saya beri waktu tiga puluh menit, nanti akan saya koreksi. Seandainya ada pertanyaan, kalian bisa tanyakan."

Seisi kelas saling berpandangan, kompak diam dengan mulut terkunci, sampai akhirnya Injun mengacungkan tangan.

"Pak!"

"Apa?"

"Apa bahasa inggrisnya kucing hitam mati ketabrak truk di jalan tol gara-gara macet?"

"Injun—"

"Jawab aja, Pak!" Injun malah makin nge-gas.

"Black cat is—"

"SALAH!" Injun berseru sepenuh nafsu. "Bahasa Inggris yang bener tuh... black cat death makedombrang cet cet cereret!"

Anak-anak sekelas pecah dalam tawa, sementara Pak Terry menghela napas panjang sambil menatap galak pada Injun yang kini cengengesan puas.

"Injunie,"

"Juna!" Cengiran Injun hilang, berganti ekspresi kesal.

"Saya mau manggil kamu Injunie. Suka-suka saya mau manggil kamu apa." Pak Terry berdecak. "Nggak usah nanya-nanya kucing ketabrak cet cet cereret kalau nggak mau saya bikin kamu jadi tempe penyet. Kerjakan soalnya, atau kamu dapat tambahan sepuluh poin lagi!"

"Yaudah, kalau gitu saya panggil bapak Pak Toil aja ya? Kan juga suka-suka saya mau manggil bapak apa?"

"Artajuna Purnasaman, sepuluh poin."

Injun cemberut, namun tidak membantah dan kini mengeluarkan buku catatannya yang sudah rombeng—buku itu bergambar wajah Nabila Syakieb sedang tersenyum lebar, yang beberapa bagian giginya telah Injun hitamkan dengan pulpen sehingga Nabila tampak seperti gadis cantik yang ompong. Jeno masih mengamati, diam-diam takjub karena Pak Terry sepertinya mampu mengendalikan situasi kelas.

Sayangnya, jika Injun mulai menunjukkan tanda-tanda kalau dia bisa serius belajar seperti yang lain—well, yang lain tidak seserius itu, hanya saja agaknya mereka belum berani menentang Pak Terry secara terang-terangan—Nana malah kebalikannya. Kentara sekali, cowok itu merasa bosan. Dia diam saja, tidak mengeluarkan buku ataupun alat tulis, sampai kemudian, cowok itu mendadak beranjak sambil menyandang tas sekolahnya di bahunya. Jeno kontan melongo, sementara Bongshik memandang Nana dengan tatapan judging-this-stupid-hooman-so-hard.

Tanpa ragu, Nana menghampiri meja Pak Terry, lantas katanya, "Saya mau cabut, Pak. Kelas bapak bosenin."

Pak Terry mengerutkan dahi diikuti jawaban bernada pongah. "Silakan. Ngapain toh kudu pake laporan? Kalau mau nakal, jangan tanggung-tanggung."

Nana salah tingkah, sementara siswa lainnya tertunduk, sebagian kelihatan jelas menahan tawa sementara sisanya kelihatan tidak percaya dengan kata-kata Pak Terry.

Nana mendengkus dan meneruskan langkahnya menuju pintu kelas, namun tiba-tiba, langkahnya terhenti oleh suara Pak Terry yang terdengar tenang. "Kalau kamu mabal, ada tambahan tiga puluh poin dari saya."

"Tambahin aja, nggak peduli."

Nana bermaksud meninggalkan kelas, tapi lagi-lagi panggilan Pak Terry membuatnya batal bergerak. Dia sendiri tidak tahu kenapa begitu, sebab biasanya, dia selalu melenggang acuh tak acuh begitu saja. "Jevais Nareshwara."

"Tadi kata Bapak, kalau mau nakal jangan—"

"Kehilangan sesuatu?"

Pertanyaan Pak Terry membuat Nana menoleh secara refleks dan ekspresi wajahnya berubah seketika tatkala dia melihat keyring Kakao Ryan Doll di tangan gurunya. Secepat kilat, cowok itu memeriksa tasnya dan benar saja, gantungan miliknya tidak lagi ada di sana. Dia pasti menjatuhkannya secara tidak sengaja waktu melewati meja Pak Terry.

"Itu punya saya. Balikin."

"Seharusnya begitu." Pak Terry mengabaikan nada tegas yang mendadak muncul dalam suara Nana. "Tapi kamu juga siswa saya, dan ini mata pelajaran saya. Seharusnya kamu tetap tinggal dalam kelas saya."

Dua laki-laki berbeda usia itu saling melempar pandangan yang walau dingin, terkesan sengit dan penuh permusuhan. Udara dalam kelas serasa menebal tiba-tiba, membuat semuanya tersekap dalam bisu. Bahkan Injun hanya bisa cengo, menatap tidak percaya pada apa yang kini sedang dia saksikan. Bongshik juga sempat terlihat terbawa suasana, namun di saat yang sama, sepertinya dia juga penasaran karena setelah diam sebentar, kucing itu menoleh pada Jeno diikuti ngeong lirih.

Spontan, Jeno menempelkan telunjuknya di depan mulut Bongshik sambil berbisik samar, "Bongshik... sssttt..."

"Keyring kamu akan saya kembalikan selesai kelas, dengan catatan, kamu nggak bolos mata pelajaran hari ini."

Nana tersekat, kelihatan luar biasa kesal, tapi sadar dia tidak punya pilihan. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih, seakan-akan tengah menahan emosi agar tidak meledak serupa gunung yang erupsi, lantas berbalik dan kembali ke bangkunya sendiri. Pak Terry tidak terpengaruh oleh sikap Nana, justru mengalihkan perhatian kembali pada buku cetak di atas mejanya. Semuanya tidak mengatakan apa-apa, mendadak serius membaca penjelasan dan meneliti soal yang ada, tapi agaknya, mereka sependapat tentang sesuatu.

Siapapun Tertius Senandika, dia jelas bukan orang biasa, yang pagi ini, entah dia sadari atau tidak, berhasil membungkam mulut ala sule seorang Artajuna Purnasaman sekaligus membuat Jevais Nareshwara batal cabut dari kelas.

*

Ini jelas rekor.

Iya, itu benar dan tidak berlebihan karena untuk yang pertama kalinya pagi ini, Nana dibuat kesal oleh seorang guru—yang penampilan tidak kelihatan seperti selayaknya seorang guru. Semua orang di sekolah tahu dia bukan anak baik. Sejak kelas satu, Nana sudah rajin membuat masalah, mulai dari rambutnya yang diwarnai cokelat kemerahan, baju seragamnya yang tidak pernah rapi dengan dua kancing teratas yang tidak pernah dikancingkan, kebiasaannya meninggalkan kelas yang dia anggap membosankan. Awalnya, guru-guru masih rajin mengomelinya, memberinya hukuman, lalu hanya dalam waktu dua bulan, mereka menyerah dan membiarkannya bertingkah semaunya. Nana sering membuat guru kesal, tapi dia tidak pernah dibuat guru kesal.

Pagi ini, segalanya terputar-balikkan dan itu betul-betul menghancurkan moodnya.

"Wey, kesini lagi kau rupanya!" Nana baru duduk di bangku depan warung kopi Millenium ketika suara Bang Horas, pemilik dari warung kopi itu menyambutnya. Bang Horas, sesuai dengan julukannya (karena sampai sekarang, nama aslinya masih jadi misteri), adalah laki-laki Batak yang lama tinggal di dekat sekolah dan membuka warung kopi di pengkolan. Warung kopinya berbentuk bangunan semi permanen, sebagian memiliki tembok semen dan sisanya menggunakan kayu serta triplek yang dicat.

"Kopinya yang biasa satu ya, Bang!"

"Alamak, lagi stress rupa-rupanya kau kulihat." Bang Horas berkomentar sekenanya sebelum menghilang di balik etalase untuk bekerja dengan ceret, termos dan stoples berisi bubuk kopi. Saking seringnya Nana nongkrong di sana, lelaki Batak itu sudah hapal kebiasaan Nana dan jenis kopi apa yang disukai cowok itu. Harus diakui, selera Nana agak-agak... unik. Dia suka kopi yang betul-betul pahit, jenis yang menurut Bang Horas, nggak akan disukai bapak-bapak mana pun.

Nana mengucapkan terimakasih saat Bang Horas menghidangkan kopi panas mengepul di dekatnya tidak sampai lima menit kemudian, yang Bang Horas balas dengan tawa. Lelaki itu tidak menanyai Nana macam-macam, meski mereka sudah sangat dekat, layaknya ayah dengan anak. Nana juga tidak ingin menjelaskan apa pun. Sambil menunggu kopinya jadi hangat, cowok itu mengeluarkan keyring Kakao Ryan Doll dari saku seragamnya, memandang keyring itu beberapa lama.

Benda itu, tidak diragukan lagi adalah salah satu bagian terpenting dari hidupnya, selain warung kopi Millenium yang sering didatanginya untuk melepas lara. Nana memang maniak kopi hitam. Dia sendiri tidak ingat sejak kapan dia suka minum kopi pahit dengan sedikit gula, tapi dia berani bilang, dia bukan anak kopi petang yang hobi duduk menatap hujan dari pinggir jendela. Nana adalah penyuka kopi yang sederhana. Dia tidak butuh petikan gitar sok syahdu, tidak perlu terpa cahaya jingga atau rintik-rintik air sisa derai hujan menemani setiap sesapan kopinya.

Kopi hanya kopi. Pahit sebagaimana adanya. Diminum sebagaimana perlunya. Didukung oleh gelas, air panas dan gula. Boleh diteguk, tanpa mesti menunggu hujan dan senja.

Tapi kalau Nana pikir-pikir, boleh jadi kegemarannya akan kopi bermula dari neneknya. Iya, sekarang, Nana hanya tinggal bersama neneknya. Ayahnya meninggal sekian tahun lalu, ketika Nana masih kelas satu SMP. Mendiang ayahnya adalah mantan vokalis sebuah band indie beraliran cadas yang terkenal playboy. Masa mudanya dihabiskan bergonta-ganti pasangan, memacari sederetan perempuan dan tentu saja, kebanyakan dari mereka berakhir dalam sebuah pergumulan seru di ranjang.

Suatu hari, seorang perempuan datang menemui Ayah, membawa Nana yang masih bayi dan bilang kalau Nana itu anaknya. Perempuan itu juga mengancam, jika Ayah tidak mau mengasuh Nana, maka perempuan itu akan menyerahkan bayinya ke panti asuhan. Tidak seperti umumnya laki-laki brengsek dalam kebanyakan cerita, Ayah tidak membantah, malah memandang perempuan itu sebentar dan seperti sadar jika dia pernah mengenal perempuan itu sebelumnya, Ayah bersedia mengasuh Nana tanpa banyak alasan.

Jevais Nareshwara, itu nama yang Ayah sematkan padanya.

Mayoritas memori Nana bersama Ayah selalu baik, walau mereka jarang berbagi hubungan layaknya orang tua dengan anaknya. Ayah jarang sadar, lebih sering teler karena mabuk, tapi waktu dia cukup sadar tanpa terlalu banyak alkohol dalam sistem tubuhnya, Ayah kerap duduk di dekat Nana, menepuk punggungnya, menyemangatinya sambil bilang bagaimana kehadiran Nana membuat hidup Ayah tidak lagi sesepi itu, juga bagaimana Ayah sayang padanya. Ketika Nana masih bayi, nenek bercerita, Ayah sering membiarkan Nana tidur di atas dadanya, tidak peduli Nana masih suka ngompol dan membasahi kausnya dengan air pipis. Orang-orang selalu bilang, Nana sangat mirip dengan Ayah.

Ayah meninggal di semester terakhir Nana di kelas satu, karena sirosis, sebagai akumulasi dari ketergantungannya pada alkohol dan rokok.

Di hari pemakaman, Nana tidak menangis. Bukan karena dia membenci Ayah. Bukan juga karena dia tidak merasa kehilangan. Sebaliknya, kepergian Ayah yang tiba-tiba (Ayah merahasiakan kondisi kesehatannya hingga akhir, karena katanya, dia tidak mau membuat Nana khawatir) terasa seperti halusinasi yang enggan Nana percaya. Memang, tidak ada air mata yang jatuh, namun ada lubang tergerus dalam dadanya, yang selama beberapa lama, kosong-hampa tanpa bisa diisi.

Sampai suatu hari, Nana bertemu Kasalira.

Kasalira adalah anak perempuan seumur Nana yang juga tetangganya. Gadis itu kurus, berkulit pucat dan gampang sekali kena flu, terutama setiap habis kehujanan. Dia tinggal bersama ibunya, seorang perempuan yang tidak banyak bicara dan ayah yang sayangnya, hobi memukul. Nana biasa memanggilnya Kasa.

Ketika itu, Kasa tidak sengaja main ke rumah Nana untuk mengantarkan mangga bagian nenek dari pohon mangga depan rumahnya yang memang baru berbuah banyak. Nana tidak terlalu dekat dengannya, walau diam-diam Nana suka ekspresi di wajah Kasa setiap kali cewek itu tersenyum. Nenek sedang pergi ke warung, jadi mau tidak mau Nana harus pasrah berdua saja dengan Kasa di ruang tamu. Mereka terjebak dalam suasana canggung selama sejenak, hingga perhatian Kasa tersita oleh piano tua di sudut ruangan.

Piano itu milik mendiang Ayah, tidak pernah disentuh sejak hari kematiannya. Nenek tidak bisa bermain piano dan Nana, walau cukup handal karena Ayah sudah mengajarinya bermain piano sedari bocah, tidak bisa menyentuh tutsnya tanpa teringat pada Ayah dan bagaimana laki-laki itu pergi dengan cara yang sangat tiba-tiba, sambil membawa banyak rahasia. Tapi Kasa penasaran, lalu cewek itu banyak bertanya dan mendadak, bilang ingin mendengar permainan piano Nana.

Maka, Nana bermain untuk Kasa.

Dia tersenyum setelah Nana menyelesaikan permainan pianonya. Lagu itu sederhana, telah sering dimainkan di mana-mana. Judulnya River Flows in You, dan dipopulerkan oleh pianis bernama Yiruma.

https://youtu.be/sSe515LvLdw

"Indah." Kasa berkata lirih dan bisikannya serupa portal waktu yang mampu menyedot Nana ke masa lampau. Dulu, Ayah juga pernah bilang begitu setelah mendengar Nana memainkan lagu Twinkle Twinkle Little Star. Nana masih ingat betul, Ayah lalu menggulung sweaternya, menunjukkan tato yang merajah sepanjang kulit lengannya.

Music is something that will never fade, even when all of us do.

"Apa maksudnya, Ayah?" Nana kecil bertanya ketika itu.

"Jevais, mungkin akan ada saatnya nanti Ayah nggak ada di dekat kamu. Boleh jadi, Ayah sudah berada di tempat lain, atau pergi ke tempat yang nggak bisa kamu kunjungi. Saat itu tiba, Ayah mau kamu tetap jadi anak Ayah yang paling baik. Jadi anak Ayah yang Ayah kenal, yang Ayah sayang. Ayah harap, kamu nggak pernah merasa kesepian, karena meski orang-orang pergi dari hidup kamu, musik akan selalu ada untuk menemani kamu."

Nana tidak mengerti apa maksud ucapan Ayah, namun dia mengangguk.

"Satu lagi," Ayah tersenyum dan entah kenapa, Nana melihat ada sorot sedih di matanya. "Jangan jadi seperti Ayah."

Jangan jadi seperti Ayah.

Ayah bilang begitu.

Jangan jadi seperti Ayah.

Nenek juga, bilang begitu.

Semula, Nana tidak menganggap serius kata-kata mereka. Sejak kecil, seperti Ayah, Nana telah menunjukkan minat yang besar pada musik. Dia suka bermain piano. Dia suka bermain gitar. Ada kalanya, dia mendapati dirinya tenggelam dalam pikirannya sendiri, lalu lamunan itu tertuang dalam kata-kata di atas kertas, berbentuk lirik yang siap dicumbui oleh nada untuk membentuk lagu yang utuh.

Tidak hanya sampai di sana, seperti kebanyakan remaja laki-laki seusianya, Nana juga memendam rasa penasaran. Dia mulai mencoba-coba banyak hal, seperti menindik telinganya, mewarnai rambutnya, bahkan sempat tertarik membuat tato. Lalu sore itu datang, di mana nenek menemukan sebungkus rokok dalam tas Nana. Nana belum mencobanya, bermaksud berbagi sebungkus rokok itu dengan beberapa teman sekelas termasuk Injun, tapi nenek bersikap seolah-olah Nana baru saja melakukan kesalahan besar.

Perempuan tua itu meremas sebungkus rokok di tangannya dengan jemari gemetar dan mata berkaca-kaca, seraya bilang, nenek tidak mau Nana berakhir seperti ayahnya.

Tidak musik. Tidak rokok. Tidak minum. Tidak tato. Tidak perempuan.

Nenek menangis dan memeluk Nana lama sekali, membuatnya merasa bersalah, sekaligus mengerti kenapa mereka mengatakan kata-kata itu.

Jangan jadi seperti Ayah.

Nana berhenti membicarakan segala sesuatu tentang musik. Dia hanya menyentuh piano tua di rumahnya jika Kasa ingin melihatnya bermain. Dia tidak merokok. Dia tidak minum minuman beralkohol. Dia tidak membuat tato. Dia tidak main perempuan.

Sebab mereka bilang, Nana tidak boleh jadi seperti Ayah.

Ayah tidak minum kopi, jadi seharusnya... Nana boleh kan sesuka itu pada kopi?

"Aih, melamun! Keburu dingin nanti kopi kau itu!" seruan Bang Horas yang tiba-tiba membuat lamunan Nana terpecah berantakan dan dia ditarik kembali ke masa kini. Cowok itu tersenyum pada Bang Horas, kemudian meraih gelas kopinya dan menyesap isinya pelan. Pahit, seperti biasa.

Keyring Kakao Ryan Doll itu masih tergenggam di tangannya dan setiap melihatnya, Nana selalu merasa senang. Seperti yang bisa diduga, benda itu memang pemberian Kasalira. Kasa bilang, cara Nana bermain piano itu seperti pianis betulan, jadi Kasa tidak enak menyaksikan permainannya beberapa kali secara gratis. Jadi, Kasa menghadiahi Nana gantungan itu.

Apa Nana sayang Kasa?

Sangat.

Nana suka melihat Kasa tersenyum dan dia benci melihat Kasa bersedih. Nana sering tidak percaya, bagaimana bisa seseorang seperti Kasa punya papa yang suka memukul. Sering, Nana marah sekali. Tapi Kasa selalu bilang dia tidak apa-apa, dan bahwa sebetulnya papanya baik, hanya sedang stress saja. Nana ingin percaya, namun sayangnya tidak bisa. Itu juga yang jadi alasan kenapa Nana belajar sedikit tentang cara meninju atau menendang orang dari Bang Horas yang dulu pernah jadi bodyguard sewaan, supaya suatu saat, jika Kasa mengizinkan Nana balik memukul papanya Kasa, Nana bisa dengan mudah melakukannya.

Walau begitu, Nana berani bilang, dia tidak pernah berantem sama orang meski dandanannya seperti berandalan. Nenek tidak suka Nana berantem. Kasa juga tidak. Dan Nana tidak mau bikin mereka berdua sedih.

Kasa dan Nana sangat dekat. Kasa tahu Nana suka kopi. Nana tahu Kasa suka mawar. Sayangnya, papa Kasa tidak suka tanaman, jadi dia tidak mengizinkan Kasa menanam mawar di halaman rumah kecil mereka. Gara-gara itu juga, setiap pagi-pagi buta, sebelum nongkrong di warung kopi Millenium untuk sarapan kopi dan mendoan, Nana tidak pernah lupa meletakkan setangkai mawar di kolong meja Kasa.

Iya, Kasa satu sekolah dengannya, tapi tidak sekelas. Kasa anak IPA. Dia pintar sekali, meski agak istimewa. Kasa tidak bisa menulis lancar. Jika menulis, cewek itu selalu menghabiskan selembar buku untuk satu huruf. Tidak apa-apa. Buat Nana, itu bukan kekurangan, melainkan kelebihan. Jika Kasa lancar menulis seperti kebanyakan siswa perempuan, tentu Nana tidak akan punya alasan membuatkannya catatan dan mengantarnya ke rumah Kasa setiap petang, kan?

Ada dua perempuan yang Nana sayangi setengah mati di dunia ini. Nenek, juga Kasa. Yah, sebetulnya Nana ingin ada tiga. Dia juga ingin bisa menyayangi seseorang yang dipanggil Mama.

Namun, bagaimana bisa dia menyayangi seseorang yang tidak pernah dia temui?

*

Bar itu berada agak di tengah kota, terkenal karena suasananya yang menyenangkan dan harga minumannya yang tidak semahal bar-bar sejenis lainnya di ibukota. Namanya Gerimis. Nama yang aneh, tapi cocok untuk menggambarkan tempat tersebut. Katanya, jika ingin merasakan seperti apa rasanya menyesap cocktail sambil ditemani oleh gerimis sepanjang hari, maka Gerimis adalah tempat yang tepat. Sebagian besar bangunannya terbuat dari kaca dan kaca-kaca itu dialiri oleh air, yang membuat pengunjung bar seakan-akan terperangkap dalam akuarium raksasa.

Yeda tidak pernah lupa mengunjungi Gerimis setiap kali dia bertandang ke Jakarta. Bukan hanya karena bar itu milik keluarganya—sekaligus tempat di mana kakaknya banyak menghabiskan waktu luang sebelum begadang semalaman di studio musik yang rapinya kelewatan, tapi karena Gerimis punya pianis lepas yang tidak biasa. Namanya Jevais Nareshwara, dan dia baru kelas dua SMA waktu pertama kali menjadi pianis lepas di Gerimis. Orang-orang mengenalnya dengan nama alias Jae. Tapi Yeda memanggilnya Nana.

Yeda bertemu Nana setahun lalu, ketika dia yang tidak paham Jakarta nekat menyetir sendiri karena suntuk di rumah. Kakak laki-lakinya tidak bisa diharapkan, selalu sibuk nongkrong di studio. Jika bisa mengawini pianonya, mungkin kakaknya sudah melakukan itu sejak lama. Singkat cerita, Yeda tersesat dan tak sengaja melewati warung kopi Millenium saat Nana sedang nongkrong di sana.

Bermaksud bertanya soal jalan, Yeda justru disuguhi perdebatan antara Nana dengan Bang Horas.

"Bang, boleh dong gue kerja part-time di sini? Disuruh cuci gelas juga nggak apa-apa, kok! Atau jadi pemanis warkop dan tukang kissbye-in pelanggan juga boleh, deh. Tapi cuma bisa dua jam setiap malem, habis maghrib. Soalnya kalau lebih lama dari itu, nanti dicariin nenek!"

"Bah—part—pat—apa pula yang kau maksud tu?! Cuma Prapat saja aku taunya. Tidak—tidak. Kau masih di bawah umur. Bisa-bisa aku digugat sama Komnas Perlindungan Anak nantinya!" Bang Horas balik berseru dengan logat Batak yang kental. "Kau butuh uang untuk apa memang? Ceritakan saja, nanti kuberi kalau aku punya uang!"

"Nggak lagi butuh uang, tapi gue perlu beli setangkai mawar tiap hari. Kalau kagak part-time, alamat gue kagak sarapan. Bisa tipes nanti gue."

Yeda tidak tahu kenapa, namun sosok Nana kala itu membuatnya penasaran. Jadilah, dia batal bertanya soal jalan dan malah duduk. Bertemankan kopi dan mendoan—Yeda sengaja minum kopi susu, sementara Nana berkata santai jika dia lebih suka kopi pahit dan tidak bisa minum segala sesuatu yang mengandung susu—mereka saling ngobrol. Mungkin karena seumuran dan karena Yeda tergolong orang yang ramah, mereka mudah menemukan topik obrolan. Melalui sesi minum kopi bersama yang tak terduga itu, Yeda tahu jika Nana bisa bermain piano. Itupun, karena Nana bercerita tanpa sengaja waktu dia membicarakan Kasa dan gantungan kunci Kakao Ryan Doll.

Kemudian begitu saja, secara impulsif, Yeda menawari Nana untuk bermain piano di Gerimis, dua lagu setiap malam dan dia akan dibayar seharga setangkai mawar. Jika ditanya kenapa dia terpikir melakukan itu, Yeda juga tak mengerti harus menjawab apa. Namun, Nana kelihatannya anak baik, walau dandanannya rada mencolok seperti berandalan. Dan betul saja, kemampuan Nana bermain piano ternyata cukup bagus, untuk ukuran cowok yang tampangnya mirip tukang palak ujung gang sempit.

Satu lagi yang unik dari Nana adalah kebiasaannya yang tidak langsung pulang setelah memainkan dua lagu. Nana akan duduk di salah satu meja, menyalin sesuatu dengan tekun dan serius. Tulisannya rapi, indah seperti tulisan kebanyakan anak perempuan. Yeda pernah iseng melihat pada buku yang Nana tulisi dan heran sendiri sebab cowok itu menyalin catatan mata pelajaran IPA. Setahu Yeda, Nana itu anak IPS. Namun saat Yeda melihat nama yang tertera di sampul buku catatan tersebut, Yeda berhenti bertanya.

Kasalira, itu nama yang tertulis di sampul cokelat bukunya.

Petang ini, Nana sedang memainkan lagu kedua dengan piano di tengah ruangan bar ketika Yeda tiba. Yeda mengedarkan pandang ke segala arah, tak sengaja saling bertatapan dengan kakak laki-lakinya yang berada di sudut lain bar. Mereka tidak bilang apa-apa, terlalu kaku bahkan hanya untuk bertukar sapa. Yeda mengabaikannya, langsung berjalan menuju meja bartender. Setelah menyelesaikan lagunya, Nana beranjak dari kursi piano yang dia duduki, sempat terkejut sesaat kala menyadari kehadiran Yeda.

"Oy!" Nana berseru, disusul melakukan highfive dengan Yeda yang lantas tertawa. "Udah nyungsep di Jakarta aja lo! Kapan nyampe?"

"Kemaren, tapi lusa juga gue udah balik lagi."

Yeda memang tidak tinggal di Jakarta. Sejak kecil, dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jerman, lebih tepatnya di Düsseldorf. "Udah gue pesenin minum buat lo."

"Masih ingat?"

"Large iced Americano with ice, no water, with four extra espresso shots. Bener, kan?"

Nana terkekeh. "Itu satu-satunya resep kopi bule yang mendekati kopi racikan warkopnya Bang Horas. Haha. Tapi lo ke Jakarta ngapain?"

"Ada urusan." Yeda menyahut ala kadarnya, bertepatan dengan bartender menghidangkan minuman mereka. Cowok itu mengeluarkan kartu kreditnya beserta member card Gerimis. Nana melirik sekilas, menatap pada sederetan nama yang tergurat pada member card milik Yeda.

Segara Yeda S.

"Nama yang bagus. Gue baru tahu kalau lo punya nama depan dan ternyata Yeda itu nama tengah." Nana berkomentar, menyedot isi gelasnya. "Tapi kenapa nama belakangnya disingkat?"

"Kepanjangan."

"Oh ya, apa?"

Senandika, Yeda bergumam dalam hati, namun dia malah nyengir. "Ada, deh."

Nana tidak bertanya lebih jauh karena toh dia juga tidak sepenasaran itu pada nama belakang Yeda. Mereka bertukar canda, saling menanyakan kabar masing-masing dan tentu, Nana tidak lupa bercerita tentang guru baru menyebalkan di sekolahnya.

"Guru baru?"

"Iya. Gue lupa namanya siapa. Pak Teri apa ya? Nggak tahu, deh. Rese banget, Bro. Mana dandanannya nggak kayak guru pula! Lo mau tahu? Dia pake piercing dan pake kacamata hitam ke kelas! Dikiranya kelas kita tuh tempat photoshoot kali ya. Nggak sekalian pake kutang daun kayak Mimi Peri aja, biar totalitas."

Yeda tertawa kecil. "Lo dan teman-teman lo juga nggak berpenampilan layaknya siswa. Jadi, seharusnya adil, kan?"

"Beda lah. Yang punya kelas kan kita, jadi suka-suka kita." Nana menyahut ringan dan lagi-lagi, Yeda hanya tergelak. Mereka mengobrol beberapa lama, hingga malam berangsur larut dan sebelum pukul delapan lewat, Yeda beranjak dari duduk disusul meninggalkan selembar uang di atas meja, tepat di dekat siku Nana.

"Ini apa?"

"Duit."

"Yeuu, gue juga kenal yang namanya duit, tapi setahu gue lebaran udah lewat dan karena gue bukan pengemis, gue nggak nerima uang dengan cara cuma-cuma."

"Gue juga tau lo bukan pengemis. Ambil aja, buat Kasalira."

"Hng?"

"Kurang dari sebulan lagi hari valentine. Bukannya bagus kalau lo memberi dia buket mawar khusus untuk hari itu, bukannya hanya setangkai seperti hari-hari biasa?"

Nana terperangah, tapi kemudian dia tersenyum cerah. Mereka memang jarang bertemu, tapi Nana tahu, sama seperti Injun, dia bisa menganggap Yeda temannya. Yeda sedikit bicara, namun mengerti banyak tentang sesuatu yang paling berarti bagi Nana.

Ada dua perempuan yang Nana sayangi setengah mati di dunia ini. Nenek, juga Kasa. Yah, sebetulnya Nana ingin ada tiga. Dia juga ingin bisa menyayangi seseorang yang dipanggil Mama.

Namun, bagaimana bisa dia menyayangi seseorang yang tidak pernah dia temui? 






bersambung ke prelude: injun dan moomin 

***

Catatan dari Renita: 

ea, kemaren pada bilang ngakak banget di preludenya jeno haha so here it is, i present you nana's prelude. 

gue suka dengan respon kalian di chapter sebelumnya sooo, gue rasa nggak apa-apa kalau preludenya nana diposting sekarang lol untuk arkais kemungkinan senin atau selasa ya. buat lucid dream nanti dulu. buat oceanite, nanti gue publish lagi kalau gue sudah nggak bete wkwkwk abisnya bete bgt dong dikomen 'masih niat update nggak kak' 

gue tuh kalau menulis, harus memposisikan diri gue ada di dalam sana dan akhir-akhir ini, gue terlalu apa ya... terlalu pusing keluar-masuk dunia dalam setiap cerita. daripada aku gila, dan karena aku lagi stay di dunianya guardiationship, yaudah aku tulis ini dulu. 

jadi mohon sabar ya, karena SLS yang ditulis dari 2015 pun tetep gue tamatin kok di 2018 wkwkwkwk. 

well, bagian nana memang agak emosional, tapi gue rasa sudah cukup bisa menjelaskan karakternya. nana itu tampangnya aja yang agak-agak bangsyul tapi sebenernya dia anak baik *eaaaaa 

di chapter ini, gue menjelaskan sedikit tentang nana dan... kasalira haha jujur, cara nana sayang ke kasa tuh apa ya... i found it cute lol lol wkwk 

buat gue, dalam cerita, sedih-sedihnya sama happy-happy-nya kudu seimbang, jadi ya, mungkin ada bagian dari jeno yang bittersweet, bagian nana yang juga bittersweet dan bagian dari injun yang (mungkin) bittersweet. terus pak terry itu siapa? kita liat aja ntar wkwk tapi intinya, pak terry bukan kakak/om/bapak dari trio injun-nana-jeno. 

sama seperti guardiationship, cerita ini nggak akan punya chapter yang banyak. paling mentok sih 25-an chapter juga, menurut perkiraan gue. jadi, ketika ada yang bisa ditertawakan dalam cerita ini, tertawalah. ketika ada yang bisa ditangisi, ya ditangisi wkwkwk 

kemaren ada yang nanya, kalau BGM untuk guardiationship itu hazy, the name of life (dan the sound of rain), untuk dream launch project apa? 

so far yang terpikir dari gue adalah dear, dream dari nct dream, inner demons dari julia brennan dan kiss the rain dari yiruma. 

gue sangat suka mengetik chapter ini, walaupun kita baru kebanyakan liat sedikit memori nana tentang ayahnya, neneknya dan kasalira. 

okay, kayaknya so far itu dulu. 

selamat hari minggu dan semoga hari ini baik buat kalian semua. 

ciao. 

Semarang, March 3rd 2019 

14.04

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro