Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

prelude: injun dan moomin

The biggest atrocity of all is to indoctrinate

our children into a system that does not value

their creative expression nor encourage

their unique abilities.

—Anonymous—

*

prelude – artajuna purnasaman

Ada banyak partner in crime yang jadi legenda, entah itu dalam kisah fiksi maupun cerita nyata. Partner in crime versi rekaan yang terkenal di telinga kebanyakan orang misalnya Joker dan Harley Quinn. Mulanya, Harley Quinn hanya psikiater muda biasa berkehidupan normal, yang kemudian berubah drastis dan rela menjadi kriminal usai jatuh cinta pada Joker. Cerita nyatanya juga ada, tentang Bonnie dan Clyde yang kerap disebut-sebut sebagai Joker dan Harley Quinn dunia nyata. Mereka adalah pasangan perampok bank yang terkenal di Amerika Serikat, beraksi pada masa The Great Depresion dan sempat menjadi musuh publik hingga tewas dalam sebuah baku tembak pada tahun 1934.

Tapi di sini, Injun tidak akan bicara tentang Bonnie dan Clyde. Juga tidak tentang Joker dan Harley Quinn—lagipula, dia tidak tahu banyak soal pasangan berdandanan nyentrik itu. Injun bukan fanboy DC Universe, walau dia juga tidak sesetia itu mengikuti film-film Marvel Universe.

Kalau menyebut partner in crime di sekolah, secara otomatis, seisi sekolah akan langsung teringat padanya dan Nana. Mereka sudah bersahabat sejak pertama masuk—bahkan datang bersama-sama di hari pendaftaran, dengan seragam sekolah putih-biru yang penuh noda coretan spidol dan piloks di sana-sini. Konyol sekali, juga menarik perhatian sebab diantara semua pendaftar yang berbusana rapi dan datang bersama orang tua mereka, hanya Injun dan Nana yang tampil seperti itu serta datang seorang diri. Kejutan lainnya adalah ternyata mereka berasal dari sekolah berbeda.

Iya, Injun dan Nana tidak pernah satu sekolah, sampai mereka masuk SMA. Apa itu artinya mereka tetangga yang rumahnya berdekatan? Tidak juga. Lantas, bagaimana mereka bisa bertemu dan kemudian berteman?

Injun pertama kali bertemu dengan Nana di semester pertamanya tahun terakhirnya berseragam putih-biru. Saat itu, Nana menyelamatkan Alma, adik perempuan Injun yang tak sengaja terjebak dalam zona tawuran antara dua sekolah menengah atas yang memang lama berseteru. Nana tidak kena bacok maupun kena timpuk batu, tapi dia sempat ditinju gara-gara disangka mata-mata dari sekolah lawan. Pipi sempat lebam gelap selama berhari-hari, namun Nana tidak menganggapnya masalah besar dan malah masih sempat mengantar Alma pulang dengan wajah bengkak sebelah. Injun sangat berterimakasih pada Nana, juga kagum, karena siapa juga di jaman sekarang yang rela mukanya bengep dihajar setelah melindungi anak SD yang tidak dia kenal?

Mereka bertukar nama, beberapa kali nongkrong di warkop Millenium sepulang sekolah untuk makan mendoan bersama dan semudah itu, mereka pun bersahabat.

Beberapa lama berteman, Injun menyadari Nana selalu sarapan pagi di warkop Millenium. Dia tidak pernah absen jadi pelanggan pertama Bang Horas dan titel itu dipegangnya dengan bangga selama bertahun-tahun. Kala Injun tanya kenapa, Nana bilang dia tidak ingin merepotkan neneknya. Bikin sarapan pagi berarti neneknya harus bangun sebelum fajar, kemudian belanja ke pasar dan memasak makanan untuk mereka. Nana tidak mau nenek memangkas waktu tidur hanya untuk membuatkannya sarapan, jadi dia beralasan lebih suka sarapan di tempat Bang Horas. Injun tidak berkomentar apa-apa, tetapi mulai esok harinya, dia rajin menemani Nana sarapan di sana setiap pagi, bahkan saat libur sekolah.

"Lo punya orang tua lengkap di rumah. Satu abang. Satu adik cewek. Kenapa malah sarapan di warung kopi?" Nana pernah bertanya suatu kali. "Kalau cuma buat nemenin gue, mending nggak usah, Jun. Kasihan dong nyokap lo udah capek-capek masak saban subuh tapi anaknya malah nongkrong di warkop."

"Bukan gitu."

"Terus apa?"

"Gue... lebih suka sarapan sama lo."

Nana mengernyit, kontan memandang Injun dengan mata menyipit. "Apa ini cara lain lo untuk bilang lo... suka sama gue?"

Injun refleks melempar Nana dengan sisa cabe rawit di piringnya. "Dih, amit-amit! Gini-gini gue belum tiba-tiba punya hasrat jadi lekong ya!"

"Tapi lo pernah bilang, lo kepingin terlahir kembali jadi choker di lehernya Lucinta Luna."

"Itu sih biar gue bisa nyekek dia aja. Geli lihat gayanya."

Nana tertawa. "Balik lagi ke pertanyaan gue, lo nggak sungguh-sungguh dengan jawaban lo yang tadi, kan? Jangan salah, gue rada tersanjung meski rada geli-geli jijik dengarnya, tapi... masa iya?"

"Masa iya apa?"

"Dibanding makan bareng keluarga lo, lo lebih demen makan bareng gue. Kedengarannya mustahil aja."

"Lo nggak pernah menuntut gue harus begini-begitu. Makanya gue lebih suka makan bareng lo. Gue nggak mesti takut dapet pertanyaan yang nggak bisa gue jawab, atau dibikin merasa kalau gue ini anak gagal yang masa depannya suram."

Nana terperangah sebentar, tapi sejak hari itu, dia tidak pernah bertanya lagi. Memang benar, dibanding Nana yang hanya punya neneknya, Injun lebih beruntung. Dia punya orang tua yang masih lengkap, juga seorang kakak laki-laki yang sudah bekerja dan seorang adik perempuan yang berusia tiga tahun lebih muda. Seharusnya, dia tidak perlu merasa kesepian. Dia punya banyak sumber kasih sayang, orang-orang yang bisa membanjiri harinya dengan kepedulian sarat ketulisan.

Namun, mungkin itu juga bisa jadi masalah.

Suatu malam menjelang hari ulang tahunnya yang kedua belas, Injun pernah berharap untuk tidak dibandingkan dengan siapapun sehari saja. Hanya sehari, dan itu sudah cukup jadi kado ulang tahun terindah buatnya. Terdengar dramatis, namun begitulah adanya. Sejak kecil, Injun selalu dibandingkan dengan kakak laki-lakinya.

Kakak laki-lakinya itu pintar. Dia jago matematika dan mudah menyerap pelajaran. Sejak masih sekolah dulu, Mama sering dibikin bolak-balik mengantar Bang Ali ikut olimpiade matematika atau lomba bahasa asing di mana-mana. Selepas dari SD, dia masuk ke sekolah menengah pertama terbaik di kota mereka, dilanjut ke SMA favorit. Bang Ali juga mantan anak IPA, lulus dengan nilai terbaik, masuk ke universitas bergengsi menggunakan beasiswa dan sebelum diwisuda telah jadi rebutan perusahaan-perusahaan prestisius untuk dipinang bekerja di tempat mereka.

Injun tidak seperti Bang Ali. Injun tidak jago matematika dan tidak suka pelajaran eksak. Dia lebih suka melakoni sesuatu yang berbau kesenian, seperti menggambar. Alma bilang, gambar Injun bagus sekali. Injun juga suka menyanyi, meski dia tidak sejago Nana yang bisa merangkai lirik tiba-tiba dan memberinya nada hingga lagu dadakan pun tercipta. Tapi Papa selalu bilang, itu bukan kemampuan yang bisa dibanggakan.

Apa yang bisa diharapkan dari hidup seperti seniman?

Tidak ada.

Setiap mereka berkumpul, terutama di pagi hari waktu makan bersama, Papa selalu sesumbar tentang bagaimana Bang Ali telah membuatnya bangga sejak hari pertamanya menjadi siswa, mahasiswa lalu lulus dan jadi pegawai perusahaan ternama. Kemudian, seperti yang sudah Injun duga, Papa mulai membandingkan Injun dengan kakak laki-lakinya. Betapa mereka berbeda, bagaimana kasta mereka tidak serupa. Bagaimana Injun tidak pernah membuat Papa senang, apalagi bangga.

Injun bodoh dalam matematika.

Injun tidak jago berbahasa selain bahasa Indonesia.

Injun jadi anak IPS, bukannya masuk jurusan IPA.

Injun ini... Injun itu... hingga dia muak pada dirinya sendiri.

Pagi ini, Injun sedang memasang dasi seragamnya ketika bayangan Mama di ambang pintu terpantul pada cermin. Cowok itu langsung menoleh dan Mama tersenyum. "Mama ngagetin aja."

"Masih pagi sudah mau berangkat?"

Injun mengangguk. "Kan aku mau mampir dulu di Warmil."

Mama tahu 'warmil' yang dimaksud Injun adalah singkatan untuk warung kopi Millenium. Perempuan itu juga tahu jika selama hampir empat tahun ini, Injun tidak pernah lupa sarapan bersama Nana, kecuali jika dia sedang sakit atau Nana absen dulu dari makan pagi di tempat Bang Horas. "Nggak mau makan di rumah? Mama masak sup daging. Kesukaan kamu."

Injun menggeleng. "Nggak, Ma. Maaf."

"Artajuna,"

"Aku kepingin banget makan masakan Mama, tapi... Mama tahu kan kenapa aku nggak bisa?"

"Papa kangen sama kamu. Ini masuk tahun keempat kamu nggak pernah sarapan di rumah."

Injun ingin bilang jika Papa tidak mungkin merindukannya—karena lelaki itu masih saja membandingkannya dan membuatnya merasa tidak berharga setiap waktu makan malam tiba (Injun tidak bisa terus-menerus menolak makan di rumah dan saat malam hari, dia tidak punya alasan untuk keluar). Tapi Injun tidak bilang apa-apa, cuma memaksakan senyum, meraih tasnya dari tepi kasur dan berpamitan pada Mama.

Pagi baru dimulai dan udara masih disesaki oleh bau embun tatkala Injun menyusuri jalan menuju Warmil, yang memang tidak jauh dari rumahnya. Dia dan Nana memang tidak bertetangga, tapi jarak rumah mereka masih wajar ditempuh dengan berjalan kaki, begitupun ke sekolah. Nana sudah lebih dulu duduk di kursi teras Warmil ketika Injun tiba, bertemankan dengan kopi hitam yang masih panas.

"Tinggal bakar kemenyan sama nyalain rokok klembak, lo udah bisa manggil genderuwo satu RT." Injun berkomentar, menyebut salah satu jenis rokok tradisional berbahan baku tembakau, cengkeh dan kemenyan serta kerap dijadikan pelengkap sesajen.

"Lo telat dua menit."

"Idih, dihitungin segala. Posesif amat jadi teman."

"Gimana ya, lo kan partner sarapan gue selama empat tahun ini." Nana tergelak, menyentuh gelas kopinya untuk mengecek suhu air. "Buset, masih aja tuh seragam dikancingin ampe atas. Pake dasi pula. Culun. Sini, gue tunjukkin style yang sebenarnya tuh gimana."

Injun mendengus, tapi membiarkan Nana menggeser duduk dan membuka dasinya. Dia malah teringat pada sesuatu yang lain. "Eh, menurut lo, bucing yang kemaren bakal nongol lagi nggak ya?"

"Bucing?"

"Eta, si Catman."

"Oh." Nana bergumam sekenanya, lebih tertarik berkonsentrasi membuka kancing teratas kemeja Injun. "Gile bener, keras banget nih kancing, udah kayak pomade dari jaman Majapahit."

"Makanya nggak usah dibuka! Lagian nggak apa-apalah gue kelihatan kayak anak bener sekali-sekali. Lo nggak lihat tuh dandanannya si Catman kemaren? Berasa lihat anak SD di hari pertama masuk sekolah. Mana kerah bajunya masih kaku kayak kanebo kering."

"Nggak boleh, terutama setelah kita dikasih wali kelas macem Pak Teri. Kita harus memberontak, nggak boleh kelihatan nurut-nurut amat di depan Pak Teri."

"Pak Toil."

"Hah?"

"Kita panggil aja dia Pak Toil. Lebih pantas. Lagian si kampret, masa gue dipanggil Injunie di depan anak-anak sekelas. Bikin malu aja!"

"Oke. Pak Toil. Leh ugha julukan lo buat si Rese."

Nana tengah beralih ke kancing kedua seragam Injun saat Jeno lewat. Hari ini, dia memakai jaket di luar seragamnya, karena kata Mama, semalaman turun hujan dan pagi ini tampak mendung. Tentu saja, dia tidak bersama kucingnya. Sebelum berangkat, Jeno sudah mewanti-wanti Bongshik buat tetap di rumah dan jangan ngikutin Jeno ke sekolah. Jeno mengapresiasi upaya Bongshik yang dengan ketsundereannya, berusaha memastikan Jeno tiba di sekolah dengan selamat, tapi Jeno juga nggak bisa belajar kalau dia harus mengawasi Bongshik terus-terusan.

Kemesraan tidak terduga antara Injun dan Nana yang melibatkan adegan buka-membuka kancing baju langsung bikin Jeno melotot tak percaya. Spontan, cowok itu langsung menggeser langkahnya ke tepi jalan, sampai dia nyaris masuk selokan, seraya menutupi tepi wajahnya dengan tangan dan mengendap-endap, supaya tidak menarik perhatiannya. Seperti yang bisa ditebak, upayanya sia-sia. Injun dan Nana malah jadi memperhatikannya gara-gara kelakuannya yang luar biasa.

"Oy, Bucing!"

Jeno pura-pura tidak mendengar, sambil berusaha menahan dorongan untuk mencabuti daun mangga terdekat dan menyamar jadi pohon supaya tidak kelihatan.

"Oy, Bucing!" Nana beranjak dari bangku, cekatan mencegat langkah Jeno. Jeno tidak punya pilihan selain berhenti berjalan. Kini, menyadari Nana berada di depannya, napas Jeno langsung tertahan. Nana tampak seperti berandalan betulan, dengan rambut cokelat kemerahan, seragam yang dua kancing teratasnya tak dikaitkan juga bagian bawahnya tidak dimasukkan, serta tangan berhias gelang, arloji dan cincin. Usai menatap pada kancing baju Nana, Jeno beralih pada Injun yang sedang menggigit mendoan, memandang pada dua kancing baju teratas Injun yang juga sudah terlepas, sebelum diam-diam melirik pada kancing bajunya sendiri.

"Ampun, Bro... Saya bisa dimarahin Mama kalau pegang-pegangan sesama jenis. Saya anak satu-satunya, Bro. Jangan rusak saya." Jeno memberanikan diri bicara.

Nana mengerjap, memandang Jeno seakan-akan cowok itu adalah keajaiban dunia kedelapan yang nyungsep mendadak di depannya. "Apaan sih? Siapa juga yang mau pegang-pegang lo atau ngerusak lo. Ge-er banget. Gue cuma mau ngajakin lo duduk bareng karena gimanapun juga, di sekolah lo nggak punya teman selain kita."

"Belum punya, lebih tepatnya." Jeno meneruskan, lantas menyambung dalam hati. Dan mungkin nggak akan punya, kalau terus-terusan ketangkap basah lagi nongkrong sama kalian. "Tapi ini udah mau jam masuk sekolah. Kalau nongkrong dulu, nanti telat."

"Nggak usah dateng awal-awal banget. Sama kita aja."

Jeno menggeleng. "Harus tepat waktu."

"Yaudah, sana kalau gitu." Nana mengangkat kedua bahunya seraya menampilkan wajah pongah. "Itu juga kalau lo mau dirubung ama cewek-cewek kelas kayak laler ngerubung sampah, sih. Lo nggak sadar, kemaren tuh anak-anak sekelas pada ngeliatin lo kayak siap menerkam?"

"Lah, bukannya kemaren mereka tuh ngeliatin Bongshik?"

Injun memutar bola mata. "Dikiranya kucingnya seseksi itu ya? Dasar. Lo nih ganteng, Cing! Bukan berarti gue bilang gitu karena gue maho ya. Jujur-jujuran aja kita mah mainnya!"

"Cing?" Jeno memiringkan kepala, memandang tidak mengerti.

"Bucing."

"Bucing?"

"Budak kucing."

"Oh." Jeno paham dan tidak berminat protes, karena malah, dia merasa sebutan itu keren juga dan cocok buat dirinya. Dari dulu, Jeno tuh percaya jika suatu saat nanti, kucing akan mendominasi dan menguasai dunia. Kelak, bisa jadi Bongshik jadi raja baru di Nusantara dan Jeno berikrar, akan selalu setia sampai waktu itu tiba.

"Duduk dulu, kek." Nana akhirnya menarik Jeno, memaksanya duduk dan menyuguhinya beberapa potong mendoan hangat. "Culun banget lo, pake dasi segitu rapinya, udah kayak pegawai junior di hari pertama magang. Tapi nggak apa-apa, namanya juga anak baru, lagi rajin-rajinnya jadi anak baik. Nanti juga bosen. Liat tuh, Injun. Cakepan juga bajunya gitu daripada dikancing meletet ampe leher, udah kayak manusia lepet aja."

"Emang dari dulu udah cakep, sih." Injun menuang air putih dari teko plastik ke gelasnya yang kosong. "Ngomong-ngomong soal wali kelas baru, Pak Toil enaknya diapain ya?"

"Kerjain jangan?"

Injun berlagak berpikir. "Kalau ngerjain guru, nanti masuk neraka."

Jeno manggut-manggut, merasa kalau dia sempat salah menilai Injun.

"Tapi kalau nggak dikerjain, mubazir namanya."

Jeno berhenti manggut-manggut, ganti dibuat cengo oleh perubahan arah bicara Injun.

"Jadi kesimpulannya... KERJAINLAH HAYUK, KALAU BISA AMPE TERMEWEK-MEWEK BOMBAY CIRAMBAY!"

Jeno menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sementara Nana hanya tertawa, diikuti oleh seringai penuh arti. Injun menanggapinya dengan raut wajah penuh misteri dan saat dua cowok itu beralih menatapnya, Jeno tahu dia, dengan bodohnya, telah mencemplungkan diri ke dalam masalah besar yang bisa jadi membuatnya berakhir di dasar kerak neraka.

*

Jam dinding belum menunjukkan waktunya istirahat, tapi tentu saja, siapa yang bisa melarang Injun dan Nana untuk berada di mana pun selain di kelas?

Pada hari-hari pertama sekolah, beberapa guru memang sempat cerewet, mengomeli mereka panjang-pendek diiringi oleh satu-dua jeweran. Saat peringatan halus tidak mempan, dua anak itu akan diganjar hukuman standar, seperti lari keliling lapangan sekolah sepuluh hingga lima belas putaran, membersihkan toilet anak laki-laki berbau mirip kandang sapi yang sewindu tidak dibersihkan atau memberi mereka pekerjaan rumah tambahan. Semuanya selalu terselesaikan dengan baik, tapi kenakalan keduanya tetap jalan. Lama-lama, para guru menyerah dan membiarkan Injun-Nana bertingkah semau mereka.

Pagi menjelang siang ini, Nana sengaja nongkrong di depan kelas Kasa. Kelas Kasa lebih baik dari kelasnya, digelari sebagai kelas paling teladan diantara semua kelas yang ada. Laci meja setiap siswa bersih, tanpa sampah sisa bumbu batagor kemarin siang atau bekas permen karet yang sudah mengeras. Langit-langitnya tidak bolong, hanya dihiasi oleh beberapa jejak noda bocor. Jendela-jendelanya dilengkapi tirai yang selalu dibuka setiap pagi. Bagus, jadi Nana bisa melihat Kasa yang sedang duduk memandangi lembar bukunya tanpa penghalang. Hari ini, gadis itu mengikat rambutnya dalam bentuk kuncir ekor kuda. Cantik sekali. Nana tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya. Sesekali, Kasa melirik ke luar jendela, lalu ikut tersenyum.

Tanpa kata, tanpa suara, terpisah oleh jarak serupa jeda. Tiada penjelasan, hanya rasa yang berbicara. Benar kata orang, jatuh cinta itu memang berjuta rasanya, terutama di masa muda.

Injun mengabaikan adegan jijay-jijay-menggelitik yang terjadi secara live di depan matanya, walau senyum Nana yang tertahan bikin dia gatal ingin mengambil botol obat serangga terdekat dan menyemprotkannya ke udara. Cowok itu berbaring di atas bangku semen tepi koridor, tidur berbantalkan paha Nana yang duduk sembari bersandar pada pilar berlapis cat tembok kusam. Earphone menyumbat kedua telinganya, mendengungkan salah satu lagu favoritnya. Larut dalam dunianya sendiri, Injun tanpa sadar bernyanyi.

Keduanya tidak sadar bagaimana Pak Terry tengah melangkah menuju mereka dari ujung koridor. Dandanan laki-laki itu masih seaneh kemarin, hari ini dengan kaus hitam, jaket kulit dan celana panjang yang dilengkapi aksesoris rantai. Tidak ada yang protes dengan penampilannya yang lebih mirip model bercitra bad boy daripada guru. Kepala sekolah mereka seolah menutup mata dan guru-guru lain, terutama guru perempuan, terlalu menikmati penampilan Pak Terry untuk melancarkan protes.

"Ngapain kalian di sini?"

Refleks, Injun beranjak dan mencabut earphone dari telinganya tatkala dia menyadari kehadiran Pak Terry. "Weits—Pak Toil, salamlekum dulu kek kalau datang, bikin kaget aja! Kalau jantung saya pindah ke pantat gimana, hayo? Mau tanggung jawab?!"

"Ngapain kalian ada di sini saat jam pelajaran?!"

"Cari penyegaran." Nana menyahut sekenanya.

"Sumpek, Pak. Di kelas panas." Injun menimpali seadanya.

Pak Terry menyipitkan mata, memandang bergantian pada Injun dan Nana, juga dua kancing teratas seragam mereka yang kompak dibuka. Sementara itu, siswa dalam kelas Kasa mulai menoleh penasaran, ingin tahu lebih lanjut soal keributan yang sepertinya bisa pecah sewaktu-waktu di luar kelas mereka.

"Apa pasal kancing seragam kalian dibuka-buka gitu dan nggak pake dasi?!"

"Pasalnya adalah bahwasannya, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan harus dihapus—ampun, Pak! Ampun! Jangan perkosa saya!" Injun berteriak heboh ketika Pak Terry menariknya untuk bangkit, lalu mengancingkan paksa seragamnya sampai ke kancing teratas. "OHOK—OHOK—KECEKEK, PAK! OHOK—OHOK!"

"Siapa yang suruh kamu buka-buka kancing seragam kamu?" Pak Terry berdecak, lantas berpaling pada Nana. "Kamu juga, berdiri!"

Nana melirik ke dalam kelas dan sadar Kasa sedang menatapnya. Cowok itu menghela napas lelah, menurut dan beranjak. Pak Terry memutar bola matanya, kelihatan sekali merasa gregetan dengan tingkah laku Injun-Nana. Dia baru bermaksud mengancingkan dua kancing teratas seragam Nana ketika mendadak, Nana menekuk kakinya hingga tinggi badannya berkurang jauh.

"Ngapain kamu?"

"Nyamain tinggi saya sama tinggi bapak."

"Heh, bocah sontoloyo," Pak Terry mendengus geram. "Tinggi kamu dan tinggi saya bedanya nggak sejauh itu. Nggak usah sok ketinggian!"

"Tetep aja, tinggian saya."

"Paling juga cuma beda lima senti."

"Saya masih masa pertumbuhan, Pak. Lah, bapak?"

"Jevais Nareshwara."

"Iya, Pak Toil?"

"Tiga puluh poin."

"Nggak kedikitan tuh?"

Pak Terry mendelik pada Nana, yang malah senyam-senyum tidak jelas padanya. "Kalau kamu merasa itu kedikitan, saya bisa tambah."

Nana tidak langsung menjawab, sempat memandang Pak Terry sejenak, lalu perlahan, mulutnya terbuka dan— "Hatsyi!"

Dia bersin tepat di depan wajah Pak Terry.

"Maaf, Pak." Nana nyengir, mengusap-usap hidungnya dengan jari. "Saya alergi orang jelek."

"Jevais Nareshwara, lima puluh poin. Temui saya akhir minggu ini di kantor."

"Nggak bisa di kafe gitu, Pak?"

"Masih bagus nggak saya ajakin ketemuan di jembatan layang."

"Jembatan layang seru tuh," Injun nyeletuk. "Siapa tahu kita bisa sekalian foto-foto. Kebetulan stok foto buat diupload ke facebook saya udah menipis."

"Kalau ketemuannya di jembatan layang, saya khawatir saya khilaf dan ada unsur ketidaksengajaan mendorong salah satu dari kalian sampai jatuh ke bawah."

"Nggak kebalik, Pak?"

Pak Terry berdecak, sempat terlihat kesal tapi kemudian wajahnya kembali dingin, hampir tanpa ekspresi. "Artajuna Purnasaman, tiga puluh poin. Kamu juga harus temui saya akhir minggu ini di kantor."

Nana terkekeh, melirik pada Injun yang balik menarik seringai, lantas dengan sigap, keduanya langsung memasang pose ala tentara diikuti seruan. "Siap, Komandan Toil!"

Pak Terry menarik napas dalam-dalam, memandang sekali lagi pada Nana dan Injun sebelum berbalik dan sadar anak-anak di kelas dekat tempat mereka bicara sudah sepenuhnya memperhatikan mereka. Berusaha mengabaikan puluhan pasang mata yang seakan-akan ingin melubangi punggungnya dengan tatapan, Pak Terry berbalik, melangkah pergi begitu saja. Keheningan koridor membuat gema sepatunya yang mengilap terdengar jelas, menambahkan efek suara yang mempertegas kesan dramatis.

Pak Terry tahu pasti, kehadirannya di sekolah itu jelas mengundang tanya, bukan hanya di kepala para guru dan siswa lain, namun juga buat Injun dan Nana. Buat apa seseorang sepertinya, yang berpakaian layaknya model siap melakukan photoshoot dan pulang-pergi menggunakan mobil mewah berharga milyaran rupiah mengajar bahasa Inggris di sekolah bobrok yang pagarnya sudah berselimut karat? Tapi dia sudah terlanjur berjanji pada Yeda dan jika dia ingin menyelesaikan segalanya, itu berarti, dia harus memastikan misi ini selesai hingga setuntas-tuntasnya.

Hanya kali ini saja... dan segalanya... akan purna buat seterusnya.

*

Injun baru menjejakkan kakinya di jalan setapak halaman depan rumah saat dia mendengar suara pertengkaran antara Mama dan Papa, yang berujung dengan bunyi tamparan. Cowok itu meringis, memandang sekeliling dan urung meneruskan langkah. Bukannya masuk rumah, dia justru berganti arah, bergerak menuju sekolah TK yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sekolah TK itu ditutup sekitar dua tahun lalu, menyisakan bangunan tidak terurus yang cat warna-warninya telah mengusam dimakan cuaca. Di depan bangunannya, masih terdapat wahana permainan beraneka ragam, mulai dari ayunan, seluncuran dan jungkat-jungkir—yang kondisinya sudah usang dan berkarat. Orang-orang bilang, tempat itu banyak hantunya, namun kolong seluncuran semen yang ada di sana adalah lokasi favorit Injun untuk menyendiri, terutama saat, well, dia merasa dia perlu menjauh sejenak dari dunia.

Dugaan Injun benar, adik perempuannya ada di sana, sedang bersandar dengan dua lutut tertekuk.

"Alma?"

Alma tersenyum, walau wajahnya pucat dan matanya menyorotkan ketakutan. "Aku... nggak apa-apa."

Injun mengangguk. "Abang juga tahu kamu nggak apa-apa."

"Abang... baru pulang?"

"Em-hm." Injun mengangguk, menggeser tubuhnya hingga kini, dia dan Alma sama-sama berada di kolong perosotan. Cowok itu diam sejenak, lalu teringat pada apa yang tersimpan dalam tasnya. Dia membuka risleting tas itu, mengeluarkan dua kemasan sachet kental manis rasa vanilla. "Mau?"

Alma tersenyum lebar, menerima kental manis sachet yang disodorkan oleh kakaknya, membukanya dengan sekali sobek dan menyesap isinya. "Makasih, Abang."

Injun mengangguk, diam dan sibuk menyesap kental manis sachet miliknya. Buat sebagian orang, menjadikan kental manis sachet layaknya es krim dianggap aneh, tapi Injun terbiasa melakukannya. Berbeda dengan Nana yang tidak bisa mengonsumsi segala sesuatu yang mengandung susu, Injun suka susu. Iya sih, katanya kental manis itu bukan termasuk golongan susu-susuan, tapi warna dan rasanya seperti susu, jadi itu sudah cukup buat Injun.

Kesenyapan menyelinap, tapi itu bukan jenis yang membikin dada sesak. Sama seperti Nana yang tidak perlu mengatakan apa-apa ketika bersama Kasa, Injun tak merasa mesti banyak bicara saat dengan Alma. Adik perempuannya itu benar-benar memahaminya, selalu membelanya di setiap kesempatan, tak peduli bagaimana Papa akan bereaksi keras lalu berujar masam, "ah, anak perempuan memangnya tahu apa?" padanya.

Jika ada orang yang mengerti Injun selain Nana di dunia ini, sudah pasti Alma orangnya.

"Alma,"

"Iya, Abang?"

Seandainya Papa nggak ada, mungkin nggak kita bisa lebih bahagia?

Injun membatalkan niatnya untuk bertanya. "Sebentar lagi kamu ulang tahun."

"Itu artinya, sebentar lagi Abang juga ulang tahun."

Injun tertawa kecil. Apa yang dikatakan adiknya itu memang benar, soalnya ulang tahun mereka berdua hanya berjarak tiga hari. "Alma, mau hadiah apa?"

"Abang, mau hadiah apa?"

"Hadiah yang abang mau... Alma sehat-sehat dan bahagia terus."

"Hadiah yang Alma mau juga sama... Abang sehat-sehat dan bahagia terus."

Injun berdecak. "Kalau plushie Brown, kamu mau?"

"Kalau plushie Moomin, abang mau?"

"Kok jadi ke abang melulu, sih?"

"Abisnya kan bukan cuma aku yang ulang tahun. Abang juga ulang tahun. Kemarin Abang nggak dapat kado apa-apa, tapi ngasih aku kado. Aku jadi kepikiran dan ngerasa bersalah."

"Abang nggak butuh kado, yang penting adik abang seneng."

"Aku juga nggak butuh kado, yang penting abang aku seneng."

Kata-kata Alma membuat Injun tersenyum lebar, sebelum cowok itu lanjut menyesap kental manis sachet di tangannya. Tapi tanya itu tetap tidak mau pergi dari benaknya. Terus melintas, bergema berulang kali seperti jerit yang diteriakkan ke dalam ceruk dalam gua.

Seandainya Papa nggak ada, mungkin nggak kita bisa lebih bahagia?

*

https://youtu.be/I7vh_NwMjHM

Malam yang lembab pasca dicumbu hujan baru saja dimulai saat Injun meninggalkan rumah dengan buku sket dan pensil di tangan. Dia suka menggambar, namun kelihatan menggambar di rumah sama saja dengan menjadikan diri sukarelawan untuk mendengarkan omelan Papa. Saat lebih kecil, Injun pernah ditanya, apa yang ingin dia lakukan ketika sudah besar dan kala jawabannya berputar pada bernyanyi atau menggambar, Papa akan langsung bermuka masam. Katanya, pemusik, pelukis dan sejenisnya itu bukan pekerjaan betulan. Injun tidak akan mendapatkan apa-apa dari sana, entah itu uang atau kebanggaan.

Menurut Papa, cita-cita itu harus bisa mendatangkan uang, atau kebanggaan.

Buat Injun, cita-cita itu adalah apa yang ingin dia lakukan di masa depan, yang bisa memberinya kebahagiaan.

Mungkin tidak ada yang betul-betul salah diantara mereka berdua, juga tidak ada yang betul-betul benar. Mereka hanya punya cara berbeda memandang dunia, juga frekuensi suara yang berbeda hingga tidak bisa saling mendengar suara satu sama lain. Sampai kapanpun, Injun tidak akan bisa menyenangkan hati Papa. Jadi, dia memilih mengalah.

Jika kolong perosotan bekas sekolah TK dekat rumah adalah tempat favorit Injun untuk menyendiri, maka pelataran depan sebuah toko mainan adalah titik favorit Injun buat menggambar. Tempatnya memang agak jauh dari rumah, perlu hingga 15 menit berjalan kaki. Toko mainan itu sendiri berada di tepi jalan besar yang selalu sarat kendaraan, tanpa halaman parkir, namun menyediakan bangku tepat di seberangnya, di tepi trotoar yang berbatasan dengan jalan. Toko itu kecil, bukan jenis bangunan besar bertingkat, namun ditata dengan rapi dan sedap dipandang. Bagian depannya didominasi oleh kaca yang menampilkan etalase penuh macam-macam boneka. Injun suka menggambar di sana, sebab dia menemukan banyak inspirasi, terutama di malam hari, ketika gelap membuat cahaya kota dan lampu kendaraan kian mencolok.

Sekarang, perhatian Injun disita oleh deretan boneka yang berjejal, melekat pada kaca seperti tahanan minta dibebaskan dan dibawa pulang. Beragam karakter ada di sana, mulai dari Dora si Petualang, Spongebob Squarepants, Brown, Kakao Ryan Doll yang jadi favorit Nana dan... Moomin.

Injun suka sekali pada Moomin. Moomin itu adalah karakter sentral dalam buku dan strip komik buatan ilustrator Finlandia, Tove Jansson. Moomin adalah keluarga putih, dengan bentuk karakter gemuk dan bermoncong besar. Nana bilang, Moomin kelihatan seperti kuda nil yang aneh.

Meski demikian, kadang-kadang, Injun kepingin jadi Moomin... sehari saja.

Betul apa kata Nana, Moomin itu aneh, jelek, gendut, biasa saja. Ada juga yang berpendapat Moomin kelihatan seperti alien dan tidak ada lucu-lucunya. Tapi Moomin disayangi oleh kedua orang tuanya. Moomin tidak perlu jadi cool, tampan, keren, imut, lucu atau pintar. Dia hanya perlu jadi dirinya dan masih tetap dicintai sebagaimana adanya ia oleh sosok-sosok di dekatnya.

Itu sesuatu yang tidak bisa Injun punya.

Sebentar lagi hari ulang tahunnya dan tidak ada yang bicara tentang itu di rumah. Papa berhenti memberinya hadiah sejak dia masuk ke jurusan IPS dan itu bisa dimengerti sebab bagi Papa, hanya anak-anak yang masuk IPA yang berkesempatan punya masa depan cerah. Apa yang bisa dilakukan anak IPS selain terkenal karena kemalasan dan kenakalan mereka?

Injun menghela napas, memandang sejenak pada gambar Moomin yang baru saja dia buat, lalu menutup buku sketnya. Dia pulang lima belas menit kemudian, dengan boneka Brown tersimpan dalam paperbag berhiaskan logo toko mainan yang selalu memberinya banyak inspirasi ketika menggambar. Bloknot yang dipenuhi oleh sketsa Moomin masih berada dalam genggaman tangannya. Tidak terlihat, tapi entah kenapa, gambar Moomin di setiap lembar bloknot itu terlihat sedih.

Sesedih itu, walau Injun menggambar mereka tanpa mulut. 






bersambung ke first note 

***

Catatan dari Renita: 

ea rasanya kayak lama banget gue nggak nongol di dunia oren, padahal baru beberapa hari. 

karena kemarin kayaknya lagi pada sibuk ujian dan gue nggak memecah konsentrasi kalian, jadi updatenya gue undur sampai hari ini alias pas weekend aja haha. 

jadi, inilah preludenya injun. iya, memang semuanya punya masalah sendiri-sendiri. pak terry pun punya masalahnya sendiri. semua yang ada dalam cerita ini punya masalahnya sendiri-sendiri wkwk tapi tenang, mereka bukan anak-anak menyedihkan yang emo, nyebat di rooftop sambil mengutuki dunia, nggak. pak terry alias pak toil juga bukan jenis orang yang emo, nyebat di rooftop atau main perempuan. nggak. wkwkwk. 

terus pak terry siapa dong? 

ya nanti kalian akan tau sendiri. intinya, apa yang gue tulis di pengantar, itu jadi bagian besar buat ceritanya. 

"to live, is an act of courage." 

jika dalam guardiationship kita diajak liat konflik antar saudaranya setra-rasi-sabda, maka di sini gue menulis cerita tentang pak terry dan jeno-injun-nana lebih karena... hidup sendiri itu apa? 

kemaren ada yang nanya, maksudnya minor romance tuh apa... minor romance tuh kayak semacam romance ada, tapi dia nggak berpengaruh besar ke cerita. ya kayak guardiationship gitu. entah nana dengan kasa, injun dengan seseorang atau jeno dengan seseorang (jeno masih cukup waras buat nggak mengawini bongshik) atau pak  terry dengan seseorang. 

we'll see. 

ah ya, sebelumnya, mau bilang makasih buat kalian yang sudah meninggalkan vote dan comment di chapter sebelumnya. moodbooster banget buat aku wkwk terutama karena akhir-akhir ini lagi stress tiba-tiba (mostly karena personal problem wkwk something like... love life, i think) dan galauin tugas akhir. kayak gue tuh tau mau nulis apa, tapi mager banget buat mulai dan anxious untuk konsul sama dosbing, padahal dosbing gue udah baik banget. mungkin minggu depan gue bakal nemuin dosbing lagi haha (keterlaluan ga sih, gue tiga minggu setelah kkn selesai baru menghubungi beliau lagi). 

oke, kalau gitu kayaknya cukup sampai di sini aja dulu. semangat selalu buat kalian dan semoga hari sabtunya menyenangkan. 

see you in next chapter and ciao. 

Semarang, March 9th 2019 

12.55

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro