Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

outro

We called it 'Memento Mori'.

It means, to remember the dead.

It means, to honor the death.

—Artajuna Purnasaman—

*

Lima tahun kemudian.

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, namun Nana masih terjaga di depan monitor komputernya. Matanya menatap pada layar dengan penuh konsentrasi, hingga ada kerut muncul diantara kedua alisnya sesekali. Terkadang, dia mengalihkan perhatian pada buku terbuka di atas meja, tepat di samping tetikus yang jarang lepas dari genggaman tangannya. Nana sempat berhenti dan saat dia melakukan itu, rentetan melodi yang menyenangkan didengar akan mengalun, memenuhi seisi ruangan.

Tak lama, pintu kamarnya diketuk pelan, disusul suara seseorang memanggil. "Nana?"

"Dikit lagi. Nanti gue tidur, kok."

"Bukan itu."

Nana mendorong mundur kursinya dengan satu kaki, otomatis membuatnya ikut bergeser menjauhi meja. "Hm, kenapa?"

"Jeno bikin mi instan."

"Duluan aja."

Injun berdecak, akhirnya masuk ke kamar Nana begitu saja tanpa permisi. Mereka adalah sahabat yang tidak terpisahkan semasa SMA, tapi selepas dari sana dan saat ketiganya memutuskan tinggal bersama setelah semua yang terjadi, mereka bertiga memutuskan menetapkan aturan bahwa seseorang tidak boleh masuk ke kamar orang lain tanpa izin, sekalipun pintunya tidak terkunci. Setiap orang butuh privasi untuk diri sendiri dan tentu saja, Jeno-Injun-Nana termasuk di dalamnya.

"Lo mau bikin Jeno ngambek?"

"Gue masih sib—"

"Itu masih minggu depan."

"Minggu depan itu sebentar lagi. Gue harus menyelesaikan ini karena kalau nggak—"

"Dan gue nggak bilang kita bakal ngambil semua waktu lo sampai-sampai lo nggak sempat lagi menyelesaikan itu." Injun berkacak pinggang. "Udah satu minggu lewat sejak kita makan bareng—oh, atau lebih tepatnya, sejak lo makan bareng gue dan Jeno."

"Injun—"

"Kalau nyokap lo tahu lo begadang terus-terusan kayak gini hampir setiap hari, reaksinya bakal kayak gimana ya?"

Oke, jika Injun sudah mengeluarkan kartu AS-nya seperti itu, Nana betul-betul tidak berdaya. Dia menghela napas, bangkit dari duduk dan mengikuti Injun yang berjalan keluar dari kamar sambil tersenyum puas. Ada meja makan di unit kondominium tempat mereka tinggal, tapi seringnya, mereka lebih suka menggeser meja kecil di depan sofa ruang tengah dan menggelar tikar untuk kemudian makan lesehan daripada duduk berhadap-hadapan di meja makan.

"Akhirnya Rapunzel bisa dijemput keluar dari menara." Jeno berkomentar sambil meletakkan panci besar berisi mi instan di atas alas anti panas yang ditempatkan di tengah tikar. Dia berhenti sebentar, memandang Nana dan berdecak. "Kantung mata tuh, gedenya bisa ngalah-ngalahin kantung hadiahnya Santa Klaus."

"Gue harus—"

"Terserah kamu mau bilang apa, tapi kesehatan tuh tetap yang paling utama. Saya sama Injun juga sibuk kok, tapi masih kenal kasur dan bantal, nggak kayak kamu. Atau... kita perlu telepon Kasa biar kesini dan maksa kamu tidur lebih awal seenggaknya semalam aja?"

Nana yang sedang meneguk air mineral dari gelasnya langsung tersedak. "Nggak usah!"

"Bandung dan Jakarta dekat kok, Na. Tinggal naik kereta dan—"

"Kasa sibuk."

"Sibuk apa lo takut diomelin sama dia?"

Nana merengut, membuat Jeno dan Injun saling berpandangan, sebelum akhirnya tawa mereka kompak pecah di saat yang bersamaan. Akhir-akhir ini, memang Nana yang lebih sering jadi bahan ledekan Jeno dan Injun. Well, mereka tidak pernah berhenti saling mencerca satu sama lain selama bertahun-tahun belakangan, apalagi setelah ketiganya memutuskan untuk tinggal bersama setelah sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang hiburan—mereka menyebutnya Frasa Entertainment tertarik merekrut dan mengembangkan bakat mereka.

Waktu itu, kejadiannya cukup dramatis. Dikarenakan kecelakaan yang menimpanya dan masa penyembuhan yang cukup panjang—mereka sepakat untuk tidak bicara banyak tentang Terry, karena seperti yang Yeda bilang... mungkin diam diperlukan sampai segalanya tidak terasa sakit lagi—Nana harus rela lulus SMA setahun lebih lambat dibanding kedua temannya yang lain. Untuk merayakan kelulusan Nana beserta diterimanya Injun di sebuah perguruan tinggi negeri setelah mengambil jeda waktu, mereka pergi makan bakso di warung bakso dekat Warmil, tempat mereka pernah mentraktir Jarot dan teman-temannya terkait urusan kompetisi band.

Mulanya, situasi terasa muram dan menyedihkan karena meski setahun sudah berlalu dan ada banyak yang berubah, warung bakso itu masih terlihat sama. Nana sedang menunduk sambil mengaduk mi dalam mangkuk baksonya dengan garpu ketika seorang laki-laki dengan telinga penuh tindik melangkah mendekati mereka dan duduk begitu saja di samping Nana. Jeno dan Injun langsung berhenti makan, tapi Nana baru bereaksi tatkala lelaki itu merangkul bahunya tiba-tiba. Ekspresi wajahnya penuh rahasia, pun suaranya begitu pelan ketika dia berbisik pada Nana.

"Kamu yang namanya Jevais Nareshwara?"

Nana melirik Jeno dan Injun yang balas mengangkat bahu. "I—iya. Om siapa ya?"

"Jangan bilang Om tuh papa betulannya Nana?" Jeno nyeletuk, airmukanya menyiratkan dia sedang berpikir keras. "Tahun kemarin, tiba-tiba Tante Ryona muncul dan bilang dia mamanya Nana soalnya."

"Yeu, lo kira kita ini pemain sinetron?!" Injun berdecak, menatap tidak suka pada lelaki di sebelah Nana. "Sori, om siapa ya? Teman saya nggak punya hutang kan sama om?"

"Gue ngutang juga buat apa?!" Nana protes, tapi Injun mengabaikannya.

"Oh. Jadi memang betulan, kalian tiga sontoloyo itu." Dia berdeham. "Nama saya Tendril Lucio. Bisa dipanggil Tendril. Atau Ten. Atau Lucio. Atau Cio juga boleh. Kadang untuk beberapa saat tertentu, saya juga suka dipanggil 'Yang Mulia'."

"Dipanggil Lucy boleh nggak?"

"Kalau saya lagi pake rok sih boleh."

"Kalau sepuluh?" Jeno menukas, membuat mata Ten, Injun dan Nana terarah padanya karena lelucon yang baru dia katakan betul-betul tidak lucu. Respon mereka bikin Jeno meringis, menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. "Kan 'ten' tuh bahasa Inggris-nya sepuluh."

"Yak, dengan segala hormat saya memohon maaf untuk teman saya." Injun berujar pada Ten. "Tapi kenapa om yang bisa dipanggil Tendril atau Ten atau Lucio atau Cio juga boleh ada di sini?"

Ten mengeluarkan dompetnya, mencabut sebuah kartu nama dan meletakkannya di tengah meja, dekat mangkuk bakso Nana sehingga ketiga remaja di depannya bisa membaca apa yang tertulis disana; Tendril Lucio Randajawan. Frasa Entertainment. Managing Director.

"Jandarawan?" Injun mengangkat alis.

Ten jadi sewot, menunjuk baris di bawahnya dengan jari. "Frasa Entertainment. Managing director. Saya di sini karena saya melihat video penampilan kalian bertiga setahun lalu. Seseorang yang saya kenal memberi saya link video itu dan menurut saya kalian bertiga berbakat."

"Tunggu, maksud om—"

"Dream Launch Project. Itu nama band kalian, kan?"

"Iya, sih. Tapi—"

Nana masih ingat, hari itu dia langsung beranjak dari duduknya dan mengatakan. "Band itu udah nggak ada." sebelum dia meneruskan langkah, meninggalkan Ten, Injun dan Jeno yang memandang punggungnya sambil tak henti terperangah. Ada masa-masa dimana Nana begitu membenci dirinya sendiri. Waktu itu adalah salah satunya. Namun Ten tidak menyerah. Dia mencoba membujuk Nana dengan bantuan banyak orang—mulai dari bantuan Ryona sampai Kasa. Nana tetap bergeming, sampai suatu hari, ketika mereka hanya berdua saja, Ten mengatakan sesuatu yang membuat kata-kata Nana tertahan di tenggorokan;

"Saya kenal Terry dan saya tahu, dia nggak akan mau melihat kamu begini."

Ucapan itu cukup membuat Nana mau mencoba lagi, setidaknya satu kali. Ten tidak seperti Terry namun lelaki itu punya cara membuat Nana merasa... untuk sejenak semua sedih yang dia pendam jadi terlupakan? Merelakan kehilangan tidak pernah mudah, Ten mengatakan itu suatu kali, namun satu yang tidak boleh Nana lupa, dengan caranya sendiri, Terry tidak pernah ingkar janji. Dia menepatinya melalui jalan yang berbeda.

Selama Nana ada, dia juga akan terus ada.

Tentu butuh waktu bagi mereka semua untuk pulih. Perlu bertahun-tahun buat Injun untuk lepas dari mimpi buruk. Perlu bertahun-tahun buat Jeno untuk bisa mengunjungi tempat-tempat penuh jejak gurunya tanpa rasa sakit. Perlu bertahun-tahun buat Nana untuk bisa menerima, dia ada karena ketiadaan seorang Tertius Senandika.

Waktu tidak pernah menyembuhkan, hanya membuat seseorang terbiasa dengan luka.

Setahun lalu, band mereka debut dengan mengeluarkan sebuah mini album berisi enam track. Nana tidak tahu apakah sebelum pergi, Terry sempat bicara dengan Ten, namun lelaki itu memberi mereka banyak kebebasan. Hadirnya lebih terasa seperti kakak daripada atasan. Dia bahkan mengizinkan Injun membuat desain untuk kover album pertama band mereka, juga menggunakan logo yang Nana buat sebagai simbol utama dari band. Masa promosi album pertama mereka tidak berlangsung lama karena ketiganya masih punya kewajiban akademik yang harus diselesaikan—Jeno kuliah setahun lebih dulu dari Injun dan Nana. Injun memilih untuk mengambil jurusan Seni Rupa dengan dukungan penuh keluarganya sedangkan Nana lebih suka kuliah di jurusan Sastra Inggris—hanya demi satu tujuan, supaya dia bisa menyelesaikan apa yang tidak bisa Terry selesaikan. Namun begitu, respon yang mereka terima untuk album debut kelewat bagus. Banyak radio memutar lagu mereka. Bahkan beberapa kali, Jeno mesti keluar rumah dengan masker melekat di wajah jika dia tidak ingin dirubung banyak orang saat berada di tempat umum.

Tahun ini, mereka bertiga telah lulus dan tidak lagi terikat dengan kewajiban sebagai mahasiswa. Oleh sebab itu, Ten merasa sekarang adalah waktu yang tepat buat ketiganya mengeluarkan full album sekaligus mengadakan konser tunggal pertama. Itu juga yang jadi penyebab kenapa Nana selalu begadang beberapa hari terakhir. Dia harus menyelesaikan lagu itu sebelum konser mereka diadakan.

"Tuh kan, melamun lagi." Jeno mendelik saat dilihatnya Nana tidak antusias berebut mi dalam panci sepertinya dan Injun. Nana tersentak, menoleh pada Jeno hanya untuk mendapati cowok itu menyodorkan garpu penuh lilitan mi kepadanya. Dia tersenyum, menyambut suapan Jeno dengan mulutnya. "Sengaja biar disuapin ya?"

"Iya."

"Kontrol kelakuan, No." Injun mencibir. "Jangan mentang-mentang jomblo dan nggak laku-laku, lo niat ngembat Nana dari Kasa sekarang. Lo juga, Na. Jangan mentang-mentang LDR berat, lo mau ambil gampangnya dan belok ke jalan setan. Bisa dikutuk satu Indonesia band kita ntar."

Nana terbatuk. "Lo beneran kelar sama Giza?!"

Jeno tersenyum masam. "Mau gimana lagi?"

"Udahlah, nggak usah bahas cewek. No woman no cry." Injun menunjuk Nana dengan ujung garpunya.

"Halah, kalau lagi gini aja bilangnya no woman no cry. Padahal di depan Lala mah—"

"Di depan Lala gue kenapa?"

"Kalau nggak jadi bucin, ya lo jadi ayam geprek."

"Itu namanya cinta. Gue bisa aja ninggalin dia, mutusin dia dan cari cewek yang bakal memuja-muja gue, tapi gue tetap dengan dia yang setia menindas gue tiap kita ketemu."

"Ngeles terooooosssss!"

Injun nyengir. "Tapi lagu yang lo kerjain udah sampe mana?"

"Melodinya udah ketemu."

"Terus?"

"Liriknya yang belum komplet."

"Gue ama Jeno bisa bantu nggak?"

Nana menggeleng. "Lo udah pegang kover dan konsep utama buat album. Jeno udah handle hampir setengah track dalam album dan dia juga yang banyak ikut meeting buat diskusi sama orang-orang Frasa. Gue nggak tahu muka gue mau ditaro di mana kalau gue nggak bisa handle lagu ini sendirian."

"Teknisnya, kamu meneruskan lagu itu dan meneruskan apa yang ditinggalkan seseorang jauh lebih susah daripada membuat yang baru." Jeno menyergah, menyeruput kuah mi instan dalam panci dan sempat perang sendok dengan Injun untuk berebut potongan terbesar telur yang masih tersisa. "Kalau kamu nggak bisa selesain itu sendirian, kita ngerti, kok. Dan kita mau bantu."

Nana tersenyum pada kedua temannya. "Jangan khawatir. Dikit lagi, kok."

"Na,"

Nana beranjak dari duduk. "Kita semua punya PR masing-masing dari Komandan Toil. PR yang harus kita kerjain. Kalian mungkin udah menyelesaikan punya kalian, tapi gue belum. Jadi untuk ini, gue harus menyelesaikannya sendirian."

Kemudian tanpa bicara lebih jauh, Nana kembali ke kamarnya. Kali ini, kedua temannya membiarkannya. Mereka mengerti apa yang Nana maksud. Lima tahun lalu, Terry tidak pergi tanpa pesan. Dia meninggalkan beberapa hal untuk mereka—bukan hanya Jeno, Injun dan Nana namun juga Yeda. Mereka berempat tidak pernah saling bercerita tentang isi rekaman yang Terry beri, namun mudah menerka kalau Terry punya harapan yang berbeda buat mereka semua. Butuh waktu buat mereka untuk bisa mendengarkan semua rekaman dan melihat semua benda yang Terry tinggalkan untuk mereka sampai akhir. Saat ini, diantara mereka berempat, kelihatannya hanya Nana dan Yeda yang belum bisa melunaskan keinginan terakhir Terry.

Di kamarnya, Nana disambut oleh monitor komputer yang kini menampilkan screensaver dan buku yang masih terbuka. Tidak banyak yang tertulis di dalamnya. Hanya ada draft sebuah lagu yang belum terselesaikan. Lagu yang dimulai oleh Om Adjie, diteruskan oleh Terry dan lelaki itu harap, bisa diselesaikan oleh Nana. Pada sampulnya, ada tulisan dalam huruf kapital yang terdiri hanya dari dua kata: DREAM LAUNCH.

Nana menghela napas, menatap tulisan itu beberapa lama.

We don't have the courage.

The words we couldn't speak, the words we couldn't deliver.

"Dear, Dream." Nana berbisik, membaca tulisan yang tertera di bawahnya. Kalimat pada baris berikutnya tertulis menggunakan tinta yang warnanya berbeda. Itu adalah bagian yang Terry mulai.

Our gazes may reach each other one day.

Even if it's in silence, our voices will find a way.

I'll take you back home.

I'll take you back.

Nana tidak tahu apa yang terlintas dalam pikiran Terry ketika menulis bagian itu, tetapi dalam rekaman yang dia tinggalkan, dia mengatakan lagu itu bukan hanya buatnya, tapi juga untuk Jeno dan Injun. Lagu yang dimulai dari doa tulus Om Adjie untuk Nana, dilanjutkan oleh harapan Terry untuk ketiga siswanya dan inginnya, terselesaikan oleh kerelaan dan pemaafan oleh Nana.

Nana menelan ludah kala dia merasa pandangan matanya memburam oleh air mata. Bertahun-tahun ini, dia selalu bertanya sambil memandang langit, berharap Terry bisa mendengarkan.

Saya harap Bapak bisa mendengar ini sekarang, jadi Bapak bisa kasih tahu saya gimana caranya. Gimana caranya saya bisa ngasih maaf untuk semua yang sudah Bapak lakukan? Dan yang lebih penting lagi, gimana caranya saya bisa ngasih maaf untuk semua yang sudah saya lakukan?

Tapi tentu saja, tidak pernah ada jawaban.

Namun lagu itu mesti selesai.

Nana menarik napas dalam-dalam sekali lagi, kemudian memilih menarik laci. Dia mengeluarkan flashdisk yang tak pernah berpindah tempat, selalu tersimpan di sana sejak kepindahannya ke tempat ini hampir dua tahun yang lalu. Flashdisk yang memuat video terakhir dari Terry.

Nana tahu ini akan menyakitkan, tapi lagi-lagi, lagu itu mesti selesai.

*

Lima tahun sebelumnya – JEVAIS

"Halo, Jevais. Sebelumnya, saya mau bilang terimakasih sekaligus minta maaf. Terimakasih karena kalau kamu bisa melihat ini, berarti apa yang saya lakukan nggak sia-sia. Dan maaf... karena kamu... harus melihat ini. Sebentar. Baiknya kita mulai dari mana ya? Hm, gimana kalau dimulai dari sesuatu yang kamu bilang ke saya waktu itu? Tentang hidup, yang katanya adalah sebentuk keberanian."

Gue pernah baca entah dimana, katanya ketika rasa sakit sudah kelewat hebat, kita nggak akan bisa bereaksi terhadap rasa sakit itu, bahkan dengan meneteskan air mata. Kita hanya bisa duduk diam, menatap kosong dan nggak mampu melakukan apapun sementara dunia kita pelan-pelan terhancurkan. Itu yang gue rasakan sekarang, saat gue melihatnya di layar laptop yang berada di depan gue. Ada denyut dalam dada yang bikin paru-paru gue serasa nggak bisa menangkap udara—yang gue nggak tahu kenapa.

"Saya nggak pintar berkata-kata dan sebagian dari apa yang mau saya bilang sekarang, pasti sudah saya ceritakan ke kamu. Saya nggak akan bilang gimana saya merasa hidup saya nggak berarti lagi setelah saya kehilangan orang-orang terdekat buat saya, gimana saya merasa putus harapan waktu mereka bilang suatu hari nanti, saya bakal terbangun dan nggak bisa mendengar apa-apa. Lalu dengan impulsif, saya memutuskan untuk menunjukkan diri di depan kamu, membantu memastikan hidup kamu ke depannya bakal baik-baik saja biar saya nggak malu-malu amat seandainya saya ketemu om saya di dimensi lain."

"Saya tahu kamu nggak akan merasa perlu mendengar ini, tapi waktu saya bilang kalau kamu adalah bagian dari alasan kenapa saya berubah pikiran, kenapa tiba-tiba saya merasa mungkin hidup nggak semengerikan itu selama saya masih punya kalian—iya, kamu, Jeno dan Injun—itu betulan. Saya nggak bercanda. Tolong jangan bilang soal ini ke Iteung sama Euis. Nanti mereka cemburu terus ngambek ke saya."

Gue tertawa, tapi ada sesuatu yang basah mengalir di pipi gue.

"Hidup adalah sebentuk keberanian, Jevais. Sekarang saya mengerti apa yang kamu bilang. Tentang hidup kamu yang bisa jadi ada karena keberanian orang lain. Keberanian ayah kamu. Keberanian ibu kamu. Bahkan keberanian om saya. Tanpa keberanian mereka, kamu nggak akan menjadi kamu yang sekarang."

"Kamu tahu Jevais, om saya itu adalah... salah satu orang paling dekat yang saya punya. Saya peduli sama dia. Saya sayang sama dia. Butuh bertahun-tahun buat saya untuk terbiasa dengan ketiadaannya—dan bahkan sampai sekarang, saya belum juga terbiasa. Saya sempat berpikir, jika saya melakukan sesuatu yang sama seperti dia, semuanya akan terlalu nggak adil dan terlalu menyakitkan, bukan cuma untuk kamu, tapi juga untuk Injun, Jeno dan Yeda. Kalian... nggak seharusnya tersakiti oleh penyebab yang sama."

"Tapi sekarang, setelah saya pikir lagi, saya terlalu peduli sama dia untuk membiarkan pengorbanannya sia-sia. Jadi... saya mengambil keputusan itu." Dalam video itu, air matanya jatuh begitu saja ke wajah, yang buru-buru dia keringkan dengan tangan. Lucu banget. Gue nggak mengira akan tiba saatnya dimana gue menangis menonton seseorang yang gue kenal dalam video—dan dia pun turut menangis di sana. Ini konyol banget. "Saya janji saya akan tetap ada. Buat kamu. Buat Injun. Buat Jeno. Juga buat Yeda. Saya nggak akan menyerah. Saya akan berani. Maka, itu yang akan saya lakukan. Saya akan berani buat kalian."

Gue menggigit bibir, berusaha menahan supaya suara gue nggak keluar.

"Kalian nggak kehilangan saya. Saya juga nggak kehilangan kalian. Dengan cara saya sendiri, saya menepati janji itu. Dengan jalan yang berbeda, saya akan terus bersama kamu. Selama kamu ada, saya juga akan terus ada. Saya akan ada di sana waktu kamu melewati momen-momen bahagia dalam hidup kamu, juga momen-momen sedih yang saya harap, lebih sedikit dari momen-momen bahagia. Bahkan ketika sampai waktunya kamu meninggalkan dunia ini, saya akan ada di sana dan bilang, 'oke. Nggak apa-apa. Kamu sudah berusaha keras. Sekarang waktunya kita berhenti sama-sama'. Tapi tentu saja, sekarang bukan waktunya. Jalan kamu masih panjang dan ada beberapa hal yang mesti kamu selesaikan. Salah satunya adalah lagu itu, yang akan saya tinggalkan untuk kamu. Om saya memulai itu, saya meneruskannya dan saya harap, kamu bisa mengakhirinya buat kita bertiga."

Gue... menolak mengerti apa yang dia maksud.

"Hidup adalah sebentuk keberanian. Maka hidup, Jevais. Hidup yang baik. Terus hidup. Tunjukkin ke saya kalau kamu juga berani." Dia tersenyum pada gue meski kini matanya sudah merah dan basah. "Jangan sedih, Jevais. Jangan sedih, apalagi karena kesepian. Kamu dicintai. Selamanya akan terus dicintai."

Setelahnya, yang tersisa adalah layar yang gelap.

Gue nggak ingat berapa lama gue menangis hari itu. Mungkin sangat lama—bisa jadi, seumur hidup gue, gue nggak pernah menangis selama itu. Bisa jadi, suara gue juga sangat keras karena beberapa saat kemudian, nyokap gue mendatangi gue di kamar dengan muka penuh kecemasan. Dia memeluk gue, membiarkan gue membasahi bahunya. Tangannya menepuk pelan punggung gue, nggak mengatakan apa-apa tapi berusaha menenangkan gue. Namun gue mengabaikan kehadirannya. Gue justru menangis makin keras sambil memanggil nama laki-laki itu.

Guru gue yang mengingkari janji dan berdalih dia memenuhinya dengan cara yang lain.

Gue memanggilnya sampai suara gue habis, sampai tenggorokan gue sakit dan keesokan paginya, gue bangun dengan badan demam, mata yang bengkak dan perasaan yang retak.

Nyokap gue nggak bilang apa-apa, tapi dia nggak meninggalkan sisi tempat tidur gue sepanjang malam sambil mengompres dahi gue, berharap itu bisa menurunkan suhu tubuh yang naik. Injun dan Jeno nggak bilang apa-apa saat mereka membesuk gue keesokan harinya, namun mereka nggak membiarkan gue sendirian sepanjang siang hingga menjelang petang. Kasa nggak bilang apa-apa ketika dia berkunjung besoknya dan besoknya lagi, tetapi dia tetap membawakan lembar-lembar kertas warna ekstra seperti yang gue minta.

Yeda nggak muncul lagi dan gue paham kenapa.

Semuanya seperti kepingan puzzle. Sikap Yeda jadi dingin ke gue. Ekspresi wajah Injun dan Jeno setiap kali mereka menatap gue. Proses pemulihan yang panjang setelah operasi. Kontrol rutin. Obat-obatan yang harus gue konsumsi. Saat gue menyatukan mereka, ada jawaban yang gue dapatkan. Sesuatu yang nggak pernah gue ingin dengar.

Hidup adalah sebuah keberanian.

Hidup gue, nggak akan tetap ada tanpa keberanian Pak Terry.

Gue menyesal sudah memintanya jadi berani.

Bulan-bulan berikutnya adalah masa sulit. Gue ingin bilang sama dia bahwa apa yang dia lakukan memang sudah menyelamatkan gue dari kematian, tapi di saat yang sama juga menjatuhkan gue ke dalam kesedihan. Tapi tentu saja, jika ada sesuatu yang bisa dilakukan waktu, salah satu yang paling utama adalah dia membuat kita terbiasa. Lama-lama, gue terbiasa dengan ketiadaannya.

Lalu pelan-pelan, gue terbiasa hidup dengan luka yang dia tinggalkan.

Butuh waktu memang, tapi semuanya membaik—setidaknya, gue yang merasa begitu. Usai sebulan gue habiskan hanya berada di dalam rumah tanpa pernah keluar, suatu hari, gue berani mengiakan ajakan Kasa untuk jalan ke taman dekat rumah. Beberapa bulan kemudian, gue mendapati diri gue pergi ke sekolah tanpa takut menginjak tempat-tempat yang penuh dengan jejak Pak Terry. Awalnya terasa mengerikan, tapi gue tahu bakal nggak adil untuk Injun dan Jeno kalau gue nggak datang ke acara kelulusan mereka dari SMA. Di tahun ajaran berikutnya, gue kembali ke sekolah karena bagaimanapun juga gue harus lulus SMA. Tahun itu, Jeno kuliah, bikin dia sibuk dan agak jarang nongkrong bareng gue dan Injun. Injun gap year, baru meneruskan di tahun berikutnya, setelah gue lulus SMA.

Dari Jeno, gue dengar Injun sering mimpi buruk. Bukan sesuatu yang mengherankan. Dia yang menemukan Pak Terry malam itu dan tentu, menghilangkan bayangan akan apa yang dia lihat nggak bakal gampang. Walau begitu, kelihatannya Injun senang. Dia dekat sama Lala dan keluarganya mendukung keputusannya buat lanjut kuliah seni—ya, bahkan papanya yang galak itu mau melunak dan membiarkan Injun melakukan apa yang mau dia lakukan.

Gue ngambil kuliah di Sastra Inggris, soalnya lirik lagu yang ditinggalkan Pak Terry itu berbahasa Inggris. Gue nggak ngerti. Jadi mau nggak mau, gue harus belajar buat bisa meneruskannya, kan?

Selebihnya... hidup kita baik-baik aja. Jeno jadian sama Giza. Beberapa bulan, dia cukup menikmati waktunya jadi bucin pada makhluk selain Bongshik, sampai mereka capek menjalani hubungan jarak jauh dan Jeno makin sibuk. Entah dengan kuliah, atau dengan urusan band kita yang makin serius setelah kita setuju masuk ke Frasa Entertainment. Kayaknya mereka putus-nyambung, tapi gue nggak pernah bertanya lebih jauh. Soal gue dan Kasa? Kita... baik-baik aja. Kasa melanjutkan kuliahnya di luar kota. Nggak jauh, jadi kita masih bisa sering ketemu.

Semuanya jadi biasa lagi, meski gue masih nggak mendengar apapun dari Yeda. Gue berharap, dia baik-baik saja. Yah, kedengarannya terlalu berharap ya? Soalnya, gue sendiri nggak yakin gue sudah sepenuhnya baik-baik saja.

Setiap malam, walau gue tau gue bakal merasa sakit, gue selalu memutar video itu berulang kali. Anehnya, setiap kali dia mengatakan kalimat itu, ada rasa tenang yang menyelimuti gue. Seolah-olah di dalam sana, jauh di dalam diri gue, dia mencoba meyakinkan gue bahwa semuanya akan baik-baik aja. Seperti yang dia katakan;

"Jangan sedih, Jevais. Jangan sedih, apalagi karena kesepian. Kamu dicintai. Selamanya akan terus dicintai."

*

Lima tahun kemudian.

Nana terbangun hanya untuk melihat monitor komputer yang sudah gelap, buku yang telah tertutup di dekat lengannya dan selimut yang dililitkan untuk menyelubunginya entah oleh siapa. Cowok itu mengerjapkan mata, melirik pada jam di atas nakas di sisi tempat tidurnya dan tersadar sekarang sudah pukul delapan pagi. Dia mengernyit, meluruskan kedua tangannya dan merasakan lehernya digelayuti oleh pegal luar biasa. Tentu saja, memangnya apa yang dia harapkan? Dia tertidur beberapa jam dalam posisi yang tidak bagus buat badan.

Herannya, seingat Nana, semalam dia tidak sempat menutup buku berisi draft lagu yang sedang dia kerjakan. Rasanya aneh jika tiba-tiba saja saat dia terbangun sekarang, buku itu sudah tertata rapi di atas meja, dekat dengan tetikusnya. Belum lagi pena yang ditempatkan di wadahnya dengan sempurna. Nana mengangkat alis, meraih buku tersebut dan benar saja, di bawah lirik yang baru dia kerjakan semalam, seseorang yang entah siapa telah menambahkan satu paragraf baru—tepat pada bagian yang sengaja dia kosongkan karena dia masih tidak tahu kata-kata macam apa yang sebaiknya digunakan untuk mengisi bagian tersebut. Satu paragraf yang menjadikan lagu itu sebagai satu kesatuan yang utuh.

Waking up and looking back at my heart that was distracted

I hope this song is not blurry when I look back at it later

I don't want to color it dark, but I still can't believe it

I see the window of the car we used to ride together

Everything around is looking like a blur just like the outside

Movements are fast, I barely can catch up


I guess at one point, we followed the speed of the car

But honestly, I think I've stopped in the past

That time will always be that time

A little part of me wishes it never fades out

Itu bagian awal yang Nana tulis. Sesuatu yang terlintas dalam kepalanya setelah dia menonton ulang video yang ditinggalkan Terry lima tahun yang lalu. Bagian yang lalu terlanjutkan oleh bagian yang dibuat oleh lelaki itu.

Our gazes may reach each other one day

Even if it's in silence, our voices will find a way.

Even though we don't have the courage

The words we couldn't speak, the words we couldn't deliver


Just don't forget this

One night, far from now

There will be a star that will lift your spirits

That star will be me

Jujur, menulisnya bukan sesuatu yang mudah. Nana teringat banyak momen yang sudah terlewati. Mulai dari pertemuan pertama mereka dengan Terry, bagaimana Terry menghukum mereka setelah memergoki mereka bertiga tidak ikut upacara, bahkan saat dia menyuruh Nana-Injun-Jeno berbelanja keperluan bersih-bersih untuk Markas.

You exist

In the scale of the size nobody will understand

Other than us

You exist

In my heart

Lebih dari itu, setiap detak jantung yang Nana rasakan, setiap hela napas yang Nana embuskan, semua adalah miliknya.

I'll be your home

Ooh oooh I'll be your home


I'll take you back home

I'll take you back

We will go around and around

I know this will be a memory not a reminiscence

The apologetic, regretful thoughts linger

The longing that we didn't realize because we were so used to it lingers

I know the time will tell


Even if we're on the same boat, we are on a different ocean

But I will continue to always be the lighthouse

You can rely on

This is a fate and that's a fact

But whenever it's too hard, I will be your green light


Do you remember what I said

Every night long time ago

The compass I saw in my dreams

I know now that it's you

Nana baru selesai menulis liriknya sampai di sana, namun seseorang teleh meneruskannya sampai akhir—dan setelah Nana mengeceknya lagi, lirik tambahan itu sesuai dengan melodi yang sudah dia buat.

Now that time passed

We were so young

I was angry

But that side of you gives me strength

I'll be your home

Ooh oooh I'll be your home

Nana mengernyit, baru bermaksud beranjak untuk mencari Jeno atau Injun tatkala matanya tertuju pada seikat bunga hyacinth ungu yang tergeletak di tengah kasurnya. Cepat-cepat, dia berjalan mendekat untuk meraih hyacinth tersebut. Ada empat tangkai hyacinth ungu dan setangkai mawar berwarna peach. Dia tahu apa makna bunga mawar itu, namun tidak dengan bunga hyacinth. Akan tetapi, kartu yang tersemat di bagian depan buket membuatnya tersadar. Hanya sedikit yang tertulis disana;

'apa kabar, jevais? –s.y senandika'

Secepat kilat, Nana melangkah keluar hanya untuk disambut oleh Jeno yang sedang menciumi kepala kucingnya—setelah melakukan petualangan cinta dan sempat menghamili kucing-kucing komplek tanpa pertanggung jawaban, akhirnya Bongshik bersedia jadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dan mengizinkan salah satu anaknya diadopsi oleh Jeno-Injun-Nana. Kondominium tempat mereka tinggal tidak mengizinkan mereka membawa hewan peliharaan, hingga Ten membelinya, membuatnya bisa mengubah peraturan yang ada.

"Kenapa?"

"Yeda di sini?"

"Lagi man—oh tuh orangnya." Jeno menuding pada arah di belakang Jeno dengan dagunya, membuat Jeno memutar badan. Betul saja, Yeda berdiri di sana. Dia terlihat jauh lebih baik daripada lima tahun lalu, saat Nana melihatnya terakhir kali. Yeda sudah lebih tinggi, kelihatan lebih dewasa dan ada sesuatu yang tulus dalam senyumnya.

Entah bagaimana caranya, dia telah berhasil mengatasi luka dengan caranya sendiri.

"Begadang itu nggak baik untuk kesehatan."

"Sejak kapan lo di sini?"

"Cukup lama." Yeda mengedikkan bahu. "Gue berinisiatif masuk ke kamar lo. Nggak dikunci. Lo ketiduran di depan komputer yang masih menampilkan... sebuah video."

"Oh."

"Kalau lo penasaran, gue yang menulis paragraf terakhir dari lirik lagu yang belum lengkap."

Nana terperangah. "Tapi kenap—"

"Lagu itu dimulai oleh seorang Senandika. Sudah seharusnya juga diselesaikan oleh seorang Senandika. Iya, kan?"

Nana berdecak, menunjukkan buket bunga di tangannya. hyacinth ungu dan mawar berwarna peach. "Ini apa?"

Jeno mengerjap polos. "Itu bunga."

"Gue juga tahu ini bunga, Jeno!" Nana mendelik. "Apa artinya?"

"Well, let's talk, then." Yeda memberi kode pada Nana untuk mengikutinya menuju balkon, tempat di mana mereka bisa mendapatkan lebih banyak privasi. Jeno hanya menatap sambil memeluk kucingnya—yang dia namain Bojun alias Bongshik Junior, kemudian melangkah menuju ruang tengah sambil menutup kedua telinga Bojun. Takutnya Bojun menguping, kan katanya pendengaran kucing itu lebih sensitif. Injun belum kembali. Tadi sih pamitnya mau beli bubur ayam di lantai bawah buat sarapan mereka berempat.

Hari ini langit mendung dan angin kencang meniup rambut mereka berdua hanya sejenak setelah keduanya tiba di balkon. Yeda tidak langsung bicara, sibuk menatap ke sekeliling dan menghela napas dalam-dalam ketika matanya tertuju pada salah satu bangunan pencakar langit tertinggi yang tampak kecil di kejauhan. Itu adalah hotel tempat... well, tempat terakhir yang dikunjungi Terry lima tahun yang lalu.

"Jadi... apa maksudnya?"

"Apa?"

"Bunga itu."

"Lo tahu apa arti mawar peach. Seseorang bilang, lo selalu mengunjunginya di tanggal empat belas setiap bulan, dengan buket mawar warna peach."

Nana tersenyum kecut. Dia tidak pernah bilang pada siapapun, tapi itu benar. Dia selalu mengunjungi Terry setiap bulan, tepat di tanggal empat belas bersama buket mawar peach. Tanggal empat belas adalah tanggal ulang tahun Terry. Bunga mawar berarti bunga untuk bulan kelahiran lelaki itu—bulan Juni. Mawar peach sendiri mengartikan ketulisan dan rasa terimakasih. Sesuatu yang mau berapa ribu kali pun Nana katakan, bahkan sampai suaranya habis, tidak akan pernah cukup.

"Minggu depan—"

"—tanggal empat belas?" Nana memotong.

"Bukan." Yeda tersenyum. "Konser pertama Dream Launch Project. Iya, kan?"

"..."

"Dia pasti bangga."

"Segara Yeda Senandika—"

"Lima tahun nggak ketemu, lo tiba-tiba jadi nggak sabaran begini ya?" Yeda berdecak. "Gue pernah bilang sesuatu pada lo lima tahun lalu. Tentang gue yang jadi dingin sama lo. Gue juga bilang gue nggak membenci lo. Gue hanya butuh waktu untuk membiasakan diri, seenggaknya sampai semuanya nggak terasa sakit lagi."

"... lalu?"

"Sekarang, semuanya nggak terasa sakit lagi."

"..."

"Bagaimana dengan lo sendiri? Tolong bilang kalau lo sudah sembuh."

"Gue... nggak tahu."

Wajah Yeda berubah sedikit muram. "Tapi nggak apa-apa. Semua orang butuh waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Gue memahami apa yang dia lakukan. Gue juga bangga. Namun di sisi lain, dengan cara yang nggak dia niatkan, dia menghancurkan kita semua. Iya, kan?"

Nana menunduk.

"Kita nggak pernah tahu, apakah dia bahagia atau nggak... setelah keputusannya."

"Dan karena itu—"

"Tapi gue tahu sesuatu dengan pasti. Dunia tanpa lo nggak akan membuat dia lebih bahagia daripada kalau dia mengorbankan dirinya sendiri buat lo, Jevais. Itu yang membuat gue iri sama lo. Even sampai sekarang."

"Yeda—"

"Jangan khawatir. Gue sudah sembuh, ingat? Yang harus lo khawatirkan adalah lo sendiri. Fokus untuk menyembuhkan diri lo sendiri. Sebab sejauh yang gue lihat, kita semua kecuali lo, sudah menemukan tempat sendiri untuk benar-benar baik-baik aja. Bukan hanya sebatas 'terlihat' baik-baik aja."

Nana terdiam, sampai Yeda bicara lagi.

"Purple hyacinth is an emblem of forgiveness and means something like 'I'm sorry' or 'Please, forgive me'. Empat tangkai untuk masing-masing dari kita. Gue, Injun, Jeno dan lo. Tanda bahwa gue sudah memaafkan kalian semua. Tanda kalau gue sudah memaafkan diri gue sendiri. Gue harap, lo juga bisa melakukan itu."

"Gue... gue..."

"Anne Frank, entah benar atau nggak, pernah mengatakan kalau orang mati menerima lebih banyak bunga dari orang hidup, karena penyesalan lebih kuat daripada rasa syukur." Yeda menepuk bahu Nana. "Jangan terlalu fokus pada mereka yang sudah nggak ada dan melupakan mereka yang masih ada. Jangan jadikan kesedihan membuat lo lupa pada rasa syukur, karena di akhir, itu akan membuat lo menyesal."

"Yeda... makasih."

"Anytime. Sekarang, boleh gue peluk lo?"

Ketika Nana mengangguk, Yeda membalasnya dengan mendekap Nana. Nana bukan lagi anak SMA yang bermain piano di Gerimis untuk mendapatkan sedikit uang supaya bisa membelikan Kasa bunga mawar. Bukan anak nakal yang hobi sarapan gorengan dan membuka kancing teratas bajunya. Dia sudah menjadi seseorang yang menurut Yeda, membanggakan. Waktu berlalu. Mereka bukan mereka yang dulu lagi. Hidup berjalan, rutinitas bisa saja berganti.

Satu yang tidak berubah; mereka akan selalu mengenang orang yang sama untuk seterusnya.

"It feels like home."

"Hm?" Nana betul-betul kehilangan kata-kata ketika sejenak setelahnya, Yeda membalas, dengan suara yang sarat akan kerinduan.

"Your heartbeat."

*

"Lima tahun yang lalu, saya pernah bicara dengan seseorang. Dia bertanya tentang apa yang saya bayangkan akan saya lakukan dalam lima tahun yang akan datang. Saya jawab, saya nggak tahu. Tapi mungkin, dia lebih tahu daripada saya. Dia bilang, kayaknya mimpi saya cuma satu—yang nanti akan saya sadari ketika hari itu tiba. Lalu dia akan berada I sana dan bilang, 'anak ini pernah clueless dengan hidupnya, sampai saya datang dan ngasih tau dia arah yang benar'. Saya bilang, itu nggak mungkin, tapi hari ini saya sadar, apa yang dia bilang benar."

Nana menghela napas panjang saat dia mendengar Injun mengatakan itu pada mic yang melekat di dekat bibirnya. Disinilah mereka berada, di atas panggung dan ditonton ribuan orang, membelakangi deretan lampu yang penuh kilau. Dia, Injun dan Jeno bukan lagi bocah SMA kurus yang jadi korban tawuran anak sekolah sebelah dan diselamatkan oleh gerombolan banci—yang lucunya, jadi bagian dari penonton konser hari ini. Jupe—yang sekarang sudah bukan Jupe dan ternyata bernama asli Firdaus—tersenyum lebar di deretan kursi terdepan, tepat di sebelah Alma yang memeluk Bongshik. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan, yang tak berani sekalipun dia jadikan angan-angan.

"Dia seharusnya ada di sini hari ini. Tapi sayangnya, dia nggak bisa. Saya pikir, dia sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang dan saya harap, dia tahu seberapa spesial dia untuk saya, Ezekiel dan Jevais. Tanpanya, kita nggak akan pernah ada. Tanpanya, Dream Launch Project nggak akan pernah ada." Injun berkata begitu, mengambil jeda sejenak sebelum meneruskan. "Bagian intro dari rangkaian penampilan hari ini... kita menyebutnya Memento Mori. It means, to remember the dead. It means, to honor the death. Forever, someone named Tertius Senandika, you'll be in our hearts."

Akhir dari sedikit kata-kata Injun di awal pertunjukkan dan bagaimana mereka bertiga saling bertukar pandang untuk saling menyemangati menjadi penanda bagi Nana untuk mulai menekan tuts piano di depannya. Dia menghela napas, menatap pada kursi kosong di deretan terdepan, tepat di sebelah Yeda yang tersenyum padanya, terkesan menguatkan. Kursi kosong yang dihiasi oleh sebuket mawar berwarna peach, sebab hari ini jatuh pada tanggal empat belas. Ada bisik yang terlintas dalam kepala Nana sejenak sebelum melodi mengambil alih seluruh kesadarannya.

Jangan sedih, Pak Terry. Jangan sedih, apalagi karena kesepian. Bapak dicintai. Selamanya akan terus dicintai. 






dream launch project – selesai

***

Catatan dari Renita: 

halo semua.

saya paham, kalian pasti masih memendam banyak pertanyaan. yeda kemana aja selama lima tahun. injun sama lala gimana kalo pacaran. kasa sama nana gimana. giza sama jeno end up putus beneran apa nggak. 

gimana hubungan ten, frasa ent sama anak-anak dream launch projects. gue merasa, hidup memang seperti itu. ending dari sesuatu adalah awal untuk sesuatu yang lain. sebuah cerita nggak akan bisa benar-benar berakhir kecuali oleh kematian. pun setelah kematian, cerita seseorang bisa aja terteruskan oleh orang-orang di sekitarnya. 

sebenernya, ada bagian point of view pribadi jeno-injun-nana-yeda tentang apa yang terjadi dan hari-hari mereka, tapi bakal panjang banget kalau dimasukkin ke sini semua. tapi misal setelah ini dibikin chapter tersendiri kalian mau apa nggak? haha komen aja di sini. 

setiap dari mereka punya cara masing-masing untuk deal dengan kehilangan, tapi di outro, kita lebih fokus sama jevais-terry karena koneksi mereka lah yang membangun awal dari cerita ini. 

sebelumnya, makasih sudah mengikuti dari awal sampai ke sini. gue sudah menspoilerkan ending dari cerita ini sejak awal, di desember 2018 tapi kayanya ngga ada yang nyadar. the main point of this story is not the ending, but about how we get there. 

apa yang terpenting bukanlah endingnya, tapi gimana proses kita bisa sampai di sana. the art of dying, is the art of living. 

kalau kalian berpikir gue menyukai ending dari cerita ini, jawabannya adalah nggak. i invested a lot of my emotions here. i cried a lot too. but it has to be done. inspirasi awal kenapa gue menulis ini adalah chester bennington, jonghyun, ludwig van beethoven dan vincent van gogh.

three of them lost the fight and took their own lives. 

gue nggak akan bicara tentang dosa mereka, dimana mereka berada dan segala macam. we don't really know dan after all, kita semua sama-sama terdakwa yang nggak berhak menentukan apakah seseorang ada di sana atau di sini setelah mati. 

gue hanya berpikir begini, ketika sebagian besar orang meng-glorify hak seseorang untuk hidup, pernahkah kita menghargai hak seseorang untuk mati? 

kayak apa ya... mau segampang apapun kita bicara 'oh, masalah lo cuma gitu doang kok' atau 'masih banyak orang di luar sana yang punya masalah lebih berat dari lo' atau 'masalah gue lebih berat dari lo' still, kita bukan dia. kita nggak akan pernah bisa merasakan apa yang dia rasakan dilihat dari posisinya. dan kalaupun kita sudah merasakan sesuatu yang lebih parah, sesuatu yang lebih sakit, bukannya seharusnya kita mengerti bahwa terjebak dalam sakit, mau itu lebih parah atau nggak lebih parah dari kita, tetap bukan sesuatu yang menyenangkan? 

i mean, yang merasakan hidup seseorang adalah seseorang itu sendiri. yang lebih tau adalah dia. kita bisa berusaha ada buat seseorang, berusaha memahami, berusaha menguatkan, but in the end, kadang itu semua nggak cukup. 

but in the end, some lost to their demons. 

seandainya kita semua bisa memilih, kita semua pasti maunya bahagia. kayak... siapa yang mau hidup dalam kesedihan, rasa useless, rasa sakit segitu parahnya sampai-sampai kita berpikir jalan keluar satu-satunya adalah keluar dari hidup itu sendiri? 

gue nggak akan menghakimi pandangan apapun tentang ini, karena kita semua sangat diizinkan memiliki pendapat yang berbeda. toh, kita pun melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda juga. 

hanya saja, di saat yang sama, suicide bukan sesuatu yang berdampak pada pelakunya sendiri, tapi orang-orang di sekitarnya. the sadness will last forever. mungkin rasa tidak berdaya dan menyalahkan diri sendiri. dan perlu waktu yang sangat lama untuk bisa sembuh dari itu. 

but just to let you know, they didn't lose terry to suicide. mungkin kelihatannya seperti itu, tapi sebetulnya, terry memberikan 'hidupnya' untuk jevais. apa ada kemungkinan lain yang bisa membuat segalanya berakhir bahagia? ofc. mungkin ada donor lain. mungkin terry terlalu tergesa-gesa. terry adalah terry. dia nggak akan menyerahkan hidup orang yang dia pedulikan pada ketidakpastian. gambling. terry bukan orang yang kayak gitu. 

dan bener kata yeda, dunia tanpa jevais, mungkin nggak akan cukup bisa bikin terry menemukan cara untuk bahagia. 

apakah gue meng-glorify suicide dalam cerita ini? nggak. gue hanya mau melempar sebuah pemikiran kalau hidup itu penuh dengan pilihan. lo punya hak untuk hidup. lo punya hak untuk mati. tapi ada konsekuensi untuk semua keputusan yang diambil. mungkin, dengan suicide, lo bisa terbebas dari rasa sakit, tapi lo memindahkan rasa sakit itu pada orang terdekat lo. mungkin dengan bertahan, lo merasa tersiksa, but somehow, you manage to protect your loved ones. you manage to protect their hearts. 

and just to let you know, things get better. life gets better. 

so be brave. and continue on living. 

again, gue bukan Tuhan dalam cerita gue. semua tokoh punya sifat masing-masing, dan kecenderungan masing-masing yang tidak bisa gue abaikan. 

then again, kira-kira kalian masih perlu bagian point of view nana-injun-jeno-yeda nggak? wkwkwk maybe a little bit sneak peek to their love life and their life after terry. 

buat yang nanya apakah cerita ini akan diterbitkan, gue masih belum tau. mungkin ada bagian yang harus gue revisi, dikurangi, ditambah atau diperjelas. untuk saat ini, project paling dekat adalah guardiationship jilid dua. 

dan daddy's day out. 

oke, karena udah panjang banget, kalian bisa tuliskan kesan kalian terkait cerita ini di sini 

dan diantara semuanya, siapa tokoh yang bakal kalian kangenin? 

oh ya, buat yang ada di pekanbaru, kalimantan dan sekitarnya, hope it gets better really soon. my prayers go to you all. im so sorry i can do nothing for you. it must be terrible, to be suffocated and all. 

sekian dari daku. 

ciao. 

Semarang, September 16th 2019 

23.05

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro