ninth note
My mother is pure radiance.
She is the sun I can touch and kiss
and hold without getting burnt.
—Sanober Khan—
*
Untungnya, Terry tidak betul-betul memulangkan paksa Injun dan Nana lewat go-send express—ya lagian kasihan juga abang-abang ojeknya jika harus memboncengi anak-anak seperti Injun dan Nana. Supaya tidak ada kepanikan dan tindakan yang tidak perlu dari para orang tua (seperti misalnya menyebar selebaran anak hilang atau parahnya, sampai lapor polisi), Terry menghubungi masing-masing dari mereka, memberitahu kalau Jeno, Injun dan Nana akan menginap di tempatnya demi sesi belajar intensif menjelang ulangan harian. Mama Injun dan Nenek Nana yang sudah pernah bertemu Terry sebelumnya langsung mengiakan. Mama Jeno tidak, sehingga butuh beberapa saat buat Terry meyakinkan wanita itu.
Tapi kerepotan Terry tidak berhenti sampai di sana. Injun dan Nana banyak berulah ketika makan malam, makin nakal waktu Terry menghukum mereka dengan menyuruh keduanya mencuci piring. Belum lagi tangan mereka yang jahil tidak bisa diam. Terry baru betul-betul bisa bernapas lega kala ketiganya sudah terlelap. Injun dan Nana menolak tidur di kamar Yeda, lebih memilih rebahan asal di lantai berlapis karpet. Jadilah, Terry membiarkan mereka—walau diam-diam, di tengah malam, dia menyelimuti dua anak itu dengan selimut ekstra.
Pagi ini, mereka sarapan sebelum berangkat ke sekolah bersama.
"Nanti kalian turunnya dekat sekolah ya, jangan pas di sekolahnya." Terry bilang seraya mengisi cangkirnya dengan teh.
"Dih, kayak orang yang pacarannya backstreet aja!" Nana protes, sementara Injun manggut-manggut dengan mulut penuh makanan. Jeno mengernyit, menggeser sedikit duduknya waktu sadar ada remah-remah biskuit dari mulut Injun yang muncrat sampai ke dekat sikunya.
"Saya nggak mau dikira dekat sama kalian. Sori-sori aja."
"Seisi sekolah juga udah tahu kita budak bapak."
"Mana ada budak berangkat sekolah sama majikan?" Terry berdecak. "Habis dari sekolah, kalian bisa pulang ke rumah masing-masing."
Spontan, ketiganya berhenti mengunyah.
"Pak..."
Jeno menyambar. "Semalam lagi nginep di sini dong, Pak..."
Nana setuju. "Tunggu ampe memar saya mendingan dulu, Pak!"
Terry tersedak teh yang sedang dia seruput. Lelaki itu melotot, meletakkan kembali gelasnya di atas meja hanya untuk mendapati tiga anak berseragam SMA tengah menatapnya dengan wajah yang dibuat sememelas mungkin. Nana bahkan berinisiatif menarik tisu dan melap sisa teh di sudut bibir Terry, yang bikin Terry lagi-lagi terbatuk.
"Kita akan jadi budak bapak selamanya kalau bapak mau biarin kita tinggal di sini satu malam lagi!"
"Nggak! Nggak ada!" Terry menolak mentah-mentah. "Lagian siapa juga yang mau punya budak kayak kalian selamanya? Ngerepotin saya doang! Pokoknya hari ini kalian pulang!"
"Ini mah sama aja bapak nggak nolongin kita." Nana cemberut. "Balik-balik, kalau muka saya masih kayak gini, saya bisa kena gebuk sapu lidi Nenek, Pak!"
"Maka tergebuklah kamu."
"Pak!"
"Saya disuruh tidur di kamar mandi juga nggak apa-apa kok, Pak." Injun mencoba menawar. "Nggak dikasih makan juga nggak apa-apa. Tapi semalam lagi—"
"Nggak."
"Pak..."
"Kalian tuh laki-laki bukan?"
Harga diri Nana jadi terpelatuk. "Kalau saya perempuan, nama saya Jemima, Pak! Bukan Jevais!"
Injun berdiri dari duduk, mukanya dramatis. Untung saja dia tidak gebrak meja, karena salah-salah, itu malah bikin Terry balik geplak kepalanya. "Bapak mau bukti?! Bapak mau lihat?!"
"Dih. Ogah."
"Sini, saya lihatin kalau nggak percaya!"
"Males banget saya lihat pisang muli."
"Pisang muli katanya, Na!" Injun makin berapi-api. "Sori ya, Pak, nggak level mainan pisang muli! Kita tuh masuk kategori pisang tanduk!"
Jeno hanya memandang Terry dan Injun-Nana bergantian sebelum menunduk, menatap isi piringnya dengan wajah memerah malu.
"Apa gunanya pisang tanduk kalau lemes kayak pensil Inul?"
"Ini nih, yang namanya tukang judge dan penyebar hoax!" Nana menanggapi. "Jangan salah. Punya kita nggak lemes kayak pensil Inul!"
"Betul! Berotot malah, karena diajakin fitness tiap hari!"
"Duduk!"
"Pokoknya kita bukan pisang muli atau pensil Inul!"
"Duduk atau saya bikin kalian jadi pisang goreng?"
"Oke, duduk." Nana berdeham, kembali duduk.
"Pokoknya, mau nggak mau kalian harus pulang. Hadapi konsekuensinya, bukan lari."
"Pas pertama ngelihat Jupe dan temen-temennya, bapak nggak menghadapi, tapi lari."
Terry mendelik. "Itu beda urusan!"
"Sama aja, Pak! Intinya tuh—"
"Diskusi ditutup." Terry berujar tegas sembari beranjak dari duduk, berhasil membungkam Injun. Ketiganya tak punya pilihan selain meneruskan makan, lalu berangkat ke sekolah bersama Terry. Mereka belum bilang apa-apa, tapi kelihatannya, peristiwa yang terjadi kemarin sore sudah tersebar diantara siswa. Tidak ada yang mempertanyakan memar di wajah mereka bertiga—walau diam-diam Lala memandang dingin di kejauhan dan itu bikin Injun bingung karena entah kenapa... dia jadi merasa bersalah. Nana lain lagi. Dia tidak bertemu Kasa sepanjang hari ini. Jeno lebih banyak melamun, entah itu di kelas atau ketika jam istirahat. Cowok itu diam saja kala mereka bertiga berpisah di belokan menuju rumah masing-masing setelah sebelumnya saling menyemangati.
Sepanjang perjalanan pulang, Injun memutar otak untuk mencari alasan masuk akal terkait memar-memar di wajahnya, juga bagian depan seragamnya yang agak kotor. Ini jelas prestasi, soalnya bahkan dalam ujian pun Injun tidak pernah menggunakan otaknya semaksimal ini. Dia masih berjalan sambil menyusun skenario penyebab per-memar-an di muka ketika dia mendengar suara Alma.
"Abang, katanya di rumah guru buat belajar."
Injun menoleh, tersekat ketika mendapati Alma sedang berdiri di depan sekolah TK dekat rumah. "A—Alma?!"
"Di rumah guru bisa memar-memar sampai kayak gitu?" mata Alma menyipit.
"Ini—ini—abang abis jatuh dari tangga!"
"Masa?"
"Iya!" Sudah kepalang basah, maka Injun tetap harus lanjut mengarang Indah. "Kamu tuh nggak tahu, rumahnya Pak Toi—maksudnya Pak Terry tuh tingkat... tingkat... dua puluh! Terus abang jatuh ngegelundung, makanya abang jadi begini."
"Kalau abang jatuh ngegelundung dari rumah bertingkat dua puluh, yang ada kita udah tahlilan sekarang, abang!"
Injun menggaruk lehernya. "Hng... ya mungkin abang punya bakat jadi Samson Betawi. Otot kawat, tulang bes—adow!" Injun refleks merintih kesakitan ketika seseorang menepak bahunya keras-keras dari belakang. Cowok itu gusar, sudah siap balik meninju siapapun yang baru menggaplok bahunya ketika dia sadar... orang itu adalah Lala.
"Bohong terus ya lo!"
"Med—maksud gue, Shavela—" Injun melangkah mundur, tadinya mau meminta pertolongan Alma, namun kelihatannya Alma justru berpihak pada Lala. Lama-lama, langkah mundur Injun berubah jadi lari terbirit-birit. Lala, tentu saja terpicu untuk mengejarnya.
"Bohong terus, nggak capek?!"
"Ampun, La! Ampun!"
"Kemarin gue dapet laporan kalau lo berantem sama anak-anak sekolah sebelah!"
"Ampun, La! Nggak sengaja, La!"
"Mana ada nggak sengaja?!"
Pada satu titik, Lala berhasil meraih lengan Injun, namun Injun yang segentar itu tertangkap oleh Lala mencoba menyentakkan tangannya. Sayang, bukannya berhasil melepaskan cengkeraman Lala pada lengannya, Injun justru kehilangan keseimbangan saat pergelangan kakinya beradu dengan batu-batu pinggir jalan. Tanpa bisa dihindari, cowok itu terjatuh dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Untungnya, tepi jalan terlapisi oleh sedikit rumput, jadi punggung Injun tidak sakit-sakit amat. Malang buat Lala, sebab dia ikut terhuyung jatuh. Telapak tangannya yang lain mencoba menahan, beradu dengan tanah keras penuh kerikil dan rumput liar.
Alma speechless, sementara Lala mengerang kesakitan seraya merutuk samar, belum sadar seperti apa posisi jatuhnya dan Injun terlihat.
"Anjir—punggung gue—eh—" Injun berhenti mengaduh waktu matanya dan mata Lala beradu. Teknisnya, cewek itu kini berada di atasnya sekarang, walau dengan tangan menopang tubuh hingga dia tidak langsung terjatuh di atas dada Injun. "Eh, tapi lo wangi juga."
Wajah Lala memerah.
"Cantik deh kalau dilihat dari bawah kayak gini."
Lala hampir lebur jadi kubangan.
"Tapi posisi macam ini tuh kayak... apa ya... kayak gitu..." wajah polos Injun mulai diwarnai senyum mesum.
"Kayak apa?!"
Injun malah terkekeh genit, lalu menarik jaketnya sampai menutupi mulut. Matanya memandang malu-malu. "Ampun, jangan perkosa kakak, Dek. Kakak masih suci, bersih, belum ternoda, seperti gamis baru di hari yang fitri..."
Lala melotot, menggeram kesal dan detik berikutnya, erang kesakitan Injun memenuhi udara.
*
Nana sempat mampir di minimarket dekat sekolah untuk beli masker wajah sebelum dia pulang. Sengaja, untuk menutupi memar yang bertebaran di sejumlah titik di wajahnya. Namun pada belokan terakhir sebelum tiba di rumahnya, dia melihat Nenek sedang menyapu daun kering di halaman. Ini jelas bukan pertanda bagus. Bakal sangat gampang buat Nenek menggebuki Nana dengan sapu lidi itu jika beliau sampai melihat memar-memar di wajahnya. Maka, Nana malah berbelok ke arah lain. Niatnya sih nongkrong di pos ronda sampai Nenek selesai menyapu halaman, tapi cowok itu dikejutkan oleh kehadiran Kasa yang sudah menunggu.
Nana terperangah sebentar, sebelum membuka maskernya. Tidak ada gunanya menyembunyikan memarnya dari Kasa. Cewek itu pasti sudah tahu sejak di sekolah tadi. "Kasa?"
Kasa menyahut tanpa ekspresi. "Duduk."
Nana menelan ludah, menebak Kasa bakal marah, namun dia menurut dan duduk di samping cewek itu. "Kasa, aku bisa jelasin kalau—"
Kasa menoleh dan kata-kata Nana terputus seketika. Mata cewek itu memandangnya lekat, mencuri kemampuan Nana untuk berbahasa. Lalu, Kasa beralih pada memar-memarnya. "Sakit?"
"Nggak—aduh!" Nana merintih ketika Kasa menusuk salah satu memarnya dengan jari telunjuk.
"Jangan bohong."
Nana cemberut. "Sakit."
"Siapa suruh berantem?"
"Aku nggak berantem."
"Nggak salah lagi maksudnya?"
"Tapi ini beda, Kasa!" Nana membela diri. "Aku nggak—"
"Aku kan cuma nanya, memarnya sakit apa nggak. Kamu bilang nggak, terus ternyata bohong. Abis itu aku nanya lagi, kamu berantem apa nggak, dan kamu masih bohong."
"Oke, aku berantem."
Kasa diam.
"Kasa... jangan marah ya?"
Kasa menghela napas. "Aku nggak suka lihat kamu berantem, itu karena aku nggak mau lihat kamu luka-luka kayak gini. Tapi aku nggak marah."
"Kenapa?"
"Soalnya aku tahu kenapa kamu berantem."
Senyum Nana mulai tertarik. "Kamu... nggak marah?"
"Nggak, tapi kesel." Kasa merogoh saku kardigannya, mengeluarkan sebuah tube salep khusus untuk memar. "Tangan aku bersih, jadi kamu nggak usah khawatir. Sekarang diam."
Nana nyengir, membiarkan Kasa mengoleskan salep itu di bagian-bagian memar wajahnya. Rasanya dingin. Sentuhan Kasa begitu lembut, seperti takut menyakiti. Wajahnya penuh konsentrasi. Nana menatapnya, bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang diciptakan begitu sempurna. Saat Kasa mengoleskan salep di memar terakhir yang belum diobati, Nana menangkap jemarinya, lalu menggenggamnya, meremasnya pelan.
"Nana,"
"Kasa cantik deh sore ini."
"Bukannya kamu pernah bilang kalau aku selalu cantik?"
"Iya. Selalu. Termasuk sore ini." Nana nyengir, kemudian menarik tangan Kasa yang berada dalam genggamannya, membuat cewek itu jadi lebih dekat padanya sebelum meraihnya dalam dekapan. "Wangi banget lagi. Suka, deh."
"Nana, ini di pos ronda, loh."
"Mmm... terus?"
"Kalau ketahuan Pak RT, nanti kita diciduk."
Nana tertawa, melepas pelukannya. "Oiya. Sori."
Matahari sudah makin meredup ketika akhirnya Nana berani pulang. Kasa tidak langsung pulang, malah mengikutinya, beralasan kali ini gilirannya mengantar Nana pulang. Nana sih senang-senang saja. Ternyata, betul dugaannya. Nenek sudah selesai menyapu halaman dan sapu lidinya teronggok aman di tembok, dekat salah satu jendela.
"Seneng deh, Kasa nggak marah."
Kasa membalas, membuat senyum Nana yang awalnya merekah lebar ganti jadi rengutan. "Aku nggak marah, tapi aku kesal."
"Nggak apa-apa, yang penting nggak marah."
Kasa tidak menjawab, malah kelihatan mencari-cari sementara Nana memandangnya. Sorot mata cowok itu melembut. Selalu begitu. Setiap ada Kasa, segala yang ada di sekeliling Nana seakan-akan memudar, terpusat sepenuhnya hanya pada cewek itu seorang.
"Mana ya..."
"Kamu nyari siapa?"
"Ah, akhirnya—" Kasa tersenyum waktu Nenek muncul dari dalam rumah. "Nek! Nana berantem, Nek! Lihat deh, mukanya memar semua!"
Nana melotot, mencoba membekap mulut Kasa, tapi segalanya sudah terlambat. Muka Nenek langsung berubah galak saat dia tahu apa yang dibilang Kasa itu benar. Perempuan itu berjalan cepat melintasi halaman, lalu meraih ujung rambut dekat telinga Nana, memaksanya berjalan sementara yang punya rambut merintih kesakitan.
"Nek—Ampun, Nek! Nana mending dijewer aja!"
"Berantem terus ya kamu! Anak nakal!"
Kasa tertawa, mengabaikan Nana yang memandangnya dengan tatapan terluka.
*
Langit makin menggelap, tapi Jeno masih berdiri ragu di depan pintu pagar rumahnya. Jarinya saling meremas, sementara matanya menatap takut bercampur rasa bersalah. Jeno pernah mendengar seseorang bilang, kalau tidak bisa membuat orang yang dicintai bahagia, maka setidaknya jangan buat orang itu sedih. Selama ini, Jeno tidak pernah membuat Mama bahagia. Nilai-nilainya tidak cukup spektakuler untuk bisa membuat Mama bangga. Dia lebih banyak diam di rumah. Dia bukan anak yang lucu, yang bisa bikin Mama ketawa saat wanita itu sedang lelah. Karenanya, Jeno berusaha sebaik-baiknya supaya dia tidak jadi alasan kenapa Mama sedih. Dia berupaya mati-matian, agar tidak menjadi beban untuk Mama.
"Pada akhirnya, kamu harus tetap masuk, kan?"
Refleks, Jeno menoleh ketika mendengar seseorang bersuara. Itu Terry dan sekarang, dia sedang berjalan menghampiri Jeno. Entah di mana mobilnya berada. Kelihatannya, Terry datang berjalan kaki.
"Saya... takut."
"Takut Mama kamu sedih?"
Jeno mengangguk.
"You know nothing about mother's love, then." Terry berdecak, diikuti senyum tipis. "No matter what, a mother will always love her children unconditionally. However you wrong her, she'll keep on loving you."
Jeno terdiam, jelas sekali masih ragu.
"Saya yang akan ngomong sama Mama kamu."
"Pak—"
Sia-sia mencoba menahan Terry, karena laki-laki itu sudah membuka pintu pagar. Jeno menghela napas, mau tak mau mengikuti langkah kaki Terry. Mama ada di rumah, itu terlihat dari mobilnya yang sudah terparkir di garasi. Rasanya seperti seabad menunggu Mama membuka pintu setelah Terry mengetuknya. Begitu pintu dikuak, Mama dibuat terkejut oleh wajah Jeno yang penuh luka di sana-sini.
"Wajahmu kenapa, Nak?!"
"Selamat sore. Saya Terry, wali kelasnya Jeno di sekolah. Soal memar di wajah Jeno, saya akan menjelaskannya pada ibu. Bisa kita bicara sebentar?"
Mama tampak khawatir, namun mengangguk, setuju dengan kata-kata Terry. Jeno menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dan langsung masuk ke kamarnya. Bongshik sedang nongkrong di kamar waktu Jeno masuk. Tumbenan, kucing itu tidak secuek biasanya. Dia langsung melompat ke pangkuan Jeno begitu Jeno duduk di tepi kasur. Kakinya bergerak seperti sedang memijat. Jeno tersenyum, merasa terhibur oleh kelakuan Bongshik. Jemarinya mengelus punggung kucing itu, membuat Bongshik makin rajin memijitnya.
Samar, Jeno mendengar Mama dan Terry mengobrol dari ruang tengah. Suara mereka rendah sehingga tak terdengar jelas. Jeno menunggu dengan harap-harap cemas ditemani oleh Bongshik yang seakan-akan mengerti dan berusaha menenangkannya. Jeno tersenyum tipis, meraih Bongshik dalam dekapan, tapi tubuhnya menegang waktu dia mendengar suara Terry berpamitan, disusul bunyi pintu yang ditutup. Seolah-olah bisa menebak apa yang bakal terjadi, Bongshik melompat turun dari pangkuan Jeno, lalu duduk di sisi lain kasur.
Jeno tertunduk, meremas-remas jemarinya dengan gugup. Cowok itu terduduk kaku saat pintu kamarnya dikuak dan Mama muncul di sana. Mama mendekatinya, kemudian begitu saja, memeluknya tanpa mengatakan apa-apa. Perempuan itu terisak, membenamkan wajahnya di bahu Jeno hingga seragam Jeno basah. Jeno gemetar diterjang oleh gentar yang berbaur dengan rasa bersalah. Tapi dekapan Mama makin erat. Dia larut dalam sedu-sedan yang dalam, hingga butuh beberapa lama baginya melepas rengkuhannya pada Jeno dan mulai bicara.
"Jeno,"
Jeno menggigit bibir, tidak berani memandang Mama.
"Jeno, lihat Mama, Nak."
Jeno masih menggigit bibir, namun kini mulai menengadah. Ada yang menusuk hatinya seketika waktu melihat mata Mama yang basah. "Ma, maafin Jeno."
Mama menggeleng. "Jangan minta maaf, Jeno."
"Aku salah udah bikin Mama nangis." Air mata mulai menetes satu-satu. Tangannya terulur, menghapus air mata di wajah ibunya. "Mama... jangan nangis karena aku..."
"Mama nggak tahu kamu tahu dari mana soal... itu... tapi, Nak," Mama memandang Jeno, suaranya bergetar. "Mama nggak pernah menganggap kamu beban. Nggak pernah sama sekali. Mama nggak tahu kenapa kamu bisa berpikir seperti itu."
"Hidup Mama berubah gara-gara aku." Jeno menggeleng, tangisnya mengeras. "Harusnya hidup Mama bisa lebih baik, kalau aja aku nggak ada. Seharusnya aku nggak ada."
"Jeno, Jeno—sstt—dengerin Mama. Kamu itu hadiah terbaik untuk hidup Mama. Hidup Mama jadi punya arti karena kamu. Kamu tahu, seandainya Mama bisa mengulang hidup Mama lagi, Mama akan tetap memilih jalan yang membawa kamu ke Mama. Jadi jangan pernah berpikir dan ngomong seperti itu lagi. Janji sama Mama, ya?"
Jeno menunduk, kini wajahnya sudah benar-benar basah.
"Jeno, kamu dengar apa kata Mama?"
Jeno mengangguk, masih larut dalam sedu-sedan.
Mama memeluk Jeno sekali lagi, agak sedikit terlalu erat dari sebelumnya, membuat erang kesakitan Jeno terlontar tanpa bisa ditahan. Mama tersentak, mengecek bahu Jeno dengan khawatir dan menarik napas dalam-dalam. "Guru kamu sudah menjelaskan semuanya sama Mama. Beliau juga sudah manggilin dokter. Kenapa kamu nggak terus-terang sama Mama sejak awal?"
"Aku nggak mau Mama sedih."
"Lain kali, kalau ada apa-apa, kasih tahu Mama. Mama akan lebih sedih kalau kamu nggak jujur sama Mama. Ngerti, Nak?"
Jeno mengangguk ragu-ragu. "Iya, Ma."
"Kamu perlu mandi pake air hangat. Mama mau siapin dulu. Dan Bongshik," Mama beralih pada Bongshik yang merespon panggilan itu dengan menegakkan badan serta kupingnya, membuatnya kelihatan sigap. "Jagain Jeno."
Seperti bisa mengerti bahasa manusia, Bongshik langsung melangkah mendekati Jeno, duduk manja di pangkuannya. Spontan, tawa kecil Jeno pecah. Itu membuat wajahnya yang masih sembab bekas kena air mata kelihatan lucu. Matanya melengkung, sama seperti bibirnya yang tersenyum. Mama menarik napas lega, memandang Jeno sekali lagi sebelum melangkah keluar kamar.
Jeno masih mengelus pelan kepala Bongshik waktu ponselnya tiba-tiba bergetar. Cowok itu mengeluarkannya, mengecek pesan yang masuk dan tersekat seketika kala membaca apa yang tertera di sana. Jeno tidak tahu dari mana si pengirim pesan memperoleh nomornya, namun jelas, dia tidak main-main dengan apa yang dia kirimkan.
Besok, depan minimarket. Abis bubaran sekolah. Kita ngomong sebagai sesama laki-laki – Dean.
bersambung ke tenth note
***
Catatan dari Renita:
acie, setelah lama tidak bersua, akhirnya kita berjumpa juga.
tadinya mau update hari selasa tapi karena masih banyak yang ujian, jadi diundur hari ini. gimana ujiannya?
apa pun itu, lo sudah melewati satu fase dalam hidup lo, jadi selamat!
buat yang masih harus ke sekolah dan belajar seperti biasa, buat yang udah kerja dan buat semuanya juga semangat! hahaha.
kayaknya udah itu aja dulu.
chapter ini mungkin terasa lebih pendek dari biasanya, but some serious shits will happen in next chapter ;P ;P nggak ada gebuk-gebukan lagi.
paling ada yang mati.
HAHAHAHA we'll see.
sampai ketemu di chapter selanjutnya and ciao!
Semarang, April 25th 2019
21.20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro