Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

nineteenth note

And nothing hurts when I'm alone.

When you're with me.

And we're alone.

—Billie Eilish—

*

Begitu turun dari panggung, satu-satunya yang jadi fokus pikiran Injun adalah menemukan Lala. Beberapa orang sempat menghadang langkahnya, sebagian untuk mengucapkan selamat dan sebagian laginya bermaksud memujinya. Jelas itu pertama kali dia dipandang sebagai orang yang layak diberi ucapan 'selamat' selama hampir tiga tahun dia berada di sekolah, namun buat Injun, itu bisa menunggu. Cowok itu berlari melintasi keramaian, mencoba menemukan wajah orang yang dia cari. Pada akhirnya, Injun berhasil menemukannya. Kelihatannya, Lala baru saja habis dari toilet. Injun melihatnya dari belakang. Awalnya, dia sempat tidak yakin karena untuk pertama kalinya, Injun melihat rambut Lala tergerai—yang sekarang sedang cewek itu kembali ikat ke dalam bentuk kuncir ekor kuda.

"Lala!"

Lala menoleh, tersekat seketika. Wajahnya memerah. Dia masih terperangah, bingung harus melakukan apa saat tiba-tiba, sosok Adin muncul dari arah lain. Gadis itu berlari ke arah Injun dengan senyum cerah yang lebar merekah.

"Kak Artajuna!"

Lala melotot kesal, berniat buru-buru pergi dari sana karena ogah menjadi saksi kemesraan dadakan cowok yang ditaksirnya selama nyaris dua tahun belakangan. Dia menjauh secepat yang dia bisa, tapi seru nyaring bernada ceria milik Adin masih bisa terdengar telinganya. "Kak Artajuna, tadi itu keren banget!"

"Oh—hng—iya, makasih ya—"

"Aku suka—"

"Sori, Adin." Injun berujar, memotong dengan suara yang lebih tegas. "Ngobrolnya nanti aja ya? Soalnya gue masih ada—ehm—urusan. Tapi makasih udah nonton gue dan udah ngasih bunga."

"Hng... urusan apa?"

Injun tidak menjawab, langsung berjalan melewati Adin begitu saja. Dia berlari kecil untuk mengejar Lala yang melangkah kian cepat tanpa sekalipun berniat menoleh ke belakang. Adin memandang punggung mereka berdua, mengangkat alis sebelum kemudian dia kelihatan paham. Gadis itu menarik senyum pahit, memilih meninggalkan tempat itu seraya berusaha mengabaikan retak yang baru saja terjadi dalam dadanya.

"Lala!"

Lala terus berjalan, tidak menghiraukan Injun.

"Shavela!"

Tetap tidak bereaksi.

"Medusa!"

Lanjut jalan saja tanpa berhenti.

"Sayang!"

Lala nyaris tersedak, tapi untuknya masih bisa mengendalikan diri dan terus saja berjalan. Dia bisa mendengar decak Injun yang kehilangan kesabaran.

"Syu'aeb!"

Lala batal meneruskan langkah, kontan memutar badan dan melotot marah pada Injun yang gini menggaruk belakang lehernya, tampak resah. "LO BARUSAN BILANG APA?!"

"Sayang?"

"BUKAN YANG ITU!"

"Lagian, lo dipanggil pake panggilan yang bagus masih pura-pura budek juga!" Injun membela diri.

"Dari mana lo tahu nama bokap gue?!"

"Eh—hng—riset."

"Riset?"

"Harus tahu kan, biar nanti pas ijab kabul nggak salah sebut."

"LO TUH YA—"

"—ganteng? Kalau mau jadi mantunya bokap lo katanya kan harus ganteng. Makanya gue ganteng."

Lala mendengus gusar, kesal tapi tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat buat melawan ucapan Injun. Cewek itu berpikir sejenak, lantas melakukan tindakan ekstrem dengan membuka tali sepatunya. Injun panik seketika, sudah bisa menebak jika dia tidak bisa lihai menggunakan mulutnya untuk bernegosiasi, maka sepatu itu akan melayang ke arahnya dalam hitungan detik.

"La! Kalau mau buka-bukaan jangan di sini! Di kamar aja!"

"APA LO BILANG, HAH?!"

"Hehe, coba ya kalau gue bawa kaca, udah gue tunjukkin tuh gimana merahnya muka lo sekarang. Serem sih, tapi gemes." Injun nyengir. "Gue mau ngomong soal—"

"WAH, SI ETA KAN BENERAN PAKE CELANA GUE!"

Injun belum sempat menyelesaikan kata-katanya waktu pengacau suasana tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka. Itu Jarot yang datang bersama beberapa siswa yang satu band dengannya. Jarot kelihatan berang. Matanya memandang nanar pada celana yang Injun pakai.

"Weits, bentar dulu, brader! Gue lagi mau melakukan negosiasi asmara, jadi mohon antre kalau mau minta tanda tangan!"

"Minta tanda tangan muka lo gepeng!" Jarot berseru sepenuh emosi. "Itu yang lo pake celana gue! Balikin sekarang!"

Lala sudah siap mendebat Jarot, malah kalau bisa menghajarnya sampai dia mirip serundeng kelapa, tapi Injun sudah keburu lanjut bicara. "Iya! Ntar gue balikin, tapi biarin gue ngomong ama ni cewek satu. Ini berkaitan dengan masa depan gue sebagai pria, brader. Tolong mah ini ya sekaligus hampura pisan tapi niscaya amal baik lo udah dicatat ama malaikat!"

"Bodo amat! Balikin celana gue!"

Injun berusaha menghindar, tapi Jarot telah terlanjur tiba di dekatnya dan mulai menarik-narik pinggang celana yang dia pakai. "Balikin celana gue!"

"MASYA ALLAH, UDAH DIBILANG BENTAR DULU ETDAAAAH!"

"Buka! Pokoknya buka!"

"Nggak bisa di sini, nanti otong gue go public!"

Lala mengernyit, menyaksikan sebentuk adegan bodoh antara Injun dan Jarot yang tetap tak menyerah menarik-narik pinggang celana yang Injun pakai dengan napas tertahan, sebelum akhirnya dia berseru keras pada Jarot. "Lepasin tangan lo dari Injun sekarang!"

"Ini celana gue! Dia maling celana gue!"

"Jarot—"

"Pokoknya ini—"

"Diem atau lo gue hajar sampai nggak bisa megang gitar buat seenggaknya tiga bulan ke depan?"

Gerakan tangan Jarot terhenti seketika. "La—"

"Celana lo bakal balik, tapi nggak sekarang. Ngerti?"

Kentara sekali, Jarot merasa ini tidak adil. Namun dia juga tidak berani menentang Lala. Lala memang perempuan dan dia laki-laki, tapi siapapun tahu, kemarahan Lala bisa bikin seseorang remuk-redam seperti diserang sekawanan gajah lansia. Berat hati, Jarot melepaskan tangannya, menatap tidak rela pada Injun sebelum berbalik dan berjalan menjauh. Dalam waktu singkat, mereka kembali ditinggal berdua.

"La—"

"Diem."

Injun malah cengengesan. "Gue tahu lo maling celana, tapi baru tahu kalau ini celana Jarot."

"Apaan?!"

"Gue tadi lihat lo, waktu ngasihin celana ke adik kelas. Makasih loh. Lo tuh ya, emang cewek yang sangat berdedikasi. Segitunya mau lihat gue tampil?"

"Injun—gue—" Lala tersekat, merasa harga dirinya sudah terlindas tronton dan kini pelan-pelan berubah jadi kubangan.

"Lala, sebenarnya gue—"

"Gue suka lo."

Injun ternganga, langsung lupa pada apa yang mau dia ucapkan. "Hah?"

"Gue suka sama lo."

"Hah?!"

"Nggak ada respon selain 'hah'?!"

"Hih?!"

"INJUN!"

"Hoh?!"

"Gue gampar lo, mau?"

"Lo ngomong apaan sih tadi?"

Lala menarik napas, berusaha menghalau pergi segala sesuatu bernama gengsi dari dalam hati. "Gue suka—"

"Setop."

"Terus maunya lo tuh apa?!" Lala heran, bagaimana bisa mereka membuat adegan pernyataan cinta di film-film romansa remaja itu sedemikian romantis dan penuh dengan bunga-bunga. Sekarang, bicara empat mata dengan Injun, boro-boro berbunga-bunga, rasanya Lala ingin meledak saja saking emosinya.

Injun tidak menjawab, malah memandang Lala sebentar, sebelum perlahan dia mundur, berbalik dan berlari menjauh meninggalkan Lala yang tercengang—kemudian tertunduk, dengan hati yang nyeri.

*

Kecelakaan yang menimpa Dean memang diakibatkan oleh kecerobohannya sendiri, tapi melibatkan kendaraan lain dan tentu saja, akan ada banyak pihak-pihak berwenang yang turut-campur. Jeno dan Giza nyaris saja ditarik ke kantor polisi untuk jadi saksi jika Bang Horas tidak berbaik hati mengajukan diri menggantikan mereka. Tadinya, Giza ingin menyuruh Jeno kembali ke sekolahnya, namun cowok itu justru membantu mengantar Dean ke rumah sakit. Tidak hanya sampai di sana, Jeno bahkan merelakan jaket yang dia pakai digunakan untuk menekan luka di kepala Dean agar darahnya berhenti mengalir.

Begitu tiba di rumah sakit, petugas medis yang ada langsung menangani Dean. Beruntung, meski mobil yang menabraknya melaju dalam kecepatan tinggi, Dean memasang helmnya dengan baik dan saat terhantam, sepeda motornya tengah dalam posisi diam. Memang, ada kemungkinan rusuknya memar atau tulangnya patah, tapi sepertinya Dean tidak berada dalam kondisi kritis yang berpotensi membahayakan nyawa.

Mereka duduk bersebelahan di kursi ruang tunggu rumah sakit. Giza tidak berkata apa-apa, tapi matanya tidak lepas menatap pada Jeno. Darah menodai tangannya, kini sudah mengering. Kelihatannya, darah juga menetes ke bajunya, menodai bagian depan kaus yang dia pakai. Tapi Jeno kelihatannya tidak terganggu dengan itu. Matanya mengekori gerak langkah beberapa suster berbaju putih yang lalu-lalang di depan mereka. Sesekali, Jeno bersin karena tak terbiasa dengan bau antiseptik dan obat yang mewarnai udara.

"Jeno."

Jeno menoleh, mengangkat salah satu alis. "Hm?"

"Lo... nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. Kan yang ketabrak Sarif, bukan saya."

"Bukan itu maksud gue." Giza menghela napas. "Lo baik-baik aja atau lo marah sama gue?"

"Saya nggak marah."

"Terus kenapa diam aja dari tadi?"

"Oh, saya kira kamu nggak mau dilihatin atau diajak ngomong. Saya nggak mau bikin kamu ngerasa nggak nyaman."

Giza mengerjap, lalu mengembuskan napas pelan dan menarik senyum. "Lo ini... benar-benar sesuatu ya?"

"Sesuatu gimana?"

"Lo bukan temannya Dean. Dia pernah bawa teman-temannya buat ngegebukin lo, bikin lo nggak bisa nahan tali ransel di salah satu bahu selama berhari-hari. Dia mengancam lo. Dia melarang lo ketemu gue. Dia juga menghalangi gue untuk temenan sama lo. Saat sesuatu yang kayak gini terjadi, kenapa lo malah ngebantu dia?"

"Kenapa saya nggak boleh?"

"Dia memperlakukan lo dengan buruk. Jika posisinya dibalik, gue rasa dia bakal ngetawain lo."

"Mungkin." Jeno mengangkat bahu. "Tapi bukan berarti saya harus ngelakuin sesuatu yang sama, kan? Kalau dia mau ngetawain saya, ya terserah. Dia nggak punya kewajiban bantu saya. Meski gitu, saya bukan dia. Saya nggak akan ngetawain dia dan kalau saya bisa bantu dia, kenapa nggak?"

"Cara berpikir lo yang seperti itu... yang susah gue mengerti."

"Kamu nggak suka?"

"Suka."

Jeno langsung nyengir dan matanya bertransformasi jadi sepasang garis lengkung seperti bulan sabit. "Seneng. Soalnya saya juga suka kamu."

"Tapi gimana seandainya lo ngebantuin Dean dan setelah dia sembuh nanti, dia masih jahat ke lo?"

"Kalau itu sih... bukan sesuatu yang bisa saya kontrol."

"Jeno—"

"Mama pernah bilang, saya nggak bisa mengontrol gimana orang memperlakukan saya, tapi saya bisa mengontrol gimana saya memperlakukan orang lain. Saya mau memperlakukan Sarif begini. Gimana nanti dia memperlakukan saya, itu terserah dia." Jeno menjelaskan. "Walau gitu, kalau dia nyakitin kamu, saya nggak bakal tinggal diam. Saya udah janji, saya bakal jaga kamu."

"Janji ke siapa?"

"Ke diri saya sendiri."

Giza tertawa. "Lo lucu."

"Kan emang seharusnya begitu. Laki-laki sejati itu laki-laki yang bisa melindungi orang yang dia sayang. Saya sayang Mama. Saya sayang Bongshik. Makanya saya selalu berusaha melindungi kamu." Jeno berujar serius dan lagi-lagi itu membuat Giza ingin tertawa. "Paling barunya... saya sayang kamu. Makanya saya mau melindungi kamu."

"Tadi katanya suka, kok sekarang jadi sayang?"

"Awalnya suka dulu, lama-lama jadi sayang." Giza masih tergelak waktu Jeno tiba-tiba meraih tangannya, bikin dia kehilangan kata-kata seketika. Apalagi ketika cowok itu meneruskan. "Giza, makasih udah datang. Saya senang."

"Lo berlebihan. Gue hanya datang dan nonton dari jauh. Ngasih bunga aja nggak."

Jeno menggeleng. "Kamu ngasih saya sesuatu yang lebih dari bunga."

"Hm, apaan?"

"Waktu."

"Waktu?"

"Kamu meluangkan waktu kamu buat datang ke sekolah saya, nonton saya di atas panggung. Kamu ngasih waktu kamu buat saya, sesuatu yang nggak akan bisa kamu dapetin lagi. Waktu, kalau udah lewat, nggak akan bisa kamu ambil lagi dengan bunga, nggak peduli sebanyak apapun bunga itu. Jadi... makasih."

Giza tidak tahu kenapa matanya tiba-tiba memanas.

Obrolan mereka terinterupsi mendadak oleh suara dering ponsel Jeno. Buru-buru, Jeno merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel yang menjerit. Itu telepon dari Mama. Beliau mencari Jeno, juga memberitahu kalau Injun dan Nana berniat mengajak mereka merayakan keberhasilan panggung pertama DLP dengan makan-makan bersama Terry, Mama Jeno, Mama Injun, Kasa dan seseorang yang Nana sebut Tante Ryona. Ah ya, tambahan lain, Bongshik mulai mengeong rewel mencari Jeno.

"Nggak apa-apa, lo balik aja ke sekolah. Gue bakal nunggu di sini sampai orang tuanya Dean datang."

"Nggak apa-apa?" Jeno ingin memastikan.

"Nggak apa-apa, Jeno."

Jeno mengangguk pada Giza, kemudian beranjak dari kursi. Dia melangkah menjauh, sementara Giza menatap punggungnya. Tapi di tengah-tengah koridor rumah sakit, tiba-tiba Jeno berhenti. Dia berbalik dan bicara sekali lagi. "Giza, makasih sudah datang hari ini."

"Iya, Jeno."

Lalu... cowok itu tersenyum lagi. Masih senyum yang sama. Senyum yang membuatnya kelihatan se-innocent anak-anak, dengan mata yang berubah jadi dua garis lengkung mirip bulan sabit.

*

Saat tiba di ruang kelas yang difungsikan sebagai ruang ganti mereka, Jeno disambut oleh Injun, Nana, Mama, Mama Injun, Kasa dan Bongshik yang langsung menghampirinya, melompat ke pelukannya. Kucing itu mengeong dalam suara tinggi, terdengar seperti sedang mengomeli budaknya yang kabur tanpa kabar-berita. Mama tertawa, sementara Injun mengamati bercak darah di kaus Jeno.

"Jeno—lo abis jatuh apa secara ajaib, lo tiba-tiba dateng bulan?"

"Hah, emang kenapa?" Nana menukas, ikut menatap pada Jeno.

"Itu, ada merah-merah di kausnya Jeno."

Mama langsung khawatir. "Jeno—"

"Oh, tadi abis nganterin temanku. Dia ditabrak mobil nggak jauh dari sekolah, dekat warungnya Bang Horas. Terus berdarah. Diantar ke rumah sakit sama yang orang yang kebetulan lewat. Aku ngikut, tapi dia udah baik-baik aja kayaknya. Cuma kepalanya bocor."

"Loh, kok kita nggak tahu?!"

"Kejadiannya cepat banget, Ma. Terus kebetulan ada yang lewat, ya langsung dibawa ke rumah sakit. Coba nggak ada, mungkin udah manggil ambulans. Kalau ada ambulans, pasti anak sesekolah tahu deh, kan ada bunyi ninu-ninunya."

"Teman kamu itu sekolah di sini juga?"

"Nggak. Beda sekolah."

Nana menyipitkan mata. "Siapa?"

"Sariffudin."

"Anak yang waktu itu gebukin kamu bareng teman-temannya?!" Mama terperangah.

"Iya."

"Buset, kalau gitu mah bukan teman namanya! Parah nggak? Moga-moga sekalian lewat aja!"

"Injun!" Mama Injun memperingatkan.

"Dia tuh tukang gebukin orang, Ma!" Injun membela diri.

"Katanya sih kemungkinan, dia bakal baik-baik aja. Luka-luka iya. Darahnya emang banyak banget. Tapi nggak fatal sampai kritis gitu, soalnya dia masih bisa napas dengan lancar waktu di jalan ke rumah sakit."

"Pantesan lo ngilang hampir dua jam. Kita udah ngubek-ngubek seisi sekolah. Nyokap lo nelepon berkali-kali. Untung kita belum lapor polisi."

Jeno menatap Mama, merasa bersalah. "Maaf, Ma."

"Nggak apa-apa, yang penting sekarang kamu udah baik-baik aja."

"Tadi katanya mau makan-makan buat ngerayain hari ini. Mau kemana?"

"Belum tahu, tapi kata Tante Ryona, ada restoran keluarga yang enak nggak jauh dari sekolah kita." Nana membalas. "Cuma belum sempat nyari Pak Toi—Pak Terry. Sengaja nungguin lo dulu, soalnya dia kan suka banget pencitraan nggak jelas di depan cewek-cewek juga mama-mama. Paling di ruangannya. Susulin yuk?"

"Oh, oke."

Nana menoleh pada Ryona. "Tante tunggu di sini dulu ya sama yang lain?"

Wanita itu menatap Nana, balik tersenyum dengan lembut. "Iya, Jevais."

Ketiganya pun berjalan melintasi koridor sekolah bersama-sama, menuju ruangan Terry. Koridor sekolah lengang karena sebagian besar guru dan siswa berada di lapangan, menonton penampilan Pensi yang masih terus berlangsung, atau sekedar duduk-duduk di kantin, melepas lelah sembari menyeruput segelas es kelapa muda. Sebagian siswa yang agak nakal malah bisa jadi sudah meninggalkan sekolah—walau seharusnya itu tidak boleh dilakukan. Biasanya, mereka meninggalkan tas di kelas atau di stand Pensi mereka, kemudian mampir ke warnet terdekat maupun warteg buat sebat-sebat tanpa harus khawatir ketahuan guru.

"Lo baik-baik aja?" Nana mendadak bertanya sambil melangkah, membuat Injun dan Jeno kompak menoleh padanya.

"Apanya?" Seperti dikomando, keduanya juga bertanya di saat yang bersamaan.

"Kalian berdua jadi... lebih pendiam. Kenapa?"

"Cuma lagi senang aja."

"Senang?"

"Tadi ketemu Giza."

"Buset, pantesan lama. Gue kirain lo emang tulus bantuin Udin, ternyata gara-gara ada ciweynya. Halah, tampang boleh aja polos dan pencinta kucing, tapi ternyata berbuaya juga!" Nana berseru, sementara Jeno hanya cengar-cengir. Moodnya sedang kelewat bagus, jadi dia terima-terima saja dikata-katain. Bahkan, jika Nana tiba-tiba mendorongnya dari ujung tangga, Jeno akan jatuh bergulingan sambil tertawa.

"Lo kenapa?" Nana berpaling pada Injun.

"Nggak apa-apa."

"Bohong bener. Jadi soal Medusa gimana?"

"Apa sih?!"

"Nggak usah ngeles lagi. Benar kata Pak Toil, lo tuh ada sesuatu ama dia. Lagu yang lo nyanyiin pas kita tampil juga lo tujukan buat dia. Nggak usah mangap kalau mau ngebantah! Ngaku!"

Injun cemberut. "Pokoknya gitu, deh."

"Gimana soal dia?"

"Gimana apa?"

"Hilalnya udah kelihatan belum?"

"Hilal apaan?"

"Ih, temenku gobloknya sampe mitokondria beneran." Nana memberengut. "Hilal jadian lo sama di Medusa lah!"

"Lihat nanti lah."

"Ditolak ya?"

"Gue nggak—"

"Sabar, Jun." Nana meraih bahu Injun, merangkulnya dan mengusapnya berulang kali, seperti ingin menguatkan. "Cinta tuh emang nggak mudah. Apalagi untuk orang-orang yang jelek mukanya."

"Bacot. Lo kira lo ganteng?!"

"Kata Kasa ganteng."

Injun memutar bola matanya, enggan meladeni cercaan Nana lebih jauh. Lagipula, soal Lala, dia sudah punya rencana sendiri.

Benar saja tebakan Nana, Terry memang berada di ruangannya. Lelaki itu sedang melamun dengan kursi yang terputar hingga menghadap ke arah tembok, memunggungi pintu yang terbuka. Nana mengetuk pintu dengan tangan, sengaja, untuk formalitas belaka.

"Assalamualaikum, ya ahli kubuuuuuur..."

Terry bergeming.

"Master Sontoloyo?" Jeno ikut berkata.

Masih tidak ada pergerakan.

"Majikanku yang tidak lebih pintar dari bekantan Kalimantan?"

Terry tetap tidak menoleh.

Spontan, ketiganya saling berpandangan dengan alis terangkat. Ekspresi senang bercampur songong karena berhasil meledek Terry tanpa terkena lemparan sepatu hilang bertahap dari wajah mereka. Nana berpikir, lalu memandang dua rekannya bergantian sebelum mendekati Terry. Dia menyentuh bahu Terry dan tak lama setelahnya, barulah Terry memutar kursinya, menatap mereka. Lelaki itu sama herannya, tampak dari matanya yang penuh tanya.

"Pak Toil?"

Terry mengerjap.

"Komandan?"

Terry melihat bergantian pada Nana, Injun dan Jeno. Lalu pemahaman menghantam benaknya, disusul oleh matanya yang berkaca-kaca dalam hitungan detik. Tak butuh waktu lama bagi air matanya untuk jatuh menitik ke pipi. Satu air mata turun, disusul air mata lainnya. Jatuh berkejaran, seperti hujan bulan Juni yang turun terlalu dini. Sebabnya hanya satu; dia tidak bisa mendengar apa-apa.

Nana tersekat, begitupun dengan Injun dan Jeno. Nana memandang gurunya lekat dengan beragam emosi yang bergejolak, hingga akhirnya dia memutuskan mengikuti kata hatinya. Cowok itu meraih bahu Terry, memeluknya erat sambil mengusap punggungnya. Terry balik merangkul Nana, kuat dan terkesan putus asa, seperti orang tenggelam yang berpegangan pada ranting pohon terdekat. Terdorong oleh naluri, Injun dan Jeno ikut mendekapnya, membenamkan isak tangis yang membuat bahunya berguncang tanpa bisa dikendalikan.

Nana, Injun dan Jeno tidak mengerti apa yang terjadi—namun sesuatu di wajah Terry meyakinkan mereka bahwa lelaki itu... tengah butuh dipeluk.

Yah, ketika dunia seseorang tiba-tiba sunyi tanpa bunyi, apa yang bisa dilakukan selain memeluknya agar terhindar dari sergapan sepi?  






bersambung ke twentieth note

***

Catatan dari Renita: 

well, seperti yang gue bilang di author notes sebelumnya, dari sini, kita bakal mulai roller coasternya wkwkwkwk jadi apakah yang akan terjadi sebenarnya? nggak tau ya kita lihat nanti wkwkwk. 

ternyata bukan dean yang mati ya ;P 

berbulan-bulan lalu, ada yang pernah komen di cerita ini kalau ceritanya komedi banget, kayaknya harus pindah kategori dan saat itu juga, gue langsung filming video reaction gue untuk komentar itu haha. jelas aku tertawa. tapi videonya bakal gue update di instagram kalau udah ending yaaah wkwkwk 

cerita ini nggak akan lebih dari 25 chapters (perkiraan gue) jadi hanya tinggal beberapa chapters lagi untuk DLP. 

lets see, kemana DLP akan membawa kita wkwkwk 

oke deh, sekian dulu dariku. makasih buat yang udah setia nunggu dan setia baca. makasih udah vote dan comment. 

dan buat huang renjun irl, bahagia terus ya. jangan nggak bahagia. nuna sayang kamu. 

ea jadi mellow deh. 

oiya, jangan lupa ditunggu spoiler guardiationship haha 

sekian dan terimakasih, sampai ketemu di chapter berikutnya! 

ciao 

Semarang, July 29th 2019 

20.41

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro